Share

Pras yang Malang

Sepanjang jalan taxi online yang ditumpangi Pras lengang, hanya terdengar deru halus dari mesin mobil. Sesekali driver melirik kaca spion kecil di atas kepalanya, mencari tahu apa sebab laki-laki di bangku belakang terlihat sedih.

Pras menatap keluar, menyapu kampung halaman yang tidak banyak berubah sejak setahun lalu. Hanya perubahan-perubahan kecil seperti tanah-tanah kosong yang sudah mulai ditanami bangunan-bangunan dengan folding gate. Sepertinya orang-orang desa sudah mulai berpikir maju dengan mendirikan ruko-ruko kecil sebagai tempat usaha, pikirnya.

“Pak ... Pak, berhenti sebentar.” Pras meminta driver untuk menghentikan mobil ketika berada di depan rumah Sulaiman. Dia memasang mata dengan seksama, memperhatikan setiap jengkal halaman dan rumah tua itu. Pras memicingkan mata, benaknya mulai menduga-duga bahwa Raisa telah berbohong jika telah menikah, sebab Pras tidak melihat tanda-tanda diadakannya pesta pernikahan.

“Ini rumahnya, Mas?” tanya sang driver bingung. Karena tempat pemberhentian saat ini tidak sesuai dengan titik lokasi pengantaran yang berada di GPS.

“Bukan, Pak. Tunggu sebentar, ya, Pak.” Pras akhirnya turun dari mobil. Melangkah menuju rumah itu untuk menghilangkan cemas dan waswas yang sejak tadi mengkungkung.

Pras tersenyum ketika melihat seorang anak perempuan berusia sekitar sebelas tahun melangkah menuju teras. Anak itu menghentikan langkah ketika menjangkau seseorang berdiri di depan rumahnya. Pras tahu persis anak itu, namanya Nesha, adik bungsu Raisa. Apakah anak itu lupa dengannya yang dulu sering berkunjung ke sini?

“Nesha ....” Pras menyapa ramah. 

Nesha kebingungan, ia benar-benar tidak mengenali sosok pria tegap yang berada di hadapannya saat ini. Ia pun memutar arah, melangkah ke dalam seraya berseru memanggil bapaknya.

Lelaki paruh baya dengan kaos oblong putih melangkah keluar untuk menyongsong siapa yang berada di depan. Matanya memicing saat menjangkau pria di depan teras tersenyum ramah. Senyum tipis tersungging untuk menyambut. Sejurus kemudian, senyum itu sirna saat matanya benar-benar mengenali siapa sosok yang bertamu kali ini.

“Assalamualaikum, Pak.”

Sulaiman tertegun untuk beberapa saat.

“Wa-walaikum salam. Silahkan.”

Gurat canggung dari Sulaiman tertangkap jelas oleh Pras. Seutuhnya dia paham kenapa bisa demikian. Berita tentang pelecehan seksual yang dituduhkan padanya di Kuala Lumpur beberapa bulan lalu pasti sudah menyebar ke seantero desa dan menjadi bahan perbincangan. Akan tetapi, apakah mereka tahu bahwa itu hanyalah fitnah?

Setelah sebulan meringkuk di dalam bui dan mengenyam bermacam-macam siksaan, akhirnya Pras bebas setelah dinyatakan tidak bersalah. Namun, sayang, pelajarannya di Universitas Malaya (UM) harus rela ia tinggalkan setelah dikeluarkan secara tidak hormat.

“Gimana kabarnya, Pak. Sehat?”

“Alhamdulillahs sehat.”

Teras rumah sulaiman lengang. Ekor mata Pras menyapu pintu yang terbuka lebar, berharap seorang wanita yang sangat dirinduinya menampakkan diri.

“Yang lain ... apa kabar, Pak? Sehat?” Pras bertanya lagi, memecah canggung.

Sulaiman mengangguk samar. Mencoba untuk menyuguhkan senyum hanya untuk sopan santun terhadap tamu. Sebagaimana warga desa yang lain, Sulaiman juga tidak menyangka bahwa Pras yang terkenal pintar dan berbudi pekerti luhur telah melakukan tindakan asusila di negeri orang. Apalagi, sebelumnya dia tahu bahwa Pras memiliki hubungan dengan Raisa, dan dia sangat mengamini hubungan tersebut.

“Alhamdulillah, sehat semua.”

Pras meneguk ludah, menyadari bahwa keadaannya telah berubah, tidak seperti dulu. Semuanya hancur. Detik berikutnya Pras tersadar bahwa driver taxi tumpangannya pasti sudah sangat bosan menunggu. Ia menoleh kebelakang, tapi enggan beranjak sebelum mengetahui bagaimana keadaan Raisa saat ini. Bukan, bukan itu. Tapi, apakah benar Raisa telah menikah?

“Raisa? Raisa ... Raisa di mana, Pak?” Akhirnya pertanyaan utama itu keluar juga setelah sempat tercekat. 

Sulaiman tersenyum. “Raisa ikut suaminya.”

Bagai terhantam godam, jantung Pras seolah berhenti berdetak setelah mendengar ucapan Sulaiman. Raisa, wanita yang sangat ia cintai itu benar-benar telah menikah. Ingin sekali saat ini Pras berontak untuk melampiaskan kekecewaannya. Namun, semua itu hanya akan sia-sia.

Dengan mata mulai kemerahan dan berair, Pras hanya bisa menunduk pasrah. Jelas sudah, Raisa bukan jodohnya. Dia telah memilih jalannya sendiri, melupakan semua janji-janji setia yang pernah terucap.

