Accueil / Romansa / Elegi Cinta Raisa / Pras yang Malang

Share

Pras yang Malang

Auteur: Haris Fayadh
last update Dernière mise à jour: 2021-08-03 16:00:28

Sepanjang jalan taxi online yang ditumpangi Pras lengang, hanya terdengar deru halus dari mesin mobil. Sesekali driver melirik kaca spion kecil di atas kepalanya, mencari tahu apa sebab laki-laki di bangku belakang terlihat sedih.

Pras menatap keluar, menyapu kampung halaman yang tidak banyak berubah sejak setahun lalu. Hanya perubahan-perubahan kecil seperti tanah-tanah kosong yang sudah mulai ditanami bangunan-bangunan dengan folding gate. Sepertinya orang-orang desa sudah mulai berpikir maju dengan mendirikan ruko-ruko kecil sebagai tempat usaha, pikirnya.

“Pak ... Pak, berhenti sebentar.” Pras meminta driver untuk menghentikan mobil ketika berada di depan rumah Sulaiman. Dia memasang mata dengan seksama, memperhatikan setiap jengkal halaman dan rumah tua itu. Pras memicingkan mata, benaknya mulai menduga-duga bahwa Raisa telah berbohong jika telah menikah, sebab Pras tidak melihat tanda-tanda diadakannya pesta pernikahan.

“Ini rumahnya, Mas?” tanya sang driver bingung. Karena tempat pemberhentian saat ini tidak sesuai dengan titik lokasi pengantaran yang berada di GPS.

“Bukan, Pak. Tunggu sebentar, ya, Pak.” Pras akhirnya turun dari mobil. Melangkah menuju rumah itu untuk menghilangkan cemas dan waswas yang sejak tadi mengkungkung.

Pras tersenyum ketika melihat seorang anak perempuan berusia sekitar sebelas tahun melangkah menuju teras. Anak itu menghentikan langkah ketika menjangkau seseorang berdiri di depan rumahnya. Pras tahu persis anak itu, namanya Nesha, adik bungsu Raisa. Apakah anak itu lupa dengannya yang dulu sering berkunjung ke sini?

“Nesha ....” Pras menyapa ramah. 

Nesha kebingungan, ia benar-benar tidak mengenali sosok pria tegap yang berada di hadapannya saat ini. Ia pun memutar arah, melangkah ke dalam seraya berseru memanggil bapaknya.

Lelaki paruh baya dengan kaos oblong putih melangkah keluar untuk menyongsong siapa yang berada di depan. Matanya memicing saat menjangkau pria di depan teras tersenyum ramah. Senyum tipis tersungging untuk menyambut. Sejurus kemudian, senyum itu sirna saat matanya benar-benar mengenali siapa sosok yang bertamu kali ini.

“Assalamualaikum, Pak.”

Sulaiman tertegun untuk beberapa saat.

“Wa-walaikum salam. Silahkan.”

Gurat canggung dari Sulaiman tertangkap jelas oleh Pras. Seutuhnya dia paham kenapa bisa demikian. Berita tentang pelecehan seksual yang dituduhkan padanya di Kuala Lumpur beberapa bulan lalu pasti sudah menyebar ke seantero desa dan menjadi bahan perbincangan. Akan tetapi, apakah mereka tahu bahwa itu hanyalah fitnah?

Setelah sebulan meringkuk di dalam bui dan mengenyam bermacam-macam siksaan, akhirnya Pras bebas setelah dinyatakan tidak bersalah. Namun, sayang, pelajarannya di Universitas Malaya (UM) harus rela ia tinggalkan setelah dikeluarkan secara tidak hormat.

“Gimana kabarnya, Pak. Sehat?”

“Alhamdulillahs sehat.”

Teras rumah sulaiman lengang. Ekor mata Pras menyapu pintu yang terbuka lebar, berharap seorang wanita yang sangat dirinduinya menampakkan diri.

“Yang lain ... apa kabar, Pak? Sehat?” Pras bertanya lagi, memecah canggung.

Sulaiman mengangguk samar. Mencoba untuk menyuguhkan senyum hanya untuk sopan santun terhadap tamu. Sebagaimana warga desa yang lain, Sulaiman juga tidak menyangka bahwa Pras yang terkenal pintar dan berbudi pekerti luhur telah melakukan tindakan asusila di negeri orang. Apalagi, sebelumnya dia tahu bahwa Pras memiliki hubungan dengan Raisa, dan dia sangat mengamini hubungan tersebut.

