Share

Psalm II

Albern baru saja tiba di kantornya. Sebagai seorang konsultan real estate, ia telah menangani banyak persoalan pelik yang dihadapi kliennya. Tak jarang, solusi yang ia tawarkan sering menjadi konklusi yang dianggap sangat brilian oleh orang-orang yang berada di ruang lingkup pekerjaannya. Ia adalah pembuat jalan, sementara para developer adalah kendaraan yang melintas di atasnya.

Hari ini sebenarnya Albern memiliki beberapa jadwal meeting dengan para kliennya. Namun, sebagian di-reschedule karena ia lebih memilih untuk menjemput Zenith di bandara. Meski pada akhirnya, Zenith tidak menghargai pengorbanannya.

"Selamat siang, Pak!" sapa Laika, sekretarisnya. Wanita berambut bouffant hitam dan berkulit cokelat itu tersenyum sembari menundukkan wajahnya yang lonjong.

Tak ada tanggapan. Pikiran Albern benar-benar sedang kacau sekarang. Ia terus berjalan menyusuri koridor kantornya yang beraksen victoria.

Laika mengikuti Albern dan berusaha mengimbangi langkahnya, "Anda dari mana saja? Ada banyak orang yang ingin bertemu dengan Anda," tambahnya tergesa-gesa.

Albern berhenti dan menatap Laika dengan wajah merah padam, "Aku menggaji kamu untuk menjadi sekretarisku, bukan ibuku. Ngerti kamu?!"

"Maafkan saya, Pak," sesal Laika dengan kepala tertunduk.

"Apa mereka masih menunggu?" tanya Albern seolah tidak peduli dengan penyesalan sekretarisnya.

"Tinggal satu orang, Pak."

"Suruh dia datang ke ruanganku."

"Baik, Pak."

Dengan setengah berlari Laika bergegas melaksanakan perintah atasannya.

"Laika!" seru Albern. Ia menunggu hingga Laika berhenti dan berbalik. "Apa kamu sudah makan siang?"

Laika diam sebentar sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya, "Belum, Pak."

"Makan sianglah dulu. Setelah itu, baru kamu minta orang itu untuk datang ke ruanganku."

Laika mengangguk dengan mulut separuh menganga.

Beragam rasa sudah Laika kecap selama sembilan tahun bekerja di perusahaan itu. Dan selama itu pula Albern menjadi atasannya. Ia membenci sekaligus menyukai Albern dalam kadar yang sama, bertemu di titik equilibrium yang setara.

***

Deasy mengamati setiap inci tubuh Zenith saat mereka bertemu di lobi. Ia terkejut bukan main melihat Zenith datang ke kantor dengan badan basah kuyup dan rambut berantakan.

"Aku naik ojek," terang Zenith. Ia terlihat kesal dengan cara Deasy menatapnya. "Apa itu cukup untuk menjawab keherananmu?"

Deasy tersenyum simpul. Pipinya memerah sebab menahan malu. "Tapi, bukannya tadi Anda bilang kalau sudah ada orang yang menjemput Anda? Dan bukankah bandara cukup jauh kalau harus naik ojek?"

"Apa tadi aku bilang kalau aku naik ojek dari bandara?" Zenith balik bertanya dan menatap Deasy lekat-lekat.

Senyum Deasy terkembang lagi sehingga membuat wajahnya yang bulat tampak bersudut.

Sekilas Zenith melihat sekitarnya. Beberapa orang memandangnya dengan tatapan aneh. "Apa aku bisa titip koperku sebentar? Aku mau ke toilet, mengganti pakaian dan merapikan diri."

"Tentu saja," sahut Deasy sumringah sembari menyambar koper Zenith. "Oya, Pak Adnan menunggu Anda di ruangannya."

"Bukan aku yang dia tunggu, tapi laporanku," tukas Zenith sambil berlalu pergi.

