“Coba bayangkan saja. Dia seenak hati nidurin aku dan pegang-pegang, tapi dia juga yang ngehina. Sakit hati juga tahu kalau keseringan dibilang rata,” sahut Lydia berapi-api pada ketiga sahabatnya yang lain. “Emang dia ngomong apa?” tanya Cinta hati-hati. “Katanya dadaku rata banget. Padahal dia suka-suka aja tuh meremasnya keras-keras,” jawab Lydia menggebu-gebu. “Bokongmu gak dibilangin rata juga?” tanya Vanessa sengaja ingin memancing. “Gak sih,” jawab Lydia jujur. “Tapi kalau dipukulin ya sakit juga.” “Dipukulin? Kekerasan maksudnya?” kini giliran Erika yang bertanya. “Ya... gak juga sih. Gimana ya ngomongnya? Yang kayak biasa ada di film-film gitu loh. Yang mainnya agak kasar.” “Kasar ya? Tapi enak gak?” lagi-lagi Vanessa ingin memancing. “Enak sih,” jawab Lydia sedikit lebih lirih dari sebelumnya, sambil menggar
“Kapan kalian mau kasih Mama cucu?” Pertanyaan Clarissa itu membuat Lydia tersedak, sementara Reino terlihat santai saja. Pria itu bahkan tidak membantu Lydia yang terbatuk-batuk kalau bukan atas perintah Clarissa. “Kamu ini masa istri tersedak gitu gak dibantuin sih?” hardik Clarissa dengan mata melotot. “Lydia kan bukan anak bayi yang gak bisa mengurus diri sendiri, Ma,” seru Reino sembari mengulurkan gelas berisi air pada Lydia. Ini adalah hari ketiga sejak Lydia tinggal di rumah orang tua Reino. Walau tidak selalu berada di rumah, dia tetap tidak terbiasa dengan kehidupan palsunya ini. Salah satunya ya itu tadi. Makan malam bersama, diselingi dengan pertanyaan ‘kapan ada cucu?’ Ugh, rasanya Lydia ingin cepat-cepat pulang ke rumah saja. “Kami gak buru-buru kok, Ma,” jawab Reino setelah batuk Lydia mereda. “Iya, Ma. Kami masih ingin menikmati masa-masa awal menikah dulu,” jawab Lydia menimpali jawaban Reino. “Apa itu artinya kalian menunda?” kali ini Leon yang bertanya. “
Lydia melirik ke arah pelayan yang membawakannya sarapan ke kamar. Pelayan wanita itu terlihat menunduk malu entah karena apa. Dia nyaris tidak mendonggak saat menaruh meja kecil di atas ranjang, tepat di depan Lydia. Dan itu membuat Lydia bertanya-tanya. Pandangan mata Lydia mencoba menyapu semua sudut kamar dan tidak ada yang aneh. Tidak ada barang berantakan atau baju berserakan di lantai. Ranjangnya juga sudah rapi dan sudah diganti dengan seprai yang baru. Tadi pagi, Lydia sendiri yang melepas penutup ranjang yang masih terasa agak lembap itu. Belum lagi masih ada bau sisa percintaannya semalam. Dan seingat Lydia tadi dia sendiri yang memasukkannya ke mesin cuci, sementara para pelayan lain memasang seprai baru. Jadi sekarang Lydia tidak mengerti kenapa para pelayan bertingkah malu-malu. “Gimana sarapannya?” tanya Clarissa menyapa menantu satu-satunya itu. “Good,” jawab Lydia yang hari ini terlambat bangun. “Maaf, ya Ma. Lydia gak bisa ikut sarapan,” ringisnya pelan. “Gak m
“Aku sudah ada di luar rumahmu. Keluar sekarang juga.” Lydia menggeram kesal ketika telepon dari Reino itu terputus tiba-tiba. Padahal baru sekitar sejam dia berada di rumahnya, tapi Reino sudah menjemput saja. Ini gara-gara Lydia harus mengelabui Clarissa. Ya. Perjalanan itu nyatanya memakan waktu lebih dua jam. Dan membuat Lydia yang sebenarnya kelelahan makin lelah saja. Mana di rumah dia juga tidak istirahat karena harus menemani ibunya. “Ma. Sepertinya Lydia sudah harus balik lagi deh,” seru Lydia dengan wajah cemberut. “Eh? Secepat ini?” tanya Liani juga ikutan cemberut. “Mau diapa lagi. Namanya juga masih kerja. Nanti kalau ada waktu dan dapat izin, Lydia pasti mampir lagi kok.” Mau tidak mau, Liani harus merelakan putri kesayangannya pergi bekerja lagi. Andaikata dia masih bisa bekerja, Liani pasti akan memastikan Lydia keluar dari pekerjaannya. Dia kurang suka putrinya harus bekerja keras, sampai menginap di rumah orang. “Bos kamu baik juga ya. Tiap kali pasti dijempu
