Beranda / Romansa / Elegi Cinta Raisa / Hari Pernikahan

Share

Hari Pernikahan

Penulis: Haris Fayadh
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-02 08:39:46

Raisa tidak membalas setiap pesan yang masuk ke dalam gawainya, membacanya pun tidak. Pun panggilan-panggilan dari lelaki itu dibiarkannya berakhir begitu saja. Seminggu terakhir, Raisa telah menyiapkan segenap jiwa raganya untuk menghadapi hari pernikahannya dengan Kun yang terbilang cukup tergesa. 

Berlalu tujuh hari, pernikahan itu akan dilaksanakan beberapa menit lagi, dirumahnya, dengan cara yang sangat sederhana. Hanya akan dihadiri oleh penghulu, dua saksi, dan beberapa keluarga dekat serta tetua kampung.

Untuk kesekian kalinya, gawainya bergetar. Hatinya kian dongkol, untuk apa lelaki yang bersamanya dua tahun terakhir itu kembali meneleponnya? Untuk apa laki-laki yang telah menorehkan luka di hatinya itu kembali memasuki kehidupannya? Untuk apa ....

Raisa menarik napas dalam-dalam. Mungkin jika ia mengatakan bahwa akan menikah hari ini lelaki itu berhenti mengganggunya. Melupakan semua omong kosong yang sempat membuat Raisa menaruh harap padanya. Gadis itu menjulurkan tangan untuk meraih ponsel yang kembali bergetar setelah sebelumnya panggilannya berakhir.

“Halo, Raisa. Tolong jangan matikan. Aku ingin bicara, aku akan menjelaskan semuanya. Aku ....”

“Hari ini aku akan menikah. Jangan menghubungiku lagi."

“Raisa ....”

Terlambat. Sambungan telepon terputus. Kenapa harus begini? Air mata Raisa kembali merebak di pelupuk matanya. 

Kembali laki-laki di seberang sana melakukan panggilan. Raisa hanya melihatnya selintas lalu, hingga kemudian terdengar suara pintu kamarnya diketuk. Sigap gadis jelita itu menyusut genangan air matanya dan segera menyongsong seorang perempuan yang terus mengetuk sambil berseru pelan. Meninggalkan gawai yang masih bergetar di atas meja kecil, dari seseorang yang dirundung rasa cemas dan hancur berkeping-keping, di Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia.

 “Raisa?”

Senyum ramah membingkai wajah seorang perempuan setengah baya ketika daun pintu terbuka. Gurat takjub menggantung di wajahnya. Perempuan itu adalah kakak sekaligus saudara satu-satunya Sulaiman.

“Kamu cantik sekali, Nak,” pujinya sambil mengelus-elus kepala Raisa yang terbalut hijab berwarna putih.

Raisa meresponnya hanya dengan sepotong sunggingan senyum samar. Terlepas dari Raisa yang memang menawan, perias yang disewa Sulaiman sungguh begitu piawai. Raisa tidak mengenalnya, sepertinya bukan orang desa setempat.

“Ayo, acara akan segera dimulai,” ucap Tante Iriana. 

Tertegun sebentar Raisa demi mendengar ucapan tantenya itu. Sejak kapan Kun datang? Kenapa dia tidak mendengar deru kendaraan saat tiba di pekarangan rumahnya? Ah, ini pasti gara-gara pikirannya tidak fokus sebab terganggu oleh Pras!

Kedua wanita itu pun melangkah menuju ruang tamu yang akan dijadikan tempat dilaksanakannya prosesi ijab kabul. Jantung Raisa berdegup kencang, ia merasa gugup, pun jengah saat semua pasang mata ternyata memperhatikannya dengan seksama.

Saat mendekati meja kecil, netra Raisa beradu dengan sorot elang pria yang sudah bersiap di depan penghulu. Menatap Raisa tanpa berkedip, dengan wajah semringah berbingkai senyum takjub. Songkok hitam yang bertengger di kepalanya, serta jas dengan warna senada membuatnya semakin terlihat gagah dan tampan. Ini adalah kali kedua Raisa menatap wajah pria itu dengan jelas.

Tanpa perlu basa-basi lagi, akad pun dimulai setelah sebelumnya Sulaiman mewakilkan pada penghulu untuk menikahkan putrinya.

***

Hanya berselang beberapa jam setelah ijab kabul sah, Kun mengutarakan maksudnya untuk memboyong Raisa ke kota. Sulaiman terkesiap mendengar ucapan menantunya itu. Pasalnya, ini menyalahi perjanjian awal bahwa dia akan tetap tinggal di rumahnya tersebut. Namun, apalah daya, kuasa penuh terhadap Raisa kini beralih ke tangan Kun, suami Raisa.

