Embun's POV Habis Salat Isya, Andrean membeli makanan untuk kami. Ah, aku harus memanggilnya 'Mas' sekarang. Dia membeli nasi rames di warung yang tidak jauh dari rumah. Sedangkan aku menyiapkan piring dan membuat dua gelas teh hangat.Rumah itu sangat bersih dan rapi. Semua perabotan dapur termasuk piring dan gelas terbuat dari porselen yang masih bagus dan terawat. Ini perabotan kuno, pasti usianya sudah berpuluh tahun. Barang bagus pasti awet.Tentunya sebelum ada aku, Andrean sendirian di rumah ini tiap pulang kerja."Mas, ayo makan!" panggilku pada pria yang baru saja mengunci pintu depan.Kami duduk di kursi kayu jati berukir dengan meja makan berbentuk bulat yang terbuat dari marmer. Tepat di atas kami ada lampu gantung dengan desain klasik dan minimalis.Struktur batang lampu terbuat dari logam yang membentuk kelopak bunga terbalik. Di setiap kelopaknya ada bola lampu yang menjadi sumber pencahayaan utama. "Kamu liatin apa?" tanya Mas Andrean turut memandang ke atas."Mandan
Awal pagi yang dingin. Rambutku yang masih basah kubelit menggunakan handuk karena tidak ada hairdryer di sana. Aku juga lupa membawa dari kosan kemarin."Hari ini Pak Karyo yang akan ngantar kamu ngambil barang ke kosan. Maaf, Mas tidak bisa menemani," ucapnya sambil menggamit pinggangku. "Nggak apa-apa. Barangku nggak banyak. Mungkin hanya sekali angkut saja sudah selesai.""Kamu bisa catat apa yang kita butuhkan lagi. Nanti liburan kita bisa belanja."Andrean berdiri dan mengambil sesuatu dari dompetnya yang tergeletak di atas meja. Sebuah debit card diberikannya padaku. "Di sini ada sejumlah uang yang bisa kamu gunakan. Nanti kirimi Mas nomer rekening kamu. Mas akan mentransfer uang bulanan ke rekeningmu." Dia juga mencatat nomer PIN kartu itu di buku catatan di atas meja."Makasih, Mas," jawabku sambil membalas pelukannya."Di garasi belakang ada mobil yang sering di pakai oleh Pak Karyo untuk mengantar Nenek belanja atau ziarah ke makam. Pak Karyo akan menggunakan mobil itu unt
Embun's POVGerimis turun sore itu. Aku duduk sendirian di depan jendela besar yang menghadap ke taman samping rumah. Sambil memandang Mbok Darmi yang berjalan kaki, pulang berpayungan bersama Pak Karyo.Tadi aku sudah bilang agar mereka pulang bawa mobil saja biar tidak kehujanan."Rumah kami nggak jauh dari sini, Mbak. Lagian di sana nggak ada tempat untuk parkir mobil," tolak Pak Karyo.Sekarang mereka sudah tidak tampak lagi karena berbelok di tikungan depan. Sungguh pemandangan yang menyejukkan hati. Mereka tampak harmonis di hari tuanya. Hal yang pernah kuimpikan dulu. Dan kini, aku mengimpikan lagi bersama orang yang berbeda.* * *Jam setengah sembilan malam Andrean baru sampai di rumah. Tadi sore dia sudah mengirimkan pesan kalau akan pulang telat. Sebab banyak pekerjaan yang mesti di follow up. Seperti yang kulakukan sebelum ini. Aku menyiapkan handuk, baju ganti, dan perlengkapan salat di kamar. Kemudian ke belakang untuk menyiapkan makan malam. "Aku tunggu di ruang makan
Embun's POVBenar, dia menyelidiki apa yang dilakukan suaminya padaku. Mungkin juga telah membayar orang untuk mengawasi kami. Lucu sekali."Katakan pada suamimu. Jangan pernah menemuiku lagi. Jangan ganggu istri orang.""Apa?" tanyanya terkejut."Jaga suamimu baik-baik, biar nggak melirik istri orang lain.""Kamu sudah menikah? Siapa duda yang mau nikahi wanita nggak punya anak sepertimu?"Aku menarik napas dalam-dalam. Tajam sekali dia mengataiku. Kenapa Karina sekarang seperti ini? Tidak seperti Karina yang kukenal dulu. Apakah ini Karina yang sebenarnya? Aku mengatur napas terlebih dulu sebelum menjawabnya."Orang yang terbiasa berprasangka buruk, selamanya akan beranggapan buruk pada orang lain. Suamiku bukan duda atau suami orang. Statusnya belum pernah menikah saat dia menikahiku. Cari tahu saja siapa suamiku. Bukankah selama ini kamu begitu kepo dengan hidupku." Telepon ku tutup dan kuletakan di atas kasur. Aku keluar kamar dan menghampiri Mbok Darmi di dapur sekaligus mau me
