“KELUAR.”
Reino menyeret perempuan yang menurutnya terlalu lamban dalam bergerak itu keluar dari kamar hotel yang dipesannya. Sama sekali tidak peduli jika wanita itu masih dalam keadaan setengah telanjang. “Tunggu Reino. Aku belum selesai berpakaian,” teriak wanita itu kesal setengah mati. Tapi tidak ada gunanya, Reino sudah membanting pintu hingga menutup. Lelaki putih nun jangkung yang masih dalam keadaan telanjang itu menggeram kesal di dalam kamar suite yang sudah berantakan. Bukan berantakan habis bercinta, tapi Reino menghancurkan sebagian isi kamar itu. Pecahan lampu hias tergeletak di lantai, demikian pula dengan vas bunga. Belum termasuk dengan telepon dan teko listrik yang teronggok tak berdaya di bawah televis layar datar yang sudah pecah. “Sialan. Apa sih yang perempuan itu lakukan padaku?” geram Reino yang sudah duduk di pinggir ranjang, sedang menyumpahi Lydia. Yes, thats right. Lydia Amarta mantan istri kontraknya Reino Andersen. Pria itu sedang memaki mantan istri kontraknya karena setelah kejadian mereka tak sengaja tidur bersama, Reino seperti kehilangan kualitasnya di atas ranjang. Setelah kemarin juga tidak berhasil dengan sekretarisnya yang menyebalkan, kali ini malah lebih parah lagi. ‘Barang antik’ Reino sama sekali tidak bereaksi, bahkan setelah distimulus seperti apapun. Dan itu memalukan. “Aku harus melakukan sesuatu,” gumam Reino setelah cukup tenang. “Setidaknya aku harus mencari tahu apa yang membuatku seperti ini. Dan itu berarti harus mulai dari dia.” Reino mengangguk membenarkan idenya yang menurutnya sedikit gila. Tapi dari pada dia tidak bisa bersenang-senang, lebih baik jadi gila saja. *** “Perhatian,” Kiara tiba-tiba saja berteriak. “Katanya Pak Bos Reino lagi inspeksi ke tiap divisi,” lanjut Kiara sambil menatap ponselnya. “What? Kok bisa? Tahu dari mana?” Bu Nia yang sibuk memeriksa laporan langsung mendonggak. Lydia yang sedang mengitung pajak juga langsung menengok. “Aku kan gabung dengan banyak grup chat yang ada di kantor ini, Bu.” Kiara tersenyum bangga akan pergaulannya yang luas. “Dan katanya sekarang Pak Reino berniat ke divisi kita.” Mata Lydia langsung membulat mendengar kalimat rekan kerjanya yang satu itu. Mendengar Reino akan berkunjung ke divisi keuangan membuat Lydia jadi panik, dia harus keluar dari ruangannya. “Aku ke toilet bentar ya,” seru Lydia pada Kiara yang sudah kembali duduk di sebelahnya. Lydia berjalan sesantai mungkin. Dia tidak ingin terlihat sedang ingin melarikan diri, walau itulah tujuannya. Tapi baru juga Lydia mau belok kanan begitu keluar dari ruangannya, Reino sudah terlihat dari jauh. Panik, Lydia segera berbelok ke kiri. Padahal di sebelah kiri sudah tidak ada apa-apa lagi selain tangga darurat. Kebetulan ruangan divisi keuangan yang terlalu besar itu, terletak paling sudut. Berseberangan dengan toilet dan pintu ruangan audit internal. Mau tidak mau Lydia terpaksa membuka pintu tangga darurat. Saat pintu kaca ruangan yang ditujunya terbuka, Reino sempat melihat Lydia keluar. Bahkan masih bisa melihat wajah terkejut wanita itu, sebelum berlari ke arah tangga darurat. “Dia menghindariku?” gumam Reino dengan wajah kesalnya yang sama saja saat marah. “Kenapa, Pak?” tanya sekretaris genit Reino dengan bingung. Dia tadi tidak melihat Lydia karena sibuk membaca laporan dari ipad untuk atasannya