Oksidasi Alkana ditandai dengan nyala api berwarna biru dan tidak menimbulkan jelaga. Sehingga dapat dihasilkan panas maksimal setelah terbuangnya uap air. Proses pembakaran sempurna itulah yang coba diterapkan KPAN dalam setiap perekrutan anggota barunya.
Dari ribuan pelamar yang mengajukan aplikasi dan mengikuti ujian sebelumnya, kini hanya tinggal dua orang yang tersisa. Mereka adalah peserta yang mendapat nilai kumulatif tertinggi dari semua materi yang diujikan. Dan kini, dua orang pemuda itu berada di ruang pertemuan, duduk bersama beberapa komisioner dalam satu meja.
Julian Setiabudi, salah seorang komisioner menatap mereka berdua dengan seksama, "Apa kalian tahu kenapa kalian berdua yang terpilih?"
Sejenak Ashmir dan Wening saling melempar pandang. Terdiam.
"Nasib baik," jawab Ashmir dengan alis kanan terangkat dan mata kiri menyipit.
"Saya tidak tahu pasti. Yang jelas saya hanya berusaha melakukan yang terbaik selama proses seleksi," imbuh Wening.
Adnan tersenyum. Ia lalu turut ambil bagian dalam perbincangan itu. "Kalian terpilih karena kalian memang yang terbaik."
"Jadi, kami diterima menjadi karyawan di sini, Pak?" tanya Ashmir impulsif. Ia siap bersorak.
"Siapa bilang kalian diterima menjadi karyawan?" tanya Zenit menyela percakapan mereka. Ia baru saja tiba. Tetapi, statement-nya telah mengubah suasana. Bahkan sebelum ia duduk di kursinya.
Hening. Semua diam.
"Apa maksudmu? Apa kau masih mau memberikan tes tambahan untuk mereka?" tanya Adnan dengan dahi berkerut.
"Tidak. Tidak sama sekali," jawab Zenith datar. Ia kemudian menatap kedua pemuda itu dalam-dalam. "Kalian tidak akan pernah menjadi karyawan di sini. Sebab..." kalimatnya terhenti. Ia lalu memandang semua orang yang ada di ruangan itu. Satu per satu.
Semuanya terlihat tegang, kecuali Wening. Ya, hanya ia yang terlihat tetap tenang. Sedangkan Ashmir, ia menjadi orang yang paling gelisah. Wajah legamnya tampak pias dan pucat. Sarat dengan cucuran keringat. 'Tidak, saya tidak boleh gagal di sini,' pikirnya.
Perlahan Wening menoleh, menatap Ashmir dengan senyum terkembang. Lagi.
Ashmir membalas tatapan itu dengan geraham terkatup rapat. 'Sial! Apa orang aneh ini betul-betul bisa membaca pikiran saya?'
"Tidak," lirih Wening.
Ashmir terhenyak. Ia kehabisan kata-kata. Ia tidak menyangka kalau ternyata ada orang yang benar-benar bisa membaca pikiran. Dan sialnya, orang itu ada di dekatnya. Padahal, selama ini kemampuan 'aneh' semacam itu hanya ia temukan dalam film saja.
Wening bisa mengacaukan semua rencana Ashmir. Kegagalan sudah tampak jelas di depan mata pemuda nyentrik itu, bahkan sebelum ia memulai misinya. Baginya, Wening adalah duri yang harus disingkirkan. Secepatnya.
Zenith kembali memusatkan perhatiannya kepada dua pemuda itu. "Saudara Johannes Ashmir dan Wening Sugiarto, dengan berat hati kami menolak kalian menjadi pegawai di lembaga ini. Sebab..." suara Zenith menghilang sebentar. "Sebab kami tidak membutuhkan pegawai. Melainkan keluarga. Dan saya rasa kalian memang pantas untuk menjadi bagian dari keluarga besar ini. Selamat bergabung!"
Sontak, luapan suka cita bergemuruh di ruangan itu. Kelegaan terpancar jelas di wajah mereka. Riuh tepuk tangan membahana. Secara bergantian mereka menjabat tangan kedua pemuda itu. Memberikan ucapan selamat datang.
"Selama berada di sini, kalian jangan pernah merasa sungkan."
"Anggap saja ini adalah rumah kedua kalian."
"Senang bisa bekerja sama dengan kalian."
...
Semua orang di ruangan itu terlihat sangat gembira, kecuali Ashmir. Ia memang ikut tersenyum dan tertawa, tapi semua itu hanya pura-pura. Diam-diam ia mulai memikirkan cara untuk menyingkirkan Wening secepatnya. Benaknya dijejali ribuan kata 'bagaimana'. Dan untuk yang kesekian kali, Wening kembali menatapnya. Ia lantas memalingkan muka, pura-pura tidak melihat rekan barunya.