Author's POVKedua pria itu melangkah masuk sebuah rumah makan. Andrean tahu siapa Fariq, tapi Fariq tidak tahu kalau pria yang akan bekerjasama dengannya itu adalah suami dari perempuan yang masih dicintainya.Andrean selalu memperhitungkan dengan matang sebelum bertindak. Setelah jatuh cinta pada Embun, dia akan mencari tahu siapa wanita itu. Kegagalan pertunangannya membuat ia selalu berhati-hati, apalagi jika berurusan dengan perasaan ia tidak ingin gegabah.Dua pria dari perwakilan perusahaan masing-masing itu mengambil tempat duduk paling pinggir untuk menghindari lalu lalang pengunjung yang lain."Silakan duduk, Pak Fariq." Andrean mempersilakan rekan bisnisnya. Mereka baru bertemu tiga kali ini. Pertama ketika di mall waktu itu, saat Andrean juga bertemu Embun di sana. Namun siapa sangka, rekan bisnis yang akan bekerjasama ternyata mantan dari perempuan yang ia cintai. Andrean tetap profesional. Itu masa lalu bagi mereka. Sedangkan Fariq sendiri tidak ingat bahwa di mall wakt
Fariq tidak menjawab. Dulu waktu masih ada Embun, mereka semua di rawat dengan baik oleh wanita itu. Setelah diperiksakan ke dokter, Embun yang akan mengurus di rumah setelahnya. Banyak saran kesehatan yang diberikan sang menantu untuk mereka.Namun sekarang baru terasa setelah Embun tidak ada. Setahun menjadi menantunya, Karina tidak peduli dengan sang mertua. Ia datang sekedarnya, itu pun akan menjenguk mereka jika Fariq yang mengajak. Karina justru berubah setelah menjadi satu-satunya istri Fariq. Ketika masih ada Embun dulu, wanita itu seolah berlomba melakukan kebaikan untuk mengambil hatinya dan sang suami.Bu Salim baru terasa sekarang. Bahwa beliau telah kehilangan menantu berhati malaikat seperti Embun. Terlebih saat ini ia bisa merasakan kalau putranya tidak bahagia. Rumah megah yang di hadiahkan untuk Fariq ditinggal begitu saja karena Karina tidak mau lagi tinggal di sana, hanya karena banyak kenangan tentang Embun. Bu Salim sempat jengkel dan geregetan. Tapi apa yang bisa
Author's POV"Suami?" tanya Bu Salim kaget. Begitu pun dengan sang suami yang duduk di sebelahnya. Lelaki yang sempat menentang istrinya mencarikan istri kedua buat putra mereka."Iya. Saya sudah menikah, Tante," jawab Embun sambil tersenyum.Bu Salim masih mematung tidak percaya. Setahun Embun bercerai dari Fariq, tapi sekarang sudah menikah lagi. Wanita itu bisa melihat wajah berseri mantan menantunya, meski tanpa make up karena semalaman dia berjaga."Tante, saya permisi. Semoga Om lekas sembuh," pamit Embun sambil menyalami Bu Salim dan suaminya.Setelah Embun pergi, Bu Salim baru sadar kenapa ia tidak bertanya, Embun menikah dengan siapa. Karena terlalu kaget, lidahnya menjadi kelu untuk bertanya.Wanita sepuh itu memandangi Embun hingga sosoknya hilang di balik tembok rumah sakit. Netranya berkaca-kaca bersamaan dengan rasa sesak dalam dada. Bahkan ketika pernikahan Fariq dan Karina dulu, sebagian kenalan menyayangkan sikap Bu Salim dan Pak Salim yang tega terhadap Embun. Bukank
Author's POV"Aku sebenarnya ... menyukaimu. Setelah kita sering bertemu hampir setiap hari selama aku sakit."Embun yang merasa berdebar dan gemetar tetap berusaha bersikap tenang dengan menampilkan senyuman di bibirnya. Tapi apa mungkin ia akan menerima Hendriko, andai ia tidak di sukai Andrean?Tidak. Embun belum tentu menerima Hendriko karena restu ibu tidak pasti di dapatkan lelaki itu. Ia ingat pertemuannya dengan Bu Salwa di warung bakso. Kemudian dilanjutkan dengan telepon undangan makan malam dari wanita itu. Dilanjutkan lagi dengan dinner malam itu dan Hendriko pun ada di sana, tapi Bu Salwa tetap diam saja. Dari situ saja Embun tahu, bahwa kondisinya yang tidak bisa memberikan anak tidak bisa di terima oleh Bu Salwa."Aku sudah pernah cerita kalau aku janda. Bercerai karena aku nggak bisa ngasih keturunan untuk suamiku.""Aku tidak mempermasalahkan hal itu.""Tapi belum tentu Bu Salwa dan Pak Darmawan akan merestui kita." Embun bicara dengan tenang. Ia tidak ingin berkata b