itu. Reino sama sekali tidak menjawab dan langsung melangkah ke divisi keuangan dengan raut wajah kesalnya. Reino ingin melihat apa yang bisa dilakukannya dengan meja perempuan kurang ajar itu. “Pak Reino,” Bu Nia segera berdiri dan menyapa bos besar. Supervisor dan asisten manajer mengikuti di belakangnya. Karyawan yang lain tadinya ingin ikut menyapa, tapi Reino sudah mengakat tangan. Mengisyaratkan kalau mereka bisa lanjut bekerja dan tak usah peduli padanya. Walau susah untuk tidak peduli pada kehadiran Reino, Pria tinggi itu menatap keseluruhan ruangan besar itu. Masih ada dua kubikel kosong dengan masing 4 kursi dan meja yang melekat satu sama lain dan dibatasi dengan sekat. Bentuk kubikelnya kotak, sama dengan kubikel lain dan penghuninya bisa saling menatap satu sama lain. Di ujung ruangan ada dua meja besar, loker karyawan, mesin foto kopi, penghancur kertas, dispenser dan kulkas yang tertata rapi. Ruangan itu juga nyaris dikelilingi oleh rak dan lemari untuk menyimpan berkas. “Itu meja siapa yang kosong?” Reino menunjuk ke kubikel yang berisi Kiara dan Revan. Ada dua meja kosong di sana dan salah satunya seperti tidak berpenghuni. “Yang satu itu lagi cuti melahirkan, Pak. Sementara yang ini punya Lydia. Dia lagi ke toilet.” Reino mengangguk mendengar itu, kemudian dengan sengaja duduk di meja Lydia yang sangat rapi itu. Dan Reino meminta beberapa laporan yang sedang dikerjakan untuk diperiksa, sebagai alasan untuk tinggal lebih lama di ruangan itu. Selama laporannya disiapkan, Reino mencuci mata dengan menatap meja wanita yang membuatnya hampir gila. Benar-benar rapi dengan beberapa organizer dan hiasan simpel di atasnya. Kertas tersusun rapi di rak kertas bersusun tiga. Alat tulis lengkap tersusun rapi di pen holder besi warna hitam. Iseng, Reino membuka laci bagian atas Lydia. Isinya juga sangat rapi diberi sekat organiser serupa dengan rak kertas dan pen holdernya. Bahkan tempat sampah di dekat kaki Reino juga serupa jaring besi warna hitam. Yang agak berbeda hanyalah kalkulator besar warna pink, dengan hiasan hello kitty. Juga ada dua klip holder yang menjepit masing-masing satu foto polaroid. Reino memperhatikan fotonya dengan seksama. Foto yang pertama berisi 4 orang yang seingat Reino merupakan teman-tema Lydia, yang tempo hari dilihatnya makan bersama. Yang satunya foto dengan 3 orang dan salah satunya adalah pria. Keakraban mantan istrinya dengan pria difoto, membuat kening Reino berkerut. “Silakan laporannya, Pak.” Pak Wawan selaku supervisor yang memberikan laporan pada Reino, membuyarkan segala isi pikiran pria blasteran itu. Reino mengambil laporan yang disodorkan dan sempat beradu tatap dengan Kiara yang duduk bersebelahan dengannya. Hanya sebentar saja, sebelum Reino membuka lembar demi lembar laporannya. Tapi yang jadi masalah adalah, Reino malah tidak bisa fokus. Matanya terus-terusan melirik foto yang terpajang di atas meja. Belum lagi pikiran Reino yang terus-terusan memikirkan bahwa dia duduk di tempat Lydia biasanya duduk. Pikiran itu berakhir dengan Reino yang membayangkan Lydia duduk di atas pangkuannya dengan sensual. “Sialan,” geramnya kesal. “Ada yang salah, Pak?” Nia yang memang sengaja duduk di meja kosong di kubikel itu untuk melihat tanggapan Reino segera beranjak. “Belum ada,” jawab Reino asal saja. 'Aku harus melakukan sesuatu dengan perempuan ini,' gumam Reino dalam hati. 'Apapun yang terjadi aku harus bisa menyeretnya ke atas ranjang.' Masalahnya sekarang hanya satu. Reino tidak pernah berhasil menghubungi Lydia. Entah kenapa, setelah cerai wanita itu tidak pernah mengangkat telepon darinya. Dan tidak mungkin juga dia menggunakan interkom kantor untuk memberitahu masalah sesensitif itu. Karenanya kali ini Reino memutuskan untuk menghubunginya dengancara primitif. Pria itu mengambil sticky note yang tergeletak di atas pen holder, kemudian menuliskan sesuatu di sana. ‘Temui aku di parkiran basement selepas pulang kantor. Awas saja kalau terlambat. Aku akan memecatmu.’ ***To Be Continued***“Amadeus Andersen?” Kenzo mengucapkan nama keponakannya yang kedua dengan kedua mata berkedip. “Apa kau ingin anak-anakmu jadi musisi?”Anak kedua Reino yang berjenis kelamin lelaki, baru saja dilahirkan dan lagi-lagi Reino baru terpikirkan soal nama. Alhasil, itu sempat membuat Lydia kesal. Untung saja, nama pemberian Reino cukup bagus. Amadeus. Diambil dari nama komposer terkenal dunia, Wolfgang Amadeus Mozart. Dengan nama anak pertama yang bernama Melody, tentu saja orang-orang akan berpikir kalau Reino ingin anaknya jadi musisi. “Tidak. Aku hanya ingin anak-anakku punya nama dengan tema yang sama.” Reino menjelaskan dengan santai. “Karena yang pertama sudah berhubungan dengan musik, jadi yang kedua pun harus sama.” “Tapi setidaknya tolong jangan membuat nama secara tiba-tiba.” Lydia menegur untuk yang kesekian kali. “Aku kesal karena nama yang sudah kusiapkan malah tidak jadi dipakai.” “Kita bisa memakainya sebagai nama tengah.” Reino memberi ide. “Sudah tidak mungkin. Aktanya
“Selamat atas kehamilan keduanya. Janinnya sudah berumur hampir empat minggu.” Lydia melongo mendengar apa yang dikatakan dokter barusan. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu karena memang belum ingin menambah momongan. Bukannya Lydia tidak mau tambah anak, tapi rencananya nanti. Mungkin setelah Melody berumur lebih dari setahun atau bahkan setelah anaknya berumur tiga tahun. Namun, ternyata itu semua tidak bisa lagi. Di usia Melody yang ke enam bulan, Lydia sudah hamil lagi. “Makanya aku bilang juga apa?” Lydia menghardik suaminya ketika mereka sudah duduk manis di dalam mobil. “Pakai pengaman. Apa susahnya sih?” “Katanya menyusui itu KB alami kan?” tanya Reino takut-takut. “Jadi kupikir tidak masalah.” “Iya, tapi kan ada syaratnya juga. Kau pikir aku menyusui dua puluh empat jam?” Lydia makin menghardik suaminya. “Sudah kejadian juga. Kita hanya bisa pasrah.” Reino mengatakan kalimat pamungkas itu. Lydia mendesah pelan. Memang sudah tak
Waktu berlalu dengan cepat. Setelah pencarian nama yang kilat, kini dua bayi kembar yang diberi nama Meyer dan Meidi itu sudah berusia lima bulan. Hanya berbeda satu bulan kurang dua hari dari keponakan mereka, Melody. Nama mereka bertiga bahkan serupa, bahkan wajah pun agak mirip. Tidak heran kalau mereka bertiga kadang dikira kembar. “Aduh lucunya mereka.” Kenzo memekik senang ketika adik dan keponakannya berkumpul dan bermain bersama. “Kalau kau begitu suka dengan bayi, kenapa tidak segera menikah dan punya anak sendiri?” Lydia geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya itu. Hari ini, Lydia berkunjung ke rumah mamanya. Kebetulan dia sudah agak lama tak berkunjung karena sibuk dan baru saja sembuh dari sakit. Anak-anak dibiarkan bermain di lantai yang sudah dialasi karpet tebal. Tak lupa juga para pengasuh dan pengurus rumah berjaga di sekitar bocah-bocah itu. “Aku suka bayi, tapi masih terlalu muda untuk menikah. Lagi pula, aku baru masuk kerja. Aku harus kumpul banyak uan
“Bagaimana?” Lydia berlarian mendatangi adiknya yang berdiri di depan ruang operasi. Liani sudah diatur akan dirujuk ke rumah sakit mana ketika melahirkan nanti. Letaknya berada di antara rumahnya dan rumah Lydia. Sengaja seperti itu agar bisa memudahkan semua orang. Rumah sakit yang sama dengan Lydia dulu. Lydia bahkan sempat menyusui Melody dulu sebentar, sebelum meninggalkan bayinya dengan mama Clarissa. Untung saja bayinya anteng dan tidak terlalu rewel, sehingga Lydia dan Reino bisa segera ke rumah sakit. “Mama masih di dalam. Dia baru masuk sekitar lima belas menit lalu karena tadi diperiksa dulu,” jelas Kenzo dengan panik. “Tidak apa-apa. Kau tidak perlu sepanik itu. Mama hanya melahirkan.” Lydia mengusap lengan adiknya. “Ya, tapi ... perut mama akan dibedah untuk mengeluarkan dua bocah itu. Itu tetap saja menakutkan.” Kenzo malah bergidik ketika membayangkannya. “Bagaimana nanti kau menemani istrimu melahirkan kalau kau selemah itu?” tanya Reino sambil menggelengkan kepal
“Bagaimana rasanya jadi seorang ibu?” Erika menanyakan hal itu pada Lydia. “Luar biasa,” jawab perempuan yang baru saja melahirkan beberapa minggu lalu itu. “Ternyata cukup menyenangkan.” “Cukup menyenangkan?” tanya Cinta dengan mata melotot. “Memangnya anakmu tidak pernah terbangun tengah malam? Tidak pernah rewel?"“Rewel.” Lydia mengangguk pelan, sambil melihat anaknya yang baru saja tertidur itu. “Tapi kan banyak yang bantuin.” “Yeah, the power of money. Ada pengasuhnya.” Vanessa memutar bola matanya karena gemas. Lydia tertawa cukup keras. Yang dikatakan Vanessa itu memang tidak salah. Reino memang menyewa pengasuh untuk membantu Lydia mengurus Melody. Ada juga mama mertua baik hati yang mau membantu dan Reino juga cukup siaga. Bisa dikatakan hidup Lydia benar-benar nyaman. Dia benar-benar hanya menyusui putrinya dan membantu memakaikan baju. Selebihnya akan dilakukan pengasuh atau mama mertua. “Kalau kau kewalahan, coba ambil pengasuh. Punya dua bayi pasti lebih repot.” L
“Aku takut.” Lydia terlihat sudah ingin menangis ketika mengatakan itu. “Tidak perlu takut. Kau akan baik-baik saja.” Reino mengecup istrinya yang sudah berganti pakaian dengan jubah operasi yang steril. Yap. Hari ini pada akhirnya ibu hamil itu akan melahirkan dengan prosedur operasi cesar menggunakan metode ERACS. Itu adalah jenis operasi yang bisa membuat Lydia tak perlu tinggal lama di rumah sakit karena pemulihannya lebih cepat. Sebenarnya Lydia ingin mencoba normal, tapi dia tak bisa melakukan itu. Ukuran bayinya terlalu besar, sementara panggulnya agak kecil. Tidak tanggung-tanggung berat bayi dalam kandungan diperikan sudah melebihi tiga koma lima kilo. Itu membuat Lydia kesulitan berjalan selama trisemester akhir.“Kau tidak perlu takut.” Ibu mertua Lydia menenangkan menantunya. “Zaman sudah modern dan alat kedokteran juga sudah canggih. Semua akan aman.” “Aku juga akan mendampingimu.” Reino mengelus lengan istrinya yang makin bertambah gemuk, seiring pertumbuhan si bay