Share

03

Iris menjelaskan alasan mengapa ia berada di sana kepada pengawal tersebut. Hal tersebut cukup memakan waktu lebih lama dari yang ia perkirakan. Karena pengawal tersebut meminta bukti surat dan harus menunggu konfirmasi dari orang farmasi terlebih dahulu sebelum memperbolehkan Iris untuk masuk. Salah satu dari mereka memutuskan untuk mengantarkan Iris masuk ke dalam area istana.

Pengawal tersebut adalah seorang pemuda yang Iris tebak usianya sekitar dua puluh lima tahun— empat tahun lebih tua dari dirinya. Ia bertubuh ramping tapi kekar. Tidak hanya rambutnya, matanya pun berwarna hitam. Kulitnya menjadi terlihat lebih pucat akibat seragamnya.

Seragam berlengan panjang berwarna hitam, berleher tinggi dengan belasan kancing di sisi kiri, celana panjang hitam dengan lencana emas yang tertera simbol kerajaan serta sepatu boots berwarna hitam dengan sebuah garis berwarna putih pada kedua sisinya.

“Ayo,” katanya. Suaranya terdengar lebih dalam dari apa yang Iris kira. Pengawal tersebut membawakan koper yang Iris bawa.

Melewati gerbang utama yang tinggi dan dengan dinding batu yang terlihat sangat kokoh. Pengawal yang lainnya membuka pintu dan bergeser untuk berdiri menempel pada dinding, mempersilakan Iris untuk masuk terlebih dulu.

Iris berlari kecil agar ia tidak tertinggal di belakang dengan pengawal muda tersebut dan ia meliriknya, memperhatikan penampilannya.

Pemuda itu menyadari tatapan penuh penilaian dari gadis di sebelahnya dan ia berdeham. “Kau tidak akan menemukan apapun tentang diriku hanya dengan memperhatikan seluruh penampilanku, nona.”

Iris merasa wajahnya memanas. Gadis itu berdeham, mencoba mengabaikan rasa malunya. “Siapa namamu?” Iris bertanya kepadanya.

Pemuda itu menatapnya dengan sedikit terkejut, lalu berhasil menutupinya lagi. “Tidak seorang pun yang datang kesini pernah bertanya namaku. Semuanya mengucapkan terima kasih atau hanya sekedar memaki-maki, lalu pergi,” katanya.

Iris mengedikkan bahunya dengan santai. “Aku perlu tahu namamu agar aku tahu harus memanggilmu siapa,” katanya “Lagipula aku akan tinggal di sini, jadi apa salahnya kita saling berkenalan? Dan kau sudah tahu namaku.”

Pemuda itu tersenyum. “Cleon,” katanya. “Cleon Alistair.”

“Aku Iris.” kata Iris.

Cleon tersenyum. “Aku tahu. Ada namamu tertulis di amplop tadi.” katanya. Suasana di antara mereka kembali hening. Lingkungan istana yang benar-benar baru bagi Iris lebih menarik daripada memulai percakapan dengan seseorang yang baru saja ia kenal.

Melihat sekelilingnya, Iris melihat sebuah bangunan bertingkat yang besar dan megah dengan dinding bercat abu-abu menjulang tinggi ke langit, mengalahkan tinggi pohon-pohon yang mengelilinginya bagai pagar hidup. Bangunan itu muncul seluruhnya sekaligus, menjulang tinggi di depan matanya. Cleon berjalan di depannya, memimpin ke arah mana ia harus berjalan. Iris melihat bangunan itu dengan wajah tercengang.

Koridor dengan pilar-pilar yang masing-masing berjarak sekitar empat hingga lima meter. Tanaman sulur dan lampu-lampu kecil mengitari pada pilar-pilar tersebut. Lantai marmer berwarna putih sepanjang koridor. Pintu besar dengan bingkai pintu yang melengkung di atas, terpasang di antara jendela-jendela yang tinggi.

Setelah beberapa saat, Iris mulai merasakan bahwa selama ini mereka berjalan memutar dan masuk ke area belakang istana.

