Share

Bertemu Pras

Dering ponsel membuat tidur Kun terusik. Siapa yang pagi-pagi begini meneleponnya? Dengan susah payah Kun meraih ponsel yang terus melengking memekakkan telinganya. Dia menggeser tombol berwarna hijau tanpa melihat siapa yang sedang menelepon.

“Halo?” seru Kun dengan suara serak.

“Halo. Mas, kamu di mana?”

Ketika mendengar suara perempuan di ujung telepon, Kun melebarkan jarak ponsel dari telinganya, menatap layarnya dengan mata terpicing. Ah, Delila. Kun mendesah malas.

“Ada apa?”

“Mas jangan mengelak terus. Aku mohon, Mas. Perutku semakin hari semakin membesar. Kapan Mas akan menikahiku?” 

Dari seberang telepon suara Delila terdengar mengiba. Namun, Kun benar-benar terganggu dengan telepon dari perempuan itu, apalagi dengan topik yang kontan membuat kepala Kun berdenyut.

“Aku sudah berkali-kali bilang sama kamu, Delila, aku pasti bertanggung jawab. Tapi tidak sekarang. Aku sedang sibuk. Tolong mengerti!” Kun menggeram.

“Sampai kapan, Mas? Aku sudah cukup sabar!” timpal Delila. Kepalanya sudah dikuasai oleh emosi karena Kun selalu berjanji.

“Kamu tidak dengar? Tunggu sampai aku mendapatkan rumah untuk kamu tinggali, aku tidak mungkin membiarkanmu di rumah itu!” Kun memutuskan sambungan telepon, dan melemparkan ponsel di tangannya ke atas nakas. Kembali menarik selimut guna melanjutkan tidurnya.

Satu menit kemudian ponsel itu kembali berdering, mengusik Kun yang hampir saja terlelap. Kun menggeram kesal, kemudian meraih ponsel itu dengan dada bergemuruh. Dalam hati merutuk perempuan itu kenapa begitu keukeuh mendesak untuk segera menikahinya.

“Apa lagi, hah?!”

“Papa sudah peringatkan kamu agar jangan pernah menyakiti Raisa!"

Kun tersentak mendengar suara orang yang berkata di balik telepon ternyata bukan Delila. Dengan nada marah laki-laki itu langsung menohok Kun.

“Papa?” Seketika suara Kun memelan. Kun bangkit dari pembaringan, menyugar rambut dengan tangan kirinya. Pria itu sangat menyayangi Sanjaya, tidak akan pernah sekali pun berbicara dengan nada tinggi di depan sang papa.

“Kenapa kamu tidak pulang sampai tiga hari?”

“Kun sibuk, Pa. Banyak pekerjaan yang  harus Kun selesaikan di sini.” Tentu saja Kun berbohong. Dia memang sengaja menghindar dari kedua wanita di rumahnya yang mulai menjadi beban baginya. Raisa, wanita berparas cantik itu ternyata tidak secantik parasnya ketika berada di atas ranjang. Kun benar-benar menyesal telah menikahinya. Lalu, Delila ... wanita itu, ah, sejak awal memang hanya untuk pelampiasan nafsunya saja. Tidak lebih.

“Apa Kepala Desa sekarang bekerja 24 jam? Dari awal papa sudah tidak suka dengan pekerjaan bodoh itu!”

Kun juga tidak suka dengan pekerjaan itu, tapi karena selalu didesak oleh H. Yusuf—ayah angkatnya—akhirnya dia mengiyakan permintaan itu. H. Yusuf tidak ingin menyerahkan jabatan Kades yang sudah pernah dikenyamnya selama dua periode itu jatuh ke tangan orang lain. Karena separuh dari kekayaannya saat ini adalah bersumber dari “pekerjaannya” itu. 

“Pa ....”

“Segera pulang! Kamu harus menjadi lelaki yang bertanggung jawab, Nak.”

Sanjaya telah memperhatikan Raisa sejak beberapa hari terakhir. Wajah perempuan itu terlihat tidak cerah seperti biasanya. Meskipun Raisa berusaha terlihat ceria ketika berinteraksi dengannya, tapi matanya tidak bisa berbohong.

“Kenapa Papa mendesak Kun untuk tidak pernah menyakiti Raisa?” Akhirnya pertanyaan itu tersampaikan juga.

“Astaga, Kun. Papa pikir kamu sudah cukup dewasa ketika pulang dari London. Nyatanya tidak. Sikapmu masih kekanak-kanakan, Kun. Apa harus papa jelaskan bagaimana seharusnya lelaki sejati? Apa kamu tidak paham bahwa ketika menyakiti hati istrimu, urusan tidak akan selesai sekali pun kamu sudah meminta maaf. Suatu saat kamu akan menuai apa yang kamu perbuat saat ini, Kun.” Suara Sanjaya terdengar parau. Bersamaan dengan kalimatnya yang keluar dari mulutnya, benaknya mengulang kembali bagaimana kini hidupnya begitu terpuruk sebab ulahnya dahulu.