***

Nayla tampak sibuk dengan tumpukan kertas warna-warni di hadapannya. Dengan bantuan Hani, ia membuat beberapa ornamen origami untuk ibunya. Hani membantunya dalam menentukan kombinasi warna. Maklum saja, Nayla adalah penyandang tunanetra. Hal itu bukan hanya membuat ia tidak bisa membedakan warna, tapi juga melihat lingkungan sekitarnya.

"Mama beneran pulang hari ini kan, Mbak?" tanya Nayla sambil melipat kertasnya yang sudah hampir menyerupai bentuk angsa.

"Insyaallah iya, Non. Soalnya kemarin ibu bilang mau pulang hari ini."

"Huuuft. Syukur, deh," sahut Nayla lega, "Oya, kira-kira mama bakalan suka gak ya, Mbak?"

"Sudah pasti itu, Non. Wong semuanya kelihatan bagus, kok."

Nayla tersenyum tipis. Dari sepasang kelopak mata yang kosong itu tersembul secercah harapan. "Semoga saja mama pulang tepat waktu," lirihnya.

***

Albern terlihat santai ketika berbincang-bincang dengan klien barunya, Adrianus Warrouw. Adrian datang jauh-jauh dari Manado untuk mengadu peruntungan di Jakarta. Ia bertekad menaklukkan setiap jengkal tanah di ibukota.

Setelah dirasa cukup berbasa-basi, Albern akhirnya membahas pokok permasalahan yang sedang Adrian hadapi, "Sudah berapa lama Anda bergelut di bidang ini?"

"Kurang lebih empat tahun."

"Berapa total aset yang Anda miliki saat ini?"

"Sekitar 20 Milyar."

"20 Milyar?" tanya Albern dengan nada meremehkan. "Lantas, gedung seperti apa yang ingin Anda bangun?"

"Sebuah komplek apartemen dan kondominium. Saya sudah menemukan lokasinya. Sangat strategis!"

Albern tersenyum tipis. "Sudah berapa banyak konsultan dan bankir yang Anda datangi sebelum menemui saya?"

"Saya rasa dua belas," jawab Adrian kikuk.

Albern memajukan badannya. Sepasang matanya yang buram menatap Adrian tajam. "Apa yang mereka katakan?"

Mimik muka Adrian berubah pias dan bias. Pucat serupa mayat yang dihias paksa sebelum dimasukkan ke dalam keranda. "Semuanya menyarankan agar saya kembali ke Manado dan membangun rumah kos atau perumahan murah."

"Dan sepertinya jawaban saya juga sama dengan mereka."

"Apa?! Apa Anda juga meremehkan kapabilitas saya?"

"Saya tidak meremehkan Anda, tapi... kekuatan finansial yang Anda miliki," balas Albern tenang. "Perlu anda tahu, Jakarta bukan Manado. Anda belum memiliki relasi dan koneksi yang kuat. Anda butuh lebih dari sekedar keberanian untuk bisa berdiri tegak di kota ini."

"Tapi, saya bisa meminjam dana dari bank untuk menutupi biaya yang dibutuhkan."

"Dan Anda sudah mencobanya," sahut Albern. " Tidak akan ada bank yang mau mendanai mega proyek dari developer belum berpengalaman seperti Anda."

Adrian naik pitam. Wajah dan kedua telinganya memerah menahan amarah. Ini adalah kali kesekian ia direndahkan oleh orang-orang sok pintar di Jakarta. Ia mendengus gusar. "Sudah cukup penghinaan ini. Saya menyesal telah membuang waktu dengan datang menemui Anda," ujarnya sambil membereskan beberapa berkas yang tergeletak di meja.

Albern bahkan belum sedikit pun menyentuh dan membaca berkas-berkas itu. Ia hanya bisa tersenyum simpul melihat tingkah temperamental tamunya itu. Meski begitu, ia bisa melihat ada sesuatu yang lain dalam dirinya. Sesuatu yang patut diapresiasi dan dijadikan bahan pertimbangan.

