‘Aku penasaran karena sepertinya aku menyukaimu.’ Flowie menggeleng kuat kepalanya. Ia pasti salah dengar. Luke tidak mungkin menyukainya. Ia hanya penasaran karena Flowie bisa menjatuhkan harga dirinya. Ya, hanya itu. Bagaimanapun Flowie tidak pernah berharap Luke menyukainya. Ia sedang tidak ingin memikirkan tentang mencintai dan dicintai. Ia hanya memikirkan bagaimana mendapatkan pekerjaan tambahan supaya ia bisa membantu ibu dan adik-adiknya. Flowie membasuh wajahnya setelah selesai menyikat giginya. Ia kemudian kembali berjalan menuju kamarnya sambil mengeringkan wajahnya dengan handuk kecil. Langkah Flowie terhenti saat melihat lampu dapur yang masih menyala. Flowie berjalan perlahan menuju dapur dan ia mendapatkan Anna sedang duduk sambil menulis-nulis. “Mama belum tidur?” tanya Flowie yang mengagetkan Anna. “Hm,” gumam Anna sambil melepas kacamata bacanya. “Mama sedang apa?” tanya Flowie. “Mama sedang menghitung pemasukan dan pengeluaran bulan ini,” jawab Anna. Flowie t
Flowie membelalakan matanya terkejut sekaligus panik melihat nama Luke tertera di layar ponselnya. Panggilan Luke telah berlalu dan Flowie sama sekali tidak mengangkatnya. Bagaimana bisa ia melupakan janjinya pada Luke? Flowie menepuk dahinya. “Kenapa Flow?” Tanya Alvian mengagetkan Flowie. Kini mereka tengah berada di dalam restoran mewah. Setelah mengajak Flowie ke cabang perusahaannya, Alvian mengajaknya makan siang dan entah mengapa, seperti terhipnotis, Flowie menyetujuinya. “Bukan apa-apa,” ucap Flowie berusaha tersenyum. Ia kemudian kembali fokus pada ponselnya. Ia segera mengetik pesan singkat untuk Luke. ‘Luke, maafkan aku. Aku tidak bisa makan siang denganmu. Aku harus bertemu bosku.’ Luke mengangkat sebelah alisnya membaca pesan Flowie. “Alvian?” tanya Luke dalam hati. Ia tampak berpikir. Kemudian ia meraih kunci mobilnya dan melangkah meninggalkan ruangan kerjanya. === Alvian melirik ke arah Flowie yang tampak gusar dan tidak nyaman. “Apa makanannya tidak enak?”
Jam sudah menunjukan pukul 00.00 malam. Hari ini Flowie pulang sungguh larut, karena ia harus membantu karyawan lain untuk membersihkan salah satu ballroom yang dipakai untuk pesta ulang tahun salah satu putri orang penting di kota ini. “Apa kau yakin akan pulang, Flow? Ini sudah sangat larut. Menginaplah di rumahku,” tawar Erica saat mereka berjalan keluar dari Rosseta. “Tidak apa-apa Erica. Aku harus mengurus sesuatu besok pagi,” tolak Flowie dengan lembut. “Baiklah kalau begitu. Hati-hati Flow. Hubungi aku jika terjadi sesuatu,” kata Erica yang di sambut anggukan dan senyuman Flowie dan merekapun berpisah di pintu depan. Flowie berjalan mengitari Rosseta menuju halaman belakang. Ia bermaksud untuk mengambil jalan pintas menuju halte bus, namun tiba-tiba saja sorotan lampu mobil yang sepertinya sedari tadi berada di parkiran belakang menyoroti Flowie. Mobil itu melaju dengan kencang menuju Flowie, seakan ia akan menabraknya. Flowie yang merasa silau, berhenti berjalan dan mengh
“Aku menyukaimu Flow,” ucap Luke lagi setengah berbisik yang membuat Flowie terasa tercekik. Ia bingung apakah harus senang atau malah sedih mendengar pengakuan Luke. “A-apa maksudmu?” tanya Flowie tidak percaya akan apa yang barusan saja ia dengar. Pastikan bahwa ia sedang salah dengar. Ayolah, pikirannya sedang kacau akhir-akhir ini dan dia sangat kelelahan, dia pasti salah dengar. “Aku menyukaimu. Aku menginginkanmu,” ucap Luke lagi dengan suara parau. Jemarinya masih mengelus lembut pipi Flowie. Flowie termanggu. Ia menatap ke dalam mata cokelat Luke dan siapa saja yang melihatnya pasti tahu ada hasrat yang sangat membara di dalam sana yang sulit untuk dipadamkan. “Luke, aku rasa kau salah,” kata Flowie menurunkan tangan Luke dengan lembut. Flowie merasa Ia harus segera meluruskan semuanya. Luke mengerutkan dahinya, pertanda ia tidak mengerti apa yang barusan Flowie katakan. “Itu seperti yang ada di film-film romantis. Seperti dongeng. Seorang ternama sepertimu menyukai gad