“Mau ke mana?” tanya Raisa bingung setelah diperintahkan untuk bersiap-siap oleh pria yang kini menjadi suaminya.

“Kita akan pindah,” jawab Kun dengan ekspresi dingin. 

Raisa merasa sedikit bergidik saat ditatap seperti itu. Bukankah sejak tadi pria itu selalu tersenyum manis saat bertemu pandang dengannya? Apakah karena kelelahan? Memang, sangat jelas dari wajahnya bahwa dia sangat kelelahan. Namun, tidak bisakah dia beristihat dulu. Apalagi, di luar cuaca terlihat sangat panas.

“Ke-kemana?” tanya Raisa terbata. Rasa canggung kini sempurna mengkungkung dadanya. 

Kun menoleh ke arah Raisa, masih dengan tatapannya yang dingin. Melihat Raisa seperti ketakutan, Kun akhirnya memaksakan bibirnya untuk mengembangkan senyum.

“Kamu jangan takut seperti itu.” Kun mengangkat alis. “Kita akan pindah ke kota. Oh iya, panggil aku 'Mas' saja.”

Raisa terkejut. Haruskah sekarang?

“Aku ingin segera berbulan madu.” Kun tersenyum manis menatap Raisa lekat-lekat.

Detik kemudian, Secarik senyum mulai menghiasi wajah Raisa setelah mendengar ucapan Kun. Sejujurnya, Kun berencana untuk tinggal satu malam saja di rumah ini. Namun, dia tidak kuasa lagi untuk menahan birahinya yang menggila saat melihat tubuh Raisa yang mungil tapi sintal. 

Yang membuatnya sangat kesal, mereka sejak tadi sangat sibuk, karena beberapa tamu yang datang dan harus ditemui. Sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk berduaan dengan Raisa di dalam kamar. Apalagi, Kun tersadar bahwa mereka tidak akan leluasa menikmati malam pertama di rumah sempit itu yang dindingnya dipenuhi oleh celah-celah renggang papan. Jangankan desahan erotis, suara nafas pun bisa saja terdengar hingga keluar kamar pada saat malam.

***

Mata Raisa seakan terhipnotis oleh gagahnya rumah mewah yang kini berada di hadapannya. Rupanya rumor tentang betapa kayanya keluarga Kun yang menyebar seantero desa bukan isapan jempol belaka, bahkan kekayaannya melampaui kabar-kabar yang beredar selama ini yang terdengar hiperbolis.

“Ayo." Kun menggamit lengan mungil Raisa. Tatapan matanya yang tajam menyiratkan sesuatu yang membuat jantung Raisa berdetak kencang. Senyum itu, nafas yang memburu, dan tegukan ludah pria itu, membuat Raisa semakin kikuk. Raisa paham kenapa Kun begitu terburu untuk mengajaknya pindah rumah.

Raisa hanya memandang sekilas dengan senyum tipis. Lalu, menunduk sambil melangkah mengikuti tuntunan pria yang sudah resmi menjadi imamnya kini. Pintu besar rumah itu terbuka, menimbulkan derit halus menggema di dalam ruangan yang sunyi. 

Raisa terperangah saat matanya disuguhi pemandangan menakjubkan di dalam rumah. Selama ini dia hanya melihat rumah semegah ini di dalam televisi. 

“Mas ....”

“Hemm?”

“Ini ... rumah Mas?”

Mereka terus melangkah melewati setiap jengkal lantai marmer yang mengkilap. Rumah itu sepi, seperti tidak ada penghuninya. Namun, terlihat sangat bersih dan terawat. Siapa yang membersihkan? Raisa membenak. Ah, bisa saja Kun membayar orang untuk membersihkannya tiap hari, bukan?  Apa yang tidak bisa bagi orang kaya? Raisa menepis rasa penasarannya sendiri.

“Bukan.”

“Hah?” Raisa terlonjak kaget. Dahinya terlipat. Kun hanya tersenyum manis demi melihat wajah lugu sang istri.

“Ini bukan rumah mas. Ini rumah kita.”

Raisa tersenyum simpul. Wajahnya bersemu merah. Perlahan rasa canggung itu mencair.

“Rumahnya rapi, bersih. Siapa ....”

“Ah, sudah. Ngomongnya nanti saja, ayo kita segera ke kamar. Kamar kita di atas.” Kun menunjuk tangga yang sudah berjarak beberapa langkah di depan mereka. Raisa menelan ludah, tersenyum getir mendapat tatapan Kun yang seolah akan segera memangsanya.