"Saya tidak akan pernah mundur. Permisi!" tukas Adrian sebelum beranjak pergi.

"Ada sebuah gedung tua bekas perkantoran di Jalan Panglima Polim, Kebayoran Baru," kata Albern lantang. Ia baru melanjutkan kalimatnya ketika Adrian berhenti melangkah. "Saya rasa uang yang Anda miliki cukup untuk biaya pengambil-alihan dan pemugaran gedung itu. Anda bisa mengubahnya menjadi hotel bintang dua. Anggap saja ini sebagai pijakan pertama Anda di Jakarta."

Sepertinya Adrian tahu lokasi gedung itu. Mungkin itu adalah bangunan tua yang ia lihat beberapa hari yang lalu. Lokasinya memang cukup strategis. Ia lantas berbalik dan berkata, "Apakah Anda bisa..."

"Saya pastikan Anda akan bertemu dengan pemiliknya minggu depan," potong Albern. Kalimatnya terdengar sarat dengan kepastian.

Raut wajah Adrian seketika berubah ceria. "Tidak salah saya menemui Anda. Terima kasih."

***

"Apa kamu mencariku?" tanya Zenit ketika bertemu dengan Adnan di ruangannya. Ia sudah berganti pakaian. Rambutnya memang masih agak basah, tapi setidaknya sudah terlihat jauh lebih rapi ketimbang ketika ia datang.

"Lebih tepatnya menunggu," jawab Adnan mengoreksi. "Selama sebelas tahun terakhir," sambungnya lirih.

"Apa? Kamu bilang apa tadi?" tanya Zenit. Ia kurang jelas mendengar kalimat terakhir Adnan.

"Tidak ada... maksudku... ehmm..." Adnan diam sebentar. Ia gugup. Jari-jarinya bergerak di atas meja seperti sedang menekan tuts-tuts piano. Entah kenapa ia selalu saja merasa gugup setiap kali ingin mengungkapkan ketertarikannya pada Zenith. Dan biasanya, setelah saat-saat menegangkan seperti itu, ia akan mengalihkan pembicaraan ke topik lain. "Oh ya, bagaimana kondisi di sana? Maksudku, sepasang anak kembar itu."

"Untuk saat ini, sudah jauh lebih baik. Ada beberapa orang konselor dan psikiater setempat yang aku minta untuk memberikan terapi secara rutin. Setidaknya sampai beberapa tahun ke depan. Aku juga meminta Indah untuk tetap di sana sampai minggu depan."

"Syukurlah kalau begitu," ucap Adnan lega. Ia diam sebentar, sepasang matanya memperhatikan Zenith yang terlihat pucat dan menggigil. "Apa kau kedinginan?"

Zenith bersin beberapa kali sebelum akhirnya mengangguk pelan.

"Sepertinya kau membutuhkan secangkir kopi," kata Adnan sebelum beranjak dari kursinya.

Zenith hanya menjawabnya dengan seulas senyum tipis.

Adnan bergegas ke pantry. Ia sudah hafal betul takaran kopi yang pas untuk Zenith. Jika selama ini ia selalu meminta office boy menyeduhkan kopi untuknya, maka khusus bagi Zenith, ia sendiri yang sering membuatkannya. Dan selama itu pula Zenith tidak pernah merasa keberatan dan sungkan. Sebab bagi Zenith, Adnan bukan hanya rekan kerja, tetapi juga sahabat karibnya. Ya, sahabat. Tidak lebih, tidak kurang.

"Kopi sudah siaaap!" seru Adnan penuh semangat ketika memasuki ruangan.

Tak ada tanggapan. Zenith tidak menyahut seruannya seperti biasanya. Sepertinya ia bukan hanya kedinginan, tapi juga kelelahan. Adnan lekas menaruh cangkir kopi di meja. Ditatapnya Zenith dalam-dalam. 'Bahkan kau masih terlihat anggun saat tertidur', pikirnya.

