Share

04

Iris berdiri di depan cermin, mengamati pantulan bayangan dirinya sendiri. Pantulan tersebut menunjukkan seorang wanita muda dengan tubuh kecil dan kurus, rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai hingga mencapai punggung dan satu-satunya hal yang membuatnya berbeda adalah matanya.

Iris berdiri di depan pintu kamarnya, menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia pergi berjalan menelusuri koridor.

Untuk pertama kalinya, Iris berkeliling sendirian di istana dengan lembaran peta yang diberikan kepadanya. Peta yang ia terima ternyata bukan satu lembar besar, melainkan berlembar-lembar. “Astaga, seberapa luas tempat ini?” Iris terkesiap saat ia membuka tiap lembaran peta yang ternyata bukan hanya satu lembar.

Ia sudah menyusuri koridor demi koridor, tapi yang ia dapatkan adalah ia seperti berputar-putar di tempat yang sama. Semuanya terlihat sama, yang membedakan hanya lukisan di dinding dan pot tanaman. “Kenapa tempat ini sangat luas?!” gerutu Iris, meremas peta di tangannya dengan gemas.

“Kau kenapa?”

Iris menoleh ke belakang. Ia melihat pengawal yang kemarin mengantarkannya masuk. Pemuda di hadapannya berdiri dengan kedua tangannya di dalam saku celana dan wajahnya bingung. “Kau...” gumam Iris pelan.

Pemuda tersebut menangkap gerak gerik Iris dengan cepat dan mudah. “Kau tidak ingat namaku?” tanyanya. 

“Ah, kau Cleon!” seru Iris dengan cepat.

Cleon menyunggingkan senyum puas dan berkata, “Oh, ternyata kau ingat. Aku mengira kalau kau memiliki ingatan setara dengan nenek-nenek.” katanya. Mendengar itu, Iris melotot ke arahnya tetapi tidak mengatakan apapun.

Cleon menatap Iris sejenak dan melihat peta di tangannya secara bergantian. Iris baru saja membuka mulutnya, Cleon sudah memotong terlebih dahulu. “Tunggu, biar aku tebak. Kau tersesat?” tanya Cleon. Iris dapat merasakan ledekan dari kata-kata tersebut.

“Apa perlu aku ingatkan kalau aku baru berada disini selama beberapa jam?” tanya Iris dengan pelan, berusaha menahan kekesalannya. 

Iris mendengar ada suara orang lain yang memanggil nama Cleon. Mereka berdua menoleh ke arah suara tersebut bersamaan. Iris melihat beberapa orang lainnya yang mengenakan pakaian yang sama dengan Cleon. Cleon melambai ke arah orang-orang tersebut lalu kembali menatap Iris. “Selamat berusaha kalau begitu.” katanya, lalu pergi begitu saja bersama dengan pengawal lainnya— meninggalkan Iris sendirian di tengah-tengah koridor.

Kedua mata Iris membulat. “Jadi kau hanya menyapa? Tidak mau membantu?” gumamnya, ia tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Iris hanya menghembuskan nafas pelan. Ia berbalik dan berjalan dengan menghentak-hentakkan langkah kakinya.

Kemanapun Iris berjalan, ia hanya menemukan koridor panjang yang sepi. Sesekali melihat beberapa pelayan yang berlalu lalang dengan cukup cepat.

Iris terlalu sibuk melihat kiri kanannya tanpa memperhatikan ke depan, hingga ia menabrak seseorang di ujung koridor. Suara pekikan kecil keluar dari mulutnya. Di hadapannya, seseorang yang tidak terlihat asing berdiri sambil merapikan pakaiannya dengan tergesa-gesa. “Maaf, aku tidak melihat ke depan.” katanya, menaikkan wajahnya dan menatap orang tersebut.

“Tidak apa-apa,” kata orang tersebut.

Pada saat yang sama, kedua matanya terbelalak dan ia langsung mengambil beberapa langkah mundur untuk memberikan jarak di antara mereka berdua.

Orang yang berdiri di hadapannya adalah Putra Mahkota Kerajaan. Iris mengenalinya karena ia sering melihat fotonya di halaman terdepan koran yang di antarkan setiap pagi ke rumahnya. 

“Yang Mulia!” Iris berseru.

“Maaf, aku tidak menyadari kalau ada orang,” kata Adrian. Ia melihat apa yang ada di tangan Iris. “Apa kau tersesat?” tanyanya.

“Eh? Iya, tempat ini terlalu luas dan...” Iris memikirkan apa yang harus ia katakan selanjutnya. “Hari ini adalah hari pertama saya disini.”

Pangeran tersebut dapat melihat ketegangan yang muncul pada tubuh wanita muda tersebut. Iris melihat tatapannya tertuju padanya, dan Iris merasakan sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang. “Kau harus mengizinkan diriku mengantarmu berkeliling di dalam.” Adrian mengusulkan tanpa niat buruk. “Supaya kau tidak tersesat lagi.”

Tanpa lama berpikir, hanya ada satu hal yang Iris pikirkan. “Tidak, terima kasih.” katanya dengan sopan. Iris tidak ingin memunculkan konflik di hari pertamanya.

Adrian berkedip beberapa kali dan berkata, “Baiklah kalau begitu,” katanya dan ia juga memberikan petunjuk arah kemana Iris harus pergi.

Setelah berkeliling, mengikuti arah dari Pangeran Adrian dan sesekali bertanya kepada setiap pelayan yang Iris temui, akhirnya ia tiba di koridor yang akan membawanya menuju farmasi. “Aku baru mencari arah ke farmasi dan aku sudah merasa lelah,” gerutunya.

Keheningan terasa sangat berat pada dirinya saat Iris masuk ke dalam farmasi pada pagi hari. Iris melihat sekelilingnya dan sejauh itu, ia tidak menemukan siapapun— setidaknya belum. Ia menggunakan saat itu untuk merapikan penampilannya.

Iris melihat ada beberapa tempat tidur kosong berlapis kain linen putih dengan pegangan kepala dari logam dan terdapat partisi yang memisahkan setiap tempat tidur tersebut. Jendela tinggi sempit dibuka lebar-lebar, membanjiri ruangan dengan udara segar dan sinar matahari. Terdengar percakapan lirih, segelintir batuk kering dan bersin dari luar ruangan tersebut. Tidak ada pekik nyeri atau derak tulang. Tidak ada yang sekarat di sini. Ada perasaan lega saat itu. Iris tidak pernah berhadapan langsung dengan orang-orang dalam kondisi sekarat dan ia berharap tidak perlu melihatnya.

“Iris?” Mendengar suara di tengah keheningan tersebut— cukup untuk membuat Iris terlonjak terkejut.

Iris membalik tubuhnya dengan cepat dan menemukan Max berdiri di belakangnya, tertawa pelan. “Max...” Ia bergumam pelan. Ia merasa jantungnya berdegup sangat cepat.

“Maaf, aku mengejutkanmu?” tanyanya sambil tertawa. Saat itu, Iris baru menyadari bahwa Max terlihat sangat mudah untuk bersahabat dan ceria. Wajahnya yang oval dan tirus, kedua mata yang tajam berwarna coklat dan juga memiliki postur tubuh yang tinggi.

“Begitulah,” kata Iris. “Aku pikir tidak ada siapa-siapa,”

“Bukankah aku sudah bilang akan menunggumu di sini?” kata Max, tertawa pelan. Pemuda tersebut mengajak Iris ke sebuah ruang kerja tepat di sebelah pintu masuk dimana berbagai botol kaca, timbangan, beberapa bubuk plester, dan alat penumbuk, bersama dengan botol berisi cairan, tanaman herbal yang terlihat asing, dan gelas kaca berisi cairan mendidih di atas botol kecil dengan sumbu berapi. Iris masih menatap sekelilingnya dan ekspresi kekaguman jelas tertera di wajahnya. Deretan rak yang tinggi berisi botol-botol kaca dan bahan-bahan yang ia tidak pernah lihat sebelumnya. Iris mempertanyakan darimana mereka mendapatkan semua itu.

“Bagaimana menurutmu?” tanya Max.

Tanpa harus mendengar jawabannya, Max sudah dapat menebak apa yang dirasakan oleh Iris melalui raut wajahnya. “Siapa yang mengatur semua ini?” tanya Iris dengan takjub. Selama ini ia selalu bekerja di lingkungan yang sempit dan kecil. Berbagai barang pun terbatas. Namun di istana, semuanya lengkap. 

“Tentu saja aku,” kata Max dengan bangga.

Iris langsung menoleh ke arahnya dengan tajam dan terkesiap. “Tunggu, apa kau serius? Aku pikir itu tidak mungkin,” serunya.

Max tersenyum dengan bangga. “Aku punya banyak waktu di tanganku.”

