Share

Evanescent
Evanescent
Author: Alvydradirgantara

Prolog

Suasana hitam legam yang menggambarkan betapa suramnya kehidupan pemiliknya. Udara yang tidak pernah terganti membuat suasana kelam makin tercium dengan jelas. Tatapan sayu seorang gadis kecil yang berdiri dibalik tralis jendela kamarnya menyiratkan banyak cerita yang dibungkam.

“Non dipanggil Nyonya,”

Berbeda dari anak pada umumnya. Gadis itu hanya menarik sudut bibirnya sinis berlalu menuruni anak tangga. Drama khas pebisnis terdengar seru padahal semua itu hanya dusta. Sosok Nyonya dalam rumah itu tampak menekan kedua keningnya. Menyiratkan ucapan untuk bagian drama yang tengah berjalan.

“Selamat siang,”sapanya sekedar hanya untuk menghibur wanita yang tak berhenti melotot menatapnya. “Siang Nona. Kami dari pengadilan ingin secara langsung bertemu dengan Anda untuk menyelesaikan masalah terkait pembagian harta dan warisan mendiang Nyonya Arini,”ucap pria dengan jas lengkap.

“Silahkan saja langsung pindahkan atas nama saya seperti yang Ibu saya ingin kan tanpa perlu menambahkan hal apapun lagi. Saya tidak mau menerima dosa karena menghindari wasiat dari Ibu saya,”ucapnya lugas tanpa terjeda sedikit pun. Pria dengan jas hitam di sofa tengah lantas segera meminta gadis itu segera membubuhkan tanda tangan di atas sebuah kertas.

“Sebentar Pak. Saya rasa putri saya mudah bingung dalam mengambil keputusan,”cegah wanita berstatus Nyonya. “Tidak perlu. Saya tidak suka hal yang bertele-tele,”ucapnya lugas tanpa ingin disanggah sedikit pun. Seluruh pegawai tampak merasa cemas mewanti-wanti drama apalagi yang akan mereka tonton setelah ini.

“Bisa beri kami cukup waktu berdua?,”tanya wanita itu menekan kan alis yang sangat jelas tak simetris. “Boleh,”ucap pria itu berlalu memberi dua perempuan berbeda usia itu saling berbicara tanpa peduli bahasan apa yang tengah mereka bincangkan. "Apa ada yang perlu dibahas?,"tanya gadis itu menaikkan sebelah alisku menatap nya. "Jangan pura-pura bodoh Kencana. Apa kamu memang selalu kurang ajar pada ku?,"tanya Nadira.

"Bagian kurang ajar yang mana? Aku sudah seperti burung dalam sangkar di rumah ku sendiri. Apa kau pikir diri mu juga selalu benar dengan mengatakan poin kurang ajar? Bagaimana dengan wanita yang masuk ke dalam rumah tangga orang lain? Itu sikap etika bermoral ya? Baiklah aku rasa memang sangat tidak bermoral untuk pantas dikatakan sebagai putri.

Ups tidak. Aku pikir aku tidak salah sebenarnya? Aku masih saja seorang putri dari seorang Ayah. Sedangkan kau?,"ucap Kencana mengibaskan ujung rok yang menyentuh ujung baju Nadira karena jarak dekat di antara keduanya. “Kencana.

Kamu jangan kurang ajar ya. Saya sekarang Ibu kamu kalau lupa. Semua harta itu harusnya atas nama saya. Karena saya juga yang akan membesarkan dan mengurus kehidupan mu ke depan,”ucapnya mengancam. “Untuk apa saya lupa Tante Nadira? Oh salah. Saya juga harus memanggilmu Nyonya Nadira Hadinata.

Seorang wanita yang selalu digadang gadang semua orang sebagai Ibu sambung yang baik untuk pebisnis hebat Dimas Hadinata. Cih. Nyatanya tak lebih dari refinat. Ouh maaf aku juga terlanjur lupa kau kehilangan akal saat kemari. Jadi refinat itu tak lebih dari hasil samping saja. Dan kamu lebih samping dari segala sisi. Jadi bagaimana aku harus menjelaskan nya pada mu, Nyonya Hadinata,”ucap Kencana menaikkan sudut bibirnya.