***
Albern dan Jeremy Tan berdiri di depan sebuah apartemen tua di dekat pusat bisnis di Jakarta. Apartemen yang berada di jalan TB Simatupang itu sudah berusia lebih dari empat puluh tahun. Gedung dua belas lantai itu tampak kusam dan tidak terawat. Hampir seluruh bagian cat sudah terkelupas dan berjamur. Di beberapa bagian dinding juga terlihat berlumut dan ditumbuhi tumbuhan paku.
Jeremy berniat mengambil alih hak kepemilikan lokasi itu, menghancurkan bangunannya dan mendirikan sebuah gedung perkantoran modern di atasnya. Namun sayangnya, ia masih menemui beberapa kendala. Oleh karena itu, ia meminta Albern untuk menemaninya meninjau lokasi dan berharap rekan bisnis terbaiknya itu bisa membantunya dalam mencari solusi.
"Ada sekitar 94 unit apartemen di dalamnya. Saya sudah menguasai 88 unit, tinggal 6 unit lagi. Akan tetapi, para pemiliknya bersisikukuh tidak mau menjualnya," terang Jeremy.
Albern mengangguk takzim. Ia mengamati gedung tua itu dengan seksama. Dari penampakan luar saja, gedung itu sudah tidak layak huni. Sekilas Albern melihat seorang lelaki tua sedang menjemur pakaian di balkon lantai dua. Lelaki berkacamata itu membalas tatapannya dengan sorot sarat kemarahan. "Pergi kalian dari sini! Dasar bajingan tengik! Kami tidak akan pernah menjual rumah kami!" hardiknya sambil membuang air bekas cucian ke arah mereka.
"Awas!" Albern menarik lengan Jeremy. Mereka memang bisa menghindar. Akan tetapi, gerakan mereka kurang gesit. Beberapa percikan yang terlontar berhasil mengenai setelan mahal mereka.
"Sial!" gerutu Jeremy sembari membersihkan cipratan noda di pakaiannya.
Albern lekas memberikan sapu tangannya. Selagi Jeremy sibuk membersihkan noda di pakaiannya, ia mulai mengajukan pertanyaan pertama. "Apa mereka tidak cocok dengan ganti rugi yang ditawarkan?"
"Saya rasa tidak. Sebab motif penolakan mereka bukan mengenai harga. Mereka yang menolak adalah para penghuni lama. Para pensiunan yang sudah terlanjur nyaman tinggal di sini," jawab Jeremy sambil mengusap-usap permukaan celananya. "Huft, tetap tidak bisa hilang. Dasar orang tua sialan! Lihat saja, saya pasti akan memberi kamu perhitungan."
Albern mengabaikan tiga kalimat terakhir Jeremy. Sebab ia sedang tak ingin mengomentari hal-hal di luar pekerjaan. Di tengah perenungannya, tiba-tiba seorang pengemis tua melintas di depan mereka. Entah sudah berapa lama gelandangan itu tidak menyentuh air dan sabun. Aroma tubuhnya sangat memuakkan. Sampai-sampai Jeremy dibuatnya untuk tetap menutup hidung meski jarak mereka sudah enam meter jauhnya.
Tapi Albern, tak sedikit pun ia coba menutup indera penciumannya. Ia malah merasa ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan dalam diri pengemis tua itu beserta ordonya. Sepasang mata Albern terus mengikuti langkah pengemis itu sebelum akhirnya ia berhenti di sebuah kolong jembatan. Ia melihat pengemis tua itu berkumpul dengan beberapa orang temannya yang lain. Dan saat itu pula Albern mendapati seberkas cahaya terang menyinari pikirannya. "Saya punya ide."
***
"Ini adalah tugas pertama kalian. Seorang anak perempuan berusia sebelas tahun disiksa oleh ibu tirinya. Nama korban adalah Janis. Ia sekarang dirawat di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi, Jakarta Timur," papar Zenith. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada Julian yang baru saja masuk ke ruangannya, "Pak Julian akan menemani kalian. Dia akan memberikan petunjuk dan segala sesuatu yang kalian butuhkan. Ada pertanyaan?"
"Apakah kami perlu membawa buah tangan?" Tanya Ashmir.
"Kalian bisa tanyakan hal itu kepada Julian," balas Zenith sembari mengangkat sebelah alisnya. "Mandat sudah saya berikan kepadanya."
Ashmir mengangkat bahunya. "Baiklah."