Pras mencoba meneguk ludah berkali-kali, tapi tenggorokannya terasa kerontang.

“Saya permisi, Pak.” Pras mendongak dan berusaha tersenyum. 

Sulaiman mengembuskan napas lega, ini yang sejak tadi diharapkan olehnya.

“Oh, iya.” Sulaiman berdiri setelah melihat pria di hadapannya berdiri. 

Pras menyalami Sulaiman takzim dan berlalu dari hadapannya setelah sebelumnya megucapkan salam.

Pras melangkah gontai menuju mobil yang terparkir di bahu jalan. Dengan perasaan berkecamuk dia menjawil gagang pintu mobil lalu menariknya. Menghempaskan bokongnya kasar setelah pintu terbuka. Laki-laki yang berada di balik kemudi melihat Pras dari kaca spion kecil di atasnya yang terlihat semakin sedih. Terlepas dari hatinya yang hancur, Pras masih beruntung mendapatkan driver yang sangat baik yang tidak menghujaninya dengan umpatan-umpatan karena telah membiarkannya menunggu lama.

“Jalan, Pak,” ucap Pras pelan. Ucapan Pras disahut oleh deru mobil yang menggerung, kemudian mobil itu berjalan pelan membelah jalan desa.

“Ada masalah, Mas Pras?” Sang driver yang sudah berusia hampir setengah abad itu mencoba memotong sunyi, bertanya dengan menyebut nama agar terdengar lebih akrab. Mencoba untuk menampung keluh kesah yang kini menohok sang pemuda di belakang. Dengan kecepatan saat ini, estimasi waktu untuk sampai ke tempat tujuan masih 37 menit lagi. 

Pras hanya tersenyum getir saat menatap kaca spion dan mata keduanya bersirobok. Sang driver balas tersenyum.

“Dunia memang tempat masalah, Mas Pras. Terkadang masalah itulah yang akan membuat kita bertumbuh lebih dewasa.” Orang tua itu bekata sangat hati-hati agar tidak sampai membuat Pras tersinggung.

Mobil kembali senyap. Sang driver tidak melanjutkan kalimatnya, menunggu apakah Pras bersedia diajak bicara atau tidak.

“Wanita yang berjanji akan menungguku sudah menikah, Pak Bin.” Akhirnya Pras mengeluarkan kalimatnya. Unek-unek yang menjadi sebabnya terlihat sangat sedih.

“Siapa?”

“Namanya Raisa, kami sudah pacaran dua tahun.”

Menanggapi ucapan Pras, Pak Bin hanya tertawa kecil. Membuat Pras seketika melirik kaca spion di depan.

“Kita merasa kehilangan karena kita merasa memiliki, Mas Pras. Bukankah diri kita sendiri bukan milik kita?”

Pras tersentak, memperhatikan siapa sebenarnya sosok yang kini menjadi sopir di depannya.

“Semakin kita beharap, maka peluang kecewa akan semakin besar.” Pak Bin melanjutkan, melirik kaca spion di atasnya dan mendapati Pras sedang menyandarkan kepalanya pada bangku, matanya menatap keluar.

“Bagaimanapun saya juga pernah muda, Mas Pras. Dan saya pernah mengalami persis dengan apa yang dialami sama Mas Pras saat ini.” Pak Bin tertawa kecil, matanya menatap kosong jalan, mencoba mengingat-ingat potongan kisah menyakitkan miliknya.

Pras menatap spion di atas Pak Bin.

“Dari itu saya sadar, bahwa mencintai itu sewajarnya saja, boleh jadi yang kita cinta saat ini  akan menjadi orang yang kita benci di kemudian hari. Pun membenci sekadarnya saja, besok-besok kita tidak tahu bahwa yang kita benci saat ini akan jadi orang kita cintai nantinya.”

Pras mengusap wajah setelah mencerna setiap kalimat Pak Bin. Kemudian Pras menyandarkan kembali kepalanya pada bangku, memejamkan mata, berharap setelah membuka mata mobil sudah sampai di depan rumahnya.

Perjalanan sudah tersisa satu menit lagi. Mobil semakin berjalan pelan, karena banyak papan peringatan  bahwa di daerah itu banyak anak-anak. Sekitar lima puluh meter dari tempat tujuan, mobil tiba-tiba berguncang karena menabrak “polisi tidur”. Pak Bin tidak melihatnya. 

Sontak Pras terbangun dari tidurnya dan berseru, “Astaghfirullah!”

Pak Bin tertawa kecil. “Maaf, Mas. Saya tidak melihat kalau ada ‘aparat tidur’ di jalanan.”

“Iya, tidak apa-apa, Pak Bin.”

“Persis seperti perjalanan hidup, Mas. Terkadang butuh goncangan baru kita akan mengingat Allah.”

Pras beristigfar berkali-kali dalam hati, membenarkan apa yang dikatakan oleh Pak Bin.

“Sudah sampai, Mas.” Akhirnya mobil berhenti.

“Terima kasih, Pak Bin.” Pras membuka pintu mobil dan bergegas turun.

Pak Bin membuka kaca mobil dan melemparkan senyum pada Pras yang mulai memasang tas ranselnya.

“Mampir dulu, Pak Bin,” tawar Pras.

“Tidak usah, belum sampai target.” Pak Bin tertawa. Mendengar itu Pras merasa bersalah karena telah banyak menyita waktu kerja Pak Bin. 

Mobil itu berlalu dari hadapan Pras setelah sebelumnya keduanya bersalaman.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status