Share

Vaginismus

Author: Haris Fayadh
last update Last Updated: 2021-08-16 07:36:24

Semburat cerah menjalar di wajah Pras saat melihat Raisa mendekat kepadanya. Perlahan senyumnya tersungging. Selain karena kasihan pada Pras jika membatalkan ojek, Raisa juga bisa terlambat untuk bertemu dengan Dokter Farah.

“Terima kasih.” Dua kata keluar dari mulut Pras saat Raisa berada di dekatnya. Tangannya terjulur untuk memberi helm kepada perempuan di sampingnya. Raisa sama sekali tidak tertarik untuk menanggapi sikap ramah Pras.

Ketika Pras sudah siap memegang stang, Raisa naik. Menjaga jarak, duduk di ujung jok dengan berpegangan pada behel sepeda motor. Setelah memastikan Raisa siap, Pras memacu kendaraannya memecah jalan.

“Apa kabar?” Setelah cukup lama keduanya berdiam diri, akhirnya Pras menanyakan kabar.

Namun, Raisa lagi-lagi tidak menanggapi ucapan Pras. Pria itu mafhum, keadaan sudah tidak sama lagi seperti dulu. Raisa punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan Pras setelah semua yang terjadi.

Keduanya kembali melakukan gencatan suara. Hanya deru mesin motor yang terdengar. Tiga puluh menit berlalu, mereka berdua sampai ke tempat tujuan. Raisa menjulurkan uang sebagai ongkos ojeknya dengan wajah datar. Pras memandang uang itu, kemudian beralih pada wajah Raisa. Memandangnya dengan lekat. Prempuan itu sigap megalihkan pandangan ke samping, tidak kuasa untuk menatap mata itu. 

“Sampai kapan kamu hanya akan memandangiku? Tanganku sudah mulai letih,” ucap Raisa ketus. 

Pras kemudian mengambil uang pecahan dua puluh ribu itu. Merogoh kantong celananya untuk mengambil uang kembalian.

“Ambil saja kembaliannya,” ucap Raisa. Balik kanan dan mulai melangkah menuju gedung rumah sakit di depannya.

“Raisa!” panggil Pras. 

Lagi-lagi Raisa tidak menggubrisnya. Pras menurunkan standar motor dan mengejar Raisa. Kali ini mereka melangkah bersisian.

“Aku mau bicara sebentar,” ucap Pras.

“Aku sedang buru-buru. Aku bisa terlambat,” balas Raisa tanpa memandang ke arah Pras.

“Aku akan menunggu.” Pras berhenti dari langkahnya karena Raisa sudah berbicara dengan resepsionis. Entah perempuan itu mendengar atau tidak, Pras akan tetap menunggu. Pras masih memandangi Raisa hingga menghilang memasuki koridor rumah sakit.

***

Raisa melangkah dengan pikiran berkecamuk. Setelah memastikan berada di depan ruangan yang benar, Raisa mengatur gestur tubuh dan menarik napas dalam-dalam. Pelan Raisa mengetuk pintu.

“Assalamualaikum.”

“Walaikum salam. Masuk.”

Raisa menjawil gagang pintu dan memutarnya. Selarik senyum membingkai wajahnya yang terlihat kaku ketika pintu terbuka. Wanita dengan kaca mata minus yang sedang duduk di depan meja di dalam tersenyum ramah menyambut Raisa.

“Raisa, Dok.” Raisa memperkenalkan diri ketika berada di ujung meja.

Dokter Farah tertawa kecil sambil memegangi dahinya. “Saya sebelumnya sudah surprised sekali akan ditemui oleh artis papan atas,” selorohnya.

Raisa hanya menyengir, tahu bahwa dokter di depannya sedang bercanda. Dia senang, Dokter Farah kelihatannya sangat ramah.

“Silahkkan duduk, Mbak Raisa.” Dokter Farah mempersilakan Raisa duduk dengan menyebut “Mbak” demi sopan santun kepada orang yang baru dikenalnya.

 Raisa mengangguk pelan, lalu menarik kursi dan duduk. Rasa gugup perlahan menyusut setelah mendapatkan sedikit perlakuan ramah dari Dokter Farah.

“Sudah punya anak, Mbak Raisa?” tanya Dokter Farah.

