LC PERAWAN MILIK CEO

LC PERAWAN MILIK CEO

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-09-16
Oleh:  AquavivaBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
10Bab
10Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

ARUMI dijebak ibu tiri nya dan dijual ke salah satu club terkenal di kota. ARUMI menjadi LC termuda dan tercantik. Namun, nasib nya seketika berubah, disaat dia mendapatkan tawaran untuk menjadi istri kontrak dari pelanggan pertamanya. Bagaimana kehidupan ARUMI selanjutnya?

Lihat lebih banyak

Bab 1

Dijual

Arumi baru pulang sekolah, seragam masih menempel di tubuhnya, rambut awut-awutan, niatnya cuma mau mandi terus rebahan. Tapi langkahnya terhenti ketika suara mama tirinya terdengar dari ruang tamu.

“Rumi, cepet ganti baju. Kita harus pergi,” kata Lita tanpa basa-basi.

Arumi mematung, keringat masih menetes di pelipis. “Ikut kemana mah? Aku baru banget pulang sekolah, capek sumpah. Mau mandi aja belum,” keluhnya, mencoba menahan nada kesal.

Tatapan Lita tajam, tangannya terlipat di dada. “Kamu harus inget, mama udah besarin kamu dari kecil. Papa kamu udah nggak ada. Sekarang waktunya kamu balas budi.”

Arumi bengong. Balas budi? Maksudnya apa sih? “Hah? Maksud mama gimana? Aku nggak ngerti,” suaranya lirih, penuh tanda tanya.

Lita nggak mau ribet. Dia mendorong bahu Arumi, menyuruhnya masuk ke kamar. Arumi terperangah saat melihat sebuah dress merah ngejreng sudah tergeletak di ranjang. Dress itu pendek, ketat, belahan dadanya terlalu rendah untuk ukuran anak SMA.

“Mah… serius? Ini buat aku? Seriusan mama nyuruh aku pake ini? Gila sih, malu banget aku kalau pake ginian,” protesnya, memelototi baju itu dengan wajah panik.

“Udah, jangan banyak tanya. Pake sekarang,” suara Lita datar, tapi tegas.

Arumi menggigit bibirnya, hati terasa nggak enak. Tapi melawan juga percuma, akhirnya dengan berat hati dia kenakan dress itu. Saat bercermin, matanya berkaca-kaca. Ini bukan dirinya—rasanya kayak orang asing yang lagi dia lihat di balik pantulan kaca.

Jam sepuluh malam, Lita menarik Arumi keluar rumah. Di depan, sebuah mobil hitam sudah menunggu. Arumi berusaha bercanda untuk meredakan gugupnya, “Mah, kita mau kemana sih? Jangan bilang mama mau jual aku ke Kamboja gitu, kayak yang di berita-berita.”

Lita menoleh sebentar, tatapannya dingin, membuat bulu kuduk Arumi meremang. “Udah diem. Jangan bikin malu.”

Akhirnya Arumi duduk di kursi penumpang. Dadanya berdegup kencang ketika melihat Lita menerima sebuah amplop cokelat tebal dari wanita setengah baya di mobil itu.

“Mah… itu amplop apa? Jangan bilang beneran aku dijual…” bisik Arumi dengan suara bergetar.

Lita pura-pura sibuk, nggak menggubris. Wanita setengah baya itu lalu menoleh, tersenyum samar yang justru makin bikin ngeri. “Kamu jangan takut, Arumi. Kamu cuma bakal kerja.”

“Aku… aku nggak mau. Aku sebentar lagi lulus, aku pengen kuliah kedokteran. Aku punya mimpi, Bu, jangan hancurin itu,” suara Arumi tercekat, hampir nangis.

Wanita itu mendengus pelan. “Kamu harus bersyukur. Kalau bukan Lita, kamu udah jadi anak yatim piatu tanpa arah. Sekarang giliran kamu balas budi.”

Arumi terdiam, pandangannya kosong. Kata-kata itu menusuk hatinya, seakan mimpi yang dia jaga rapat-rapat sejak kecil mulai hancur di depan mata.

Subuh, Arumi dibangunkan oleh wanita itu. “Bangun, Arumi.”

Dengan mata berat, Arumi membuka kelopak matanya. Yang dia lihat dari jendela mobil bikin jantungnya melompat. Lampu-lampu neon masih kelap-kelip, gedung-gedung tinggi menjulang. Dia panik. “Kita… kita di mana? Ini kota lain?”