“Tentu saja. Aku tidak akan pernah keluar masuk istana melewati gerbang utama istana. Itu hanya digunakan untuk orang-orang berjabatan tinggi,” Pikir Iris.

Tiba-tiba Iris melihat seseorang berdiri di tengah-tengah koridor. Seorang wanita berambut coklat yang disanggul dengan sangat rapi, dengan kemeja hitam berlengan panjang serta rok hitam dengan celemek putih di depannya. Seorang pelayan.

“Ini orangnya?” tanya pelayan tersebut kepada Cleon. Iris tersenyum ketika ia melihat pelayan tersebut tersenyum ke arahnya. Cleon mengangguk dan meletakan koper yang ia bawa.

“Iris, ia akan mengantarkanmu ke kamar yang telah disiapkan.” kata Cleon.

Wanita ini terlihat sangat cantik, kulitnya tidak terlalu putih juga tidak terlalu gelap, tinggi badannya kurang lebih sama seperti Iris sendiri, dan postur tubuhnya tidak terlalu kurus ataupun gemuk. Beberapa helai rambutnya yang gelap jatuh tepat di bawah dagunya. Satu-satunya hal yang luar biasa tentangnya adalah warna matanya. Warna kuning emas, membuat wajahnya menjadi sangat terlihat menawan.

Wanita itu membungkuk kepadanya, memberi hormat. “Aku akan mengambil alih dari sini.” kata pelayan wanita tersebut. Cleon mengangguk sekali dan pelayan tersebut mengambil koper Iris.

“Sampai jumpa nanti,” kata Cleon kepada Iris.

Iris belum sempat membalas perkataannya, namun Cleon sudah berbalik arah dan pergi meninggalkannya berdua dengan pelayan yang tidak ia kenal.

Pelayan tersebut menunggu Iris saat ia hanya berdiri diam, menatap punggung Cleon yang semakin menjauh sebelum akhirnya menghilang di balik dinding yang mengelilinginya. “Bisa kita pergi sekarang?” tanyanya. “Aku akan menunjukkan kamarmu. Kau dapat bertemu lagi dengannya nanti.” tambahnya.

“Eh— Iya,” kata Iris. Rasa malunya muncul, panasnya merayap dari leher dan mencapai pipinya. Di dalam benaknya, Iris berharap agar ia tidak mempermalukan dirinya sendiri di depan Raja dan orang lainnya. Itu bisa berakibat lebih buruk, sangat buruk terhadap penilaian orang-orang terhadapnya di hari pertama dan terutama apabila ruang tahta dipenuhi orang penting lainnya.

Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya mengangguk dan mulai berjalan mengikutinya. Iris mempersiapkan diri untuk semua yang akan datang, dan membuat dirinya menjadi lebih berani. Sebenarnya, Iris tidak nyaman karena ia harus meninggalkan rumahnya— zona amannya dan masuk ke istana. Iris tahu beberapa hal dasar yang ia ingat apabila bertemu dengan keluarga kerajaan: Punggung tegak. Tidak berbicara apabila tidak diminta. Jangan memperlihatkan sisi lemah kepada mereka.

Iris diantar oleh pelayan wanita itu menuju ruangan yang akan ia pakai selama di sana. Ia tidak memperhatikan seluruh koridor ini dengan baik selama berjalan. Ia merasa sedang berjalan berputar-putar di tempat yang sama. Setiap koridor hampir sama. Namun setelah beberapa saat, ia mulai menyadari bahwa koridor kali ini tampak lebih besar dari sebelumnya.

Setiap gerakan dari pelayan ini sangat memukau, walaupun yang ia lakukan hanyalah sesuatu yang sepele. Dari caranya berjalan, tubuhnya yang tegak, pandangannya lurus ke depan. Apalagi yang diharapkan dari seseorang yang telah lama melayani kerajaan? Semuanya telah dipoles oleh etika kerajaan. Cara berbicara, berjalan bahkan cara untuk tersenyum.

