“Eh? Ini apaan?” gumam Lydia ketika merasakan ada sesuatu yang mengganjal di bawah keyboardnya.
“Ah, tadi Pak Reino duduk di sana waktu periksa laporan. Mungkin ada paper klip yang gak sengaja tersangkut tadi,” Kiara yang mendengar gumaman Lydia segera menyahut. Mulut Lydia langsung terbuka cukup lebar mendengar kalimat Kiara. Dia baru mendengar kalau Reino duduk di tempatnya saat berkunjung tadi. Untung saja Lydia kembali setelah pria itu telah pergi. Entah kenapa, Lydia punya pikiran kalau yang ada di bawah keyboardnya bukan paper clip yang gak sengaja nyempil. Dan ketika dia mengangkat keyboardnya, ada lipatan kertas kecil berwarna kuning di sana. Tidak hanya satu, tapi ada beberapa. Dengan gerakan pelan agar tidak terlihat orang sekitarnya, Lydia mengambil kertas-kertas itu dan membukanya. Dia tidak terkejut lagi menemukan tulisan yang nyaris serupa pada kertas-kertas itu. ‘Temui aku di parkiran basement selepas pulang kantor. Awas saja kalau terlambat. Aku akan memecatmu.’ Lydia mendengkus pelan membaca semua itu. Tidakkah ini terlalu kekanakan untuk pria seusia Reino? Demi apapun dia sudah 28 tahun. Tidak ingin meninggalkan bekas, Lydia kemudian kembali merapikan kertasnya dan membawanya ke ujung ruangan. Menghancurkan kertas-kertas mungil persegi empat itu di mesin penghancur kertas. “Bu, saya boleh turun duluan gak?” tanya Lydia pada manajernya. Masih ada lima menit sebelum jam pulang kantor, tapi dia ingin turun duluan. Kalau pulang benar-benar tepat waktu, kemungkinan ada orang yang melihatnya bersama Reino sangatlah kecil. Yah, sebenarnya Lydia enggan berinteraksi dengan pria itu lagi. Tapi ancamannya agak menakutkan bagi Lydia. Dia masih butuh pekerjaannya untuk hidup dan membiayai adiknya yang masih kuliah. “Oh, iya boleh kok. Lagian udah dekat jam pulang juga.” Untungnya Bu Nia mengizinkan. “Mau diantar pulang lagi gak? Hari ini aku bawa helm,” tanya Revan dengan senyum merekah. Kentara sekali mau modus. “Sorry, tapi aku gak. Aku buru-buru.” Lydia bergegas membereskan barangnya dan berlari keluar ruangan. Untungnya lift datang disaat yang tepat, sehingga dia bisa lebih cepat lagi sampai di bawah. Tepat jam 5, Lydia sudah ada di parkiran basement yang masih sangat sepi. Dan tanpa disuruh, dia melangkah cepat ke tempat mobil Reino biasanya terparkir. Belum juga sampai ke tempat yang dituju, Lydia sudah bisa melihat lampu depan mobil sedan mahal itu berkedip. Kaca hitam membuat Lydia tidak bisa melihat ke dalam, tapi dia tahu kalau itu kelakuan Reino. Itu membuat Lydia bergegas masuk ke dalam mobil. “Ada apa Pak Reino memanggil saya?” tanya Lydia sopan ketika sudah duduk di sebelah pria itu. “Ini akan panjang. Yakin mau bicara di sini?” Reino balik bertanya dengan dengusan kasarnya. “Lebih baik kita tidak terlihat bersama, Pak,” jawab Lydia masih mencoba sopan. Lydia juga tidak mengatakan apapun lagi, tapi dia memasang seatbelt. Tanda dia akan ikut kemana pun Reino membawanya pergi dan pria itu segera melakukannya. Selama perjalanan entah ke mana, tidak ada yang bersuara dalam mobil mewah itu. Lydia pun lebih tertarik untuk melihat ke luar jendela, sampai tempat tujuan mereka terlihat jelas. “Untuk apa kita ke hotel Pak ya?” tanyanya ketika Reino membelokkan mobil ke