Embun's POVPercayalah, tak mudah bagi seorang ibu merelakan anaknya menikahi perempuan yang jelas-jelas tidak bisa memberikan keturunan. Terlebih Hendriko adalah anak satu-satunya. Pasti Bu Salwa mulai bimbang setelah tahu tentang diriku yang sebenarnya.Hening menjadi jeda pembicaraan kami cukup lama, hingga aku berinisiatif untuk menyapanya kembali. "Bu," panggilku."Ya, besok malam Ibu tunggu jam tujuh untuk makan malam bersama kami. Jangan lupa, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Panggilan di akhiri.Aku termenung menatap langit-langit kamar. Gemuruh di dadaku seperti gerimis di luar yang telah berubah menjadi hujan. Sebenarnya banyak yang hendak kubahas dengan Bu Salwa di telepon tadi. Tapi beliau keburu menyudahi pembicaraan. Dengan sikapnya yang tergesa-gesa mengakhiri pembicaraan, aku tahu kalau Bu Salwa mulai bimbang dengan kenyataan yang ada padaku. Namun beliau tetap saja mengundangku untuk makan malam.🍂🍂🍂Kubuka pintu kamar setelah rapi berseragam. Udara segar men
Embun's POV"Bagaimana jika mereka melamarmu? Padahal ada pria lain yang juga menunggu jawabanmu?""Aku akan bilang terus terang nanti. Lagian aku nggak yakin kalau Hendriko menyukaiku meski kami berteman. Bu Salwa juga belum tentu mau dengan perempuan mandul sepertiku. Beliau hanya sudah terlanjur mengundangku untuk makan malam, jadi nggak mungkin akan membatalkan."Yani mengandeng lenganku untuk diajaknya duduk di bangku semen yang ada di parkiran. Dia tahu aku butuh teman bicara."Kamu nggak mempertimbangkan pria bernama Andrean itu?" "Rasanya aku masih malas membuka diri. Memulai lagi proses perkenalan, penjajakan, saling menimbang, lantas membuat keputusan. Membayangkan itu aku capek, Yan.""Tapi apa kamu nggak capek menghadapi stigma negatif masyarakat yang menganggap kalau janda itu identik dengan perempuan kesepian, penggoda, haus kasih sayang, bahkan dilecehkan. Bahkan dianggap sebagai warga kelas dua yang tak layak di utamakan. Kamu butuh pelindung. Dan dengan pria bernama
Embun's POV"Kita jangan bicara di sini, Mas," kataku sambil memandang orang-orang yang duduk di depan sana. Andrean pun ikut memandang ke arah mereka."Oke, kita bicara di mana?""Di mana saja, tapi jangan di sini."Andrean membuka pintu mobilnya. "Masuklah!"Kupandang jam yang melingkar di pergelangan tangan. Jam setengah sembilan. Sudah malam sebenarnya. "Mas, sebentar saja ya. Ini sudah malam.""Iya."Aku masuk ke mobilnya. Dia mengajakku makan di sebuah restoran, tapi aku menolaknya. Akhirnya kami bicara di dalam mobil yang ia hentikan di pinggir jalan."Saya tadi di undang makan malam sama Bu Salwa." Aku mulai cerita."Dalam rangka apa?""Karena saya telah merawat putranya saat sakit waktu itu.""Itu saja?"Aku mengangguk. Sebab hanya itu maksud tujuannya mengundangku untuk dinner bersama. Tujuan terakhir setelah beliau tahu aku hanyalah seorang janda tanpa anak.Andrean menatap ke depan, pada lalu lintas malam yang mulai lengang. Pria ini diam cukup lama, membuatku menerka-nerk
Mbak Sri memberiku semangat dengan antusias. "Nggak usah bimbang. Kamu nggak seperti aku yang harus memikirkan bagaimana perasaan anak-anak jika ingin memulai hubungan baru. Lagian dia bisa menerima kondisi kamu. Move on dan lanjutkan hidup kamu. Buang trauma, rasa benci, bikinlah hatimu sendiri merasakan kedamaian."Malam itu perasaanku longgar setelah cerita dengan Mbak Sri. Aku mulai memiliki keyakinan dan kemantapan hati untuk menerima Andrean. Dalam sujud-sujudku aku memohon petunjuk untuk langkahku selanjutnya. Aku memohon diberikan kemudahan dan tidak salah menentukan pilihan.* * *Ini hari terakhir aku masuk kerja, besok aku sudah cuti dua hari. Yani tak henti-hentinya menggodaku setelah aku cerita perhal semalam. Aku juga menceritakan pertemuanku dengan keluarga Pak Darmawan. "Benar kan dugaanku. Kalau Bu Salwa nggak akan bisa begitu saja menerima kondisimu," kata Yani siang itu sehabis Salat Zhuhur."Iya, aku juga nggak apa-apa. Aku paham, seorang Ibu pasti menginginkan yan
