Share

Bab : 8 Anggota Lama Perkampungan

Yu Lai serta Biksu Tat Mo saking terkejut melihat raut wajah merah yang selama 10 tahun kebelakang menjadi momok menakutkan di dunia persilatan, sampai lupa untuk mengejar Thian Sin yang melarikan diri, padahal jika saat itu Thian Sin di serang, ia pasti kalah.

Dada Thian Sin terasa sesak setelah menerima pukulan Tat Mo, itu sebabnya sambil menahan rasa sakit di dada Thian Sin langsung pergi meninggalkan Bu Koan.

Setelah mengganti pakaian serta sedikit membersihkan noda darah di bibir, Thian Sin kembali ke rumah Kin Tho.

Suasana di rumah sang Pangcu langsung ramai, ketika Thian Sin hendak masuk dari sisi rumah terdengar suara A Gu.

“Darimana saja kau? Tanya A Gu.

“Dari belakang, Suheng! Perut ku tidak bisa di ajak kompromi, baru makan yang enak enak sudah minta di keluarkan lagi,” jawab Thian Sin sambil balik bertanya.

“Ada apa, kenapa semuanya meninggalkan Bu Koan, apa acaranya sudah selesai?

“Guru serta Yu Lai Taihiap dan biksu Tat Mo sedang berunding di dalam, membahas musuh yang baru saja pergi,” jawab A Gu.

“Musuh,” ucap Thian Sin San lanjut berkata.

“Pengacau! Berani sekali ada orang yang mengacau di sungai panjang, apa orangnya sudah tertangkap? Tanya Thian Sin.

“Itu sebabnya guru sedang berunding, musuh sudah pergi setelah membunuh wakil dari lembah pedang,” jawab A Gu.

“Kenapa Yu Lai Taihiap dan Biksu Tat Mo diam saja, kalau salah satu diantara mereka ada yang turun tangan, bukankah masalahnya akan cepat beres,” balas Thian Sin.

“Kalau yang mengacau orang biasa, mungkin perkataanmu benar, kali ini yang datang mengacau adalah Ang Bin Moko,” bisik A Gu yang tidak mau perkataan nya di dengar orang.

“Tidak mungkin….tidak mungkin! Bukankah guru waktu itu pernah cerita kalau Ang Bin Moko sudah tewas oleh ke empat rasul langit,” balas Thian Sin.

“Sute memang benar, orang yang sudah mati tidak akan hidup kembali, tetapi melihat kegugupan Yu Lai Taihiap serta Biksu Tat Mo, aku yakin orang tadi adalah Ang Bin Moko.

“Sute….Suheng! Terdengar teriakan seorang gadis.

Thian Sin melihat Kin Bwe bersama Yu Kang datang mendekat.

“Kalian kemana saja sih? Sampai pusing aku mencari kalian,” Kin Bwe berkata sambil cemberut.

“Di Bu Koan,” A Gu yang menjawab.

“Oh Iya Kong Cu! Ini adalah Suheng dan Sute ku,” Kin Bwe berkata kepada Yu Kang.

“Panggil saja Yu Kang, tidak usah Kongcu,” ucap Yu Kang sambil tersenyum.

Raut wajah Kin Bwe berubah dan bergerak mendekati Thian Sin, kemudian jari Kin Bwe mengusap bibir Thian Sin.

“Sute! Kenapa bibirmu berdarah? Tanya Kin Bwe.

“Apa darah dari mulut tidak tercuci semua,” batin Thian Sin mendengar pertanyaan Kin Bwe.

“Tidak….tidak apa-apa,” jawab Thian Sin.

“Tadi….tadi ketika aku mau buang air besar, karena terburu buru daguku terpentok pintu,” lanjut perkataan Thian Sin.

“Sudah ku bilang berapa kali belajar tenaga dalam agar tidak terluka, Sute tidak mau menurut,” balas Kin Bwe.

“Tidak belajar silat! Kenapa adik Kin memanggilnya Sute? Tanya Yu Kang.

Yu Kang cemburu melihat Kin Bwe memperhatikan Thian Sin.

“Sute hanya belajar teori silat dari ayah, tetapi tidak mau belajar tenaga dalam,” jawab Kin Bwe.

“Sudahlah Suci! Aku tidak apa-apa.

“Aku mau pulang dulu! Bantu kakek buat perahu,” ucap Thian Sin.

Tanpa menunggu balasan dari Kin Bwe, Thian Sin langsung melangkah pergi.

“Cih! Selalu saja seperti itu,” ucap Kin Bwe sambil cemberut melihat Thian Sin pergi.

Sesampainya di rumah, Kakek Hay sudah duduk menunggu di ruang tengah, melihat Thian Sin datang sang kakek menatap tajam.

“Darimana kau? Tanya Kakek Hay.

“Melihat pibu,” jawab Thian Sin.

“Kakek juga di sana tetapi kau tidak ada,” balas Kakek Hay.

