Share

Kemana Kun?

Raisa mengirimi Kun pesan W******p.

[Mas, pulang kan hari ini?] 

Sudah beberapa hari Kun tidak pulang. Benak Raisa tentu saja meraba-raba sebab apa Kun mulai berubah menjadi tidak acuh dan seolah menjauhinya. 

Suami mana yang tidak kecewa karena sang isteri tidak bisa memuaskan kebutuhan biologisnya. Setengah bulan sudah mereka menikah, tapi Raisa masih seperti gadis perawan ketika berhubungan badan. Raisa tidak bisa berpura-pura baik-baik saja ketika rasa sakit mendera, sehingga membuat Kun selalu keluar kamar meninggalkan Raisa dengan perasaan kesal.

Kun memang hanya izin bekerja sebelum pergi, tapi pekerjaan apa yang membuatnya tidak bisa pulang hingga tiga hari?

[Tidak tahu]

Raisa kembali menahan sakit saat membaca pesan Kun. Bukan hanya karena Kun tidak akan pulang lagi, tapi karena pesannya terlihat yang sangat cuek. Terlepas dari itu, Raisa sudah menyadari bahwa perubahan Kun sedikit banyak disebabkan oleh dirinya yang tidak bisa melayani suami dengan baik.

Raisa mengetik pesan balasan untuk Kun, beberapa kali pesan dihapus, diketik ulang, dihapus, diketik ulang. Begitu seterusnya. Hingga pada akhirnya Raisa mengirim balasan.

[Jangan sampai telat makan, Mas]

Beberapa menit Raisa menunggu balasan dari Kun, tapi tak kunjung tiba. Raisa menarik napas dalam-dalam. Apa yang harus dia lakukan? Apa perlu dia konsultasi ke dokter? Ya, benar. Apa salahnya dia konsultasi ke dokter tentang kondisinya. 

Sejurus kemudian, terdengar pintu diketuk. Raisa segera menyongsong seseorang yang berseru dari depan pintu mengajaknya sarapan.

“Non, sarapan sudah siap.” Bi Imas tersenyum ramah saat pintu pulai terbuka.

“Iya, Bi. Sebentar lagi saya turun,” sahut Raisa, membalas tersenyum pada Bi Imas. Setelah mengambil kerudung instan dan memasangnya Raisa keluar kamar untuk sarapan. Jangan sampai Sanjaya sampai menunggunya, dia tidak akan nyaman pada pria yang terlampau baik padanya itu.

Biasanya, Raisa pagi-pagi sudah akan berada di dapur membantu Bi Imas memasak. Namun, entah kenapa hari ini dia malas sekali untuk bergerak. Pertama kali melihat itu Bi Imas merasa rikuh atas sikap Raisa, bagaimana pun Raisa adalah majikannya, tidak pantas mengerjakan pekerjaan yang harusnya dikerjakan olehnya. Namun, karena Raisa memaksa, akhirnya Bi Imas mulai terbiasa.

“Kun belum pulang?” tanya Sanjaya ketika Raisa baru saja duduk.

“Belum, Pa,” jawab Raisa dengan tersenyum.

Sanjaya mendesah geram karena Kun masih belum pulang juga. Bagaimana bisa Kun bersikap seperti itu. Ingin rasanya Sanjaya mengumpati Kun yang ternyata tidak mengindahkan peringatannya agar jangan pernah menyakiti Raisa. 

“Mbak, ayo sarapan bareng,” ajak Raisa setelah melihat Delila baru saja dari arah kamar.

Perempuan itu menatap datar Raisa. Ingin rasanya Raisa bertanya kenapa Delila bersikap begitu dingin kepadanya, tapi belum menemukan waktu yang pas.

Sanjaya menatap Delila sebentar, dibalas dengan senyum oleh Delila.

“Iya, Del. Sebaiknya kamu sarapan bersama.” Sanjaya menimpali.

“Baik, Pak,” jawab Delila takzim. Kemudian melangkah menuju meja makan.

“Rumah ini sangat sepi,” celetuk Sanjaya di tengah-tengah sarapan pagi mereka. Raisa dan Delila mendongak. Keduanya menatap bingung kenapa tiba-tiba Sanjaya berkata demikian. Raisa membenarkan ucapan Sanjaya. Apalagi, saat Kun sedang tidak berada di rumah membuatnya semakin merasa kesepian.

“Papa harap segera memiliki cucu,” sambung Sanjaya. Menatap kearah Raisa sambil tersenyum. Matanya menjelaskan betapa rindunya lelaki itu pada sosok bayi mungil yang akan menemaninya setiap hari.