sebuah hotel langganannya. “Menurutmu?” “Jika Pak Reino berani macam-macam, saya tidak akan segan menendang ‘anu’ anda.” Bukannya takut pada ancaman Lydia, Reino malah menertawainya. Bukan tawa keras dan menggelegar, tapi hanya sekedar senyum mengejek. Dan itu sudah cukup untuk memancing emosi Lydia. “Saya tidak main-main dengan ucapan saya,” sergah Lydia berusaha untuk tidak panik, padahal jantungnya sudah jumpalitan. “Kamu pikir saya tertarik dengan tubuh rata kamu?” senyum menghina Reino makin lebar saja, tapi Lydia juga bisa menyerang balik. “Lalu menurut Bapak, siapa yang menyerang saya saat sedang mabuk?” Reino menggeram pelan begitu mendengar pernyataan perempuan yang duduk di kursi penumpang itu. Inginnya sih membantah, tapi itu tidak mungkin. Apalagi bagian tubuhnya yang di bawah mulai menunjukkan reaksi, ketika Reino mengingat malam itu. “Saya hanya ingin berbincang di ruang yang lebih privat,” desis Reino pelan. Dia cukup kesulitan mengendalikan diri. “Dan apa ruangan privat itu harus di kamar hotel?” Pria dengan hidung bangir dan mata biru itu mendengkus. Jelas-jelas sedang menghina Lydia. “Memangnya di hotel cuma ada kamar saja?” Mendengar pertanyaam itu, wajah Lydia langsung memerah. Dia sama sekali tidak ingat ada restoran dan meeting room di hotel. Dan mereka juga menyediakan VIP room di restoran. “Coba lihat siapa yang berpikiran aneh di sini,” Reino masih mengejek Lydia. Tidak ingin terpancing dan berakhir merendahkan dirinya lebih jauh lagi, wanita berambut panjang itu memilih diam. Saat ini diam adalah emas baginya. Dan rupanya Beruang Kutub itu memang hanya membawanya ke restoran. Tentu saja dengan fasilitas VIP room. “Jadi apa yang Pak Reino ingin katakan sampai membawa saya ke tempat seperti ini?” tanya Lydia ingin segera menyelesaikan segalanya. Reino tidak langsung menjawab karena dia perlu untuk memperhatikan wanita di depannya. Dia perlu mencari tahu apa yang terjadi pada dirinya. Lelaki itu memperhatikan mantan istrinya dengan seksama. Jujur saja sekali lihat juga ketahuan kalau tidak ada yang menarik dari wanita di depannya, selain wajah mungilnya yang memang cantik dan bibir tebalnya. Selebihnya tidak ada. Setidaknya itu yang dilihat dari luar. Tapi ketika Reino memandang bibir kecil itu, dia bereaksi di luar kendali. Pikirannya langsung saja berkelana mengingat kejadian beberapa malam lalu dan itu membuatnya menggeram. Yang benar saja. Seorang Reino Andersen tiba-tiba kehilangan kemampuannya di ranjang hanya karena gadis seperti Lydia? Hanya karena berhasil mencicipi gadis perawan? “Pak?” langgil Lydia karena merasa Reino terlihat aneh. “Tidak lupakan. Ini gila,” tiba-tiba saja Reino berujar. “Maaf?” Reino mengangkat tangan, meminta Lydia untuk diam. Dia perlu berpikir lagi dan hasilnya tetap sama. Keputusannya sudah bulat, tapi itu berarti dia harus menjilat ludahnya sendiri. Ya. Reino ingat dulu dirinya pernah menghina tubuh kurus Lydia. Bahkan tadi saja dia sempat menyinggungnya, tapi bukankah masa depannya juga harus dipikirkan? Kalau dia tidak bisa bersenang-senang dalam jangka waktu lama, Reino yakin dia akan gila dan membawa keluarganya pada kehancuran. Lebih baik menjilat ludah sendiri, dari pada membuat ibunya jatuh miskin hanya karena dia