“Alhamdulillah, sehat semua.”

Pras meneguk ludah, menyadari bahwa keadaannya telah berubah, tidak seperti dulu. Semuanya hancur. Detik berikutnya Pras tersadar bahwa driver taxi tumpangannya pasti sudah sangat bosan menunggu. Ia menoleh kebelakang, tapi enggan beranjak sebelum mengetahui bagaimana keadaan Raisa saat ini. Bukan, bukan itu. Tapi, apakah benar Raisa telah menikah?

“Raisa? Raisa ... Raisa di mana, Pak?” Akhirnya pertanyaan utama itu keluar juga setelah sempat tercekat. 

Sulaiman tersenyum. “Raisa ikut suaminya.”

Bagai terhantam godam, jantung Pras seolah berhenti berdetak setelah mendengar ucapan Sulaiman. Raisa, wanita yang sangat ia cintai itu benar-benar telah menikah. Ingin sekali saat ini Pras berontak untuk melampiaskan kekecewaannya. Namun, semua itu hanya akan sia-sia.

Dengan mata mulai kemerahan dan berair, Pras hanya bisa menunduk pasrah. Jelas sudah, Raisa bukan jodohnya. Dia telah memilih jalannya sendiri, melupakan semua janji-janji setia yang pernah terucap.

Pras mencoba meneguk ludah berkali-kali, tapi tenggorokannya terasa kerontang.

“Saya permisi, Pak.” Pras mendongak dan berusaha tersenyum. 

Sulaiman mengembuskan napas lega, ini yang sejak tadi diharapkan olehnya.

“Oh, iya.” Sulaiman berdiri setelah melihat pria di hadapannya berdiri. 

Pras menyalami Sulaiman takzim dan berlalu dari hadapannya setelah sebelumnya megucapkan salam.

Pras melangkah gontai menuju mobil yang terparkir di bahu jalan. Dengan perasaan berkecamuk dia menjawil gagang pintu mobil lalu menariknya. Menghempaskan bokongnya kasar setelah pintu terbuka. Laki-laki yang berada di balik kemudi melihat Pras dari kaca spion kecil di atasnya yang terlihat semakin sedih. Terlepas dari hatinya yang hancur, Pras masih beruntung mendapatkan driver yang sangat baik yang tidak menghujaninya dengan umpatan-umpatan karena telah membiarkannya menunggu lama.

“Jalan, Pak,” ucap Pras pelan. Ucapan Pras disahut oleh deru mobil yang menggerung, kemudian mobil itu berjalan pelan membelah jalan desa.

“Ada masalah, Mas Pras?” Sang driver yang sudah berusia hampir setengah abad itu mencoba memotong sunyi, bertanya dengan menyebut nama agar terdengar lebih akrab. Mencoba untuk menampung keluh kesah yang kini menohok sang pemuda di belakang. Dengan kecepatan saat ini, estimasi waktu untuk sampai ke tempat tujuan masih 37 menit lagi. 

Pras hanya tersenyum getir saat menatap kaca spion dan mata keduanya bersirobok. Sang driver balas tersenyum.

“Dunia memang tempat masalah, Mas Pras. Terkadang masalah itulah yang akan membuat kita bertumbuh lebih dewasa.” Orang tua itu bekata sangat hati-hati agar tidak sampai membuat Pras tersinggung.

Mobil kembali senyap. Sang driver tidak melanjutkan kalimatnya, menunggu apakah Pras bersedia diajak bicara atau tidak.

“Wanita yang berjanji akan menungguku sudah menikah, Pak Bin.” Akhirnya Pras mengeluarkan kalimatnya. Unek-unek yang menjadi sebabnya terlihat sangat sedih.

“Siapa?”

“Namanya Raisa, kami sudah pacaran dua tahun.”

Menanggapi ucapan Pras, Pak Bin hanya tertawa kecil. Membuat Pras seketika melirik kaca spion di depan.

“Kita merasa kehilangan karena kita merasa memiliki, Mas Pras. Bukankah diri kita sendiri bukan milik kita?”

Pras tersentak, memperhatikan siapa sebenarnya sosok yang kini menjadi sopir di depannya.

“Semakin kita beharap, maka peluang kecewa akan semakin besar.” Pak Bin melanjutkan, melirik kaca spion di atasnya dan mendapati Pras sedang menyandarkan kepalanya pada bangku, matanya menatap keluar.