Selama berjalan di koridor, ada beberapa orang-orang yang terlihat seperti memiliki jabatan tinggi. Hal tersebut mudah untuk ditebak hanya dari cara mereka berpakaian.

Kebanyakan orang-orang yang mereka lewati kelihatannya masih dapat dibilang cukup muda, mungkin sekitar dua puluh tahun lebih. Meski ada beberapa yang sudah cukup tua untuk disebut orangtua atau bahkan kakek dan nenek. Namun, Iris dapat merasakan tatapan dari mereka. Iris membenci cara mereka yang angkuh, memandang rendah orang-orang sepertinya. Bahkan hingga saat ini, ia sendiri masih tidak dapat percaya bahwa akan datang harinya dimana ia akan bekerja di bawah perintah Raja.

Iris dibawa melewati pintu yang berada di belakang bangunan. Mereka menaiki tangga yang terlihat seperti tidak ada akhir, melewati belasan pintu dan Iris hanya dapat bertanya-tanya kepada dirinya sendiri seberapa jauh mereka harus berjalan. Saat itu juga, pelayan di depannya tiba-tiba berhenti berjalan dan Iris pun ikut berhenti.

“Ini adalah kamar yang akan kau pakai,” kata pelayan tersebut. Wanita muda itu membuka pintu pertama di sebelah kanan dan menunjukan sebuah kamar. Pelayan tersebut masuk ke dalam dan Iris mengikutinya dari belakang.

Hal pertama yang Iris lihat adalah jendela tinggi tepat berhadapan dengan pintu masuk, yang menjadikannya satu-satunya sumber cahaya di siang hari. Di sebelah kiri terdapat sebuah rak buku yang kosong. Meja tulis sederhana dengan satu laci berjarak beberapa langkah dari tempat tidur itu. Ada lemari untuk menyimpan pakaian, dan meja kecil dengan sebuah lampu di atasnya. Tepat di sisi kiri, ada sebuah pintu dan pada sisi kanan, sebuah tempat tidur sederhana dengan nakas kecil di sisi tempat tidur. 

Tidak ada barang-barang seperti buku atau pernak-pernik, tapi melihat dari lekukan aneh di atas lantai dilapisi oleh karpet, kamar ini memiliki perabot yang telah dipindahkan atau diangkat keluar baru-baru ini. 

Pelayan itu menarik gorden berwarna putih dan membuka jendela untuk membiarkan udara segar masuk. “Kamar ini sudah lama kosong tapi masih dibersihkan sesekali dan itu adalah pintu kamar mandi,” lanjutnya, menunjuk ke arah pintu yang berada di sudut kamar. Iris berkedip berkali-kali dan dalam benaknya, ia tidak menyangka bahwa akan disediakan kamar yang melebihi ekspektasinya. Iris tidak dapat membayangkan seberapa luas kamar pribadi untuk keluarga kerajaan.

Wanita itu berjalan mengelilingi kamar, menjelaskan kepada Iris setiap ruangan serta tempat untuk menaruh kain kotor karena akan ada seseorang yang datang untuk mengambil seprai kotor untuk dicuci dan akan dikembalikan pada malamnya.

“Terima kasih—” perkataan Iris terhenti. “Siapa namamu?” tanyanya dengan ragu. Ia tidak mungkin memanggil wanita muda tersebut dengan panggilan ‘kau’ atau ‘hei’ seakan ia tidak memiliki nama.

Pelayan itu menoleh ke arahnya. Wanita muda itu tidak pernah menyangka bahwa seseorang akan menanyakan namanya. “Evie.” jawabnya.

“Baiklah, Evie.” kata Iris tersenyum. “Sekali lagi, terima kasih”

“Sama-sama.” Evie tersenyum. “Silakan beristirahat.” tambahnya, lalu meninggalkan Iris sendirian dalam kamar barunya, menutup pintu kamar dengan perlahan, meninggalkan kunci pintu menggantung di lubang kunci.

