Kun menurunkan Raisa di depan pintu kamar. Perempuan itu kembali dibuat takjub saat melihat ke dalam kamar yang luasnya hampir menyerupai luas rumahnya di desa. Setelah tubuh keduanya berada di dalam, Kun bergegas menarik Raisa menuju ranjang empuk dan mendorongnya dengan kasar. Kun tidak dapat lagi menguasai nafsunya yang memburu.
“Mas, aku capek. Nanti saja, ya.”
Terlihat Kun tidak peduli dengan ucapan Raisa. Dadanya yang sudah terbuka, terlihat turun naik menahan gejolak birahi yang memberontak. Maka, pasrah adalah pilihan satu-satunya yang bisa Raisa lakukan. Toh, dirinya sudah menjadi milik Kun seutuhnya, baiknya dia juga menikmati surga dunia yang banyak dibicarakan orang-orang.
Ketika ritual foreplay baru saja dimulai, Kun dibuat kesal oleh suara dering ponsel yang melengking dari dalam tas kecil Raisa.
Kun mendengkus kesal, “Sial!”
Pria yang sudah bertelanjang dada itu bangkit dan bergegas merogoh ponsel yang terus melengking memekakkan telinga. Kun menatap deretan nomor tanpa nama yang tertera di layar ponsel. Rasa kesal yang mengisi rongga dadanya tiba-tiba saja membuatnya ingin mengumpat orang di seberang sana. Menyimpan sebentar birahi yang menggila, Kun menggeser gambar hijau berbentuk gagang telepon.
“Halo, Raisa. Terima Kasih sudah bersedia mengangkat teleponku. Aku sudah berada di Bandara, baru saja landing. Dengarkan penjelasan ....”
Sambungan telepon berakhir. Kun melempar sembarang ponsel di tangannya ke atas kasur. Laki-laki itu menatap tajam Raisa yang terlihat cemas.
“Siapa dia?”
“Te-teman,” jawab Raisa gugup.
Kun tertegun sebentar, sebelum akhirnya gejolak nafsu kembali menguasainya. Pria itu melanjutkan ritual yang sempat terjeda. Dada Raisa bergemuruh hebat, menurut kabar yang pernah didengarnya, hubungan intim pertama kali akan menyisakan rasa sakit dibagian kelamin. Raisa menggigit bibir ketika mengingatnya. Sampai beberapa detik kemudian melebur menikmati setiap cumbuan Kun.
***
Seorang wanita meremas dada frustasi saat mendengar erangan erotis dari dalam kamar itu. Tubuhnya terasa lemas seakan tulangnya dilucuti satu-persatu. Wanita itu terduduk bersamaan dengan air mata yang luruh dari kedua netranya.
“Kamu jahat, Mas,” lirihnya. Tangannya yang sejak tadi meremas dada, kini perlahan turun mengelus perutnya yang datar.
Suara dari dalam kamar itu seperti belati yang menghunjam hati tanpa ampun. Wanita itu memejamkan mata, membuat air matanya melesat mebanjiri pipinya.
Kun yang sudah terpasung nafsu, sampai lupa untuk menutup pintu.
Wanita itu bangkit, melangkah gontai menuruni tangga. Luluh lantak hatinya mendapati pria yang telah menanam benih di rahimnya dan berjanji untuk bertanggung jawab kini malah membawa wanita lain.
Wanita itu bernama Delila, seseorang yang sejak tiga bulan lalu menjadi caregiver di rumah itu. Seorang laki-laki tua yang sudah berusia senja membutuhkan jasa wanita itu untuk merawat dan mencurahkan segenap perhatiannya.
Seiring berjalannya waktu, sebulan lamanya Delila bekerja di sana dia tidak hanya mendapatkan gaji yang fantastis dari seorang Kun, tetapi juga calon bayi yang diperolehnya dengan jalan haram. Meskipun Kun jarang sekali berkunjung ke rumah itu tidak lantas menyurutkan ide iblis untuk menjerumuskannya ke dalam kubangan dosa.
Masih kental di dalam ingatan Delila bagaimana semuanya terjadi dengan begitu mudah. Waktu itu, ketika Delila baru selesai mandi, tubuhnya yang hanya terbalut handuk menambah indah aksesoris dunia yang bersifat fitnah terbesar bagi kaum pria. Kun yang tidak sengaja melihatnya, menelan ludah dengan mata enggan berkedip.
Delila terlonjak kaget saat menoleh ke arah pintu yang tidak tertutup sempurna dan mendapati Kun sedang memperhatikannya dari luar.