Hening. Kun dan Sanjaya kini sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sejurus kemudian sambungan telepon terputus. Kun tercenung, memikirkan kembali kalimat demi kalimat yang diucapkan Sanjaya. Ya, dia pasti akan pulang, hanya sekadar untuk menyenangkan sang papa.

***

Sebuah notif dari aplikasi ojek online masuk ketika Raisa baru saja selesai mandi. 

Sebelumnya Raisa memang sudah membuat janji dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi (SpOG) untuk berkonsultasi terkait  permasalahan yang kini dialami. Raisa sempat ragu untuk membicarakan masalah intimnya kepada siapa pun, apalagi menurut artikel yang ia baca pasien akan diminta untuk memperlihatkan organ intim itu.

Namun, ia harus melakukannya demi menjaga keutuhan rumah tangganya. Sebab itu, Raisa mencari dokter yang juga perempuan. Dr. Farah Kamalia, SpOG. nama dokter itu.

[Tunggu sebentar, Mas]

[Iya]

Mata Raisa memicing melihat nama pengirim pesan itu, Nugraha. Sekilas nama itu seperti pria yang pernah mengisi hidupnya. Ah, tidak mungkin. Raisa menepis dugaannya, banyak sekali, kok, orang yang memiliki nama yang sama. Termasuk dirinya yang namanya sama dengan nama artis papan atas Indonesia.

Segera Raisa berkemas agar driver ojol itu tidak terlalu lama menunggunya. Sedikit memoles wajahnya dengan bedak, bibir dengan pelembab. Itu saja. Perempuan itu segera keluar dan menuruni tangga.

“Mau ke mana, Non?” Bi Imas bertanya. Tidak ada rasa sungkan, karena memang Raisa sangat ramah kepadanya.

“Saya mau keluar sebentar, Bi. Ada perlu,” jawab Raisa.

“Oh, ya udah. Hati-hati, Non,” tukas Bi Imas sambil tersenyum. Raisa hanya menjawabnya dengan senyuman ramah. Kemudian bergegas setelah sebelumnya mengucapkan salam terlebih dahulu.

Raisa teringat belum izin kepada Kun. Perempuan itu berjalan sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Namun, rasa ragu tiba-tiba mempengaruhi otaknya. Ia berhenti sejenak dari langkahnya, menimbang-nimbang. Akhirnya ia memutuskan untuk menelepon Kun. Bagaimanapun, Raisa wajib meminta izin kepada Kun sebelum keluar rumah.

Raisa meletakkan benda pipih itu ditelinganya, sementara ekor matanya menangkap seorang laki-laki dengan seragam gojek duduk di atas motor. Dua kali percobaan, nomor Kun tidak bisa dihubungi.  Raisa terus berjalan dengan mata fokus pada layar ponsel, mengetik sesuatu untuk dikirim pada sang suami.

“Raisa ....”

Perempuan itu menghentikan langkah dan gerakan jemarinya. Bariton itu ... seolah membuat waktu terhenti. Terhenyak, tentu saja saat matanya menangkap sosok lelaki yang kini tersenyum di hadapannya. Pras? Antara rindu dan kecewa mengungkung dada Raisa.

Raisa menelan ludah dan segera berbalik badan untuk segera enyah dari hadapan lelaki yang pernah menorehkan luka di hatinya. Bahkan luka itu masih basah, dan kini berdarah-darah kembali.

“Raisa, tunnggu!” Raisa berlari, tapi Pras lebih cepat. Pergelangan tangannya kini terkunci oleh genggaman Pras, membuatnya terpaksa berhenti dan menoleh ke arah Pras.

“Aku mau bicara, Raisa. Please!” Pras memohon.

“Tidak ada yang perlu dibicarakan!” Netra Raisa kini mulai berkaca-kaca. Pras mendesah karena Raisa bersikeras untuk segera berlalu dari hadapannya.

“Tolong, kamu harus tahu semuanya, Raisa. Aku mohon.” Meskipun Pras tahu tidak akan mengubah apa-apa, setidaknya dengan menceritakan semuanya Raisa tidak lagi berpikiran bahwa dirinya adalah laki-laki kotor seperti yang pernah dituduhkan padanya. 

Raisa tidak peduli, terus melangkah cepat menuju pintu.

“Raisa, setidaknya kamu tidak membatalkan pesanan ojekmu. Itu akan merusak ratingku. Aku butuh pekerjaan ini.” Pras berteriak, memandang lekat Raisa yang kini berhenti di depan pintu.

Raisa menunduk. Menahan air mata yang mulai menggenang. Pras benar, dia tidak boleh membatalkan pesanan ojeknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status