“Bagaimanapun saya juga pernah muda, Mas Pras. Dan saya pernah mengalami persis dengan apa yang dialami sama Mas Pras saat ini.” Pak Bin tertawa kecil, matanya menatap kosong jalan, mencoba mengingat-ingat potongan kisah menyakitkan miliknya.

Pras menatap spion di atas Pak Bin.

“Dari itu saya sadar, bahwa mencintai itu sewajarnya saja, boleh jadi yang kita cinta saat ini  akan menjadi orang yang kita benci di kemudian hari. Pun membenci sekadarnya saja, besok-besok kita tidak tahu bahwa yang kita benci saat ini akan jadi orang kita cintai nantinya.”

Pras mengusap wajah setelah mencerna setiap kalimat Pak Bin. Kemudian Pras menyandarkan kembali kepalanya pada bangku, memejamkan mata, berharap setelah membuka mata mobil sudah sampai di depan rumahnya.

Perjalanan sudah tersisa satu menit lagi. Mobil semakin berjalan pelan, karena banyak papan peringatan  bahwa di daerah itu banyak anak-anak. Sekitar lima puluh meter dari tempat tujuan, mobil tiba-tiba berguncang karena menabrak “polisi tidur”. Pak Bin tidak melihatnya. 

Sontak Pras terbangun dari tidurnya dan berseru, “Astaghfirullah!”

Pak Bin tertawa kecil. “Maaf, Mas. Saya tidak melihat kalau ada ‘aparat tidur’ di jalanan.”

“Iya, tidak apa-apa, Pak Bin.”

“Persis seperti perjalanan hidup, Mas. Terkadang butuh goncangan baru kita akan mengingat Allah.”

Pras beristigfar berkali-kali dalam hati, membenarkan apa yang dikatakan oleh Pak Bin.

“Sudah sampai, Mas.” Akhirnya mobil berhenti.

“Terima kasih, Pak Bin.” Pras membuka pintu mobil dan bergegas turun.

Pak Bin membuka kaca mobil dan melemparkan senyum pada Pras yang mulai memasang tas ranselnya.

“Mampir dulu, Pak Bin,” tawar Pras.

“Tidak usah, belum sampai target.” Pak Bin tertawa. Mendengar itu Pras merasa bersalah karena telah banyak menyita waktu kerja Pak Bin. 

Mobil itu berlalu dari hadapan Pras setelah sebelumnya keduanya bersalaman.

Bersambung

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Elegi Cinta Raisa   Epilog

    Saat itu, setelah mendapatkan kecewa lagi dari perempuan yang sangat dicintainya, Ben langsung pergi begitu saja, tidak menghiraukan panggilan Raisa.Beberapa hari terakhir, pria itu juga tidak masuk kantor. Raisa semakin gelisah sebab nomor Ben tak dapat dihubungi.Raisa berjalan menuju sebuah rungan di mana Pras berada. Barangkali dia tahu di mana keberadaan Ben kini."Pak Ben tidak masuk kerja beberapa hari. Kamu tahu dia ke mana?""Ben sedang ke luar negeri. Aku tidak tahu pasti ada urusan apa," jawab Pras.Raisa tersenyum dan berterima kasih. Lalu dia berderap keluar ruangan.Waktu pulang tiba. Rasa penat yang mendera kian bertambah saat Dokter Farah menunjukkan sebuah foto.Raisa membekap mulut saat tiba-tiba dadanya terasa terhimpit."Ini Pak Ben, bukan?" Dokter Farah awalnya ragu untuk memberi tahu Raisa. Namun, jika mendiamkannya, sama halnya dengan mengkhianati Raisa.Raisa tak mampu berkata-kata, dia han

  • Elegi Cinta Raisa   Kecewa

    Ben tidak kuasa menahan cemburu saat Raisa bertemu Kun. Bayangan Kun ketika membingkai wajah Raisa bergelantungan di matanya. Kejadian empat hari lalu itu benar-benar membuat hatinya perih.Ben mendengkus, sebelum akhirnya Raisa masuk dengan membawa sebuah baki berisi segelas teh dan kudapan."Ada apa?" tanya Raisa. Perempuan itu mengambil posisi duduk di depan Ben."Tidak ada apa-apa, Raisa." Ben berbohong.Raisa mengangguk dengan senyum lembut tersungging. Kemudian dia berlalu dari hadapan Ben.Tadi pagi, Sanjaya mengabarkan pada Raisa jika Kun akan dibawa pulang besok. Berkat Raisa yang selalu datang menemui Kun, kondisi pria itu berangsur pulih.Sementara, Raisa merasa ragu untuk memberi tahu Ben jika setiap hari dirinya mengunjungi Kun. Takut pria itu cemburu.Setelah mempertimbangkan, Raisa memutuskan untuk tetap merahasiakannya pada Ben. Dia yakin sebentar lagi Kun akan kembali seperti sediakala dan dirinya tidak perlu mengunju