“Jaga sikapmu Kencana. Karena didikan Ibu yang kotor makanya kamu sama kurang ajarnya dengannya. Apa kau sudah kehilangan akal? Harusnya kamu tanyakan Ibu mu. Apa hanya bisa mati? Sedangkan putrinya terlantar dimana mana,”ucap Nadira membuat seluruh darah di dalam tubuh Kencana mendidih. “Kotor? Setidaknya Ibu melahirkan putri dari pernikahan yang sah kalau Anda lupa Nadira,”ucap Kencana tersenyum sinis.

Plak

Tamparan panas itu nyaris saja menjadi miliknya. Jika seorang pria tidak buru-buru menghampirinya. Akh rasanya aku juga tidak bisa memanggil pria tua dengan bekas memerah di pipinya sebagai pria. Dia terlalu brengsek hingga menatap wajahnya saja aku enggan.

“Kencana keributan apalagi yang kamu buat dengan Ibu mu Nak,”tanya pria itu menatap tajam gadis muda disebelahnya. “Ibu ku sudah meninggal kalau Bapak lupa. Jangan lupa mengurus istri Bapak. Terlalu menjijikkan untuk melewati mata ku,”ucap Kencana berlalu.

“Kamu kenapa sih Mas? Apa sesusah itu memberi gadis itu pelajaran?,”tanya Nadira terdengar memaksa. “Hust. Sudah ya. Kamu mau makan apa Dek?,”tanya Dimas lembut. Selalu saja kejadian seperti ini menjadi makanan sehari-hari yang harus dia terima.

“Mas aku sudah cukup sabar. Lebih baik masukkan dia ke asrama saja selama aku hamil. Aku selalu saja dihina Mas. Jangan sampai anak kita nanti yang menanggung resik nya hanya karena gadis malang itu,”ucap Nadira mengeluarkan ungkapan seperti biasa.

 “Kenapa? Apa setelah sepeninggal Ibu, bahkan aku juga tidak pantas berada di sini? Kalau saja kamu cerdas pasti lebih memilih menjadi wanita karier. Akh tapi aku lupa. Kau tidak punya kecerdasan di dalam benda bulat di atas lehermu. Daripada mencari jalan hidup baru, kau malah lebih memilih merusak tatanan.

Dari apa kau dibuat? Apa dari dosa dan nista?,”tanya Kencana angkat bicara. Belum satu bulan rumah mewah itu diselimuti duka kehilangan permatanya, semuanya seolah ingin dipindahtangan begitu saja. Rasa muak yang terlalu membumbung di dalam otaknya tanpa sengaja malah mengeluarkan ucapan yang jelas bisa melukai telinga siapapun yang mendengar.

“KENCANA. Kamu kira dia siapa Nak? Dia juga Ibu mu,”ucap Dimas mencengkeram lengannya kuat. “Ibu dari bayi yang dia kandung. Sepertinya aku tidak dibutuhkan di sini,”ucapku muak berlalu meninggalkan rumah. “Iya sejauh mungkin sampai kalau bisa bertemu Ibu mu Nak,”ucap Dimas membuatnya terhenti sejenak sebelum akhirnya kembali berjalan dengan senyum di wajahnya.

“KENCANAAAA,”

Sontak teriakan itu membuat sosok yang dipanggil terkesiap. Matanya langsung tertuju pada jam di pergelangan tangannya. Pantas saja dia bayangan mengerikan waktu kecil itu muncul. Saat ini sudah menjelang senja. Bu Arini selalu mengajarkan tidak tidur menjelang senja.

“Kencana kamu sudah makan belum? Tadi waktu pulang dari kampus, Ibu kost lagi ada acara. Daripada tunggu kamu belum tentu mau juga, ya ku bawakan aja,”ucap gadis berambut pirang. Tanpa peduli bahasan yang di bawa rekan kostnya, Kencana mengambil tempat memulihkan kembali ketenangan yang sedang mengusiknya.

“Kencana sepertinya malam ini kita makan mie,”

“Kencana duh aku lupa beli beras,”

“Eh Mie instan kita juga habis ternyata,”

Gadis pirang itu terus saja berbicara tanpa henti meskipun tidak ada satu pun kalimatnya yang masih bisa di cerna Kencana. Pikirannya melambung pada bayangan kelam masa kecil yang mengubah nasibnya seperti sekarang.