Akhirnya berakhir sudah masa menginap di rumah orang tua Reino. Lydia berada di sana tepat seminggu, sesuai dengan yang dijanjikan Reino padanya. Dan Lydia mensyukuri hal ini Hanya satu yang membuat Lydia merasa aneh. Rasanya Reino sedikit berubah. Pria itu jadi lebih banyak menghindarinya. Lydia tidak tahu ada apa, tapi itulah yang dia rasakan. Dan rupanya bukan hanya Lydia saja yang merasa seperti itu. Tuti pun merasa kalau Reino menghindar dan makin terlihat dingin. ‘Lagi tengkar ya, Bu?’ tanya Tuti beberapa jam lalu. Dan karena penasaran, Lydia berniat untuk mencari tahu. Apa pun yang terjadi, dia harus tahu alasan Reino menghindarinya. Lydia sama sekali tidak suka dengan keadaan ini. “Pak, ini berkas yang harus ditanda tangani,” sahut Lydia memberikan berkasnya pada Reino. “Taruh saja di meja,” perintah Reino tanpa mendonggak. Rei
“Sebenarnya aku salah apa sih?” tanya Lydia dengan suara isak tangis yang tak bisa dibendungnya. Sekarang bahkan belum jam pulang kerja, tapi Lydia sudah pulang duluan. Dia tidak peduli lagi dengan Reino. Mau dipecat, potong gaji atau apa pun itu, Lydia hanya ingin segera pulang. Lydia yang tidak punya kegiatan lain, kemudian mengajak para sahabatnya untuk bertemu. Dan untungnya semua sedang punya waktu untuk ngumpul. “Emang kau diapaiin sih?” tanya Erika prihatin sekali dengan keadaan Lydia. Seumur-umur, tiga orang itu belum pernah melihat Lydia menangis. Karena itu ketika Lydia menelepon sambil terisak, mereka semua meluangkan waktu untuk menemani sahabat mereka itu. Dan karena Cinta agak sulit keluar rumah, mereka memilih untuk berkumpul di apatemen ibu hamil itu. “Polar Bear Sialan itu,” seru Lydia dengan suara cukup keras. “Dia menghindariku.” “Terus?” t
“SIALAN.” “Woi, jangan banting ponselku.” Kaisar segera mengambil ponselnya dari tangan Reino. Itu adalah satu dari sedikit barang berharga yang dia punya, jadi tidak boleh rusak sama sekali. “Sialan. Coba telepon lagi pacarmu itu,” hardik Reino tidak terima teleponnya diputus sepihak. “Dari pada urus perempuan, mending kau urus dulu investasimu ke perusahaanku,” jawab Kaisar menjauhkan ponselnya dari jangkauan Reino. “Dasar teman tidak berguna. Tidak hal lain apa di otakmu selain uang?” tanya Reino terlihat sangat kesal. “Tentu saja ada Erika di otakku selain uang. Masalahnya kenapa tidak pakai ponselmu sendiri?” Reino menggeram marah. Andai Lydia mau menerima teleponnya, dia tidak akan meminjam ponsel orang lain. Dan kalau bukan karena si brengsek Viktor itu, dia tidak akan sepanik ini. Ya. Pengakuan Viktor yang men
Demi apa pun juga, Lydia tidak pernah berpikir kalau dirinya akan mengalami hal yang seperti di film-film. Apalagi dirinya ini hanyalah rakyat jelata. Dia sama sekali bukan orang kaya atau orang terkenal. Jadi ketika dia tiba-tiba dibekap dan dibawa masuk ke dalam mobil, Lydia sungguh terkejut dan tidak percaya.kenapa harus dirinya yang jadi korban penculikan? “Pak. Saya ini hanya orang biasa saja. Bukan orang kaya atau terkenal,” pekik Lydia sedikit gemetar. Yeah. Siapa pun pasti akan merasa takut dan gemetaran disituasi seperti ini kan? Apalagi pria-pria yang menculiknya ini berwajah seram. Hanya orang tidak waras yang tidak merasa takut. “Pak. Sumpah, saya inibukan siapa-siapa yang pantas diculika,” seru Lydia sudah ingin menangis. “Bos. Kita gak salah nyulik orang kan?” salah seorang penculik itu bertanya. “Mana. Coba kulihat ulang dulu fotonya,” si Bos menjawab, seraya mengeluarkan ponselnya. Si Bos ini membuka aplikasi pesan dan melihat ulang foto yang dikirimkan padanya.