Raisa tidak membalas setiap pesan yang masuk ke dalam gawainya, membacanya pun tidak. Pun panggilan-panggilan dari lelaki itu dibiarkannya berakhir begitu saja. Seminggu terakhir, Raisa telah menyiapkan segenap jiwa raganya untuk menghadapi hari pernikahannya dengan Kun yang terbilang cukup tergesa.
Berlalu tujuh hari, pernikahan itu akan dilaksanakan beberapa menit lagi, dirumahnya, dengan cara yang sangat sederhana. Hanya akan dihadiri oleh penghulu, dua saksi, dan beberapa keluarga dekat serta tetua kampung.
Untuk kesekian kalinya, gawainya bergetar. Hatinya kian dongkol, untuk apa lelaki yang bersamanya dua tahun terakhir itu kembali meneleponnya? Untuk apa laki-laki yang telah menorehkan luka di hatinya itu kembali memasuki kehidupannya? Untuk apa ....
Raisa menarik napas dalam-dalam. Mungkin jika ia mengatakan bahwa akan menikah hari ini lelaki itu berhenti mengganggunya. Melupakan semua omong kosong yang sempat membuat Raisa menaruh harap padanya. Gadis itu menjulurkan tangan untuk meraih ponsel yang kembali bergetar setelah sebelumnya panggilannya berakhir.
“Halo, Raisa. Tolong jangan matikan. Aku ingin bicara, aku akan menjelaskan semuanya. Aku ....”
“Hari ini aku akan menikah. Jangan menghubungiku lagi."“Raisa ....”
Terlambat. Sambungan telepon terputus. Kenapa harus begini? Air mata Raisa kembali merebak di pelupuk matanya.
Kembali laki-laki di seberang sana melakukan panggilan. Raisa hanya melihatnya selintas lalu, hingga kemudian terdengar suara pintu kamarnya diketuk. Sigap gadis jelita itu menyusut genangan air matanya dan segera menyongsong seorang perempuan yang terus mengetuk sambil berseru pelan. Meninggalkan gawai yang masih bergetar di atas meja kecil, dari seseorang yang dirundung rasa cemas dan hancur berkeping-keping, di Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia.
“Raisa?”
Senyum ramah membingkai wajah seorang perempuan setengah baya ketika daun pintu terbuka. Gurat takjub menggantung di wajahnya. Perempuan itu adalah kakak sekaligus saudara satu-satunya Sulaiman.
“Kamu cantik sekali, Nak,” pujinya sambil mengelus-elus kepala Raisa yang terbalut hijab berwarna putih.
Raisa meresponnya hanya dengan sepotong sunggingan senyum samar. Terlepas dari Raisa yang memang menawan, perias yang disewa Sulaiman sungguh begitu piawai. Raisa tidak mengenalnya, sepertinya bukan orang desa setempat.
“Ayo, acara akan segera dimulai,” ucap Tante Iriana.
Tertegun sebentar Raisa demi mendengar ucapan tantenya itu. Sejak kapan Kun datang? Kenapa dia tidak mendengar deru kendaraan saat tiba di pekarangan rumahnya? Ah, ini pasti gara-gara pikirannya tidak fokus sebab terganggu oleh Pras!
Kedua wanita itu pun melangkah menuju ruang tamu yang akan dijadikan tempat dilaksanakannya prosesi ijab kabul. Jantung Raisa berdegup kencang, ia merasa gugup, pun jengah saat semua pasang mata ternyata memperhatikannya dengan seksama.
Saat mendekati meja kecil, netra Raisa beradu dengan sorot elang pria yang sudah bersiap di depan penghulu. Menatap Raisa tanpa berkedip, dengan wajah semringah berbingkai senyum takjub. Songkok hitam yang bertengger di kepalanya, serta jas dengan warna senada membuatnya semakin terlihat gagah dan tampan. Ini adalah kali kedua Raisa menatap wajah pria itu dengan jelas.