  • Elegi Cinta Raisa   Mengamuk

    Sanjaya semringah melihat Kun tersenyum. Sudah sangat lama dirinya tidak melihat sang anak segembira itu. Hampir setiap malam, Kun mengalami mimpi buruk.Lalu saat terjaga, maka yang selalu disebut adalah nama Raisa. Hingga sakit yang diderita Kun semakin parah dan tubuhnya semakin kurus.Beberapa psikiater sudah dikunjungi. Akan tetapi, tidak ada hasil signifikan. Semua menyarankan agar Kun dipertemukan dengan seseorang yang selalu disebutnya.Semakin hari, Kun semakin aneh. Nama Raisa selalu diracaukan olehnya. Terkadang, ketika melihat seorang wanita berhijab, maka dia tersenyum girang dan sambil berseru nama Raisa. Begitu mendekat, maka senyum itu menguncup."Raisa ...."Raisa yang sejak tadi melamun, menoleh ke arah Sanjaya di sampingnya. Menunggu kalimat lanjukan yang akan dikatakan oleh pria itu.Hari sudah hampir gelap. Sesuai janjinya, Sanjaya akan mengantar perempuan itu pulang."Terima kasih," ucap Sanjaya.

  • Elegi Cinta Raisa   Pria di Taman Rumah Sakit Jiwa

    Seorang diri, Ben termenung meratapi betapa sialnya nasibnya. Setelah sekian lama berjuang untuk mendapatkan cinta Raisa, dia kira semuanya akan berjalan mulus sesuai harapan. Nyatanya anggapannya meleset. Pada saat makan malam waktu itu, setelah kedua orang tuanya tau jika Raisa janda dan sudah memiliki anak, mereka dengan lantang mengutarakan ketidaksetujuan pada hubungan Ben dan Raisa. "Pokoknya Mama tidak setuju kamu menikah dengan Raisa!" Ben yang sudah melihat jejak tidak mengenakkan di wajah sang mama, menghela napas panjang. Dia menggeleng pelan dengan kepala terasa berdenyut. "Apa yang salah dengan dia, Ma?" Ben bertanya dengan suara keras dan dahi mengkerut, sekilas menatap sang Papa yang hanya menyimak dengan mata fokus pada layar televisi yang tengah menampilkan berita. "Apa kamu sudah tidak waras, Ben? Tidak adakah wanita yang masih gadis?" Perempuan itu menatap nanar wajah sang anak. Ben membuang napas. Dia sangat t

  • Elegi Cinta Raisa   Dua Pria Mencurigakan

    Raisa mematut diri di depan cermin. Saat ini, dia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Ben akan memperkenalkan dirinya kepada orangtua pria tersebut. Entahlah, ini benar-benar membuat dia gugup.Setelah segalanya siap, Raisa menoleh kepada Nadia di dalam box bayi. Perempuan anggun itu menatap wajah polos sang bayi. Tiba-tiba berkelebat wajah pria yang sangat familier saat melihat sang anak. Ya, wajah bayi itu begitu mirip dengan Kun.Teringat kembali tentang permintaan Sanjaya dua hari lalu agar menemui Kun, Raisa merasa kepalanya berdenyut. Itu adalah kunjungan Sanjaya yang kedua kalinya dengan permintaan sama."Apakah Kun benar-benar sakit? Atau ini hanya akalan mereka saja?" Raisa memijit pelipis sebelum akhirnya sebuah ketukan pintu terdengar."Masuk," kata Raisa.Rahmi masuk dan langsung berkata, "Pak Ben menunggu di ruang tamu."Raisa mengerutkan kening lalu buru-buru melihat ponsel. Benar saja, ada dua panggilan tak terjawab d

  • Elegi Cinta Raisa   Inikah Karma?