Author's POVMeskipun dengan berat hati, Pak Darmawan menyambut tangan sang putra dan menggenggamnya erat. Kemudian merangkul Andrean sambil menahan sebak di dada yang membuat netranya terasa memanas."Terima kasih, Pa," ucap Andrean sambil tersenyum kemudian permisi pergi.Pak Darmawan menatap punggung kokoh putranya yang hilang dibalik pintu. Anak yang tumbuh di bawah asuhan sang nenek. Sosok ibu mertua yang sangat baik padanya. Yang merangkulnya seperti putranya sendiri. Walaupun mungkin dirinya bukan menantu yang baik.Sekarang beliau harus membiarkan Andrean menentukan pilihannya sendiri. Meski rasanya tak rela jika anaknya tidak akan memiliki keturunan. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena untuk menentang pun tak bisa. Hubungan mereka tidak seakrab hubungan antara papa dan anak. Sementara Andrean kembali masuk ke dalam ruangannya diikuti oleh Rozak. Keduanya lantas duduk berhadapan di meja kerja Andrean."Bagaimana tanggapan papamu?" tanya Rozak penasaran. Sebelum menemu
Author's POVMalam itu hujan kembali mengguyur bumi. Suasana di rumah Pak Tino cukup meriah. Ada beberapa kerabat yang datang untuk makan malam dalam rangka anniversary pernikahan lelaki itu dan istrinya.Andrean duduk di sebelah gadis yang sejak tadi berusaha mengajaknya bicara. Menghidupkan percakapan di antara mereka. Namun Andrean hanya menjawab seperlunya. Dari tempat duduknya Tante Verra memperhatikan sang keponakan yang tidak antusias sama sekali terhadap gadis pilihannya. Seistimewa apa perempuan yang disukai Andrean, hingga gadis secantik Nency tidak berhasil menarik perhatiannya. Andrean sendiri tidak menduga kalau akan ada Nency di acara tantenya. Sebab selama ini sang Tante tidak pernah mengundang orang luar di acara anniversary-nya."Mas, akhir pekan ini datang ya di acara pembukaan butikku. Nanti undangannya menyusul. Ada di lantai empat Prima Plaza, deketan sama butiknya Bu Salwa." Nency sangat berharap bahwa pria di sebelahnya akan mau memenuhi undangannya. Gadis itu
Author's POV"Kami akan menikah di kota, Pak. Secara sederhana saja. Sebab Embun masih jadi warga sana juga. Jadi kami tidak akan kesulitan untuk mengurus surat-surat yang diperlukan." Andrean menjelaskan.Sejak bercerai, Embun memang belum mengurus pindah tempat kembali ke desanya. Alamat di KTP menggunakan alamat kosannya. Dia mengurus KTP baru setelah putusan perceraiannya di pengadilan agama.Walaupun Pak Karim telah menolak pemberian uang dari Andean, tapi pria itu tetap memaksa memberikannya ketika mereka hendak pamitan pulang. Embun juga titip salam buat Roy yang tidak ada di rumah karena sedang diajak bosnya ke luar kota. Rini juga masih di sekolah."Apa Mas nggak ingin mengajak saya minta restu pada Pak Darmawan?" tanya Embun di perjalanan."Setelah kita urus semua surat-surat dan menetapkan tanggal pernikahan, aku akan mengajakmu bertemu papa.""Baiklah!" jawab Embun sambil tersenyum.Mereka sampai di kota jam dua belas siang. Andrean sepakat dengan Embun kalau akan menggun
Embun's POVSetelah mengukur baju pada Mbak Mur, aku duduk di tepi pembaringan. Masih ada waktu beberapa jam lagi sebelum aku bersiap-siap hendak pergi kerja. Dua hari ini aku sibuk mondar-mandir untuk mengurus surat-surat nikah. Rasanya seperti mimpi kalau sebentar lagi aku akan bersuami lagi.Benar yang ditulis dari buku yang kubaca, bahwa semua akan membaik seiring berjalannya waktu. Pernikahanku dengan Mas Fariq boleh gagal, tapi tidak berarti kehidupanku selanjutnya harus ikut gagal.Siang itu aku bersemangat masuk kerja. Rasanya tak sabar segera memberitahu Yani bahwa aku akan menikah tak lama lagi. Namun ketika sampai di rumah sakit, justru Yani yang lebih dulu memberitahu sesuatu padaku."Ternyata mantan madumu itu keguguran lagi dua hari yang lalu. Waktu kita cuti. Jadi dia di rawat satu kamar dengan suaminya.""Oh ya?" tanyaku tidak sepeduli kemarin-kemarin. Rasa sakit itu tak lagi seperti dulu."Iya. Dewi yang cerita padaku." Dewi ini perawat yang shift-nya berbeda dengan