Share

Psalm III

"Hani... Hani!" teriak Zenith dari dalam kamarnya.

Tidak ada respon. Entah ke mana perginya Hani sehingga membiarkan bel terus berbunyi.

Zenith bergegas keluar dari kamarnya. Ia memijak setiap anak tangga dengan langkah tergesa-gesa. Selama ini, ia memang tidak pernah membiarkan siapapun yang berkunjung menunggu terlalu lama di beranda. Tidak pernah sekalipun saat ia ada di dalam rumahnya.

Sekilas Zenith mengamati setiap sisi ruang keluarga dan ruang makan yang ia lewati. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Benar-benar lengang. 'Ke mana Hani dan Nayla?' pikirnya.

Dan ketika pintu terbuka, ia terkejut karena mendapati seorang pria setinggi enam kaki berdiri dengan tangan kanan bersandar di kusen pintu. "Albern...?"

"Maaf bila aku mengejutkan kamu," kata Albern parau. Ia tersenyum dan memberikan setangkai bunga melati. Bunga itu bahkan tampak jauh lebih segar ketimbang dirinya. "Aku sudah berkeliling tapi semua toko bunga sepertinya masih tutup. Jadi, aku terpaksa memetik bunga ini dari kebun tetanggamu."

"Terima kasih," balas Zenith dengan senyum terkembang. Ia menatap bunga cantik berwarna putih itu dan membelai kelopaknya. "Semestinya kamu tidak perlu repot-repot begini. Lagipula, kita bisa saja dipenjara karena bunga ini."

Albern terkekeh. "Jadi... apa aku sudah dimaafkan?"

Zenith mengangguk dengan tetap mengembangkan senyum manis. Sepasang matanya juga tak lepas mengamati penampilan Albern yang berbeda dari biasanya. "Sepertinya bukan hanya toko bunga yang belum dibuka, tapi juga rumahmu."

Dalam hitungan detik tawa mereka meledak bersama. Ketegangan yang membeku telah mencair seketika.

Albern menyimpulkan bibirnya dan mengamati Zenith dari ujung kaki sampai kepala. "Sepertinya kamu sudah siap berangkat bekerja. Mau aku antar?"

Zenith mengangguk pelan. "Tapi, kita tunggu Nay dulu ya. Tidak apa-apa kan?"

Albern memicingkan mata. "Apa aku tidak salah dengar? Tadi aku melihat Nayla sudah berangkat bersama Hani naik taksi."

"Apa?" Zenith terkejut. Ia mengira Nayla masih ada di kamarnya. Biasanya ia sendiri yang mengantar Nayla ke sekolah. Ya, biasanya. Tapi pagi ini tidak seperti biasanya. Tanpa ia sadari sudah cukup lama ia meninggalkan puterinya dan melewatkan kebersamaan mereka.

Perlahan angin pagi berhembus dan menjamah sekeliling. Terasa dingin dan kering. Hening.

***

Kedua pemuda itu duduk bersanding di ruang tunggu. Sudah hampir satu jam mereka berada di situ. Saling membisu dan termangu. Mereka tampak tegang. Sebab sekarang adalah hari penentuan karir mereka ke depan setelah seangkaian ujian yang melelahkan selama berminggu-minggu.

Salah seorang di antara dua pemuda itu bernama Ashmir. Ia bertubuh tinggi dan kurus, dengan kulit gelap dan rambut ikal yang kusut serta berantakan. Ia terlihat gelisah sejak tadi. Berbeda dengan pria di sebelahnya yang tampak tenang.

Ashmir kembali berdiri, untuk yang kesekian kali. Tak lama berselang ia duduk kembali, menggerutu lagi. "Huft... kenapa lama sekali? Sebenarnya tes macam apa lagi yang akan mereka berikan? Kesabaran? Saya sudah berulang kali mendapatkannya setiap kali terjebak kemacetan. Betul-betul menjengkelkan."

Tak ada tanggapan. Pemuda di sebelah Ashmir bergeming.

Ashmir melirik pemuda di sebelahnya. 'Orang ini sangat membosankan. Dia pasti tidak punya teman.'

Wening, pemuda tampan di sebelah Ashmir itu tiba-tiba menoleh dan tersenyum. Senyum sarat makna, namun tidak jelas apa sebabnya. Hanya saja, mata hitamnya seolah mengisyaratkan sesuatu. "Saya memang tidak memiliki banyak teman. Bagaimana dengan kamu? Sudah berapa banyak teman yang kamu khianati dan mengkhianati kamu?"