Tak ada lagi percakapan setelahnya. Suasana berubah hening. Zenith lalu membuka laptop saat mereka sudah keluar dari ruangannya. Senyumnya terkembang ketika melihat foto-foto masa kecil Nayla. Meski lahir dengan keterbatasan, puterinya itu memang terlihat cantik sejak masih balita. Namun tiba-tiba senyumnya memudar, berganti dengan kepiluan yang perlahan menekan kelenjar lakrimalis nya. Tekanan itu membuat sepasang mata cokelatnya berkaca-kaca. Foto pernikahannya dengan Jonas kembali membuatnya teringat dengan semua kenangan yang pernah terjadi di masa lalu. Ingin rasanya ia menghapus foto itu. Atau setidaknya menggesernya dengan foto yang lain. Tapi, entah kenapa jari-jemarinya terasa kaku dan membeku. Terasa begitu berat untuk digerakkan. Semakin ia mencoba untuk mengalihkan pandangan, semakin ia ingin terus menatapnya. Harus diakuinya, ia masih mencintai Jonas, meski hanya tinggal seberkas.
***
Wening dan Ashmir terkejut ketika melihat kondisi Janis yang penuh dengan luka memar dan sudutan puntung rokok di sekujur tubuhnya. Mereka terpaku di depan mulut pintu bersama Julian dan ayah Janis yang masih terlihat syok atas musibah yang menimpa puteri kecilnya.
Di dalam kamar itu, hanya poster lusuh di tepi atas ranjang Janis yang tersenyum dan beriak ceria. Sementara semua orang yang ada di dalamnya memasang raut duka dan iba di wajah mereka. Mereka sama sekali tak habis pikir kenapa ibu tirinya bisa bertindak sekeji itu terhadapnya. Entah setan mana yang telah merasuki perempuan yang terkenal ramah dan baik hati di mata kerabat dan tetangga itu sehingga tega meminumkan larutan Asam klorida ke mulut Janis.
Di atas ranjangnya yang beraksen teletubbies, Janis terbaring lemah tak berdaya. Sesekali terdengar rintih kesakitan dari mulutnya yang terluka dan berkoreng. Kecil kemungkinan ia bisa kembali berbicara seperti sedia kala, sebab larutan keras itu juga telah merusak jaringan di dalam mulut dan kerongkongannya.
"Tugas kalian adalah menggali sebanyak mungkin informasi dari orang-orang terdekat dan tetangga korban. Semua informasi itu akan membantu kita dalam memberikan terapi psikis yang tepat untuknya, serta..." Julian melirik Janis sebentar, "memberikan kita tambahan materi dalam mengajukan tuntutan di pengadilan kelak. Apa kalian mengerti?" papar Julian ketika mereka bertiga sudah keluar ruangan.
Ashmir dan Wening hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan. Bibir mereka masih terasa kelu walau hanya sekedar untuk berkata 'iya'.
Mbah Ran sedang duduk santai di teras rumah saat aku hendak keluar mencari udara segar. Meski ada dua buah kursi, ia memilih duduk di lantai dan bersandar pada sebuah pilar. Ia meletakkan blangkonnya pada tempurung lututnya yang terangkat. Di depannya terdapat sebuah radio antik merek National berwarna hitam yang suaranya sudah tidak lagi jernih.Sudah hampir satu minggu kami tinggal satu atap. Tapi, kebekuan di antara kami belum juga meretak. Aku tetap saja menajaga jarak terhadapnya meski ia selalu ramah dan baik terhadapku. Entah kenapa, selalu sulit buatku untuk membina hubungan dengan orang-orang baru.“Mulailah untuk membuka diri, Zaynn.” Kalimat yang Ashika lontarkan minggu lalu tiba-tiba menggema di dalam kepalaku. Membuka diri? Bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan untuk memulainya?Aku sudah siap berbalik dan memutar haluan, tapi aku urung melakukannya. Aku tidak mungkin terus menerus menghindarinya. Ya, aku harus menghadapinya.Perlahan aku melangkah ragu dan berhenti
Aku telah terlahir ke dalam sebuah dunia yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Dan aneh rasanya, aku sama sekali tidak bisa mengingat apa yang aku telah alami sebelum membuka mata untuk pertama kalinya. Seandainya setiap hal yang kulalui dapat direkam oleh memori otak dan pikiranku sejak aku berada di dalam kandungan ibuku. Mungkin aku tidak akan bertanya-tanya, dari mana aku berasal? Kenapa aku dilahirkan? Dan apa tujuanku hidup di dunia ini?Semua pertanyaan-pertanyaan itu masih belum kutemukan jawabnya hingga saat ini. Dan anehnya, semakin aku berusaha menemukan jawabnya, semakin aku dibuat bingung karenanya.Alur kehidupan seperti halnya rangkaian gerbong kereta yang terus melaju dan hanya berhenti di setiap stasiun. Kadang kala ada saat-saat di mana kita harus berganti gerbong tujuan. Kita tidak bisa berhenti sembarangan. Namun bila memang itu yang kita inginkan, kita bisa melompat dari dalam kereta dan menemui kematian sebelum ia datang. Dan seandainya kita beruntung serta selam
Senyap dan pekat. Hanya desahan napasku yang terdengar mengisi gelap. Mimpi yang sama kembali terulang, membuatku terjaga di penghujung malam. Aku terengah, mendesah tak karuan. Irama napasku tidak beraturan. Keteganganku mulai luruh seiring menguapnya seluruh peluh. Kerongkonganku terasa kering dan tercekat, sebab rasa haus yang melekat semakin kuat.Aku melihat sekitarku. Semua masih tampak gelap. Jam digital yang berada di sebelah kiri ranjangku menunjukkan pukul 05.38 am. Sudah pagi rupanya. Aku segera beranjak dari tempat tidurku. Area perut dan pinggangku masih terasa nyeri, tapi tidak senyeri hari-hari sebelumnya. Selain itu, sepertinya aku juga sudah mulai terbiasa dengan rasa sakitnya.Aku berjalan dengan hati-hati. Semua masih tampak samar saat ini. Aku mendekati jendela dan membuka tirainya. Sorot terang yang ada di luar sana perlahan menyusup masuk ke dalam kamar. Matahari sudah muncul di ufuk timur. Cahayanya menerangi setiap sudut tempat yang masih terasa asing buatku.