“M-Mas ... ada apa?” tanya Delila kikuk. Segera ia menutupi bagian atas tubuhnya dengan kedua tangannya, berharap Kun segera berlalu dari depan kamarnya. Namun, alih-alih Kun pergi, pria itu justru semakin mendekat ke arah daun pintu.
“Aku perlu penggunting kuku. Kamu punya?” Kun mendorong pelan daun pintu dan melongokkan kepalanya ke dalam. Delila semakin gelagapan mendapati aksi Kun.
“A-ada, Mas. Sebentar.” Delila membuka laci untuk mencari benda yang dimaksud. Namun, Kun malah masuk ke dalam yang membuat dada Delila bergemuruh hebat. Apa yang akan dia lakukan? batinnya. Pikirannya semakin kalut saat pintu kamarnya ditutup oleh Kun dan dia mulai melancarkan aksinya. Berontak dari Delila tidak berarti apa-apa.
Tidak peduli haram, perzinahan sebelumnya telah membuat Kun candu. Hal serupa juga terus terjadi di hari-hari berikutnya. Delila yang diam-diam suka pada Kun mulai menikmati setiap pergumulan menjijikkan itu. Apalagi saat Kun mengatakan bahwa dia mencintai dirinya.
Hingga bulan berikutnya hubungan terlarang itu membuahkan hasil yang membuat Delila sangat terpukul dan frustasi.“Mas ... aku hamil,” tuturnya pada Kun.
“Apa?” Kun tersentak. Ia merutuki diri kenapa tidak terpikirkan akan hal itu.
“Mas harus bertanggung jawab,” lirih Delila.
Kun menyugar kasar. Wajahnya terlihat gusar. Ia hilir mudik di depan Delila yang terlihat cemas dan khawatir jika Kun lari dari tanggung jawab.“Mas?”
“Iya, iya. Kamu tenang saja. Aku pasti bertanggung jawab.”
Kun berlalu dari hadapan Delila. Berkali-kali Kun mendesak Delila agar menggugurkan kandungannya, berkali-kali pula perempuan itu menolaknya dengan tegas.
***
“Sial!” Kun mengumpat dalam hati karena tidak mendapatkan kepuasan pada saat berhubungan badan dengan Raisa. Raisa tidak menikmati setiap detik proses itu, dia meringis menahan sakit menghadapi Kun yang seperti orang keranjingan. Kun mencoba menetraslisir emosinya dengan berusaha paham bahwa tidak mudah bagi gadis yang baru pertama melakukannya.
Kun segera memasang pakainnya. Menoleh sebentar pada Raisa yang tersandar pada headboard, kemudian melangkah keluar.
Kun hendak menuju balkon ketika matanya menangkap Delila sedang menatapnya dari lantai bawah. Kun melangkah menuruni tangga untuk menyongsong Delila yang matanya terlihat sembab.“Ada apa?”
“Siapa perempuan itu Mas?”
Kun menoleh ke atas, khawatir jika Raisa melihat mereka sedang membicarakannya. Kemudian mengajak Delila agar beranjak dari tempat itu, menuju teras samping.
“Jawab, Mas!”
Kun yang sedang dikuasai emosi menatap Delila dengan mata nyalang. Kalau saja dia tidak teringat bahwa Delila sedang mengandung calon bayinya, niscaya tangannya tidak segan melayang menghantam pipi wanita itu. Kun mengusap wajah gusar.
“Aku sudah menikahinya.”
“A-apa?” Delila terbelalak. Menggeleng, menolak percaya atas apa yang baru saja didengarnya.
“Mas jahat! Kamu sudah berjanji akan bertanggung jawab, Mas!” Suara Delila melengking nyaring. Kedua tangannya memukul-mukul dada bidang Kun. Tangisnya pecah, tersadar bahwa Kun telah mempermainkannya.
“Ck! Jangan bodoh, Delila. Aku memang berkata akan bertanggung jawab, tapi bukan berarti tidak akan menikahi wanita lain.”
Delila tersimpuh, mendelik ke arah Kun, sebelum akhirnya menunduk menekuri lantai. Tergugu menahan isak yang enggan berhenti.
“Seharusnya kamu mengikuti saranku agar menggugurkannya, Delila.”
“Sampai kapan pun aku tidak akan melakukannya. Demi apa pun itu!”
“Terserah kamu! Yang jelas, jangan sampai siapa pun tahu masalah ini. Ingat itu!”
Delila semakin tergugu. Rasa ragu perlahan beringsut merasuki benaknya. Betapa tidak, saat didesak agar segera menikahinya Kun beralasan bahwa dia banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di desa. Namun, kini lelaki itu telah terang-terangan menunjukkan bahwa semua kesibukan itu hanya omong kosong belaka dengan menikahi Raisa.
