Usai mencuci dan menjemur pakaian. Aku merebahkan diri di ranjang. Saat begini baru kurasakan tubuh yang terasa letih. Aku menatap langit kamar dengan plafonnya yang baru di cat oleh ibu kos beberapa minggu yang lalu. Wanita pemilik kosan yang sangat baik padaku. Dulu Yani yang membantuku mencari kosan setelah putusan sidang cerai di pengadilan.
Ingat cerai membuatku ingat Mas Fariq. Sejak semalam pesannya belum aku buka. Ponsel di meja sebelah tempat tidur kuambil dan membuka aplikasi pesan.[Embun, bisa kita bertemu?][30 hari lagi masih ada kesempatan untuk kita membicarakan hubungan ini.]Tidak kuteruskan lagi membaca deretan pesan selanjutnya. Rujuk, itulah intinya yang dia inginkan. Kalau aku sanggup hidup di madu, tentu saja aku tidak akan mengajukan gugatan cerai. Jika aku bersedia rujuk, aku akan jadi istri keduanya. Aku tersenyum simpul.Sepuluh tahun berakhir sia-sia. Aku terpaksa merelakan sebuah hubungan yang pernah kuperjuangkan. Sampai detik perpisahan kami, orang tua Mas Fariq sangat baik padaku? Tapi, benarkah mereka baik? Jika baik tentu menyetujui usulku untuk melakukan program bayi tabung. Mereka menentang keras metode In vitro fertilization (IVF).Katanya program ini adalah program yang di ciptakan manusia, tentu banyak gagalnya. Sementara yang secara alami saja kami belum berhasil melakukannya. Berapa ratus juta yang akan melayang sia-sia, belum lagi segala resikonya. Pikiran mereka belum terbuka. Yang dipikirkan hanya kegagalannya saja.Mas Fariq sendiri tidak begitu mempermasalahkan soal anak. Namun sikapnya yang demikian justru membuatku berada dalam tekanan. Karena orang tuanya tak lagi membujuk dia, tapi malah menuntutku untuk menerima Karina sebagai madu. Wanita yang dengan senang hati menerima lamaran mereka untuk putranya. Umurnya dua puluh enam tahun. Anak seorang pengusaha rekan bisnis dari mantan mertuaku.Sekarang baru aku sadar, dengan sikap manisnya mereka memang sengaja ingin menyingkirkan aku dari hidup putranya.Baru saja netraku memejam, dering panggilan masuk membuatku kembali meraih ponsel. Di layar hanya tertera angka saja tanpa nama. Apakah Bu Salwa yang menghubungiku?"Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Dadaku berdebar ketika mendengar suara itu. Ternyata Mas Fariq yang menelepon menggunakan nomor lain. Aku segera bangun dari pembaringan."Embun, aku di luar kosanmu. Bisa kita bertemu sebentar."Aku bangkit menuju ke arah jendela kaca. Di jalan depan terparkir mobilnya. Rupanya dia masih bisa mengingat dengan baik jadwal kerjaku."Embun, sebentar saja.""Enggak, Mas. Untuk apa ketemu?""Embun, keluarlah. Please!" Suara pria itu bergetar.Aku masih mematung dari balik gorden jendela dan melihat dia yang ada di dalam mobil itu. Kendaraan yang menjadi saksi kebersamaan kami beberapa tahun terakhir ini."Maaf, Mas. Aku nggak bisa. Sebentar lagi aku harus pergi. Aku ada pekerjaan menjaga orang sakit di luar jam kerjaku.""Di mana?""Mas, nggak perlu tahu."Kudengar dia membuang napas kasar. Hening menjadi jeda pembicaraan kami. Cukup lama kami saling diam dan hanya saling mendengar deru napas masing-masing. "Mas," panggilku."Ya, aku akan menunggumu keluar.""Please, pergilah. Hubungan kita telah selesai. Biarkan aku meneruskan kehidupanku dengan tenang. Begitu juga dengan Mas. Jangan jadikan aku pecundang di antara Mas dan Karina. Please, tolong aku Mas." Selesai bicara segera kumatikan ponsel. Dan benda itu terus berdering berkali-kali hingga dia pergi satu jam kemudian. Dia tinggalkan pekerjaannya hanya karena ingin menemuiku.Dengan kondisi kami saat ini, rasanya merubah hubungan menjadi persahabatan juga tidak mungkin. Itu hanya akan membuat kami sama-sama susah pergi dari kisah lama kami. Dia punya kehidupan bersama istri barunya. Sedangkan aku akan melanjutkan hidup, yang entah akan bermuara ke mana.Aku tak lagi bisa tidur. Pikiranku mengembara ke mana-mana. Sepuluh tahun, terlalu banyak kenangan kami yang tak mudah dihilangkan begitu saja.Jam dua belas siang aku bersiap-siap lagi untuk pergi ke