Ashmir tersentak. Terkejut bukan main. Ia menatap Wening dengan mata terbelalak. 'Bagaimana bisa... apakah mungkin dia... tidak, itu tidak mungkin, batinnya terkejut. "Apa kamu-"

"Sama seperti kamu. Calon karyawan baru," potong Wening.

"Bukan itu maksud saya. Tapi... ehm, apa kamu bisa mem-"

"Wening Sugiarto... Johannes Ashmir!" seru Deasy dari mulut pintu. "Mari ikut saya."

Wening lekas mengalihkan pandangan. Sedangkan Ashmir malah menundukkan kepalanya. Kesal dan kecewa. Ia tidak suka ucapannya disela. Dan ini untuk kedua kalinya, dari orang yang berbeda.

Wening sberdiri dan beranjak menghampiri Deasy. Sedangkan Ashmir masih terpaku di kursi. Ia berharap semoga apa yang ia pikirkan pagi ini hanyalah halusinasi. 'Tidak mungkin dia bisa membaca pikiran saya. Tidak mungkin. Saya harus tetap tenang. Sekarang saya harus lebih berhati-hati. Dia tidak...'

"Saudara Ashmir?"

"Tidak bisakah kamu diam sebentar?!" hardik Ashmir kesal. "Saya sudah cukup sa..." kalimat Ashmir tiba-tiba terhenti. Terputus ketika ia melihat bidadari tanpa sayap berada di hadapannya. Ia kembali dibuat terkesima. Namun kali ini oleh sebab yang berbeda.

Ashmir terpana.

Dalam pandangan Ashmir, mata Deasy yang sipit tampak selaras dengan alisnya yang tipis. Kulit putihnya nan ranum terlihat seperti bunga kopi di kampung halamannya di awal musim kemarau, segar dan menyejukkan mata. Ia juga memiliki rambut hitam kemerahan yang bergelombang dan tergerai lepas, tampak menawan bak semburat aurora borealis di kutub utara. Dan yang terakhir, yang terpenting bagi Ashmir, bentuk tubuh Deasy yang besar dan minim lekukan itu benar-benar sesuai dengan kriteria wanita idamannya.

Perlahan tapi pasti, adrenalin Ashmir mulai terpacu. Jantungnya berdegup kencang tak menentu. Napasnya pendek-pendek memburu. Dan matanya tetap melotot seolah tak sedikit pun memiliki rasa jemu. Ketegangan seketika membuat tubuhnya terpaku, memaksa otak dan instingnya bersekutu. Bibirnya merapat bisu, giginya bergeming kaku dan lidahnya berkelit kelu.

"Saudara Ashmir?" ulang Deasy sambil melambaikan tangannya di depan wajah Ashmir. "Apa Anda baik-baik saja?"

Tak ada jawaban. Ashmir bergeming. Ia masih belum terjaga dari lamunan indahnya.

Mengetahui gelagat tak wajar pada diri Ashmir, Wening lekas mencolek pinggang kenalan barunya itu. Sontak, Ashmir terjaga dari imajinasi semunya. Dengan suara terbata-bata, ia berkata, "Ma..maaf, sampai di mana kita tadi?"

***

Siang ini Albern sedang bersama dengan salah seorang koleganya. Ia adalah Jeremy Tan. Pria asal Negeri Tirai Bambu yang sudah lama menetap di Indonesia.

Bagi Jeremy, Indonesia adalah surga bagi para pengusaha seperti dirinya. Jeremy sangat yakin dengan hal itu sebab rakyat Indonesia adalah masyarakat konsumtif yang sangat mudah dipengaruhi. Seperti halnya inflasi yang memiliki dua mata sisi, kemarukan inilah yang justru menyelamatkan Indonesia dari badai resesi tahun 2008. Bahkan, banyak kalangan memprediksi, Indonesia akan menjadi pusat gravitasi perekonomian dunia suatu hari nanti. Dan salah satu langkah kecilnya sedang dilangsungkan hari ini.

Albern dan Jeremy sedang mengadakan pertemuan dengan beberapa investor dari Doha. Hasil dari pertemuan itu akan sangat menentukan kelangsungan mega proyek bernilai USD 18 Milyar yang akan digarap oleh korporat milik Jeremy. Dan Albernlah yang ia percaya untuk menangani proses negosiasi itu.