Belum sempat Thian Sin menanggapi kakek Hay berkata kembali.

“Kau dari perkampungan merah?

Bukan main terkejutnya Thian Sin mendengar pertanyaan sang kakek.

Thian Sin diam tak menjawab.

Kakek Hay menarik napas melihat Thian Sin diam, tidak lama kemudian raut wajah sang kakek terlihat sedih dan berkata kembali.

“Aku tahu kau adalah putra dari tuan Thian Bu, jangan kau bantah! Karena aku dahulu adalah salah satu penduduk dari perkampungan merah, wajahmu yang sekarang sangat mirip dengan wajah Tuan Thian Bu di masa muda.”

Thian Sin terkejut mendengar cerita kakek Hay dan membalas.

“Perkampungan merah sudah hancur, semua tidak ada yang tersisa, murid ayah yang menyelamatkan aku di bantai oleh mereka yang di sebut pendekar.”

“Kakek Hay sudah dengar semuanya dari para nelayan dan pedagang yang berlabuh di sungai panjang,” balas si kakek.

“Dahulu Kakek beserta istri tinggal di perkampungan merah, tetapi istri kakek tidak betah dan ingin melihat dunia luar, sesudah mendapat ijin dari tuan Thian Bu dan berjanji tidak akan kembali serta memberitahu tempat perkampungan merah kepada orang luar.

“Akhirnya kakek sampai di sungai panjang, setelah sampai ternyata istri kakek sering sakit-sakit an dan akhirnya meninggal dunia.

“Untuk kembali ke perkampungan merah sudah tidak mungkin, kakek lalu menghabiskan waktu di sungai panjang membuat perahu.

“Kakek Hay langsung memeluk Thian Sin dan berkata.

“Aku berterima kasih kepada Dewa, keturunan tuan Thian Bu masih hidup dan perkampungan merah pasti akan muncul kembali di dunia persilatan.”

“Sepertinya yang kakek inginkan sulit terwujud.

“Hanya seorang diri tidak mungkin aku mendirikan kampung merah, aku hanya ingin mencari siapa orang yang paling bertanggung jawab atas kematian ayah dan otak di balik musnahnya kampung merah,” Thian Sin mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya saat ini.

“Kalau hanya dukungan pelan-pelan bisa kau dapatkan, kau bisa mulai dari perkumpulan sungai panjang,” balas kakek Hay.

“Apa maksud kakek? Tanya Thian Sin.

“Semua orang di sungai panjang tahu bahwa Kin Bwe Siocia suka padamu.

“Nikahi dia dan kau akan mendapat dukungan dari perkumpulan sungai panjang,” jawab kakek Hay.

“Tidak tidak! Aku baru berusia 17 tahun kek, aku belum memikirkan untuk menikah,” balas Thian Sin.

“17 tahun sudah cukup, malah di sungai panjang yang usianya 16 tahun juga banyak yang sudah menikah.

“Itu mereka, bukan aku, kek,” ucap Thian Sin.

“Terserah Kongcu saja,” akhirnya kakek Hay menyerah mendesak Thian Sin menikah.

“Jangan panggil Kongcu, aku adalah cucu kakek, panggil saja nama,” Thian Sin bicara sambil cemberut mendengar kakek Hay memanggilnya Kongcu.

Kakek Hay anggukan kepala, air mata tampak mengembang siap hendak turun.

Kakek Hay terharu mendengar perkataan Thian Sin, selama ini kakek Hay hidup seorang diri, karena sangat mencintai sang istri dan sang istri meninggal sebelum memberi ia keturunan, kakek Hay tetap tidak mau menikah, dengan datangnya Thian Sin mengubah hari-hari Kakek Hay menjadi bahagia.

“Tidak kusangka di saat usia senja, aku mempunyai keluarga,” ucap Kakek Hay.

Thian Sin langsung tersenyum mendengar perkataan Kakek Hay.

Keduanya terus bercakap cakap di ruang tengah, bercerita akan kerinduan mereka terhadap kampung merah.

“Oh iya! Aku hampir lupa, aku ada sesuatu untukmu, siapa tahu berguna,” tiba-tiba kakek Hay berkata sambil masuk kedalam kamar.

Tidak lama kemudian kakek Hay keluar dari dalam kamarnya sambil membawa satu kitab lusuh, kemudian kitab tersebut di letakan di atas meja.

“Kitab apa ini kek? Tanya Thian Sin.

“Kau kan tahu aku tidak bisa baca tulis, jadi darimana aku tahu ini kitab apa,” jawab Kakek Hay sambil lanjut berkata.

“Coba kau lihat! Itu kitab apa?

Thian Sin mengambil kitab dan membuka nya, di halaman pertama dari kitab lusuh tersebut tertulis.

Setan Tanpa Bayangan

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
mantap bah
goodnovel comment avatar
Andi Heryadi
karya bung Jack mad the best
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status