Raisa mencoba menyunggingkan senyum, tipis. Bagaimana mungkin Raisa bisa memberikan cucu pada Sanjaya sedangkan hubungan biologisnya dengan Kun tidak pernah sempurna. Bahkan tidak pernah sampai pelepasan, baik dirinya maupun Kun.

Kecuali Kun memiliki istri lain, mungkin bisa harapan Sanjaya terkabul. Ah, buru-buru Raisa menepis pikiran itu. Dia tidak akan sanggup jika sampai itu terjadi.

Di ujung meja, diam-diam Delila menahan perih saat memandang Sanjaya membahas itu. Perempuan itu menunduk sambil mengunyah makanan yang tiba-tiba hampir tidak bisa melewati kerongkongannya. Dia baru tersadar kalau keinginannya menikah dengan Kun akan semakin sulit dengan hadirnya Raisa. Dia harus segera mendesak Kun agar segera menikahinya. Jika tidak, terpaksa dia harus memikirkan siasat agar keinginannya bisa terwujud.

Air mata Delila hampir saja luruh mengingat kebodohan yang telah diperbuatnya. Tangannya pelan mengelus perutnya yang semakin menebal.

“Delila ... keluargamu apa kabar?” Sanjaya melibatkan Delila dalam percakapannya. 

Sontak Delila mendongak dengan sedikit sunggingan senyum.

“Baik, Pak.” Delila menjawab pendek. 

Raisa sempat teringat bahwa Delila sedang tidak baik-baik saja dengan suaminya. Namun, itu sudah setengah bulan yang lalu. Barangkali, sekarang sudah berangsur baik keluarga mereka. Raisa turut senang membayangkannya.

“Syukurlah. Kalau kamu ingin pulang, boleh. Sehari atau dua hari mungkin. Kamu jarang sekali pulang. Untuk sementara biar Raisa menggantikanmu.” Sanjaya menatap Delila teduh. Perempuan itu belakangan terlihat lebih pendiam. Apa ada masalah dengan keluarganya?

Delila hanya mengangguk, tatapannya beralih pada Raisa yang tersenyum memandangnya.

***

“Aku mau kuliah, Bu.” Pras berkata sangat hati-hati. Kedua orang tuanya seketika menoleh ke arah Pras demi mendengar penuturan anaknya itu. Kemudian keduanya saling tatap.

Hamid—bapaknya Pras—mengusap wajah. “Bapak mendukung, Pras. Sangat mendukung niatmu itu. Tapi, kamu tahu sendiri keadaan kita seperti apa.”

Pras paham. Sangat paham. Dengan keadaan ekonomi seperti sekarang, sangat wajar jika mereka berpikir pesimis. Berbeda ketika dulu Pras berangkat untuk kuliah di KL, semuanya biaya ditanggung. Oleh sebab itu, Pras sama sekali tidak ingin membebani mereka dengan menuruti egonya untuk tetap kuliah. Dia sudah memikirkan matang-matang langkah kedepannya jika jadi kuliah. Sambil berjalan mencari beasiswa dan tentu saja dia akan bekerja.

Pras tersenyum. “Pras hanya perlu biaya untuk pendaftaran awal saja, Pak. Nanti Pras bisa sambil cari beasiswa. Pras juga bisa bekerja.”

“Mau kerja apa, Nak?” tanya Murni—ibu Pras.

“Apa saja, Bu. Yang penting halal. Kerja serabutan atau kerja paruh waktu juga boleh.”

Pras menjawab mantap. Sorot matanya perlahan mengikis sedikit keraguan yang  sejak tadi menggelayuti wajah kedua orang tuanya.

“Tapi kamu harus mulai kuliah dari awal, Pras.” Hamid menimpali. Dia sudah sempat berdiskusi dengan Murni, ada baiknya Pras bekerja saja untuk mengumpulkan biaya nikah.

“Tidak apa, Pak,” jawab Pras. Pria itu sudah mantap dengan keputusannya. Tidak peduli jika harus mengulang dari awal lagi. Tidak peduli jika teman-temannya banyak yang berkeluarga, termasuk Raisa yang memilih untuk meninggalkannya menikah dengan lelaki lain. Namun, dirinya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Semua sudah ada yang mengatur, bukan? Ah, jika mengingatnya, selalu ada rasa perih menusuk-nusuk ulu hatinya.

“Ya, sudah kalau kamu maunya seperti itu.”

Pras tersenyum lebar saat mendengar ucapan bapaknya. Kali ini dia akan menggunakan kesempatan ini dengan baik. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status