Kalau hidup itu seindah cakrawala senja, mungkin setiap orang akan betah untuk berlama-lama terpapar panas di ruang terbuka hanya untuk menunggu sang penerang bumi tenggelam.
Kalau hidup itu seindah fajar, berarti semua orang akan betah kedinginan sepanjang malam hanya untuk menunggunya terbit kembali?
Untuk apa? Merasakan setiap kesakitan dan teriakan bumi yang terus hidup dalam kebobrokan?
Dusta. Nyatanya semua orang mengabaikan hal-hal nikmat yang dilalui dalam hidup hanya untuk memedulikan urusan tidak realistis, membuat diri mereka terjebak dalam lingkaran setan.
Atau lebih tepatnya, menjadi berengsek hanya untuk menuruti keinginannya supaya bisa menjadi yang terhormat.
Bahkan, menjadi bajingan pun tidak cukup untuk membuat diri sendiri terbebas dari masalah-masalah yang membuatku berpikir berlebihan. Pada akhirnya aku hanya bisa duduk dan terdiam, memikirkan bagaimana rasanya mati tanpa meninggalkan rasa sakit.
Sebuah hati yang terbentuk dari harapan tidak tampak seperti cadas yang akan tetap kokoh diterpa ombak. Aku terbakar, meleleh, menguap, dan lebur. Perisai-perisai yang menutup mimpi-mimpi itu semakin padat saat asaku runtuh bersama diri yang hancur diterpa sial.
Kehidupan manusia memang penuh dengan hasrat, keegoisan, dan harapan.
Jangan memandang ke belakang. Mereka hanya akan membuatmu semakin membenci dirimu sendiri.Dering alarm berbunyi sejak dua belas detik yang lalu. Namun, meski terusik, aku terlalu malas bergerak seinci pun untuk mematikan suara bisingnya.Aku tidak ingat telah menyetel alarm pada ponselku semalam, atau mungkin aku tidak sengaja memencetnya tanpa kuketahui? Biasanya aku bisa sangat ceroboh saat memegangnya dalam kondisi tidak terkunci, sehingga jemariku menyentuh beberapa tombol tanpa kusadari. Pernah tanpa sengaja benda itu menelepon nomor polisi karena aku memutar-mutarnya saat bosan.Sesuatu di atas perutku bergerak karena terusik. Ah, ya, aku hampir lupa jika semalam ak
Jika aku bisa, aku hanya ingin mengingat bagaimana rasanya mati.Aku tidak tahu sejak kapan perasaan ini datang dan membelenggu setiap jengkal hati dan pikiranku. Berkali-kali aku mencoba mengingatkan pada diriku sendiri, bahwa setiap pilihan yang kuambil akan berdampak sangat besar pada jalan hidupku.Jika ditanya, apa alasanku melakukan setiap hal mengecewakan yang tidak pernah bisa kuhapus dari ingatanku adalah ... tidak ada.Perasaan itu terus menerus datang dan memintaku untuk melakukan perbuatan bodoh yang telah membuatku dibenci oleh seseorang yang namanya tidak pernah bisa kuhapus dari benakku.
Entah apa yang kupikirkan setengah jam yang lalu hingga membuat Kenan datang ke rumah pada pukul dua dini hari. Saat semua isi kepala merespons perasaan kalut yang terus-menerus menjadi kekhawatiran, maka tidurku tidak akan tenang. Usaha kerasku untuk mengubur semua rapat-rapat serasa percuma. Mereka datang bak hujan dan terus menyerangku yang berdiri sendiri tanpa perlindungan."Ini tehnya, diminum dulu."Kenan duduk di kursi kerjaku yang ia seret hingga ke sebelah sofa dan menjadi sandaran untuknya. Secangkir teh kuterima dan kusesap sedikit, mengabaikan rasa panas yang membentur lidah."Kamu lagi mikirin apa, sih? Kenapa bisa mimpiin itu lagi?"Aku meletakkan kepala pada s
Tidak bisa kupungkiri bahwa setiap perasaan menyedihkan yang datang padaku adalah atas dasar keinginanku sendiri. Namun,aku tidak bisa mengendalikannya. Setiap kali aku memikirkan alur hidupku, rasanya ingin sekali melawan kehendak Tuhan yang begitu kejam. Skenario yang disusun-Nya memanglah bukan tanpa alasan, tetapi aku tidak bisa menerimanya. Ini terlalu berat untuk orang sepertiku. Bahkan, jika boleh kukatakan, aku sama sekali tidak ingin ada tangan yang menyeretku saat aku berjalan.Sayangnya, semua itu hanyalah asa. Bahwasannya takdir yang kujalani memanglah ulah sang pencipta. Bisakah aku membenci-Nya barang sedetik saja? Nyatanya, aku urung karena sadar itu akan menambah beban drama yang Ia ujikan.Mobil yang membawaku tengah melaju pelan di antara guy
"Hidup adalah sebuah perjalanan," kata seseorang yang suaranya terus-menerus mengisi rongga di kepalaku. Seseorang yang tidak henti-hentinya kurindukan.Dahulu, ia hanya tertawa saat mendengarkanku melontarkan sebuah respons negatif. Meski begitu, ia tetap menerimanya dengan senyum yang menawan."Memangnya ke mana kita pergi selama kita hidup? Bukannya kita bakal tetap ada di satu tempat yang nyatanya udah kita pijak selama lebih dari dua puluh tahun?"Saat itu, semua pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan seolah-olah menolak semua opininya. Namun, tanpa kusadari, setiap jejer kata yang ia susun malah membekas dan meresahkan batinku sendiri hingga sekarang. Bahkan, empat tahun berlalu. Setelah selama itu aku dipaksa oleh semesta untuk mengikhlaskan di
Tanganku terulur ke depan, memasukkan sebuah besi berukir ke sebuah lubang kecil di bagian kiri pintu. Kuputar sebanyak dua kali hingga menimbulkan dentingan nyaring yang membuatku yakin bahwa benda ini bisa kubuka sekarang. Kuedarkan mataku setelah kupastikan pintu itu benar-benar terbuka, menampakkan sebuah ruangan yang diselimuti warna biru dengan motif sulur di setiap dindingnya. Pengharum ruangan beraroma seperti daun jambu menyeruak, membangunkan sedikit kesegaran dalam tubuhku.Aku menoleh ke belakang, mendapati Ester yang mengetik sebuah pesan di ponselnya. "Masuk, ter!"Ester menegakkan lehernya, menatapku dengan raut datar, kemudian melongok ke dalam rumah, memastikan apakah semuanya tampak sempurna. Aku yakin apa yang ada dalam pikiranku ini benar, maka aku berniat menyuruhnya langsung beristirahat sebelum ia mengatakan s
Keheningan semakin menggelayut kala larut menemukan khusyunya. Deburan suara ombak yang kian naik menggelitik telinga, seolah-olah merasakan dengan jelas bahwa lautan tengah memanggil, mengundang jiwa-jiwa yang tengah sibuk melamun di tepian untuk datang dan menyelaminya jauh lebih dalam. Seolah-olah terhipnotis, aku menatap ke ujung cakrawala yang kini terselimuti dalam gulita. Embusan angin yang menghantarkan nyanyian laut yang begitu menenangkan. Rasanya jika aku tidak ingat akan betapa bahayanya ombak laut selatan yang cukup besar dan mampu menenggelamkan siapa pun tanpan ampun, mungkin aku sudah menceburkan diri ke sana dan menyelam bersama para penghuni dasar samudera yang menakjubkan.Aku masih tetap terdiam lamunan bintang menyambut, membuatku sedikit kedinginan akibat sapuan angin yang cukup ganas malam ini. Aku hanya berharap sepulang dari sini aku tidak akan masuk angin.
Dalam rasa gelisahku, ada bahagia yang membuncah. Namun, degup jantung yang agak kurang ajar ini membuatku berat untuk melangkah. Senang melihat ibuku menaruh perhatian dan rasa khwatirnya padaku, membuat aku berpikir bahwa sebenarnya dia begitu mencintaiku. Namun, ingatan buruk yang membuatku terluka begitu dalam dan harus pergi meninggalkan duniaku yang sesungguhnya, membuat kecewa itu hinggap lagi. Apakah harus ada penyesalan dahulu untuk membuat seseorang sadar akan kesalahannya?Aku mengatur napas cukup dalam, menggantungkan cemas di ujung jariku ketika kembali nama itu muncul di layar ponsel Ester. Hatiku yang telah terjahit sempurna dan baru saja terlepas dari perban yang mengikatnya kuat, kini seolah-olah tergores kembali. Suara retakannya terdengar begitu jelas di telingaku yang cukup tajam. Sakit, tapi tidak berdarah.