tidak bisa kerja. “Aku berniat memperbarui surat kontrak kita,” akhirnya Reino mengucapkannya. “Surat kontrak? Surat kontrak yang mana ya?” tanya Lydia bingung. Dia masih belum bisa menangkap yang dimaksud Reino. “Maksudku ...” Reino menghentikan kalimatnya. Dia menjambak rambut lebatnya, untuk meyakinka diri sendiri. Sebelum akhirnya dia mengucapkan hal yang sedari tadi sudah ada diujung lidahnya. “Ayo kita perbarui kontraknya. Jadilah teman tidurku kapan pun dan dimanapun aku mau.” ***To Be Continued***Lydia mengerjapkan matanya beberapa kali, sedang berusaha mencerna kata-kata pria di hadapannya itu. Tapi entah dia sedang lemot atau apa, Lydia gagal memahami. Atau mungkin juga dia salah dengar. “Sorry, tadi Pak Reino ngomong apa?” tanya Lydia karena dia merasa amat sangat yakin dia salah dengar. Reino menggeram kesal. Padahal dia sudah memutuskan urat malunya untuk mengatakan semua itu, tapi wanita kurus ini bahkan tidak mendengar dengan baik? “Aku ingin membuat kontrak baru denganmu,” kali ini Reino 100 persen menanggalkan kesopanannya. Jika biasanya lelaki itu masih sesekali menggunakan saya kamu, maka kali ini tidak lagi. Mulai detik ini Reino akan menggunakan bahasa yang lebih santai demi kenyamanannya sendiri kedepannya. Dia percaya diri pengajuannya akan disetujui Lydia. “Dan kontrak apa yang anda maksud, Pak?” Reino kembali menggeram marah ketika Ly
“Lydia,” Bu Nia memanggil dengan suara cemas. “Ya, Bu?” Lydia mendekat ke meja manajernya itu sebagai bentuk sopan santun. Bu Nia dan Supervisor punya meja sendiri dan itu membuat Lydia perlu berjalan ke sudut ruangan yang disekat dengan kaca. “Perhitungan pajak untuk bulan lalu sudah selesai?” Tanya Bu Nia dengan hembusan napas lelah. “Udah sih, Bu.” “Kalau gitu bawa ke Pak Reino sekarang juga.” “Eh?” “Bawa ke Pak Reino sekarang juga, Lydia,” ulang Bu Nia masih terdengar lelah. “Oh, baik Bu. Nanti saya kirimkan lewat email,” jawab Lydia masih bingung. “Dibawakan Lydia,” geram Bu Nia mulai kesal harus mengulang sampai 3 kali. “Pak Reino mau hardcopy. Dan bawa saja jangan banyak tanya,” hardik Bu Nia terlihat tidak sabar. Karena tidak bisa melawan lagi, Lydia hanya mengiyakan dengan raut bingung. Bahkan Kiara dan Revan pun menatapnya dengan heran. Jelas ada yang tidak benar di sini. Bagaimana bisa seorang karyawan biasa sepertinya, malah diminta untuk mengantar laporan pada
“Lyd, kamu dipanggil Pak Reino lagi,” seru Bu Nia dengan nada lelah. “Again?” pekik Lydia tidak percaya. Ini sudah hari keempat sejak Reino mengerjai Lydia. Pria itu akan meminta Lydia datang dengan alasan laporan, kemudian dia hanya akan disuruh berdiri. Kemudian akan diusir setelah Reino bosan. Pernah juga Lydia disuruh merevisi laporan berkali-kali dan pada akhirnya kembali ke format awal. Kemarin bahkan Reino membentaknya dan melemparkan kertas ke wajahnya. Wajah Lydia sampai tergores kertas karenanya. Lydia tidak mengerti kenapa Beruang Kutub itu selalu cari gara-gara dengannya. Masa gara-gara ditolak sih? Tidak mungkin Reino Andersen senorak itu kan? Tapi pada kenyataannya memang seperti itu. Reino bertingkah setelah ditolak. “Sebenarnya kamu ngapain sih sampai dikerjai Pak Reino seperti itu?” tanya Bu Nia, disertai tatapan kepo dari semua orang.