Perlahan Adnan membuka tuksedonya. Ingin rasanya ia menjamah wajah manis itu. Selangkah demi selangkah ia maju mendekat, diraihnya tangan Zenith dan dilipatnya di atas perut. Kemudian ia membuka tangannya lebar-lebar dan menyelimuti Zenith dengan tuksedo hitamnya. Hanya sebatas itu yang mampu ia lakukan. Hanya sebatas itu.

***

Lagu 'I'll Be There For You' yang dilantunkan penyanyi wanita di pub itu cukup menghibur suasana hati Albern. Ia terlihat sangat menikmati alunan distorsi lagu Rock Ballads era 90an itu. Ia menyanyikan setiap lirik tanpa sepatah pun kata yang terlewati. Sebab selain menggandrungi Queen, ia juga menggilai Bon Jovi. Dan ia hafal betul sebagian besar lagu yang mereka miliki.

Sudah berjam-jam Albern menghabiskan waktu di dalam pub itu. Ia terus bernyanyi dan menenggak minumannya berulang kali. Albern seolah tak mempedulikan tatapan aneh pengunjung lain.

Sebenarnya bukan perilaku Albern yang mereka permasalahkan, tetapi segelas coke yang ada di mejanya. Dalam hati mereka bertanya-tanya, 'Sejak kapan soda bisa membuat orang mabuk dan bertingkah seperti orang gila?'

***

Sudah hampir pukul 11.00 malam ketika Zenith tiba di rumahnya. Tubuhnya terasa lebih bugar setelah secara tidak sengaja tertidur di ruang kerja Adnan. Dan mungkin ia akan tetap tertidur seandainya office boy kantor tidak membangunkannya.

"Apakah semuanya berjalan dengan baik selama aku di berada luar kota?"

Hani mengangguk kikuk. "Iya, Bu." Ia mengerling sebentar, "Hm... dari tadi Non Nayla menunggu Bu Zenith pulang."

"Menunggu? Maksudmu?"

Hani tak menjawab. Namun gestur tubuhnya meminta Zenith untuk menengok Nayla di kamar.

Zenith tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Hanya saja tiba-tiba batinnya bergemuruh riuh. Tanpa berpikir panjang, ia segera masuk ke kamar puterinya. Suasana terasa berbeda. Sangat berbeda bila dibandingkan saat terakhir kali ia masuk ke dalamnya.

Dalam keremangan, Zenith melihat beragam bentuk ornamen origami aneka bentuk dan warna tergantung di langit-langit kamar Nayla. Dan di setiap ornamen itu, di tengah-tengahnya terdapat foto mereka berdua. Hati Zenith terenyuh melihat itu semua.

Dengan mata berkaca-kaca, Zenith menatap Nayla yang sedang tertidur pulas. Puteri kesayangannya, malaikat kecilnya itu mendekap sebuah amplop berwarna merah muda di dadanya.

Perlahan Zenith mengambilnya. Ia membuka amplop itu dan mulai membacanya. Dengan ujung jarinya ia membaca setiap huruf Braile yang tertera.

"Selamat Hari Anak, Mama. I love you more than I do. :-*"

Air mata Zenith tak lagi tertahankan. Tangisnya pecah. Bulir air mata mengalir deras dan membasahi pipinya. Seharusnya ia yang memberikan ucapan itu kepada puterinya. Ia merasa bersalah. Sangat bersalah. Sudah terlampau sering ia mengecewakan puterinya. Tapi apa mau dikata, Zenith tidak punya banyak pilihan. Ada banyak anak-anak di luar sana yang membutuhkan kehadirannya. Ia hanya bisa berharap semoga Nayla bisa menerima dan memahami keadaannya.

Zenith menyeka air matanya. Ia mengecup kening puteri semata wayangnya itu dengan penuh kasih. Hanya itu yang bisa ia berikan dengan setulus hati. Setidaknya untuk saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status