“Kamu habis mimpi buruk?,”tanya gadis pirang itu yang mulai lelah dengan kalimat panjang lebarnya. “Apa terlalu terlihat?,”tanya Kencana menyentuh wajahnya seolah tampak bingung sebuah kesalahan. “Bahkan orang buta saja bisa lihat,”ucap gadis pirang itu sebal.

Dirinya dibuat mencerocos dengan angin sepanjang waktu tanpa satu kata pun menyangkut di dalam Kencana. “Aku sudah makan Cit. Tidak perlu repot,”ucap Kencana berlalu pergi begitu saja. “Tidak perlu repot katanya?

Padahal nanti kalau sakit, aku juga yang repot. Dasar es batu. Eh mau ke mana kamu?,”panggil Nacita setengah berteriak. Bukannya menjawab, lagi-lagi Kencana hanya menganggap sekitarnya angin lalu. Tanpa peduli beribu cacian kekesalan keluar dari bibir Nacita, fokus pikirannya masih terendam dalam bayangan mimpi buruk.

Ujaran kebencian saat seluruh dunia tidak lagi mengharapkan kehadirannya. Bahkan pria yang sudah seharusnya melindungi dan menjadi sumber kekuatan, malah mendoakan atas kematiannya. Apa yang bisa diharapkan dari semua itu?

“Kenapa tidak ku ikuti saja kalimatnya?,”ucap Kencana mulai frustrasi setiap kali mengingat momen buruk itu. Berendam pada suasana suram tanpa cahaya sedikit pun sudah menunjukkan seberapa depresinya gadis itu.

“Kencana buka pintunya,”ketukan nyaring dari pintu dengan tempo cepat tak membuat Kencana beralih. Kepalanya sudah terlanjur dipenuhi dengan keping masa lalu yang sama sekali tidak ingin di ingatnya sedikit pun.

“Kencana jangan pikir mau bunuh diri lagi ya. Ayolah Kencana, pintunya baru saja Minggu lalu diperbaiki. Masa mau di dobrak lagi,”ucap Nacita mulai panik di luar kamar. Lagi? Mendengar kata itu membuat garis bibir Kencana terangkat.

Banyak usaha dilakukannya untuk bertemu lagi dengan Ibu. Namun tidak satu kali usahanya berhasil karena dobrakan pintu maupun bantuan medis yang datang terlalu cepat. Seharusnya mereka menunggu saja, membiarkan gadis yang sudah bosan hidup itu tiada.

Semua orang selalu punya harapan untuk menjadi sosok hebat suatu saat nanti dengan berbagai alasan. Sedangkan Kencana, selalu punya harapan untuk mati secepat mungkin. Jika saja dia sukses tidak akan mengubah fakta di masa lalu.

Ceklek

“Eh mau ke mana lagi kamu? Astaga Kencana. Sekali saja bisakah berpikir lebih jernih? Lihatlah masih banyak orang yang peduli denganmu. Kalau pun kamu mati, apa bisa membuatmu puas?,”tanya Nacita mencegah Kencana yang hendak pergi.

Nacita sudah hafal dengan baik. Ketika gadis itu menemui mimpi buruknya, pasti dia akan kembali bertingkah aneh. Antara mencoba peruntungan bunuh diri atau menemui Ibunya. Maksudnya menemui Ibunya di pemakaman. Tapi bukannya Nacita tidak ingin Kencana menemui Ibunya.

Hanya saja waktu sudah mulai gelap. Tidak mungkin Nacita membiarkan gadis itu berakhir di jalan entah dengan menabrakkan diri atau melompat dari jembatan seperti waktu itu. “Untuk apa kamu peduli dengan ku?,”tanya Kencana tetap memaksa keluar. “Haruskah aku uji nyali lagi Kencanaaa,”tanya Nacita segera mengejar langkah panjang Kencana. “Tidak ada yang meminta,”ucap Kencana ringan.

-^-

“Ken sudah malam nih,”ucap Nacita menggosok beberapa bagian tubuhnya yang memerah. “Siapa yang memintamu ikut?,”tanya Kencana masih setia duduk di tepi makam Ibunya. “Ken kamu nanti kesurupan malam-malam duduk di makam,”ucap Nacita terus berusaha membujuk.