TETT.. TETT.. Bel rumah Flowie berbunyi. Flowie yang sedang sikat gigi di wastafel kamar mandi buru-buru menyudahi sikat giginya. Kini hanya tinggal dia seorang di rumahnya. Natalie sudah pergi kuliah, Tyo pergi sekolah dan Anna ke toko bunga mereka. Flowie berlari kecil menuju pintu depan untuk membukanya. CLEK Flowie tampak kaget melihat Luke yang sekarang berada di hadapannya. Oh Tuhan. Flowie sangat tidak siap dengan kedatangan Luke. Ia bahkan belum mandi dan masih menggunakan piyama tidurnya, bahkan rambutnya hanya diikat cepol begitu saja. “Apa kau akan membiarkan aku terus berdiri di sini, miss Hillebrand?” tanya Luke sambil melepas kacamata hitamnya yang memecah kepanikan Flowie. “Masuklah.” Ajak Flowie ketika tersadar dari pikirannya. Ia membuka pintu dengan lebar. Luke melangkah masuk. Dan Flowie kembali menutup pintu. “Kau sendirian?” tanya Luke sambil memutar tubuhnya, memperhatikan isi rumah kecil Flowie dan kemudian tatapannya berhenti pada wajah Flowie yang seka
Alvian termenung. Ia menatap pemandangan kota dari ruangan kerjanya. Ini adalah hari ulang tahun Alice, tapi ia belum mengucapkan apa-apa pada gadis itu. Sudah beberapa bulan terakhir ini ia bahkan tidak pernah menghubungi gadisnya itu. Tiba-tiba saja suara dari intercom memecah lamunannya. ‘Sir, ada tamu bertama Flowie Hillebrand ingin bertemu anda’ “Suruh dia masuk,” kata Alvian merapikan jas dan posisi duduknya. ‘Baiklah sir,’ CLEK Pintu ruanga Alvian terbuka. Tampak olehnya Flowie melangkah masuk sambil menggigit bibir bawahnya. Alvian tersenyum melihat kegugupan Flowie yang tampak jelas. “Apakah kau akan menghadap seorang predator, Flow hingga kau begitu gugup?” tanya Alvian dengan smirk di wajahnya. Flowie menundukan wajahnya yang memerah. Mengapa ia begitu gampang dibaca? “Duduklah,” tawar Alvian. Flowie duduk dengan sangat manis di hadapan Alvian. “Apa kau membawa lamarannya?” tanya Alvian. “Hm,” Flowie mengangguk dan menyerahkan lamarannya kepada Alvian. “Baiklah
Alvian berdiri di sana dengan sebelah tangan di masukan ke dalam saku celana. Pakaiannya kusut, dasinya melonggar dan rambutnya sedikit berantakan, tapi justru itu membuatnya terlihat seksi. Alvian memandang Flowie dengan senyuman hangatnya. Setelah cukup lama saling memandang, Alvian melangkahkan kakinya mendekat kepada Flowie. “Aku pikir kau sudah pulang,” kata Flowie memulai pembicaraan. “Memang, tapi aku tidak benar-benar pulang,” ucap Alvian yang lagi-lagi tidak dimengerti Flowie. Alvian tertawa renyah melihat kerutan di dahi Flowie. Ia mencubit kedua pipi Flowie dengan lembut. Sungguh ia tidak tahan untuk tidak menyentuh wanita yang ada di hadapannya ini. “Ayo kita pulang,” ajak Alvian membuka telapak tangannya, menunggu Flowie meletakan sebelah tanganya di atas telapak tangan miliknya. Flowie memandang tangan itu dan lagi-lagi pikirannya terlempar pada Luke. Luke sangat suka menyeretnya begitu saja tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu. Memaksanya tanpa peduli Flow
Luke Croose. Ia berdiri di sana, di bawah hujan tanpa menggunakan payung. Ia membiarkan hujan menyerbunya. Ia tidak tersenyum sama sekali dan terus menatap Flowie. Tatapan yang begitu dalam dan sendu. Ada hasrat kerinduan dan luka yang terpancar dari sorot matanya. Bahkan itu terlihat jelas di tengah-tengah hujan yang begitu deras. Flowie melangkahkan kakinya untuk mendekat pada pria itu. Pria yang dengan ngotot bercokol di pikirannya sebulan terakhir ini. “Apa yang kau lakukan di bawah hujan begini?” tanya Flowie dengan suara seraknya. Susah payah ia meluncurkan kata-kata itu karena sesuatu sepertinya tercekat di tenggorokannya. Mereka saling memandang di bawah derasnya hujan yang bahkan tak memberi jedah untuk mereka saling menatap dengan jelas. Luke masih diam membisu. Sungguh ia ingin sekali menarik tubuh Flowie dalam pelukannya. Ia begitu merindukan gadis ini. “Apa kau tidak merindukanku sama sekali?” pemilik suara bariton itu bertanya. Pertanyaan itu membuat hati Flowie me