rumah Pak Darmawan. Kali ini aku akan pergi mengendarai motor sekalian langsung memakai baju kerja. Kendaraan yang kubeli setelah bercerai. Mobil yang dibelikan Mas Fariq kala itu, aku tinggalkan. Yani membodohkan aku kenapa tidak mau membawanya. Toh itu juga hakku. Namun mengingat Mas Fariq telah membiayai operasi adik tiriku dua bulan sebelum kami bercerai, membuatku tahu diri dan tak perlu membawa apapun dari sana selain sejumlah uang yang di transfer Mas Fariq di rekening pribadiku."Itu mobilmu, bawalah," perintahnya kala itu. Namun aku datang tak membawa apa-apa, pergi pun juga begitu.Ketika membuka pintu kamar, ada bungkusan yang tergantung pada handle pintu. Satu kotak nasi beserta minumnya. Dari gambar yang ada, ini logo dari rumah makan langganan kami dulu. Aku tidak menyadari dia masuk ke dalam pagar dan meletakkannya di pintu.Aku membawa bungkusan itu pergi. Ketika sampai di rumah Pak Darmawan, kubiarkan saja benda itu tergantung di motor dan aku masuk ke dalam lewat pintu samping.Bu Atun tersenyum ketika melihatku datang. "Mas Hendri sudah makan, Bu?" tanyaku."Belum, Mbak. Ini masih saya siapkan untuk makan siangnya." Bu Atun menata makanan di nampan."Biar saya yang membawanya naik, Bu.""Jangan, Mbak. Tugas Mbak hanya merawat lukanya, biar saya yang meladeni makannya."Akhirnya aku mengikuti Bu Atun menaiki tangga. Di dalam kamar, kulihat pria yang terluka itu masih posisi seperti yang aku tinggal tadi. Menatap layar laptop. Tapi aku kaget saat melihat perbannya di basahi darah segar. Bu Atun kembali turun setelah meletakkan nampan di atas meja."Apa yang Anda lakukan? Kenapa lukanya kembali berdarah?" tanyaku sambil menyentuh lukanya. Bahkan hem warna abu-abu yang dipakainya juga kena darah."Kamu lihat apa yang sedang aku lakukan sekarang kan?" Dia menunjuk layar laptopnya. Tapi aku yakin dia tadi habis melakukan sesuatu. Tidak mungkin luka yang sudah mulai membaik tiba-tiba kembali berdarah.Aku mengambil perlengkapan di atas meja. "Lepas bajunya, biar saya ganti lagi perbannya."Dengan tangan kiri dia melepaskan kancing-kancing bajunya. Dan membiarkan baju itu jatuh ke lantai. Aku sudah terbiasa dengan kondisi pasien yang shirtless ketika merawatnya, tapi kali ini menjadi tidak biasa saat aku tidak berada di bangsal rumah sakit. Namun di kamar sebuah rumah mewah dan hanya kami berdua berada di sana.Cepat-cepat aku lakukan pekerjaanku, membersihkan darah di lengan itu dan mengganti perbannya. "Kemarin sudah saya bilang kalau luka tembak bisa menyebabkan berbagai resiko, termasuk infeksi dan pendarahan hebat. Bisa juga komplikasi. Maaf, Anda harus memperhatikan ini. Istirahatlah dulu sampai luka ini sembuh," omelku jengkel sambil tanganku terus bekerja."Kamu melakukan pekerjaan di bayar di sini. Jadi lakukan saja tugasmu," jawabnya yang membuatku bertambah jengkel. Dia layaknya beruang kutub."Ya, saya memang di bayar. Tapi seorang perawat akan lebih bahagia jika pasien yang di tanganinya lekas sembuh. Dan saya nggak perlu lagi bolak-balik datang ke sini," ujarku penuh penekanan. Ketika itulah mata kami saling berpandangan. Aku kembali fokus pada lukanya, tatapan mata yang dinaungi alis tebal itu sungguh tajam dan dalam.Beberapa saat kemudian lukanya sudah kembali tertutup rapi. Ku kembalikan kotak perlengkapan ke tempat semula."Tolong ambilkan baju gantiku di lemari," pintanya.Aku membuka lemari pakaian. Dan isi lemari itu tampak gelap. Semua baju di sana, kaos, hem, kemeja, celana, bahkan beberapa jaket kulitnya di dominasi warna gelap. Hitam, biru dongker, dan beberapa warna abu-abu. Bagaimana memakainya jika semua sama begini?Kuambil hem warna biru dongker. Aku juga membantunya berpakaian. Setelah itu aku mengambilkan makan siangnya di nampan."Makan dulu biar saya siapkan obatnya," ujarku sambil meletakkan nampan di depannya. Hingga aku kembali setelah mengambil obat pria itu belum juga mulai makan."Kenapa?" tanyaku ketika melihatnya diam."Mana sendoknya?"* * *Selamat membaca :-)Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi