Share

Chapter 1

Author: Amari Yo
last update Last Updated: 2021-03-25 20:29:13

Jangan memandang ke belakang. Mereka hanya akan membuatmu semakin membenci dirimu sendiri.

Dering alarm berbunyi sejak dua belas detik yang lalu. Namun, meski terusik, aku terlalu malas bergerak seinci pun untuk mematikan suara bisingnya.

Aku tidak ingat telah menyetel alarm pada ponselku semalam, atau mungkin aku tidak sengaja memencetnya tanpa kuketahui? Biasanya aku bisa sangat ceroboh saat memegangnya dalam kondisi tidak terkunci, sehingga jemariku menyentuh beberapa tombol tanpa kusadari. Pernah tanpa sengaja benda itu menelepon nomor polisi karena aku memutar-mutarnya saat bosan.

Sesuatu di atas perutku bergerak karena terusik. Ah, ya, aku hampir lupa jika semalam aku menginap di apartemen salah seorang 'teman'. Ya, teman untuk berbagi malam panas di ranjang yang sama, melampiskan hasrat yang entah datang dari mana. Hal gila yang benar-benar membuatku seolah-olah lupa akan seberapa besar karmanya.

Ia bergerak untuk lebih dekat. Dada bidangnya menindih perutku dan tangan kokoh itu terjulur untuk meraih ponsel yang enggan diam di atas nakas di samping tempat tidur.

"Udah kubilang, jangan nyetel alarm di hari minggu!" gerutuku. Aku merasa terusik dengan pergerakannya. Di saat kulit kami bergesekan langsung, itu membuat sesuatu dalam dadaku berdesir.

Dia terkekeh, kemudian kembali ke posisinya dan memeluk perutku yang masih betah untuk tidak mengenakan sehelai benang pun. "Maaf, tadinya aku ingin memasak sesuatu untukmu."

"Aku enggak bakalan sarapan sepagi ini. Biarin aku tidur beberapa jam lagi."

Dia semakin mengeratkan pelukannya, mengecup pundakku dan menarik selimut yang berantakan untuk menutupi bagian atas tubuh kami. "Gimana dengan sarapan di sini? Aku pengen makan kamu lagi."

Refleks, aku langsung membuka mata dan mendapatkan seratus persen kesadaran. Kantuk dan pusing yang kurasakan akibat terbangun dengan rasa kaget, kini sepenuhnya lenyap. Aku beranjak duduk dan menatapnya dengan wajah kesal. "Kamu gila, Kenan. Aku capek!"

Kenan hanya tersenyum, kemudian bergerak merentangkan lengannya lebar-lebar. Ia menepuk bahunya, memberi isyarat agar aku kembali tidur di sana. Aku pun menurut dan menyamankan diriku dengan sempurna.

Tangannya kembali memelukku, mengeratkan kedua tubuh kami dan saling melindungi dari pendingin ruangan yang meniupkan hawa menusuk. Dia sangat tahu, aku tidak suka dingin.

"Kalau aja kamu mau kunikahi, Luna. Setiap pagi lihat kamu bangun di sampingku dan bersikap semanis ini. Aku pasti bakal jadi orang yang paling bahagia di bumi."

"Kayak aku bakal siap aja untuk hal kayak gitu."

Seakan tidak peduli, Kenan masih berusaha membuatku nyaman berada di dekatnya. Dia adalah lelaki mesum yang bersedia meniduri wanita yang bukan istrinya, tetapi dia tidak seberengsek itu untuk berhubungan dengan orang selain aku. Setahuku, sejak setahun lalu saat kami saling mengenal, dia berusaha melamarku di setiap kesempatan. Namun, jawabanku masih tetap sama; "Enggak!"

"Aku paham, tapi apa kamu enggak berpikir kalau ini aku? Kenan. Bukan laki-laki kayak yang kamu takutin dan bikin kamu jadi makin—"

"Stop it, kenan! Jangan anggap seolah semuanya mudah buat aku."

Pada akhirnya, ia hanya menghela napas lelah. Kenan memang seperti itu, akan selalu mengalah terhadapku. Itu sebabnya aku betah berhubungan dengannya. Sejujurnya, aku juga mencintainya.

"Aku mencintaimu, Luna."

Aku tersenyum, wajahku terasa memanas. Mungkin dia akan melihat semburat kemerahan jika aku tidak segera menyembunyikannya dengan pura-pura kedinginan, lalu semakin mengeratkan pelukanku. Namun, pada akhirnya apa yang kulakukan malah membuat jantungnya berdetak semakin cepat. Aku mampu mendengarnya dengan jelas dalam posisi kami saat ini, membuat kami berdua berakhir dalam pergumulan panas karena sama-sama menahan gejolak yang timbul akibat perdebatan mengenai perasaan masing-masing.

Dia ... lelaki yang baik. Sungguh.

***

Aku berjalan menyusuri trotoar, melewati pertokoan yang cukup ramai di akhir pekan. Kota ini tidak terlalu besar, tetapi selalu macet. Mungkin, beberapa tahun ke depan keluhan mengenai polusi di daerah ini akan separah ibu kota, padahal kota tetangga dikenal sebagai wilayah yang paling bersih dan hijau.

Hari ini aku ingin menghabiskan waktuku di sekitar alun-alun. Mengistirahatkan diri dari kepenatan yang membelengguku beberapa bulan ini. Apa yang lebih kupusingkan dari sekadar perasaan gelisah karena kebangkrutan yang kualami? Studio penerbitanku terancam tutup pada akhir tahun ini dan aku menyerah untuk melanjutkan perjuanganku. Aku ingin istirahat.

Jika kupikir lagi, menikah dengan Kenan tidak buruk juga. Kebutuhan finansialku akan terjamin jika bersamanya. Ah, gila, aku matre sekali. Akan merasa sangat beruntung bila aku mendapatkan pria sesempurna itu secara utuh. Sayangnya, aku sendiri tidak tahu apa mauku.

Beberapa pesan yang masuk ke ponselku sengaja kuabaikan. Aku ingin tenang. Beberapa tahun terakhir aku nyaris tidak memiliki weekend, kecuali saat aku sakit dan itu membuatku seperti tidak memiliki kehidupan. Orang-orang biasa menyebutnya No Life.

Dering ponsel yang sama sekali tidak berhenti membuatku risih, jadi kuputuskan untuk membuka deretan pesan pada aplikasi SMS yang saat ini hampir tidak pernah kugunakan. Aku lebih suka menggunakan Whatsapp.

Terdapat beberapa pesan operator dan sebagian besar dari nomor-nomor para penipu bermodus punjaman online. Klasik. Namun, beberapa pesan teratas membuatku mematung sesaat. Nomor bernamakan 'Ibu' menjadi bagian pesan paling menakutkan untuk kuterima. Pasalnya, aku tidak ingin lagi berhubungan dengan mereka.

"Luna, kapan kamu pulang, Nak?"

"Luna, ibu kangen."

"Luna, gimana kabar kamu? Kamu makan dengan baik, 'kan? Apa bulan ini kamu bisa pulang?"

"Luna, angkat teleponnya! Ibu mau ngomong sama kamu."

Kututup dan kumatikan seketika ponselku, lalu memasukkannya ke dalam tas. Pesan seperti inilah yang membuatku benar-benar terpancing untuk mengingat hal yang tidak kuinginkan. Semuanya berhubungan dengan Ibuku. Semua, berawal dari keegoisannya yang ingin membahagiakan kami berdua tanpa pemikiran matang dan dewasa.

Aku tahu, mengatakan bahwa ibuku sendiri sangat bodoh dan kekanakan adalah ketidak-patutan yang sangat buruk. Namun, bagiku itu adalah ungkapan yang paling tepat untuk benar-benar terlepas dari hubungan yang kami miliki selain kata naif. Setidaknya, aku ingin namaku dihapus dalam daftar keluarga yang paling mengecewakan yang pernah ada.

Aku mengembuskan napas. Di bawah rindangnya pohon beralaskan kursi batu yang ditata melingkar di sudut taman kota, aku menatap lazuardi. Tampak cerah siang ini karena musim kemarau panjang belum usai. Ah, ini bulan september, seharusnya hujan hampir datang. Sayangnya, srenge masih sangat berambisi untuk membakar sisa-sisa kepedihan di planet ini.

Aku memejamkan mata sesaat, sebelum pada akhirnya aku menunduk dan menyembunyikan wajahku di antara lutut dan lipatan tangan. Aku ingin menangis ketika kilasan masa kecilku yang menyenangkan terburai kembali. Aku merindukan saat hidup berdua bersama nenekku kala Ibu masih jauh untuk merantau. Statusnya sebagai single parent tidak serta merta membuatku malu dan minder karena tidak memiliki ayah. Namun, semuanya sudah terlewat jauh dan tidak akan bisa kembali sekeras apa pun aku mencoba.

"Aku enggak mau pulang!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 15

    Suasana dingin berubah perlahan, deretan awan yang tadinya samar kini tampak semakin jelas dari arah timur. Meninggalkan jejak-jejak semu yang menipis tertiup angin menuju perputaran arah medan magnet. Sejak semalam aku tidak bisa tidur, hanya berakhir memandangi wajah tenang milik teman sekaligus penjaga jiwaku. Ester. Sesaat aku tampak seperti seorang stalker ketika melakukannya. Namun, mengenang semua cerita masa kecil kami membuatku menyadari akan rasa syukur yang luar biasa yang Tuhan telah berikan padaku selama ini. Di balik kisah gelap yang tidak pernah ingin kuingat itu aku memiliki dia yang selalu ada di dekatku. Namun, keberadaanya yang cukup vital dalam perjalanan hidupku seolah-olah membuatku telah sepenuhnya bergantung pada pemuda manis itu. Aku agak menyesal membuatnya terjebak dalam lingkaran setanku.Apakah aku akan ba

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chpater 14

    Aku menatap Ester serius. Maniknya mencoba menerka apa yang ada dalam pikiranku. Sebenarnya, aku tidak tahu apakah tindakan ini benar atau salah. Yang aku tahu adalah ketika terakhir kali ibuku menelepon dua minggu yang lalu, aku selalu memikirkannya.Sebenci dan semarah apa pun aku padanya yang menyebabkan aku tidak lagi memandang dunia dalam bahagia, dia tetaplah ibuku. Orang yang mengandung dan melahirkanku. Pun mengingat aku adalah anak tunggal, mungkin juga aku harus bisa sedikit menurunkan ego dan mengalah untuk dia. Seolah-olah dunia sedang menamparku dengan kenyataan. Alasan kenapa wanita itu masih mengejar dan mencariku untuk tetap terbelenggu bersamanya adalah karena aku anak tunggal. Jadi, aku telah memutuskan."Sebenernya aku kepikiran buat pulang.

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 13

    "Mbak …."Suara yang tiba-tiba datang menginterupsi, mengalihkan perhatian dan konsentrasiku dari kanvas yang tengah pasrah menjadi media pengungkap isi hati ke arah pintu. Aku menoleh, mendapati Ester tengah berdiri di sana dengan raut yang tenang dan senyum hangatnya seperti biasa."Hmm?""Boleh aku masuk?"Aku hanya mengangguk, memberikan ruang terbuka pada Ester untuk menginterupsi kegiatanku dengan obrolan yang sedikit santai. Meski agak mengganggu konsentrasi, tetapi aku masih tetap merasakan kenyamanan yang sama. Solitude

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 12

    Ia termenung, menatap sebuah benda yang biasanya tampak diam menganggur di sudut meja kini bisa terpakai dengan benar. Setidaknya, ia tidak membuang uang untuk hal yang sia-sia.Sesekali ia mendesis sembari memencet-mencet tombol dengan jemari tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tetap asik menggores di atas papan yang bila sekilas dilihat tampak mirip dengan talenan itu. Oh, benda mirip papan cincangan itu bernama pen tablet.Punggungnya bergerak teratur dengan sesekali gerakan acak untuk menyesuaikan posisi dan memperbaiki rasa pegal. Ia sudah duduk berjam-jam tanpa beranjak sama sekali dari depan l

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 11

    Kantuk menggelayut, memaksa kedua kelopak layu ini untuk senantiasa tertutup. Aku mengerjap untuk kembali meraih fokus pada layar di depanku.Satu bab terakhir untuk hari ini! Ayolah!Tanganku kembali meraih mug keramik yang ada di atas meja, menyesap isinya yang hampir habis. Aku tidak ingat ini sudah yang ke berapa kali aku menghabiskan kopi malam ini. Rasanya kalau bukan tuntutan deadline, aku tidak akan mau repot-repot mengerjakannya sambil menyiksa tubuh dengan kafein.Aku merenggangkan otot-ototku yang kaku, kemudian bersandar pada kepala kursi. Helaan napasku cukup kuat untuk menyemburkan genangan penat dalam paru-paruku. Aku terdiam cukup lama sembari menatap kosong pada la

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 10

    Aku tengah duduk pada sebuah bangku melingkar dengan empat kursi yang mengelilingi. Salah satunya di sebelahku telah diisi oleh sosok yang akhir-akhir ini matanya tidak pernah lepas mengawasiku. Siapa lagi? Ester tentu saja. Dia tengah sibuk membaca daftar pada buku menu, padahal kokinya sendiri telah menawarkan menu utama hari ini untuk dihidangkan pada kami.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati setiap lekuk sudut restoran yang tebilang cukup mewah ini. Meja bundar dengan kain satin putih menutupi permukaan serta vas-vas cantik terbuat dari crystal glass berdiri anggun di atasnya, membuat kesan luxury

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status