“Aku dapat membayangkannya.” kata Iris.

“Ini tidak mudah,” kata Max dengan enggan. “Tidak banyak yang bekerja disini,” Ia menoleh, menatap sekelilingnya.

“Oh ya?” Iris tidak percaya apa yang baru ia dengar. Ia pun baru menyadari betapa sunyinya farmasi tersebut. Sangat berbeda ketika ia berada di rumah.

Max mengangguk. “Menjadi pengawal atau pelayan disini jauh lebih mudah daripada menjadi bagian dari farmasi,” jelasnya. “Kesehatan orang-orang disini ada di tangan kita dan kerajaan tidak mau mengambil resiko dengan mementingkan kuantitas daripada kualitas.”

“Oh, begitu...” kata Iris.

“Max...” terdengar suara parau dari ujung ruangan.

“Siapa itu?” tanya Iris. “Aku tidak melihat ada orang tadi,” Iris mulai berpikir apakah tempat itu berhantu atau ia sedang berhalusinasi di tengah hari.

Max hanya menghela nafasnya dan berkata, “Ayo, Iris. Ada satu orang lagi yang perlu kau kenal,” ajaknya ke salah satu tempat tidur yang berada di ujung ruangan, tertutup dengan partisi.

“Kepalaku pusing… ” suara tersebut terdengar lirih. 

“Ya, ya, ” Max menjawabnya dengan nada bosan. 

 Iris mengikuti Max dari belakang dan mengintip dari balik tubuhnya yang tinggi untuk melihat siapa pemilik suara tersebut. Seorang wanita di salah satu tempat tidur, mengeluh dan memijat pelipisnya. “Dan mual…”

“Akhirnya kau bangun,” kata Max. “Aku kira kau mati dalam tidurmu.”

“Aku adalah seniormu yang sedang sakit dan itu kata pertama yang kau katakan?” katanya dengan sebal. Satu tangannya bertumpu pada tempat tidur dan tangan satunya memijat pangkal hidungnya.

Max berdecak sebal. “Kalau kau lebih bertanggung jawab seperti melakukan tugasmu dengan baik dan bergaya seperti seorang senior sebenarnya, aku tidak akan mengatakan itu padamu.”

Iris menebak bahwa ia adalah pengawas farmasi ini. “Apa ia baik-baik saja?” Iris berbisik kepada Max dengan khawatir. Wanita yang ia lihat sama sekali tidak terlihat baik. Penampilannya berantakan, jas yang ia pakai juga terlihat lusuh.

“Tenang saja. Ia tidak apa-apa,” jawab Max dengan nada sedikit ketus. “Orang ini hanya tidak belajar dari kesalahan sebelumnya kalau ia sama sekali tidak tahan dengan alkohol!” tambahnya dengan penekanan di akhir kata. Max menyiapkan minuman hangat dari bahan yang tersedia dan memberikannya kepada wanita tersebut. “Ini akan mengurangi sakit kepala,” Max meletakan nampan berisi teko dan beberapa gelas diatas meja.

“Siapa kau?” tanyanya ketika ia menyadari keberadaan Iris di belakang Max. Ia meraih gelas, menuangkan minuman yang Max buat dan langsung meminumnya.

Max menoleh ke arah Iris dan berkata kepadanya. “Iris, ini Aria.” Max menoleh ke Aria. “Ini Iris dan ia baru mulai hari ini.”

“Ah, ya, ” kata wanita tersebut. “Putri dari Tuan Ben?”

“Ya, betul. ” Iris membungkuk, memberi hormat.

“Salam kenal,” kata Aria dengan suara yang terdengar ceria. Iris tidak menyangka akan sambutan seperti itu. Aria memiliki rambut panjang acak-acakan, sebatas pinggang, berwarna pirang yang sangat pucat dan kedua mata memiliki kantung mata yang terlihat menonjol. Iris merasakan aura yang aneh darinya. Mungkin karena ia masih memakai kacamatanya di atas kepala atau karena penampilannya saat ini.

Iris diam berdiri, menatap dua orang di depannya— Aria dan Max yang masih berargumen satu sama lainnya. Namun hanya dengan melihat penampilan mereka terutama Aria, Iris mulai mempertanyakan apa yang akan terjadi padanya. Ia mulai khawatir akan masa depannya sendiri dan juga mempertanyakan kepada dirinya sendiri apakah ia memilih keputusan yang tepat.

• • •

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status