“Belum, Dok. Saya menikah tidak sampai satu bulan,” jawab Raisa.

Mendengar ucapan Raisa, Dokter Farah menyunggingkan senyum menggoda. “Masih pengantin baru, ya?”

Raisa hanya menggangguk samar dengan wajah berbingkai senyum tipis. Semua orang memang akan berpikir stereotip mengenai pasangan yang baru menikah, bahwa kedua pasangan itu seakan-akan pemilik dunia saat itu. Raisa pun pernah berpikir demikian, sebelum akhirnya dia merasakan sendiri bahwa pernikahannya tidak semanis anggapannya dulu. Semua hal-hal indah yang setiap kali dilihatnya di film-film romantis tentang malam-malam awal pernikahan tidak selalu terjadi pada semua orang, salah satunya tidak padanya.

“Apa suami Mbak Raisa ikut?”

Raisa menggeleng pelan. Baiklah, Dokter Farah tidak perlu menanyakan ke mana suami Raisa. Melihat wajah Raisa, Dokter Farah menangkap sinyal tidak bahagia dari pasien di depannya. Dokter yang telah menghadapi bermacam-macam pasien dengan bermacam-macam latar itu paham Raisa sedang mengalami masalah dengan rumah tangganya.

“Jadi ... ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanya dokter itu kemudian dengan wajah yang sangat ramah dan bersahabat.

Awalnya ragu, tapi ada dorongan kuat yang mengharuskan Raisa untuk menjelaskan semua yang terjadi padanya. Yaitu, keluhan-keluhan yang dia alami saat berhubungan ranjang dengan sang suami.

“Vaginismus,” celetuk Dokter Farah. 

Raisa terhenyak demi mendengar kata yang baru saja diucapkan dokter berparas cantik di depannya. Vaginismus? Kata yang tidak pernah didengar olehnya. Apa itu? Dadanya berdegup kencang, pikirannya memikirkan hal-hal menakutkan tentang vaginismus.

Dokter Farah tersenyum melihat keterkejutan Raisa, berisyarat bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kemudian dengan tenang menjelaskan bahwa Vaginismus adalah satu penyakit di mana kondisi otot vagina mengencang dengan sendirinya saat penetrasi seksual. Vaginismus menyebabkan rasa sakit, kesulitan, dan mengakibatkan rasa tidak puas saat beraktivitas seksual.

“Penyakit ini jarang sekali terjadi, perbandingannya hanya 1 dari 10 wanita di seluruh dunia,” lanjut Dokter Farah.

Raisa menghela napas mendengar penjelasan Dokter Farah.

“Apa ... penyakit ini bisa sembuh, Dok?” Raisa bertanya cemas.

Dokter Muda itu tersenyum, “Tentu saja, Mbak. Setiap penyakit insya Allah ada penawarnya.”

“Kalau begitu, saya ingin segera dapat diobati, Dok,” sambar Raisa antusias.

Dokter Farah menatap lekat-lekat wajah polos Raisa sambil tersenyum tipis. “Pengobatan ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar, Mbak. Kami juga harus memeriksa kondisi, maaf, vagina, Mbak Raisa.”

Raisa menghela napas panjang, mengusap wajah.

***

Raisa melangkah melewati lorong rumah sakit ketika meliha Pras tengah duduk di kursi panjang. Perempuan itu berbalik ingin menghindar, tapi Pras kemudian memanggilnya.

“Ck! Ada apa lagi, sih?” Raisa mmeggerutu sebal. Menunggu Pras yang kini berlari ke arahnya.

“Raisa, aku mohon. Aku ingin bicara sebentar.” Pras berkata setelah berada di dekat Raisa. Wajahnya memelas. Pria itu memang sengaja menunggu Raisa, inilah saat yang tepat untuk mengatakan semua padanya. Meskipun dia tidak mungkin lagi bersama Raisa, tapi setidaknya Raisa berhenti beranggapan bahwa dirinya pria yang munafik.

“Bicara apa?” Raisa bertanya malas. Menatap jam digital di layar ponsel. Sudah pukul sebelas. “Aku harus segera pulang,” imbuhnya.