Tanpa perlu basa-basi lagi, akad pun dimulai setelah sebelumnya Sulaiman mewakilkan pada penghulu untuk menikahkan putrinya.
***
Hanya berselang beberapa jam setelah ijab kabul sah, Kun mengutarakan maksudnya untuk memboyong Raisa ke kota. Sulaiman terkesiap mendengar ucapan menantunya itu. Pasalnya, ini menyalahi perjanjian awal bahwa dia akan tetap tinggal di rumahnya tersebut. Namun, apalah daya, kuasa penuh terhadap Raisa kini beralih ke tangan Kun, suami Raisa.
“Mau ke mana?” tanya Raisa bingung setelah diperintahkan untuk bersiap-siap oleh pria yang kini menjadi suaminya.
“Kita akan pindah,” jawab Kun dengan ekspresi dingin.
Raisa merasa sedikit bergidik saat ditatap seperti itu. Bukankah sejak tadi pria itu selalu tersenyum manis saat bertemu pandang dengannya? Apakah karena kelelahan? Memang, sangat jelas dari wajahnya bahwa dia sangat kelelahan. Namun, tidak bisakah dia beristihat dulu. Apalagi, di luar cuaca terlihat sangat panas.
“Ke-kemana?” tanya Raisa terbata. Rasa canggung kini sempurna mengkungkung dadanya.
Kun menoleh ke arah Raisa, masih dengan tatapannya yang dingin. Melihat Raisa seperti ketakutan, Kun akhirnya memaksakan bibirnya untuk mengembangkan senyum.
“Kamu jangan takut seperti itu.” Kun mengangkat alis. “Kita akan pindah ke kota. Oh iya, panggil aku 'Mas' saja.”
Raisa terkejut. Haruskah sekarang?
“Aku ingin segera berbulan madu.” Kun tersenyum manis menatap Raisa lekat-lekat.
Detik kemudian, Secarik senyum mulai menghiasi wajah Raisa setelah mendengar ucapan Kun. Sejujurnya, Kun berencana untuk tinggal satu malam saja di rumah ini. Namun, dia tidak kuasa lagi untuk menahan birahinya yang menggila saat melihat tubuh Raisa yang mungil tapi sintal.
Yang membuatnya sangat kesal, mereka sejak tadi sangat sibuk, karena beberapa tamu yang datang dan harus ditemui. Sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk berduaan dengan Raisa di dalam kamar. Apalagi, Kun tersadar bahwa mereka tidak akan leluasa menikmati malam pertama di rumah sempit itu yang dindingnya dipenuhi oleh celah-celah renggang papan. Jangankan desahan erotis, suara nafas pun bisa saja terdengar hingga keluar kamar pada saat malam.
***
Mata Raisa seakan terhipnotis oleh gagahnya rumah mewah yang kini berada di hadapannya. Rupanya rumor tentang betapa kayanya keluarga Kun yang menyebar seantero desa bukan isapan jempol belaka, bahkan kekayaannya melampaui kabar-kabar yang beredar selama ini yang terdengar hiperbolis.
“Ayo." Kun menggamit lengan mungil Raisa. Tatapan matanya yang tajam menyiratkan sesuatu yang membuat jantung Raisa berdetak kencang. Senyum itu, nafas yang memburu, dan tegukan ludah pria itu, membuat Raisa semakin kikuk. Raisa paham kenapa Kun begitu terburu untuk mengajaknya pindah rumah.
Raisa hanya memandang sekilas dengan senyum tipis. Lalu, menunduk sambil melangkah mengikuti tuntunan pria yang sudah resmi menjadi imamnya kini. Pintu besar rumah itu terbuka, menimbulkan derit halus menggema di dalam ruangan yang sunyi.
Raisa terperangah saat matanya disuguhi pemandangan menakjubkan di dalam rumah. Selama ini dia hanya melihat rumah semegah ini di dalam televisi.
“Mas ....”
“Hemm?”
“Ini ... rumah Mas?”