Sahabat Lydia, mengerubunginya dan menatapnya dari dekat. Bahkan Cinta sudah menopang dagu, tepat di hadapan sahabatnya itu, tapi Lydia yang sedang melamun dengan sebelah tangan menopang dagu dan sebelah tangan memainkan sedotan pada gelas minumannya, sama sekali bergeming. Gemas dengan kelakuan Lydia yang sejak tadi melamun saja, Vanessa menoyor kepala sahabatnya itu. Pelan saja, tapi tetap membuatnya terkejut karena dikerubungi. “Astaga, Ta!” Lydia menoyor kening sahabatnya itu dengan jari telunjuk untuk menjauhkannya. “Kamu kenapa sih? Diajak untuk nongkrong bareng, malah melamun berjam-jam,” seru Erika hiperbola. “Siapa yang melamun?” elak Lydia menyeruput minumannya. “Kamu,” seru ketiga sahabat Lydia itu bersamaan, sambil menunjuki sahabatnya. Dikeroyok seperti itu, Lydia hanya bisa memutar matanya. Mau gimana lagi, dia sama sekali tidak punya pembelaan. Lydia memang jadi banyak pikiran gara-gara kelakuan Reino kemarin siang. Untungnya Lydia masih bisa menghindari pertanya
“Excuse me?” Lydia langsung melotot horor pada Reino. Saking paniknya Lydia langsung melirik ke kiri dan kanan, untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar kalimat vulgar pria jangkung di depannya ini. Tapi tentu saja ada yang mendengar karena para sahabat Lydia berada di sekitarnya. Selebihnya aman. “Ini tempat umum, Pak. Tolong kontrol kata-kata anda,” bisik Lydia dengan wajah menunduk karena malu. Bukan hanya malu dengan kalimat Reino, tapi karena kini mereka jadi pusat perhatian. Tinggi dan tampang Reino yang di atas rata-rata, membuat semua orang dengan mudahnya menoleh. Apalagi kini teman-teman pria itu juga mendekat ke arahnya. “Everythings okay, dude?” tanya Viktor sedikit bingung. Bingung karena yang didatangi Reino rupanya wanita bertubuh kurus di depannya. Kaisar menyusul di belakang sahabatnya. “Everthing is fine,” hardik Reino. “Kecuali kau,”
Lydia yang sedari tadi memang phnya firasat buruk, segera berlari masuk ke dalam rumahnya. Dan apa yang dia bayangkan memang terjadi, Mereka datang lagi. “Apa-apaan kalian?” Lydia berteriak melihat beberapa orang pria berada di dalam rumahnya dan terlihat sedang mengancam ibu dan adiknya. “Oh, akhirnya kau datang juga.” Seorang pria yang duduk di sofa tunggal berucap dengan cukup nyaring. "Aku sudah cukup lama menunggu loh." Lydia melihat keadaan rumahnya yang berantakan itu. Pecahan kaca bertebaran di lantai dan beberapa barang terlihat rusak, belum lagi beberapa lelaki berpakaian hitam yang tersebar di beberapa bagian rumahnya yang tidak besar itu. “Oh, my God ada apa ini?” suara terkejut Erika membuat fokus Lydia kembali pada orang yang duduk di sofa tunggal. “Mau apalagi sih kalian?” tanya Lydia berusaha untuk menekan rasa takutnya. Mehghadapi orang-orang seperti ini memang
Lydia berdiri di depan gedung kantornya, menatap nanar bangunan lima lantai itu. Gedung kantornya sendiri tidak terlalu besar, tapi pabrik makanan di belakangnya cukup luas. PT. Linder, Tbk, memang merupakan pabrik makanan kemasan paling terkenal. Pabriknya ada di mana-mana dan tempat Lydia bekerja merupakan pusatnya. Gedung lima lantai itu bisa dikatakan tempat perusahaan itu pertama berdiri, karenanya keluarga Reino enggan memindahkannya. Begitu pula dengan pabrik roti di belakangnya. Lokasinya bisa dibilang berada di kota, tapi mereka mengoperasikan pabriknya dengan baik. Tidak ada keluhan dari penduduk sekitar, maupun dari pemerintah. Masalahnya sekarang adalah, Lydia mencurigai pemilik sekaligus CEO perusahaan ini. Dia mencurigai orang-orang yang datang ke rumahnya kemarin adalah ulah Reino Andersen. Walau tak ada bukti, Lydia mencurigainya. “Tidak mungkin aku bertanya padanya kan” gumam Lydia
Lydia mengatur barang-barangnya dengan gerakan yang sangat canggung. Dirinya sangat syok, sampai-sampai tangannya sedikit bergetar. Jangankan dia, Revan saja tadi terlihat sangat terkejut. Mata Lydia melirik sebentar ke arah Reino. Hanya sebentar saja karena rupanya Reino juga sedang menatap dirinya. Dan itu jelas saja membuat Lydia menjadi sangat canggung. “Tenang Lyd. Kamu harus tenang. Dia gak mungkin ngapa-ngapain di kantor. Kamu bisa teriak kalau dia macam-macam,” batinnya mencoba untuk menenangkan diri. Mengatur barangnya yang lumayan banyak itu rupanya memakan banyak waktu. Selain karena memang barangnya lumayan banyak, Lydia juga canggung ditatapi terus oleh Reino. Apalagi tatapan itu serasa bisa melubangi kepalanya. Tapi setidaknya Lydia bisa lega karena meja barunya sudah mempunyai desk set lengkap. Persis sama dengan yang ada di meja lamanya. Jadi Lydia sama sekali tidak kesulitan mengatu