Ketika hendak meniti tangga pertama, Kun malah melepaskan tangannya dari koper yang sejak tadi di bawanya. Membiarkan koper itu terkulai di lantai begitu saja.

“Mas ... kok ...”

Belum sempat Raisa menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba ia dibuat terkejut oleh aksi romantis Kun dengan menggendongnya meniti tangga. Raisa histeris, memohon untuk segera diturunkan.

“Mas! Turunkan aku, Mas. Mas! ” pekik Raisa sambil memukul-mukul lengan Kun. Kun yang terlihat sangat enteng membopong tubuh Raisa hanya terkekeh kecil.

“Diam kalau kamu tidak mau kita benar-benar terjatuh.”

Tanpa disuruh dua kali, Raisa pun diam, pasrah dengan memejamkan matanya. Kun tersenyum.

Mereka baru separuh tangga ketika terdengar suara benda jatuh dari arah bawah yang seketika membuat Kun menghentikan langkah lalu menoleh ke arah sumber suara. Raisa yang juga penasaran, menutar kepalanya untuk melihat apa yang terjadi.

Raisa sedikit terkesiap saat matanya menjangkau seorang perempuan berbusana seperti perawat terpaku di depan pintu kamar. Jelas perempuann itu terkejut melihat mereka berdua. Perempuan itu kikuk, segera mengalihkan tatapannya pada baki yang terkulai di bawahnya, lalu mengambilnya. Kemudian buru-buru melangkah menuju dapur.

“Siapa dia, Mas?”

“Pembantu.”

Raisa menatap Kun dengan dahi mengernyit. Pembantu? Dengan pakaian seperti itu?

BERSAMBUNG

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Elegi Cinta Raisa   Epilog

    Saat itu, setelah mendapatkan kecewa lagi dari perempuan yang sangat dicintainya, Ben langsung pergi begitu saja, tidak menghiraukan panggilan Raisa.Beberapa hari terakhir, pria itu juga tidak masuk kantor. Raisa semakin gelisah sebab nomor Ben tak dapat dihubungi.Raisa berjalan menuju sebuah rungan di mana Pras berada. Barangkali dia tahu di mana keberadaan Ben kini."Pak Ben tidak masuk kerja beberapa hari. Kamu tahu dia ke mana?""Ben sedang ke luar negeri. Aku tidak tahu pasti ada urusan apa," jawab Pras.Raisa tersenyum dan berterima kasih. Lalu dia berderap keluar ruangan.Waktu pulang tiba. Rasa penat yang mendera kian bertambah saat Dokter Farah menunjukkan sebuah foto.Raisa membekap mulut saat tiba-tiba dadanya terasa terhimpit."Ini Pak Ben, bukan?" Dokter Farah awalnya ragu untuk memberi tahu Raisa. Namun, jika mendiamkannya, sama halnya dengan mengkhianati Raisa.Raisa tak mampu berkata-kata, dia han

  • Elegi Cinta Raisa   Kecewa

    Ben tidak kuasa menahan cemburu saat Raisa bertemu Kun. Bayangan Kun ketika membingkai wajah Raisa bergelantungan di matanya. Kejadian empat hari lalu itu benar-benar membuat hatinya perih.Ben mendengkus, sebelum akhirnya Raisa masuk dengan membawa sebuah baki berisi segelas teh dan kudapan."Ada apa?" tanya Raisa. Perempuan itu mengambil posisi duduk di depan Ben."Tidak ada apa-apa, Raisa." Ben berbohong.Raisa mengangguk dengan senyum lembut tersungging. Kemudian dia berlalu dari hadapan Ben.Tadi pagi, Sanjaya mengabarkan pada Raisa jika Kun akan dibawa pulang besok. Berkat Raisa yang selalu datang menemui Kun, kondisi pria itu berangsur pulih.Sementara, Raisa merasa ragu untuk memberi tahu Ben jika setiap hari dirinya mengunjungi Kun. Takut pria itu cemburu.Setelah mempertimbangkan, Raisa memutuskan untuk tetap merahasiakannya pada Ben. Dia yakin sebentar lagi Kun akan kembali seperti sediakala dan dirinya tidak perlu mengunju