Kopi Sudah Menjadi JelagaAku tahu bagaimana rasanyaMenjadi arang di antara intanSerupa kerikil di hamparan bacanTak pernah diperhatikanTerpinggirkanAku telah mencipratkan lumpur dan nodaDi muka pakaian merekaTanpa kataMereka pergi dengan wajah merah menyalaSendiri aku di tengah padang sabanaMenyesap penuh segala lukaMenyeruak kasar semua dukaTak ada lagi senyum tersisaDanKetika aku membuka mataAku tersadar dari mimpi segala durjaMenyatu padu semua dilemaMerobek tudung segala rasaTak ada hal lain yang kurasakanSelain sesal teramat dalamTak mungkin aku meneruskan perjalananDengan mata separuh terpejamAku berjalan memutar haluanCoba perbaiki cela yang tertinggal di belakangKuketuk setiap pintu rumah merekaNamun, tak ada satupun yang dibukaDari dalam rumah mereka berkata;Kopi sudah menjadi jelaga…Aku menundukkan pandangan dan memijat pangkal hidungku begitu Ashika selesai membaca puisiku. Aku hanya bisa menahan tawa dan malu melihat tingkahnya. Entah kenapa ia
Dia adalah masa lalu yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Entah sampai kapan bayang-bayangnya akan mengisi 3 hal penting dalam diriku: otak, pikiran dan hatiku. Semua terasa berbeda, penuh warna, tidak 0 tanpa rasa. Membuatku selalu teringat dengan momen-momen indah dan menyakitkan itu. Intuisiku bergejolak, mencoba meredam kerinduan yang menyeruak.Perlahan tapi pasti, rasa itu mulai berubah menjadi vaksin yang membuatku kebal terhadap semua rasa lain yang mencoba menyerang keteguhan pendirianku. Ini bukan hanya tentang cinta yang menyatukan sepasang anak manusia, tapi tentang semua rasa yang berpadu menjadi 1. Rintihan kasih yang terpendam jauh di lubuk hati yang selalu berseteru. Antara rasa dan logika, 2 hal berbeda yang saling beradu.Waktu terus mengalir, tak peduli dengan air mata yang selalu bergulir, melewati celah di pipi dan menjadi 1 dengan bibir. Asaku mulai memudar, tak ada lagi senyum yang terpancar. Tekanan datang bertubi-tubi, 99 masalah datang menghampiri. Ingin ku
Terang. Tempat itu terlalu terang. Panas terik menyengat badan. Sesaat aku menengadahkan pandanganku ke langit lapang. Dalam termangu, aku terheran-heran. Tercengang. Bagaimana bisa dua matahari berada dalam satu jalur peredaran? Warna kedua bintang itu sama, nyaris tak ada beda. Sama-sama kuning dalam penampakannya. Mungkinkah salah satu matahari itu adalah bintang Capella dari konstelasi Auriga? Karena setahuku, cahaya Capella juga berwarna kuning serupa rona sang surya.Mungkinkah ini bisa terjadi? Atau jangan-jangan, ini semua hanyalah mimpi. Tapi, kenapa semua terasa begitu nyata? Rasa sakit, perih, panas, haus dan semuanya terasa sangat nyata. Mungkinkah sekarang aku berada di neraka? Tapi, kenapa aku tak menjumpai seorangpun di sini? Bukankah semestinya neraka itu ramai, sesak dengan para pendosa? Sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci semua agama.Aku sudah sangat lelah. Sepasang kakiku terasa lemah, seperti tak sanggup lagi melangkah. Aku melemparkan pandanganku jauh ke d