“Baguslah. Bisa ku bunuh pria bejat dan wanita gila itu tanpa ada hukum menjerat,”ucap Kencana. “Salah ngomong lagi. Sudahlah Ken, kita pulang ya. Lagian kalau Ibu lihat kamu begini bakal seneng?,”tanya Nacita. “Mana mungkin Ibu mengusir ku dari sini juga?,”tanya Kencana.

“Hmn bukan itu maksudnya Ken. Besok aku bener-bener harus pasang lampu di makam,”ucap Nacita menggerutu. Pasalnya dirinya masih normal untuk merasa takut di dalam makam saat malam tiba. Belum lagi bau tanah makam yang menyengat makin menambah kesan mistis.

“Udah yuk Ken. Serem nih,”ucap Nacita menggoyangkan lengan Kencana yang masih terdiam sepi di depan makam. “Siapa yang suruh ikut?,”tanya Kencana dingin makin menambah ketakutan Nacita. “Ken. Malam ini kita ada kelas. Kamu mau alfa?,”tanya Nacita dengan ide cemerlang nya.

Berbeda dengan alasan sebelumnya, sontak Kencana segera berdiri berlalu keluar dari makam disusul gadis pirang itu. Tidak bisa Kencana pungkiri, sekalipun dia tidak pernah meminta pendidikan tinggi. Namun dukungan dari kedua orang tua Nacita yang mau membiayai nya sudah cukup jadi alasan.

“Siapa yang malam ini mengajar?,”tanya Kencana mulai mencair. “Heh aku mau ngomel dulu ya. Tadi sore, aku sudah berbicara sampai berbusa sama sekali tidak ada yang masuk ke dalam otakmu. Entahlah sepertinya kau memang benar-benar tidak peduli dengan ku.

Kau tau Ken,”ucap Nacita terhenti saat lima jari Kencana berada di depan wajahnya. “Perlukah kamu menceritakan keluhan mu yang sudah berlalu hanya untuk mengisi waktu?,”tanya Kencana sukses membungkam bibirnya yang sudah menyiapkan pembelaan.

“Kulkas dua pintu,”cibir Nacita merangkul Kencana. Membawa gadis dingin itu berlari kecil absurd tak tentu arah. “Memalukan Cit,”ucap Kencana datar meskipun tubuhnya terbawa ke sana kemari gadis pirang gila katanya.

“Senyum dulu dong Ken. Kamu terlalu mengerikan dengan wajah datar mu itu. Riana saja harus bertekuk lutut begitu melihatmu,”ucap Nacita mengatur nafasnya. “Aku bukan pesulap,”ucap Kencana ringan. “Sama saja kulkas. Makanya kalau di ajak UKM ikut. Bukan malah pulang duluan berakhir ketiduran senja,”ucap Nacita.

“Untuk apa?,”tanya Kencana merapikan anak rambutnya yang lengket di beberapa bagian wajahnya karena keringat. “Eh Ken kalau sudah lulus kan kita perlu juga kerja. Tapi kalau kamu pasti jadi dosen. Apalagi dengan nilai yang begitu memuaskan,”ucap Nacita.

“Tidak mungkin. Aku mungkin sudah terlindas kereta api saat wisuda,”ucap Kencana bersandar pada bangku taman. “Ken kamu harus bersyukur di beri hidup,”ucap Nacita sudah tidak lagi kaget mendengar kalimatnya.  “Apa yang harus disyukuri kalo tidak ada lagi yang mengharapkan ku?,”tanya Kencana beranjak.

“Mau ke makam lagi?,”tanya Nacita menatap horor. “Katanya ada kelas malam? Ayo pulang. Aku juga perlu makan,”ucap Kencana membuat Nacita mendesah lega. Gadis pirang itu memang tidak pernah tau dengan jelas apa yang membuat rekan dari masa SD nya itu sangat giat menguji coba kematian.

Tapi dia tau rekannya bukan penderita gangguan jiwa. Kencana hanya terguncang dan sangat yakin suatu saat nanti bisa kembali seperti sediakala seperti gadis ceria pada umumnya. Semoga saja, batin gadis pirang itu mengikuti langkah tegap Kencana selangkah di depannya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status