Seluruh tubuhku terasa lelah juga sakit. Tapi kenapa rasanya aku berbaring di atas tempat yang sangat nyaman?
Suasana juga tidak lagi sepi. Suara langkah dan gumaman orang yang sedang bercengkrama sesekali terdengar. Seharusnya tidak ada suara seperti itu jika aku masih tersesat di hutan.
Hutan?
Kejadian tadi malam terputar di otakku dengan sangat cepat. Membuatku segera berusaha untuk membuka mata. Ada sinar menyilaukan, tapi bukan pepohonan rimbun lagi yang kulihat di sekitar, melainkan suatu ruangan yang rapi dan bersih.
Aku berada di rumah sakit sekarang? Apa yang telah terjadi? Apa mereka sudah menemukanku? Atau ini tempat di surga? Tidak mungkin.
Aku menggeliat. Merasakan tubuhku terasa berat. Ada sesuatu yang menindih pinggangku dan membuatku tidak leluasa bergerak. Aku mencoba mengangkat dan menyingkirkannya. Tapi sesuatu itu tidak mau menyingkir, malah menarik tubuhku hingga punggungku menempel pada sesuatu yang hangat. Aku terkesiap. Segera membuka mata. Itu tangannya, yang berotot dan kekar, memelukku dari belakang. Kulit kami benar-benar saling menempel di balik sehelai selimut, karena tidak ada dari kami yang memakai sehelai pakaian pun. Untuk sesaat, aku teringat apa yang kami berdua lakukan barusan. Kejadian panas dari meja makan hingga berakhir disini, di sofa ruang tamu. Wajahku menghangat saat membayangkan kejadian itu. Aku berusaha menggeser tubuhku sedikit. Tidak bisa bergeser le
Jadi begitu… "Kalau lo suka sama Gatra, kenapa gue yang jadi sasaran, Ran? Lo seharusnya langsung bilang sama Gatra." "Nggak bisa." Ranti menggeleng. "Kenapa?" "Karena Lo, Mit. Karena Lo!" Aku menarik nafas. Masih tidak mengerti kenapa jadi aku yang disalahkan. "Gue nggak ngerti deh Ran. Kenapa semuanya jadi salah gue." "Ini kenapa gue jadi benci sama lo. Lo nggak ngerti-ngerti. Lo nggak ngerti sama keadaan sekitar. Lo nggak pernah ngerti gimana perasaan gue atau gimana perasaan Gatra. Coba kalau lo pa
Gatra memberi salam pada Pak Daniel. Berusaha menetralkan raut keterkejutannya. Walau Gatra berusaha untuk tampak biasa saja, tapi saat melihatku tatapannya berbicara. Melontar beribu pertanyaan yang mungkin muncul di benaknya. Gatra melanjutkan langkahnya setelah kami hanya bertukar sapa. Begitupun denganku yang lanjut mengekor di belakang Pak Daniel menuju parkiran mobil. Suasana jadi aneh di sekitar kami. Kami hanya terdiam selama perjalanan bahkan sampai aku tiba di rumah. "Saya… Akan kembali ke rumah. Tolong sampaikan itu pada Ibumu." ucapnya sebelum aku turun dari mobil. Aku mengangguk. Merasa senang mendengar keputusannya.
Entah sudah keberapa kali. Aku terus memperhatikan ponselku di atas meja yang berkedap-kedip. Tidak ada suara nada dering karena aku memang membisukannya. Terlalu berisik. Hingga akhirnya layar mati. Tapi beberapa detik kemudian menyala lagi. Mungkin ini panggilan masuk yang ke 8. Ya, aku menghitungnya tapi terlalu takut untuk mengangkatnya. Tidak. Aku juga tidak mau mengangkatnya mengingat kejadian tadi siang yang terus berputar di kepalaku. Bagaimana bisa dia seperti itu? Dengan wanita lain di belakangku? Apa selama ini aku salah menilainya? Aku kecewa. Sedih. Dan marah. Tapi aku juga ingin bertanya tentang apa yang terjadi. Aku butuh kejelasan darinya. Walau sebenarnya semua yang ku liha
Ada Tuan James juga disana. Di samping Pak Daniel. Dengan langkah cepat, Pak Daniel menghampiri kami. "Apakah ini alasan kamu tidak bisa dihubungi?" Pak Daniel melirik sesaat ke arah Gatra. Tatapan yang sangat tidak ramah. Apa dia mencurigai Gatra? "Bukan-" Aku ingin menepis praduganya. "James," tapi Pak Daniel memotong. Seperti tidak mau mendengar apa yang akan kukatakan. "Urusanku sudah selesai 'kan?" Pak Daniel menoleh ke arah Tuan James. Tuan James mengangguk. "Mulai dari sini kuserahkan padamu." lanjutnya lagi.  
Ternyata, menyukai orang bisa sesakit ini. Ternyata, rasa dari sebuah kata, yaitu 'perpisahan' bisa sesakit ini. Pikiran tidak enak, hati tidak enak, tidur tidak enak, untuk makan dan mandi saja tidak enak. Kacau sekali. Sebenarnya malas turun dari tempat tidur, apalagi masih jam 5 pagi, tapi aku perlu ke toilet, membasuh muka dan terkejut melihat pantulan diriku di cermin. Disana, seperti bukan aku. Mataku sembab akibat terus menangis, ditambah tidak tidur sekali semalaman. Rambutku semrawut. Aku mencoba menyisirnya dengan tangan hingga lumayan lebih rapi. Aku menatap diriku sekali lagi di cermin. Kemudian memejamkan mata sambil menghembuskan nafas, kali saja pikiranku ikut terbuang dengan nafas itu.
Aku membelalakkan mata. Dia kecelakaan? "Lalu... gimana keadaannya, Bu?" "Pak Daniel beruntung cuma patah tulang tangan sama luka-luka ringan. Padahal mobilnya ringsek, Mit." Ibu merebut kembali bungkusan di tanganku dan masuk ke dalam rumah. Sementara aku masih membeku. 3 hari lalu? Bukankah, itu terakhir kali aku bertemu dengannya. Apa setelah itu, saat dia kembali dari apartemen di hari itu juga Pak Daniel mengalami kecelakaan? Jangan-jangan panggilan-panggilan itu… Dia sedang mencoba berbicara padaku untuk mengabari keadaannya? Tapi aku bahkan sama sekali tidak mengangkatnya.
"Saya ingin bicara denganmu." Glek. Aku memejamkan mata. Tahu tidak akan bisa menghindar lagi. Ada perban yang masih melilit di tangan kirinya yang memegang tanganku. "Samita. Saya tidak pernah menganggapmu sebagai sebuah barang... sekalipun." tekannya. Itu merupakan perkataanku saat bertengkar dengannya terakhir kali. Apakah dia masih mengingatnya? Jujur saja waktu itu aku mengucapkannya dengan emosi yang meluap. Aku bahkan tidak berpikir dua kali dan mengatakan langsung apa saja yang ada di pikiranku.