  • Elegi Cinta Raisa   Mengamuk

    Sanjaya semringah melihat Kun tersenyum. Sudah sangat lama dirinya tidak melihat sang anak segembira itu. Hampir setiap malam, Kun mengalami mimpi buruk.Lalu saat terjaga, maka yang selalu disebut adalah nama Raisa. Hingga sakit yang diderita Kun semakin parah dan tubuhnya semakin kurus.Beberapa psikiater sudah dikunjungi. Akan tetapi, tidak ada hasil signifikan. Semua menyarankan agar Kun dipertemukan dengan seseorang yang selalu disebutnya.Semakin hari, Kun semakin aneh. Nama Raisa selalu diracaukan olehnya. Terkadang, ketika melihat seorang wanita berhijab, maka dia tersenyum girang dan sambil berseru nama Raisa. Begitu mendekat, maka senyum itu menguncup."Raisa ...."Raisa yang sejak tadi melamun, menoleh ke arah Sanjaya di sampingnya. Menunggu kalimat lanjukan yang akan dikatakan oleh pria itu.Hari sudah hampir gelap. Sesuai janjinya, Sanjaya akan mengantar perempuan itu pulang."Terima kasih," ucap Sanjaya.

  • Elegi Cinta Raisa   Pria di Taman Rumah Sakit Jiwa

    Seorang diri, Ben termenung meratapi betapa sialnya nasibnya. Setelah sekian lama berjuang untuk mendapatkan cinta Raisa, dia kira semuanya akan berjalan mulus sesuai harapan. Nyatanya anggapannya meleset. Pada saat makan malam waktu itu, setelah kedua orang tuanya tau jika Raisa janda dan sudah memiliki anak, mereka dengan lantang mengutarakan ketidaksetujuan pada hubungan Ben dan Raisa. "Pokoknya Mama tidak setuju kamu menikah dengan Raisa!" Ben yang sudah melihat jejak tidak mengenakkan di wajah sang mama, menghela napas panjang. Dia menggeleng pelan dengan kepala terasa berdenyut. "Apa yang salah dengan dia, Ma?" Ben bertanya dengan suara keras dan dahi mengkerut, sekilas menatap sang Papa yang hanya menyimak dengan mata fokus pada layar televisi yang tengah menampilkan berita. "Apa kamu sudah tidak waras, Ben? Tidak adakah wanita yang masih gadis?" Perempuan itu menatap nanar wajah sang anak. Ben membuang napas. Dia sangat t

  • Elegi Cinta Raisa   Dua Pria Mencurigakan

    Raisa mematut diri di depan cermin. Saat ini, dia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Ben akan memperkenalkan dirinya kepada orangtua pria tersebut. Entahlah, ini benar-benar membuat dia gugup.Setelah segalanya siap, Raisa menoleh kepada Nadia di dalam box bayi. Perempuan anggun itu menatap wajah polos sang bayi. Tiba-tiba berkelebat wajah pria yang sangat familier saat melihat sang anak. Ya, wajah bayi itu begitu mirip dengan Kun.Teringat kembali tentang permintaan Sanjaya dua hari lalu agar menemui Kun, Raisa merasa kepalanya berdenyut. Itu adalah kunjungan Sanjaya yang kedua kalinya dengan permintaan sama."Apakah Kun benar-benar sakit? Atau ini hanya akalan mereka saja?" Raisa memijit pelipis sebelum akhirnya sebuah ketukan pintu terdengar."Masuk," kata Raisa.Rahmi masuk dan langsung berkata, "Pak Ben menunggu di ruang tamu."Raisa mengerutkan kening lalu buru-buru melihat ponsel. Benar saja, ada dua panggilan tak terjawab d

  • Elegi Cinta Raisa   Inikah Karma?

    Raisa dan Ben memasuki sebuah restoran mewah bergaya Italia yang sudah terlihat ramai oleh pengunjung. Raisa berjalan di samping Ben yang kini memasuki lift. Keduanya tiba di lantai tiga tak lama kemudian berjalan menuju lift. Mereka menuju lantai tiga. Ruangan luas dengan dinding nyaris seluruhnya kaca itu tidak seramai di lantai dasar.Dari sana, Raisa dapat melihat kendaraan yang padat merayap di jalanan. Ben menuju meja di dekat kaca. Tak lama setelah mereka duduk, waiter datang dengan menyerahkan buku menu setelah sebelumnya menyapa dengan begitu ramah."Mau makan apa?" Ben bertanya, membuat Raisa yang sebelumnya melempar pandangan ke luar menoleh ke arah pria di depannya."Apa saja." Raisa menjawab sekenanya, lalu kembali mengarahkan pandangan pada semua objek yang tertangkap mata di luar.Ben mengembuskan napas, kemudian memberitahu waiter menu yang dia pesan."Kamu sepertinya lebih tertarik memandang keluar daripada ke sini," celetuk Ben.&n

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status