Iris menyeret kopernya dengan langkah pelan dan menaikan di atas kasur. Ia mulai mengeluarkan pakaiannya, beberapa pakaian harus digantung, beberapa pakaian dilipat kembali dengan rapi dan disusun. Iris memperhatikan setiap sudut kamarnya. 

“Wow, apa pelayan  disini benar-benar membersihkan semuanya walaupun tidak ada orang?” ia bertanya kepada  dirinya sendiri. Iris tidak menemukan sedikitpun debu di dalam kamarnya.

Belum ada satu jam, terdengar suara ketukan pada pintu kamarnya. Iris berlari kecil dan membuka pintu kamarnya. Seorang pria berdiri di depan pintu kamarnya. Iris langsung mengenali pria tersebut.

“...Selamat siang.” kata Iris dengan pelan.

“Siang,” kata pemuda tersebut. Ia berambut hitam dan di balik kacamata bulatnya, Iris melihat bola matanya yang berwarna coklat. “Masih ingat aku” tanyanya.

“Iya,” jawab Iris. “Kau… Max,”

“Benar sekali dan aku akan menjadi rekanmu selama disini, jadi jangan terlalu takut kepadaku.” katanya tertawa pelan. “Ini seragam baru milikmu.” Ia memberikan satu kantong kertas berwarna coklat kepada Iris.

Iris melihat apa isi dari tas tersebut dan Max memanggilnya lagi. Max mengulurkan tangannya yang sedang memegang sebuah lipatan kertas yg terlihat cukup tebal dan besar.

“Apa ini?” tanya Iris, menerima kertas itu dengan kedua tangannya.

“Peta. Kau akan sangat membutuhkannya.” jawab Max. “Silakan ganti pakaianmu. Aku akan menunggu di farmasi.” lanjutnya lalu meninggalkan Iris berdiri terpaku menatap peta di tangannya dan tas kantong di tangan lainnya.

Iris hanya berdiri di tempat dengan lembaran peta di tangannya, melihat punggung Max menjauh hingga akhirnya menghilang di balik dinding koridor. Ia sudah dapat membayangkan bahwa di hari pertama ini, ia harus berusaha mencari jalan menuju farmasi dan kamarnya sendiri. Apabila ia tidak dapat mengingat arah ke dua tempat tersebut, ia sudah pasti akan mengalami kesulitan di istana yang luas itu.

Iris menatap meja di sebelahnya dan melihat tasnya masih berada di sudut kamar. Ia menyalakan lampu meja dan meraih tasnya dan menariknya ke tempat tidur. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan buku berserta pena. Ia berencana untuk menjadikan buku ini semacam buku jurnal, apa yang ia alami, apa yang ia lihat di istana ini. Iris duduk di lantai dan bersandar pada tempat tidur, tangannya tidak bisa berhenti memainkan pena. Memutar-mutar dan mengetuk-ngetukkan ke atas buku di pangkuannya.

Ia menulis setiap detail yang ia ingat agar kenangannya tetap hidup apabila suatu saat ia akan kembali ke tempatnya berasal— ke rumahnya, kembali kepada keluarganya, meninggalkan seluruh suasana ini dan tidak kembali untuk waktu yang lama. Rasanya baru kemarin Iris menjalani setiap harinya dengan sangat normal dan tanpa dikelilingi oleh ratusan barang mewah.

“Lebih baik aku ganti pakaian dan segera ke farmasi,” kata Iris.

Tanpa membuang waktu lagi, Iris langsung mengganti pakaiannya. Saat itu, Iris menatap pakaiannya dengan kagum. Meraba halusnya dan betapa rapi setiap jahitannya. Jas berlengan panjang, berwarna putih dengan kemeja putih di balik jubah tersebut, rok selutut yang terasa pas di pinggangnya, dasi berwarna hitam, hiasan kain berwarna perak pada pergelangan dan tepi jas. Di bahunya dihiasi oleh rangkaian rantai perak, menggantung di lengan atasnya— Seperti seragam militer dengan berbagai hiasan dan tanpa senjata tajam.

• • •

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status