Mereka terus melangkah melewati setiap jengkal lantai marmer yang mengkilap. Rumah itu sepi, seperti tidak ada penghuninya. Namun, terlihat sangat bersih dan terawat. Siapa yang membersihkan? Raisa membenak. Ah, bisa saja Kun membayar orang untuk membersihkannya tiap hari, bukan? Apa yang tidak bisa bagi orang kaya? Raisa menepis rasa penasarannya sendiri.
“Bukan.”
“Hah?” Raisa terlonjak kaget. Dahinya terlipat. Kun hanya tersenyum manis demi melihat wajah lugu sang istri.
“Ini bukan rumah mas. Ini rumah kita.”
Raisa tersenyum simpul. Wajahnya bersemu merah. Perlahan rasa canggung itu mencair.
“Rumahnya rapi, bersih. Siapa ....”
“Ah, sudah. Ngomongnya nanti saja, ayo kita segera ke kamar. Kamar kita di atas.” Kun menunjuk tangga yang sudah berjarak beberapa langkah di depan mereka. Raisa menelan ludah, tersenyum getir mendapat tatapan Kun yang seolah akan segera memangsanya.
Ketika hendak meniti tangga pertama, Kun malah melepaskan tangannya dari koper yang sejak tadi di bawanya. Membiarkan koper itu terkulai di lantai begitu saja.
“Mas ... kok ...”
Belum sempat Raisa menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba ia dibuat terkejut oleh aksi romantis Kun dengan menggendongnya meniti tangga. Raisa histeris, memohon untuk segera diturunkan.
“Mas! Turunkan aku, Mas. Mas! ” pekik Raisa sambil memukul-mukul lengan Kun. Kun yang terlihat sangat enteng membopong tubuh Raisa hanya terkekeh kecil.
“Diam kalau kamu tidak mau kita benar-benar terjatuh.”
Tanpa disuruh dua kali, Raisa pun diam, pasrah dengan memejamkan matanya. Kun tersenyum.
Mereka baru separuh tangga ketika terdengar suara benda jatuh dari arah bawah yang seketika membuat Kun menghentikan langkah lalu menoleh ke arah sumber suara. Raisa yang juga penasaran, menutar kepalanya untuk melihat apa yang terjadi.Raisa sedikit terkesiap saat matanya menjangkau seorang perempuan berbusana seperti perawat terpaku di depan pintu kamar. Jelas perempuann itu terkejut melihat mereka berdua. Perempuan itu kikuk, segera mengalihkan tatapannya pada baki yang terkulai di bawahnya, lalu mengambilnya. Kemudian buru-buru melangkah menuju dapur.
“Siapa dia, Mas?”
“Pembantu.”
Raisa menatap Kun dengan dahi mengernyit. Pembantu? Dengan pakaian seperti itu?
BERSAMBUNG
Kun menurunkan Raisa di depan pintu kamar. Perempuan itu kembali dibuat takjub saat melihat ke dalam kamar yang luasnya hampir menyerupai luas rumahnya di desa. Setelah tubuh keduanya berada di dalam, Kun bergegas menarik Raisa menuju ranjang empuk dan mendorongnya dengan kasar. Kun tidak dapat lagi menguasai nafsunya yang memburu.“Mas, aku capek. Nanti saja, ya.”Terlihat Kun tidak peduli dengan ucapan Raisa. Dadanya yang sudah terbuka, terlihat turun naik menahan gejolak birahi yang memberontak. Maka, pasrah adalah pilihan satu-satunya yang bisa Raisa lakukan. Toh, dirinya sudah menjadi milik Kun seutuhnya, baiknya dia juga menikmati surga dunia yang banyak dibicarakan orang-orang.Ketika ritual foreplay baru saja dimulai, Kun dibuat kesal oleh suara dering ponsel yang melengking dari dalam tas kecil Raisa.Kun mendengkus kesal, “Sial!”Pria yang sudah bertelanjang dada itu bangkit dan bergegas merogoh ponsel yang terus m