Sejauh ini, Jeremy masih merasa sangat was-was. Ia khawatir negosiasi itu tidak berjalan dengan lancar. Wajar jika ia merasa cemas, sebab Albern banyak melakukan hal yang tidak wajar selama proses negosiasi berlangsung.

Yang pertama, pertemuan diatur begitu para investor bertudung itu tiba di Indonesia. Mereka bahkan sama sekali tidak diberikan waktu untuk beristirahat, meski hanya sekedar untuk mengusir penat. Dan Albern malah menyajikan Wine yang dicampur dengan Manitoba Shlimbo untuk mereka di saat jetlag masih melanda.

Albern memang telah mengatur pertemuan itu sedemikian rupa sehingga orang-orang Arab itu tidak bisa berkonsentrasi penuh selama proses negosiasi.

"Apa Anda yakin semuanya akan baik-baik saja?" bisik Jeremy sembari berusaha tetap tersenyum di hadapan mereka. Namun usahanya itu tidak terlalu berhasil. Malah terlihat cukup ganjil. Andai saja orang-orang Arab itu tidak teler, pastilah mereka bisa dengan mudah menyadari keganjilan itu.

"Saya tidak pernah meragukan setiap hal yang saya lakukan."

"Tapi..."

"Tidak ada hal yang perlu Anda khawatirkan," tegas Albern. "Saya akan memulai presentasi."

Albern lantas memberi isyarat kepada asistennya agar segera menayangkan slide presentasi. Ia lalu berdiri dan menatap kelima bankir setengah teler itu satu-satu. "Toward AFTA and AEC, various groups predicted that Indonesia will become the destination of any workers and investors from all over Southeast Asia, and also other countries around the world.

....

First question, what a person needs when they first arrived in the new country?

A residence, absolutely. A comfortable dwelling that can support all the activities is a top priority for workers, especially those in the middle-upper class. And Heavenly Island is the answer.

.....

We will construct two interconnected artificial islands. The first island to be used as housing complexes and apartments, condominiums, and the plaza which will be equipped with various facilities such as shopping centers, amusement parks, sports arenas, and others. And one other smaller island will be built with central offices, star hotels, hospitals, and high-quality schools. Heavenly Island will not only be a heaven that offers a lot of flavors but also promises a quiet and peaceful atmosphere such as at dusk. This area will be the number one choice because of its exclusivity and its comfort...."

..."

Presentasi Albern membuat mereka terkesima. Tidak salah jika Jeremy selalu menjadikan pria berdarah Arab-Polandia itu sebagai prioritas utama. Orang-orang Arab itu, di tengah kantuk dan pusing yang melanda, mereka bertepuk tangan sekuat-kuatnya. Efek alkohol dan PCP telah membuat mereka kesulitan mengontrol emosi dan konsentrasi. Fungsi persepsi, fungsi motorik dan regulasi sistem saraf mereka telah terganggu. Mereka juga mengalami berbagai efek delusi dan halusinasi. Bagi mereka, presentasi yang Albern paparkan terdengar sangat inovatif, fenomenal dan akan menjadi investasi yang sangat menguntungkan bagi mereka. Dan satu elemen terpenting, semuanya terdengar sangat rasional.

"Jadi, kapan proyek ini akan dimulai?" tanya salah seorang utusan berghutrah itu.

"Segera setelah Anda menandatangani kontrak kerjasama," jawab Albern mantap.

Jeremy kemudian menyodorkan berkas nota kesepahaman. "Saya sangat berharap kerja sama ini bisa terealisasi secepatnya."

Sheikh Abu Hanif, ketua tim perwakilan itu tidak membutuhkan waktu lama untuk membaca setiap butir pasal kontrak kerja sama. Setelah beberapa saat berdiskusi dengan keempat rekannya, ia segera membubuhkan tanda tangannya. Presentasi Albern telah membuatnya terkesan sehingga merasa tak perlu lagi unuk berpikir panjang. Sebab satu-satunya hal yang ada di pikirannya saat ini hanyalah segera beristirahat dan tidur secepatnya, "Semoga kerja sama ini menjadi awal yang baik bagi kita."

"Semoga saja," balas Jeremy sembari menjabat tangan Syekh Abu Hanif, "Terima kasih atas kepercayaan yang Anda berikan."

"Berterima kasihlah kepada rekan Anda yang luar biasa."

Mendengar pujian itu, Albern hanya tersenyum tipis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status