Wanita itu hanya tersenyum tipis. Mobil berhenti di depan sebuah gedung besar dengan musik berdentum samar dari dalam.

Arumi menatap dengan mulut ternganga. “Ini… club? Seriusan ini club?”

“Yah, betul. Kamu tau juga ternyata,” jawab wanita itu santai, seakan ini hal biasa.

Kaki Arumi gemetar saat keluar dari mobil. “Terus aku disini ngapain?”

“Kamu bakal tau nanti,” ucap wanita itu dingin.

Begitu masuk, suasana club langsung menyerang panca indera Arumi. Lampu warna-warni menari, bau alkohol menyengat, orang-orang tertawa keras, dan musik memekakkan telinga. Wanita itu—Risma—menarik tangannya menuju ruangan lain, di mana sekumpulan perempuan cantik berpakaian seksi duduk sambil ngobrol santai.

“Eh, ini anggota baru. Tolong didik dia ya,” kata Risma sambil menepuk tangan.

Arumi plonga-plongo, nggak ngerti apa-apa. Seorang perempuan dewasa berparas cantik bangkit, menghampiri dengan senyum sinis. “Kenalin, aku Bunga. Kamu siapa namanya?”

“Arumi… kak. Aku masih kelas tiga SMA,” jawab Arumi gugup, suaranya pelan.

Bunga menatap Arumi dari atas ke bawah lalu tertawa kecil. “Masih muda banget ternyata.”

Arumi memberanikan diri bertanya, “Kak… aku disini sebenernya kerja apa sih? Aku nggak ngerti…”

Bunga menyandarkan diri ke kursi, senyumnya makin sinis. “Kerja jadi LC lah. Emang kamu kira di club kerjaannya apa?”

Kata itu seperti petir yang menyambar. Arumi membeku, wajahnya pucat. “Apa…? LC? Maksud kakak… aku harus…” suaranya tercekat, air mata mulai menggenang. “Aku nggak mau… aku beneran nggak mau kerja gini. Aku masih sekolah!”

Bunga hanya tertawa kecil, tatapannya penuh iba bercampur sinis. “Welcome to the real world, dek. Semua orang disini dulunya juga punya mimpi.”

Arumi menatap pintu kamar dengan mata penuh air mata. Jantungnya berdebar kencang, tangannya meraih gagang pintu, berniat kabur. Namun, langkahnya terhenti ketika suara dingin terdengar dari belakang.

“Kau nggak akan bisa kabur dari sini, Arumi. Nggak akan pernah bisa!” suara Bunga menggelegar, penuh ancaman.

Arumi menoleh, wajahnya panik. “Aku nggak mau disini, kak! Lepasin aku! Aku mau pulang!” teriaknya sambil menangis sekencang mungkin.

Tangisannya memecah suasana, sampai beberapa wanita lain yang ada di ruangan itu jadi risih. Mereka saling pandang, gelisah. Akhirnya, satu per satu meninggalkan Arumi sendirian di kamar itu.

Arumi terus nangis sampai matanya bengkak, hingga kelelahan membuatnya tertidur.

Beberapa jam kemudian, pintu kamar berderit terbuka. Bunga masuk, wajahnya dingin. Ia mendekati ranjang, menatap Arumi yang tertidur dengan wajah sembab. “Dasar!” gumamnya sambil mengguncang tubuh Arumi.

Arumi terbangun, matanya masih berat. Begitu sadar, dia buru-buru duduk. Namun, Bunga langsung mengomel. “Mata kamu harus fresh, Arumi! Kamu harus tampil cantik di depan tamu. Gimana mereka mau suka kalau kamu kayak orang habis nangis seharian?”

Arumi menahan tangis, suaranya serak. “Aku nggak mau jadi LC. Pecat aku! Biarkan aku pergi!”

Bunga mendengus keras, matanya melotot. “Arumi! Apa kamu mau mati?”

Arumi terdiam, wajahnya pucat. “Mati…?” suaranya nyaris tak terdengar.

“Yah!” bentak Bunga. “Siapa aja yang nggak nurut sama aturan, dia bakal dieksekusi. Jadi jangan main-main sama hidupmu.”

Arumi membeku. Dalam hati ia menjerit, lebih parah dari Kamboja ya ternyata nasibku ini… Air matanya kembali jatuh, tak mampu dia tahan.