“Ini tidak akan lama, aku janji.” Pras menyapu pandangan pada kiri kanan halaman hijau di antara bangunan rumah sakit, mencari tempat yang nyaman untuk bicara.

“Di sana ... kita bicara di sana.” Pras tersenyum, menunjuk barisan meja di bawah pohon ketapang yang berdaun lebat. Tidak jauh dari tempat teduh itu adalah kantin rumah sakit. Meja-meja dengan kursi itu sepertinya memang sengaja disiapkan untuk pengunjung.

Raisa mendesah pelan. Baiklah, sepertinya tidak ada salahnya sejenak melunak mendengarkan penjelasan Pras. Lagi pula, kalau boleh jujur, ada terselip rindu yang susah payah Raisa pendam. Apalagi saat mengingat apa yang telah dilakukan Pras, rindu itu seketika tertimbun oleh rasa kecewa dan benci yang menggunung.

Raisa mengekor di belakang Pras. Pria itu menarik kursi dan mempersilakan Raisa duduk, sementara Pras berlari menuju kantin. Dua menit berikutnya, Pras kembali melangkah cepat dengan dua minuman di tangannya.

Darah Raisa berdesir ketika melihat dua porsi cappucino dingin teronggok di atas meja. Raisa menatap Pras, ingin sekali rasanya perempuan itu menangis ketika mengingat pertemuan terakhirnya tahun lalu. Dua gelas cappucino dingin menjadi saksi bisu janji setia mereka sebelum Pras berangkat ke Kuala Lumpur.

“Minuman kesukaan kamu.” Pras tersenyum.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Elegi Cinta Raisa   Epilog

    Saat itu, setelah mendapatkan kecewa lagi dari perempuan yang sangat dicintainya, Ben langsung pergi begitu saja, tidak menghiraukan panggilan Raisa.Beberapa hari terakhir, pria itu juga tidak masuk kantor. Raisa semakin gelisah sebab nomor Ben tak dapat dihubungi.Raisa berjalan menuju sebuah rungan di mana Pras berada. Barangkali dia tahu di mana keberadaan Ben kini."Pak Ben tidak masuk kerja beberapa hari. Kamu tahu dia ke mana?""Ben sedang ke luar negeri. Aku tidak tahu pasti ada urusan apa," jawab Pras.Raisa tersenyum dan berterima kasih. Lalu dia berderap keluar ruangan.Waktu pulang tiba. Rasa penat yang mendera kian bertambah saat Dokter Farah menunjukkan sebuah foto.Raisa membekap mulut saat tiba-tiba dadanya terasa terhimpit."Ini Pak Ben, bukan?" Dokter Farah awalnya ragu untuk memberi tahu Raisa. Namun, jika mendiamkannya, sama halnya dengan mengkhianati Raisa.Raisa tak mampu berkata-kata, dia han

  • Elegi Cinta Raisa   Kecewa

    Ben tidak kuasa menahan cemburu saat Raisa bertemu Kun. Bayangan Kun ketika membingkai wajah Raisa bergelantungan di matanya. Kejadian empat hari lalu itu benar-benar membuat hatinya perih.Ben mendengkus, sebelum akhirnya Raisa masuk dengan membawa sebuah baki berisi segelas teh dan kudapan."Ada apa?" tanya Raisa. Perempuan itu mengambil posisi duduk di depan Ben."Tidak ada apa-apa, Raisa." Ben berbohong.Raisa mengangguk dengan senyum lembut tersungging. Kemudian dia berlalu dari hadapan Ben.Tadi pagi, Sanjaya mengabarkan pada Raisa jika Kun akan dibawa pulang besok. Berkat Raisa yang selalu datang menemui Kun, kondisi pria itu berangsur pulih.Sementara, Raisa merasa ragu untuk memberi tahu Ben jika setiap hari dirinya mengunjungi Kun. Takut pria itu cemburu.Setelah mempertimbangkan, Raisa memutuskan untuk tetap merahasiakannya pada Ben. Dia yakin sebentar lagi Kun akan kembali seperti sediakala dan dirinya tidak perlu mengunju

  • Elegi Cinta Raisa   Mengamuk

    Sanjaya semringah melihat Kun tersenyum. Sudah sangat lama dirinya tidak melihat sang anak segembira itu. Hampir setiap malam, Kun mengalami mimpi buruk.Lalu saat terjaga, maka yang selalu disebut adalah nama Raisa. Hingga sakit yang diderita Kun semakin parah dan tubuhnya semakin kurus.Beberapa psikiater sudah dikunjungi. Akan tetapi, tidak ada hasil signifikan. Semua menyarankan agar Kun dipertemukan dengan seseorang yang selalu disebutnya.Semakin hari, Kun semakin aneh. Nama Raisa selalu diracaukan olehnya. Terkadang, ketika melihat seorang wanita berhijab, maka dia tersenyum girang dan sambil berseru nama Raisa. Begitu mendekat, maka senyum itu menguncup."Raisa ...."Raisa yang sejak tadi melamun, menoleh ke arah Sanjaya di sampingnya. Menunggu kalimat lanjukan yang akan dikatakan oleh pria itu.Hari sudah hampir gelap. Sesuai janjinya, Sanjaya akan mengantar perempuan itu pulang."Terima kasih," ucap Sanjaya.

  • Elegi Cinta Raisa   Pria di Taman Rumah Sakit Jiwa

    Seorang diri, Ben termenung meratapi betapa sialnya nasibnya. Setelah sekian lama berjuang untuk mendapatkan cinta Raisa, dia kira semuanya akan berjalan mulus sesuai harapan. Nyatanya anggapannya meleset. Pada saat makan malam waktu itu, setelah kedua orang tuanya tau jika Raisa janda dan sudah memiliki anak, mereka dengan lantang mengutarakan ketidaksetujuan pada hubungan Ben dan Raisa. "Pokoknya Mama tidak setuju kamu menikah dengan Raisa!" Ben yang sudah melihat jejak tidak mengenakkan di wajah sang mama, menghela napas panjang. Dia menggeleng pelan dengan kepala terasa berdenyut. "Apa yang salah dengan dia, Ma?" Ben bertanya dengan suara keras dan dahi mengkerut, sekilas menatap sang Papa yang hanya menyimak dengan mata fokus pada layar televisi yang tengah menampilkan berita. "Apa kamu sudah tidak waras, Ben? Tidak adakah wanita yang masih gadis?" Perempuan itu menatap nanar wajah sang anak. Ben membuang napas. Dia sangat t

  • Elegi Cinta Raisa   Dua Pria Mencurigakan

    Raisa mematut diri di depan cermin. Saat ini, dia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Ben akan memperkenalkan dirinya kepada orangtua pria tersebut. Entahlah, ini benar-benar membuat dia gugup.Setelah segalanya siap, Raisa menoleh kepada Nadia di dalam box bayi. Perempuan anggun itu menatap wajah polos sang bayi. Tiba-tiba berkelebat wajah pria yang sangat familier saat melihat sang anak. Ya, wajah bayi itu begitu mirip dengan Kun.Teringat kembali tentang permintaan Sanjaya dua hari lalu agar menemui Kun, Raisa merasa kepalanya berdenyut. Itu adalah kunjungan Sanjaya yang kedua kalinya dengan permintaan sama."Apakah Kun benar-benar sakit? Atau ini hanya akalan mereka saja?" Raisa memijit pelipis sebelum akhirnya sebuah ketukan pintu terdengar."Masuk," kata Raisa.Rahmi masuk dan langsung berkata, "Pak Ben menunggu di ruang tamu."Raisa mengerutkan kening lalu buru-buru melihat ponsel. Benar saja, ada dua panggilan tak terjawab d

  • Elegi Cinta Raisa   Inikah Karma?

    Raisa dan Ben memasuki sebuah restoran mewah bergaya Italia yang sudah terlihat ramai oleh pengunjung. Raisa berjalan di samping Ben yang kini memasuki lift. Keduanya tiba di lantai tiga tak lama kemudian berjalan menuju lift. Mereka menuju lantai tiga. Ruangan luas dengan dinding nyaris seluruhnya kaca itu tidak seramai di lantai dasar.Dari sana, Raisa dapat melihat kendaraan yang padat merayap di jalanan. Ben menuju meja di dekat kaca. Tak lama setelah mereka duduk, waiter datang dengan menyerahkan buku menu setelah sebelumnya menyapa dengan begitu ramah."Mau makan apa?" Ben bertanya, membuat Raisa yang sebelumnya melempar pandangan ke luar menoleh ke arah pria di depannya."Apa saja." Raisa menjawab sekenanya, lalu kembali mengarahkan pandangan pada semua objek yang tertangkap mata di luar.Ben mengembuskan napas, kemudian memberitahu waiter menu yang dia pesan."Kamu sepertinya lebih tertarik memandang keluar daripada ke sini," celetuk Ben.&n

  • Elegi Cinta Raisa   Apa yang Terjadi pada Kun?

    Raisa meraih sebuah kunci yang berada di balik selarik kertas kecil. Ragam tanya berkelindan di benak, sebelum akhirnya dirinya menemukan jawaban pada kertas yang ternyata berisi tulisan dari Sanjaya."Raisa, terimalah ini. Ini kunci rumah yang berada di pusat kota. Rumah itu papa hadiahkan untukmu dan Nadia. Papa tahu, itu tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah kami perbuat padamu."Raisa terduduk dengan perasaan campur aduk. Senang? Tidak sama sekali. Bahkan perempuan itu merasa terbenani dengan pemberian Sanjaya. Dengan menerima hadiah besar itu, sama saja dengan membiarkan dirinya dillit hutang budi.'Ah, berpikirlah logis, Raisa! Dia itu bukan Kun. Lagi pula, Sanjaya adalah kakek dari Nadia.'Raisa mengusap wajah sebelum akhirnya terdengar ketukan. Daun pintu melebar setelah dirinya menyuruh Rahmi untuk masuk. Baby sitter Nadia itu berjalan pelan menuju box bayi.Dering ponsel terdengar menggema memenuhi ruangan yang lengang.

  • Elegi Cinta Raisa   Bertemu Sanjaya

    Suasana berubah menjadi sangat kaku bagi Raisa. Tak menampik, pria paruh baya di depan Raisa juga merasakan hal sama, hanya saja dia lebih pandai mengontrol kondisi hati, sehingga tidak kentara terlihat di wajahnya.Setelah Sanjaya membayar semua belanjaan Raisa, pria itu mengajak sang mantan menantu untuk duduk di kursi teras supermarket.Rasa kecewa yang diperbuat Kun, membuat Raisa tidak mau berhubungan lagi dengan orang-orang di rumah itu, kecuali dengan Bi Imas yang sudah dianggapnya layaknya orangtua sendiri. Sanjaya, dengan segala ragu yang mendera hati, dia juga enggan menghubungi perempuan di depannya sebab merasa kecewa.Hingga tempo hari Kun mengungkapkan bahwa Raisa tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Dan hari ini setelah meneguhkan hati, Sanjaya mencoba untuk menemui Raisa. Entah kebetulan atau memang rencana Tuhan, dia dipertemukan di sini saat hendak membeli oleh-oleh untuk sang cucu."Apa kabar, Nak?" Suara itu terdengar begitu berat

  • Elegi Cinta Raisa   Bogem Mentah

    Kun meringis menahan sakit di bagian pelipisnya. Dia terkesiap setelah pandangannya teralih pada pria yang kini berada di dekat Raisa. Rasa kesal berjelanak, tapi dia tidak ada waktu untuk meladeninya saat ini. Raisa lebih penting dari apa pun."Raisa ...." Kun kembali berseru pelan."Pergi sekarang, atau aku tambah!" Pria di samping Raisa mengancam. Sementara, Raisa terisak. Terpahat rasa iba di wajahnya melihat sang mantan suami yang pelipisnya tampak lebam."Aku tidak punya urusan denganmu!" Kun sudah tegak berdiri. Dia melangkah pelan untuk mendekati Raisa.Sigap, Ben mengangkat tangan untuk menghadiahi pria di depannya dengan satu bogem berikutnya. Namun, Raisa berseru, "Jangan ...!"Merasa dibela, Kun terkekeh dengan menumbuk tatapan sinis kepada Ben yang terlihat kesal."Lihat. Raisa masih ingin mendengarkanku, jadi minggirlah!"Raisa menggeleng. "Aku minta kamu angkat kaki dari sini. Dan jangan pernah temui aku dan Nadia lagi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status