Lydia yang sedari tadi memang phnya firasat buruk, segera berlari masuk ke dalam rumahnya. Dan apa yang dia bayangkan memang terjadi, Mereka datang lagi.
“Apa-apaan kalian?” Lydia berteriak melihat beberapa orang pria berada di dalam rumahnya dan terlihat sedang mengancam ibu dan adiknya. “Oh, akhirnya kau datang juga.” Seorang pria yang duduk di sofa tunggal berucap dengan cukup nyaring. "Aku sudah cukup lama menunggu loh." Lydia melihat keadaan rumahnya yang berantakan itu. Pecahan kaca bertebaran di lantai dan beberapa barang terlihat rusak, belum lagi beberapa lelaki berpakaian hitam yang tersebar di beberapa bagian rumahnya yang tidak besar itu. “Oh, my God ada apa ini?” suara terkejut Erika membuat fokus Lydia kembali pada orang yang duduk di sofa tunggal. “Mau apalagi sih kalian?” tanya Lydia berusaha untuk menekan rasa takutnya. Mehghadapi orang-orang seperti ini memangLydia berdiri di depan gedung kantornya, menatap nanar bangunan lima lantai itu. Gedung kantornya sendiri tidak terlalu besar, tapi pabrik makanan di belakangnya cukup luas. PT. Linder, Tbk, memang merupakan pabrik makanan kemasan paling terkenal. Pabriknya ada di mana-mana dan tempat Lydia bekerja merupakan pusatnya. Gedung lima lantai itu bisa dikatakan tempat perusahaan itu pertama berdiri, karenanya keluarga Reino enggan memindahkannya. Begitu pula dengan pabrik roti di belakangnya. Lokasinya bisa dibilang berada di kota, tapi mereka mengoperasikan pabriknya dengan baik. Tidak ada keluhan dari penduduk sekitar, maupun dari pemerintah. Masalahnya sekarang adalah, Lydia mencurigai pemilik sekaligus CEO perusahaan ini. Dia mencurigai orang-orang yang datang ke rumahnya kemarin adalah ulah Reino Andersen. Walau tak ada bukti, Lydia mencurigainya. “Tidak mungkin aku bertanya padanya kan” gumam Lydia
Lydia mengatur barang-barangnya dengan gerakan yang sangat canggung. Dirinya sangat syok, sampai-sampai tangannya sedikit bergetar. Jangankan dia, Revan saja tadi terlihat sangat terkejut. Mata Lydia melirik sebentar ke arah Reino. Hanya sebentar saja karena rupanya Reino juga sedang menatap dirinya. Dan itu jelas saja membuat Lydia menjadi sangat canggung. “Tenang Lyd. Kamu harus tenang. Dia gak mungkin ngapa-ngapain di kantor. Kamu bisa teriak kalau dia macam-macam,” batinnya mencoba untuk menenangkan diri. Mengatur barangnya yang lumayan banyak itu rupanya memakan banyak waktu. Selain karena memang barangnya lumayan banyak, Lydia juga canggung ditatapi terus oleh Reino. Apalagi tatapan itu serasa bisa melubangi kepalanya. Tapi setidaknya Lydia bisa lega karena meja barunya sudah mempunyai desk set lengkap. Persis sama dengan yang ada di meja lamanya. Jadi Lydia sama sekali tidak kesulitan mengatu
Awalnya Reino hanya merasa aneh membiarkan Lydia pergi sendiri. Entah kenapa dia merasa perlu mengikuti asistennya itu dan itulah yang dilakukannya. Reino sempat mendengar suara Thalita mengatakan soal preman tepat saat dia keluar ruangan, sebelum wanita itu tergugup menutup telepon. Itu membuatnya curiga dan mempercepat langkahnya turun ke lobi. Tak perlu diberitahu pun, Reino tahu Lydia mengarah ke lobi. Awalnya Reino berpikir perempuan itu bertemu lelaki yang mungkin mantannya atau sejenisnya, tapi siapa sangka dia malah menemukan pemandangan yang membuatnya marah. “Lepaskan tangan brengsekmu itu dari karyawanku.” Lydia langsung berbalik dan menatap Reino penuh binar. Baru kali ini dia merasa senang melihat atasanya yang arogan itu. Tapi itu hanya berlangsung sebentar karena dia ingat kalau Reino mungkin terlibat dengan semua ini. “Oh, jadi ini ya bosnya?” pria yang di depan
Lydia berhasil beradaptasi dengan baik di ahri keduanya menjabat sebagai asisten seorang Reino Andersen. Rapat pertama Lydia juga berlangsung dengan sangat baik, tanpa ada masalah sama sekali. Atau lebih tepatnya hanya ada satu masalah. Reino tidak berhenti meliriknya. Itu jelas membuat Lydia yang duduk agak jauh di sebelah kanan bosnya itu merasa risih. Siapa juga sih yang tidak risih dilirik terus? Untungnya seharian ini Polar Bear sialan itu tidak melakukan hal-hal yang aneh. Hanya menatap dirinya. Saking intensnya tatapan itu, Lydia yakin kalau Reino tidak berkedip sama sekali. Namun masalah tidak selalu datang dari Reino, tapi juga seluruh kantor. Terutama setelah kejadian tadi pagi di lobi. Thalita adalah orang pertama yang mencari masalah dengan Lydia. “Kudengan kau banyak utang?” tanya Thalita dengan mata menatap Lydia dengan pandangan menghina, ketika wanita itu keluar dari ruangan Reino untuk ke toilet. “Karena itu ya kamu jual diri ke Pak Reino?”
Rasanya bahkan belum 10 menit berlalu, tapi wanita yang dibawa Reino sudah keluar dengan wajah marah. Bahkan pintu ruangan bosanya itu menjadi sasaran. Bahkan bukan hanya Lydia, tapi Thalita juga sampai ken damprat. Tentu tidak ada yang menggubrisnya, tapi tingkat percaya diri membuat Lydia ingin muntah. Wanita Genit itu dengan percaya dirinya mulai memulas bibirnya dengan cepat, kemudian merapikan pakaiannya dan menyemprotkan parfum. Semua dilakukan sangat cepat, sampai Lydia berpikir Wanita Genit menyebalkan itu bukan manusia. “Mau ke mana?” tanya Lydia bingung ketika Thalita menarik kenop pintu ruangan Reino. “Tentu saja menemui Pak Reino. Kamu yang gak tahu apa-apa mending gak usah ikut campur,” geram Thalita dengan mata menatap tajam. Lydia tidak perlu dijelaskan apapun. Dia sudah bisa menebak kalau Thalita akan menawarkan tubuhnya karena sepertinya perempuan tadi tidak berhasil memuaskan Polar
Kening Lydia berkerut melihat bosnya yang tersenyum. Ya, saudara-saudara. Seorang Reino Andersen yang tak pernah tersenyum, pagi ini masuk ke ruangannya dengan senyuman. Thalita saja kaget, apalagi Lydia. “Aku punya kabar baik untukmu,” gumam Reino dari mejanya. Moodnya masih amat sangat bagus. Lydia tidak langsung menjawab. Dia terlebih dulu meletakkan tablet berisi jadwal Reino sebelum berbicara dengan nada profesionalnya yang biasa. Padahal dalam hati Lydia sudah mengharapkan dia bisa kembali ke divisi keuangan. Bekerja dengan Reino membuatnya sakit kepala. “Boleh saya tahu berita bagus apa yang Pak Reino maksud?” “Aku sudah membereskan orang-orang yang mengganggumu kemarin,” jawab Reino jemawa. Senyum langsung menghilang di wajah Lydia. Kening wanita muda itu berkerut dalam, berusaha untuk mencerna kata-kata atasannya yang terdengar sangat absurd. “Maks
Geraman rendah terdengar di sela-sela bibir Reino. Kesabarannya sudah nyaris habis, tapi perempuan di depannya ini masih menolak? Apa dia sudah bosan hidup? Marah? Tentu saja Reino Andersen amat sangat marah. Bukan hanya sekedar marah, tapi egonya juga benar-benar tersentil. Ditolak berkali-kali membuat harga dirinya terluka. Tapi Reino tetaplah seorang pria gentleman. Dia tidak pernah memaksa wanita untuk tidur dengannya. Walau sebenarnya para wanita yang kadang memaksanya. Dengan amat sangat pelan karena berusaha menahan emosi, Reino menjauhi Lydia. Pria itu langsung berbalik kembali ke meja kerjanya. Bukan untuk duduk, tapi berdiri membelakangi Lydia. Reino masih berusaha menahan emosi, ketika mendengar suara pintu terbuka. Dan setelah pintunya menutup, barulah dia mengamuk. Dipukulnya dinding yang dekat sekali dengan jendela kaca di depannya. Pukulan yang sangat keras karena kaca itu seolah bergetar. Dinding hang terbuat dari batu itu wallpapernya
Kepala Reino berdenyut kencang. Tidak ada satu pun pekerjaannya yang beres hari ini. Dan itu semua karena asisten barunya. Ya, benar. Semua karena Lydia. Andaikata perempuan itu tidak menolaknya lagi, Reino yakin kerjaannya tidak akan berantakan andaikata tidak ada penolakan. Sebab salah satu penyumbang sakit kepalanya adalah dia tidak mendapat pelampiasan. Dan itu hal normal bagi lelaki yang aktif di ranjang, apalagi sudah hampir 2 minggu. Reino menatap Lydia dari meja kerjanya. Wanita itu terlihat sangat fokus dalam bekerja, seolah tidak punya rasa bersalah telah menolaknya kemarin. Apa hanya dirinya yang terus terbayang-bayang malam itu? Saking kepikirannya, Reino bahkan sampai mimpi basah. Bukan hanya sekali, tapi sudah dua kali. Tadi pagi, Reino bahkan menuntaskan hasrat dengan tangannya sedniri. Itu pun harus dibarengi dengan memikirkan mantan istrinya itu dengan cara yang paling sensual. “Arg