    Raisa dan Ben memasuki sebuah restoran mewah bergaya Italia yang sudah terlihat ramai oleh pengunjung. Raisa berjalan di samping Ben yang kini memasuki lift. Keduanya tiba di lantai tiga tak lama kemudian berjalan menuju lift. Mereka menuju lantai tiga. Ruangan luas dengan dinding nyaris seluruhnya kaca itu tidak seramai di lantai dasar.Dari sana, Raisa dapat melihat kendaraan yang padat merayap di jalanan. Ben menuju meja di dekat kaca. Tak lama setelah mereka duduk, waiter datang dengan menyerahkan buku menu setelah sebelumnya menyapa dengan begitu ramah."Mau makan apa?" Ben bertanya, membuat Raisa yang sebelumnya melempar pandangan ke luar menoleh ke arah pria di depannya."Apa saja." Raisa menjawab sekenanya, lalu kembali mengarahkan pandangan pada semua objek yang tertangkap mata di luar.Ben mengembuskan napas, kemudian memberitahu waiter menu yang dia pesan."Kamu sepertinya lebih tertarik memandang keluar daripada ke sini," celetuk Ben.&n

  • Elegi Cinta Raisa   Apa yang Terjadi pada Kun?

    Raisa meraih sebuah kunci yang berada di balik selarik kertas kecil. Ragam tanya berkelindan di benak, sebelum akhirnya dirinya menemukan jawaban pada kertas yang ternyata berisi tulisan dari Sanjaya."Raisa, terimalah ini. Ini kunci rumah yang berada di pusat kota. Rumah itu papa hadiahkan untukmu dan Nadia. Papa tahu, itu tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah kami perbuat padamu."Raisa terduduk dengan perasaan campur aduk. Senang? Tidak sama sekali. Bahkan perempuan itu merasa terbenani dengan pemberian Sanjaya. Dengan menerima hadiah besar itu, sama saja dengan membiarkan dirinya dillit hutang budi.'Ah, berpikirlah logis, Raisa! Dia itu bukan Kun. Lagi pula, Sanjaya adalah kakek dari Nadia.'Raisa mengusap wajah sebelum akhirnya terdengar ketukan. Daun pintu melebar setelah dirinya menyuruh Rahmi untuk masuk. Baby sitter Nadia itu berjalan pelan menuju box bayi.Dering ponsel terdengar menggema memenuhi ruangan yang lengang.

  • Elegi Cinta Raisa   Bertemu Sanjaya

    Suasana berubah menjadi sangat kaku bagi Raisa. Tak menampik, pria paruh baya di depan Raisa juga merasakan hal sama, hanya saja dia lebih pandai mengontrol kondisi hati, sehingga tidak kentara terlihat di wajahnya.Setelah Sanjaya membayar semua belanjaan Raisa, pria itu mengajak sang mantan menantu untuk duduk di kursi teras supermarket.Rasa kecewa yang diperbuat Kun, membuat Raisa tidak mau berhubungan lagi dengan orang-orang di rumah itu, kecuali dengan Bi Imas yang sudah dianggapnya layaknya orangtua sendiri. Sanjaya, dengan segala ragu yang mendera hati, dia juga enggan menghubungi perempuan di depannya sebab merasa kecewa.Hingga tempo hari Kun mengungkapkan bahwa Raisa tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Dan hari ini setelah meneguhkan hati, Sanjaya mencoba untuk menemui Raisa. Entah kebetulan atau memang rencana Tuhan, dia dipertemukan di sini saat hendak membeli oleh-oleh untuk sang cucu."Apa kabar, Nak?" Suara itu terdengar begitu berat

  • Elegi Cinta Raisa   Bogem Mentah

    Kun meringis menahan sakit di bagian pelipisnya. Dia terkesiap setelah pandangannya teralih pada pria yang kini berada di dekat Raisa. Rasa kesal berjelanak, tapi dia tidak ada waktu untuk meladeninya saat ini. Raisa lebih penting dari apa pun."Raisa ...." Kun kembali berseru pelan."Pergi sekarang, atau aku tambah!" Pria di samping Raisa mengancam. Sementara, Raisa terisak. Terpahat rasa iba di wajahnya melihat sang mantan suami yang pelipisnya tampak lebam."Aku tidak punya urusan denganmu!" Kun sudah tegak berdiri. Dia melangkah pelan untuk mendekati Raisa.Sigap, Ben mengangkat tangan untuk menghadiahi pria di depannya dengan satu bogem berikutnya. Namun, Raisa berseru, "Jangan ...!"Merasa dibela, Kun terkekeh dengan menumbuk tatapan sinis kepada Ben yang terlihat kesal."Lihat. Raisa masih ingin mendengarkanku, jadi minggirlah!"Raisa menggeleng. "Aku minta kamu angkat kaki dari sini. Dan jangan pernah temui aku dan Nadia lagi

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status