Saat itu, seorang wanita lain masuk, membawa segelas air. Perawakannya ramah, senyumnya tipis. “Hai, aku Lili,” katanya pelan.

Arumi mengangguk lemah. “Aku… Arumi.”

Lili menatapnya iba. “Ngeliat kamu, aku jadi inget aku dulu, waktu pertama kali dibawa ke sini.”

Arumi langsung menoleh penuh harap. “Lili… tolongin aku. Aku benci tempat ini. Aku pengen keluar.”

Namun Lili hanya menghela napas panjang. “Arumi, sekarang nikmatin aja hidupmu disini. Karena kalau nggak, kamu bakal sengsara.”

Arumi menggeleng keras. “Tempat apa ini sih? Aku bener-bener benci!”

“Arumi, dengerin aku,” Lili mendekat, suaranya merendah. “Ikutin aja alurnya. Setelah kamu coba, kamu bisa aja ketagihan.”

“Maksudnya?” Arumi menatap Lili dengan kening berkerut.

Lili lalu membisikkan sesuatu ke telinganya. Kata-kata itu membuat bulu kuduk Arumi berdiri, tubuhnya merinding.

“Kalau kamu bisa main cantik, keperawananmu itu nggak akan hilang,” bisik Lili.

Arumi menutup mulutnya dengan tangan, kaget. “Apa harus begitu? Apa… apa tempat ini beneran tempat jual diri?”

Lili menatapnya lurus. “Yah, betul. Tapi aku gagal jaga itu. Aku dulu ditawar satu miliar… mana bisa nolak?”

Arumi terdiam, shock. “Satu miliar? Kalau kamu udah punya duit segitu, kenapa masih disini?”

Lili tersenyum miris. “Karena aku nggak bisa ninggalin dunia ini. Aku udah ketagihan. Percaya sama aku, Arumi… semua yang masuk sini awalnya nangis, tapi akhirnya ya begitu juga.”

Arumi terisak. “Aku… aku nggak mau jadi kayak gitu.”

“Udah, nggak usah kebanyakan mikir. Aku bakal ngajarin kamu cara merias diri biar kelihatan cantik dan seksi,” ujar Lili, mencoba menghibur.

Arumi akhirnya nurut, walau hatinya hancur. Lili mulai mengajarinya makeup tipis. Pulasan lipstik, eyeliner tipis, blush on samar. Hasilnya membuat Arumi terdiam di depan cermin. Wajahnya benar-benar berubah. Bukan lagi siswi SMA polos, melainkan sosok yang terlihat dewasa—terlalu dewasa untuk usianya.

Lili tersenyum puas. “Cantik banget. Kamu bakal laku keras.”

Arumi menatap pantulan dirinya dengan mata berkaca-kaca. “Ini… ini bukan aku. Aku bener-bener udah kayak LC beneran.”

“Jangan nangis lagi, Arumi,” Lili menepuk bahunya. “Air mata nggak ada gunanya disini. Yang penting cuma uang, bukan rasa sakitmu.”

Tengah malam, pintu-pintu room mulai terbuka. Satu per satu LC keluar dengan tawa yang dipaksakan, ada yang merapikan gaun, ada yang menyalakan rokok. Arumi masih duduk, tangannya gemetar.

“Rumi, ayo. Malam ini giliran kamu coba,” suara Bunga tiba-tiba mengagetkan.

Arumi bangkit dengan ragu, hatinya berteriak ingin kabur, tapi kakinya berat melangkah. Di dalam room, dia gugup, salah tingkah, dan akhirnya melakukan kesalahan fatal—menolak minuman yang disodorkan tamu.

Bunga langsung murka. Wajahnya merah, tangannya menghantam meja. “Arumi! Gimana kamu bisa bikin tamu seneng kalau kayak gitu?!”

Arumi hanya bisa menangis. “Aku… aku nggak bisa, kak. Aku mau pulang.”

Bunga mendekat, tatapannya penuh amarah. “Mulai sekarang, kamu nggak usah makan malam! Itu hukumanmu.”

Arumi terisak, perutnya kosong, tubuhnya gemetar. Malam itu, ia meringkuk di pojok kamar, menangis sampai sesenggukan. “Tolongin aku… aku pengen pulang,” bisiknya lirih, suara yang tenggelam di antara dentuman musik club yang tak pernah berhenti.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
10 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status