Sepanjang jalan taxi online yang ditumpangi Pras lengang, hanya terdengar deru halus dari mesin mobil. Sesekali driver melirik kaca spion kecil di atas kepalanya, mencari tahu apa sebab laki-laki di bangku belakang terlihat sedih.Pras menatap keluar, menyapu kampung halaman yang tidak banyak berubah sejak setahun lalu. Hanya perubahan-perubahan kecil seperti tanah-tanah kosong yang sudah mulai ditanami bangunan-bangunan dengan folding gate. Sepertinya orang-orang desa sudah mulai berpikir maju dengan mendirikan ruko-ruko kecil sebagai tempat usaha, pikirnya.“Pak ... Pak, berhenti sebentar.” Pras meminta driver untuk menghentikan mobil ketika berada di depan rumah Sulaiman. Dia memasang mata dengan seksama, memperhatikan setiap jengkal halaman dan rumah tua itu. Pras memicingkan mata, benaknya mulai menduga-duga bahwa Raisa telah berbohong jika telah menikah, sebab Pras tidak melihat tanda-tanda diadakannya pesta pernikahan.“Ini
Kun yang ingin melangkah ke dalam terpaksa urung setelah melihat Raisa tengah berdiri di samping tembok pembatas teras. Entah sejak kapan Raisa berada disitu? Keterkejutan jelas berjejak di mata Kun yang membulat. “Raisa!” Kun terlonjak. Mendapati ekspresi Kun, Raisa mengernyit bingung. “Kenapa, Mas? Kok, seperti lihat hantu gitu?” Kun mengembuskan napas pelan saat tidak melihat gurat curiga dari wajah sang istri. Ia menyunggingkan senyum, keterkejutannya seketika menghilang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Em, tidak.” Kun mengangkat bahu. Lalu pandangan Raisa beralih pada sosok wanita yang berada di belakang Kun. Kepalanya dijubeli tanda tanya saat wanita itu terlihat habis menangis. Kun memutar kepalanya kebelakang. “Sayang, perkenalkan dia Delila.” Kun menunjuk Delila yang mematung dengan wajah datar. Raisa melangkah mendekat sambil tersenyum, meskipun rasa heran masih menggantung di wajahnya, bertanya-tanya kenap
“Pakai ini!”Kun melemparkan sepotong lingerie di depan Raisa yang sedang mengotak-atik ponselnya. Raisa mengernyit melihat pakaian aneh itu, pakaian yang tidak pernah terbayangkan untuk dikenakannya.“Apa ini, Mas?”“Aku ingin kamu mengenakannya setiap akan tidur.” Kun duduk di dekat Raisa seraya menjulurkan tangan untuk menyentuh wajah lembut perempuan itu. Namun, Raisa mengelak saat tangan itu tinggal beberapa senti dari pipinya. Senyum manis Kun seketika menguncup, menandakan bahwa dia tidak suka dengan sikap Raisa.“Aku ... aku tidak biasa pakai itu, Mas.”“Makanya harus dibiasakan mulai sekarang. Kamu akan terlihat cantik dengan pakaian itu, Sayang.” Kun tersenyum genit. Matanya yang tajam menatap lamat-lamat Raisa. Nafasnya mulai memburu menahan gejolak nafsu. Dada Raisa berdegup kencang saat nafas Kun menyapu wajahnya.“Cepatlah, Sayang. Aku tidak bisa menunggu lebih l
Raisa segera melangkah menuju kamarnya setelah memberikan teh tawar pada Sanjaya, mertuanya. Dengan perasaan bimbang, perempuan itu meniti satu-persatu tangga menuju lantai dua. Perempuan itu berhenti di depan kamar, kembali mengingat suara erangan, baju Delila yang kancing bagian atasnya tidak terpasang, serta tingkahnya yang gugup saat bertemu Raisa. Apa mungkin Kun ... ah, Raisa segera menepis pikiran itu untuk kesekian kalinya.Perempuan itu mulai membuka pintu kamar dan masuk. Alangkah leganya saat matanya menangkap Kun tengah berbaring di atas kasur sambil memainkan ponsel.Sejak kapan Kun berada di dalam kamar? Ah, itu tidak penting. Yang penting saat ini adalah dugaan-dugaan negatif yang sejak tadi menderanya tidak benar-benar terjadi.“Mas ke mana?”“Aku?”“Iya. Siapa lagi? Memangnya aku bicara dengan siapa lagi?”Kun mengernyit, menatap sang istri lamat-lamat.“Bukannya aku ada
Raisa mengirimi Kun pesan WhatsApp.[Mas, pulang kan hari ini?]Sudah beberapa hari Kun tidak pulang. Benak Raisa tentu saja meraba-raba sebab apa Kun mulai berubah menjadi tidak acuh dan seolah menjauhinya.Suami mana yang tidak kecewa karena sang isteri tidak bisa memuaskan kebutuhan biologisnya. Setengah bulan sudah mereka menikah, tapi Raisa masih seperti gadis perawan ketika berhubungan badan. Raisa tidak bisa berpura-pura baik-baik saja ketika rasa sakit mendera, sehingga membuat Kun selalu keluar kamar meninggalkan Raisa dengan perasaan kesal.Kun memang hanya izin bekerja sebelum pergi, tapi pekerjaan apa yang membuatnya tidak bisa pulang hingga tiga hari?[Tidak tahu]Raisa kembali menahan sakit saat membaca pesan Kun. Bukan hanya karena Kun tidak akan pulang lagi, tapi karena pesannya terlihat yang sangat cuek. Terlepas dari itu, Raisa sudah menyadari bahwa perubahan Kun sedikit banyak disebabkan oleh dirinya yang
Dering ponsel membuat tidur Kun terusik. Siapa yang pagi-pagi begini meneleponnya? Dengan susah payah Kun meraih ponsel yang terus melengking memekakkan telinganya. Dia menggeser tombol berwarna hijau tanpa melihat siapa yang sedang menelepon.“Halo?” seru Kun dengan suara serak.“Halo. Mas, kamu di mana?”Ketika mendengar suara perempuan di ujung telepon, Kun melebarkan jarak ponsel dari telinganya, menatap layarnya dengan mata terpicing. Ah, Delila. Kun mendesah malas.“Ada apa?”“Mas jangan mengelak terus. Aku mohon, Mas. Perutku semakin hari semakin membesar. Kapan Mas akan menikahiku?”Dari seberang telepon suara Delila terdengar mengiba. Namun, Kun benar-benar terganggu dengan telepon dari perempuan itu, apalagi dengan topik yang kontan membuat kepala Kun berdenyut.“Aku sudah berkali-kali bilang sama kamu, Delila, aku pasti bertanggung jawab. Tapi tidak sekarang. Aku s
Semburat cerah menjalar di wajah Pras saat melihat Raisa mendekat kepadanya. Perlahan senyumnya tersungging. Selain karena kasihan pada Pras jika membatalkan ojek, Raisa juga bisa terlambat untuk bertemu dengan Dokter Farah.“Terima kasih.” Dua kata keluar dari mulut Pras saat Raisa berada di dekatnya. Tangannya terjulur untuk memberi helm kepada perempuan di sampingnya. Raisa sama sekali tidak tertarik untuk menanggapi sikap ramah Pras.Ketika Pras sudah siap memegang stang, Raisa naik. Menjaga jarak, duduk di ujung jok dengan berpegangan pada behel sepeda motor. Setelah memastikan Raisa siap, Pras memacu kendaraannya memecah jalan.“Apa kabar?” Setelah cukup lama keduanya berdiam diri, akhirnya Pras menanyakan kabar.Namun, Raisa lagi-lagi tidak menanggapi ucapan Pras. Pria itu mafhum, keadaan sudah tidak sama lagi seperti dulu. Raisa punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan Pras setelah semua yang terjadi.Keduanya kemba