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan.”
Kun menjongkok dan menjawil lembut pipi Delila, menghapus air matanya sambil tersenyum manis. Kemudian bangkit dan beranjak dari hadapan Delila.
Akan tetapi, betapa terkejutnya Kun, saat berbalik badan ternyata Raisa berada tidak jauh darinya.
Sepanjang jalan taxi online yang ditumpangi Pras lengang, hanya terdengar deru halus dari mesin mobil. Sesekali driver melirik kaca spion kecil di atas kepalanya, mencari tahu apa sebab laki-laki di bangku belakang terlihat sedih.Pras menatap keluar, menyapu kampung halaman yang tidak banyak berubah sejak setahun lalu. Hanya perubahan-perubahan kecil seperti tanah-tanah kosong yang sudah mulai ditanami bangunan-bangunan dengan folding gate. Sepertinya orang-orang desa sudah mulai berpikir maju dengan mendirikan ruko-ruko kecil sebagai tempat usaha, pikirnya.“Pak ... Pak, berhenti sebentar.” Pras meminta driver untuk menghentikan mobil ketika berada di depan rumah Sulaiman. Dia memasang mata dengan seksama, memperhatikan setiap jengkal halaman dan rumah tua itu. Pras memicingkan mata, benaknya mulai menduga-duga bahwa Raisa telah berbohong jika telah menikah, sebab Pras tidak melihat tanda-tanda diadakannya pesta pernikahan.“Ini
Kun yang ingin melangkah ke dalam terpaksa urung setelah melihat Raisa tengah berdiri di samping tembok pembatas teras. Entah sejak kapan Raisa berada disitu? Keterkejutan jelas berjejak di mata Kun yang membulat. “Raisa!” Kun terlonjak. Mendapati ekspresi Kun, Raisa mengernyit bingung. “Kenapa, Mas? Kok, seperti lihat hantu gitu?” Kun mengembuskan napas pelan saat tidak melihat gurat curiga dari wajah sang istri. Ia menyunggingkan senyum, keterkejutannya seketika menghilang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Em, tidak.” Kun mengangkat bahu. Lalu pandangan Raisa beralih pada sosok wanita yang berada di belakang Kun. Kepalanya dijubeli tanda tanya saat wanita itu terlihat habis menangis. Kun memutar kepalanya kebelakang. “Sayang, perkenalkan dia Delila.” Kun menunjuk Delila yang mematung dengan wajah datar. Raisa melangkah mendekat sambil tersenyum, meskipun rasa heran masih menggantung di wajahnya, bertanya-tanya kenap
“Pakai ini!”Kun melemparkan sepotong lingerie di depan Raisa yang sedang mengotak-atik ponselnya. Raisa mengernyit melihat pakaian aneh itu, pakaian yang tidak pernah terbayangkan untuk dikenakannya.“Apa ini, Mas?”“Aku ingin kamu mengenakannya setiap akan tidur.” Kun duduk di dekat Raisa seraya menjulurkan tangan untuk menyentuh wajah lembut perempuan itu. Namun, Raisa mengelak saat tangan itu tinggal beberapa senti dari pipinya. Senyum manis Kun seketika menguncup, menandakan bahwa dia tidak suka dengan sikap Raisa.“Aku ... aku tidak biasa pakai itu, Mas.”“Makanya harus dibiasakan mulai sekarang. Kamu akan terlihat cantik dengan pakaian itu, Sayang.” Kun tersenyum genit. Matanya yang tajam menatap lamat-lamat Raisa. Nafasnya mulai memburu menahan gejolak nafsu. Dada Raisa berdegup kencang saat nafas Kun menyapu wajahnya.“Cepatlah, Sayang. Aku tidak bisa menunggu lebih l
Raisa segera melangkah menuju kamarnya setelah memberikan teh tawar pada Sanjaya, mertuanya. Dengan perasaan bimbang, perempuan itu meniti satu-persatu tangga menuju lantai dua. Perempuan itu berhenti di depan kamar, kembali mengingat suara erangan, baju Delila yang kancing bagian atasnya tidak terpasang, serta tingkahnya yang gugup saat bertemu Raisa. Apa mungkin Kun ... ah, Raisa segera menepis pikiran itu untuk kesekian kalinya.Perempuan itu mulai membuka pintu kamar dan masuk. Alangkah leganya saat matanya menangkap Kun tengah berbaring di atas kasur sambil memainkan ponsel.Sejak kapan Kun berada di dalam kamar? Ah, itu tidak penting. Yang penting saat ini adalah dugaan-dugaan negatif yang sejak tadi menderanya tidak benar-benar terjadi.“Mas ke mana?”“Aku?”“Iya. Siapa lagi? Memangnya aku bicara dengan siapa lagi?”Kun mengernyit, menatap sang istri lamat-lamat.“Bukannya aku ada
Raisa mengirimi Kun pesan WhatsApp.[Mas, pulang kan hari ini?]Sudah beberapa hari Kun tidak pulang. Benak Raisa tentu saja meraba-raba sebab apa Kun mulai berubah menjadi tidak acuh dan seolah menjauhinya.Suami mana yang tidak kecewa karena sang isteri tidak bisa memuaskan kebutuhan biologisnya. Setengah bulan sudah mereka menikah, tapi Raisa masih seperti gadis perawan ketika berhubungan badan. Raisa tidak bisa berpura-pura baik-baik saja ketika rasa sakit mendera, sehingga membuat Kun selalu keluar kamar meninggalkan Raisa dengan perasaan kesal.Kun memang hanya izin bekerja sebelum pergi, tapi pekerjaan apa yang membuatnya tidak bisa pulang hingga tiga hari?[Tidak tahu]Raisa kembali menahan sakit saat membaca pesan Kun. Bukan hanya karena Kun tidak akan pulang lagi, tapi karena pesannya terlihat yang sangat cuek. Terlepas dari itu, Raisa sudah menyadari bahwa perubahan Kun sedikit banyak disebabkan oleh dirinya yang
Dering ponsel membuat tidur Kun terusik. Siapa yang pagi-pagi begini meneleponnya? Dengan susah payah Kun meraih ponsel yang terus melengking memekakkan telinganya. Dia menggeser tombol berwarna hijau tanpa melihat siapa yang sedang menelepon.“Halo?” seru Kun dengan suara serak.“Halo. Mas, kamu di mana?”Ketika mendengar suara perempuan di ujung telepon, Kun melebarkan jarak ponsel dari telinganya, menatap layarnya dengan mata terpicing. Ah, Delila. Kun mendesah malas.“Ada apa?”“Mas jangan mengelak terus. Aku mohon, Mas. Perutku semakin hari semakin membesar. Kapan Mas akan menikahiku?”Dari seberang telepon suara Delila terdengar mengiba. Namun, Kun benar-benar terganggu dengan telepon dari perempuan itu, apalagi dengan topik yang kontan membuat kepala Kun berdenyut.“Aku sudah berkali-kali bilang sama kamu, Delila, aku pasti bertanggung jawab. Tapi tidak sekarang. Aku s
Semburat cerah menjalar di wajah Pras saat melihat Raisa mendekat kepadanya. Perlahan senyumnya tersungging. Selain karena kasihan pada Pras jika membatalkan ojek, Raisa juga bisa terlambat untuk bertemu dengan Dokter Farah.“Terima kasih.” Dua kata keluar dari mulut Pras saat Raisa berada di dekatnya. Tangannya terjulur untuk memberi helm kepada perempuan di sampingnya. Raisa sama sekali tidak tertarik untuk menanggapi sikap ramah Pras.Ketika Pras sudah siap memegang stang, Raisa naik. Menjaga jarak, duduk di ujung jok dengan berpegangan pada behel sepeda motor. Setelah memastikan Raisa siap, Pras memacu kendaraannya memecah jalan.“Apa kabar?” Setelah cukup lama keduanya berdiam diri, akhirnya Pras menanyakan kabar.Namun, Raisa lagi-lagi tidak menanggapi ucapan Pras. Pria itu mafhum, keadaan sudah tidak sama lagi seperti dulu. Raisa punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan Pras setelah semua yang terjadi.Keduanya kemba
“Apa yang ingin kamu bicarakan? Cepatlah, aku harus segera pulang.” Raisa menatap lamat-lamat pria di depannya.“Aku minta maaf, Raisa ....” Pras berkata pelan dan langsung disambar oleh Raisa sebelum pria itu merampungkan ucapannya. Perih hati Pras.“Kamu tidak perlu minta maaf.” Raisa berusaha tegar, menatap jauh ke samping kanan. Memandang kosong lalu lalang kendaraan di atas aspal yang terpanggang matahari. Sebenarnya, cappucino dingin di depannya terlihat sangat menggoda di cuaca panas seperti ini, tapi entahlah, tiba-tiba dia tidak berselera walau hanya sekadar menyentuhnya.“Dengarkan penjelasanku ....”“Semua sudah jelas, Pras. Aku sudah menjadi istri orang lain. Apa lagi yang kamu harapkan dariku?” Raisa menatap Pras dengan mata berkaca-kaca.Sakit rasanya saat wanita di hadapannya tidak lagi memanggilnya dengan sebutan “Mas” seperti biasanya.“Semua