DEGAlvian mematung. Ia sungguh tidak percaya akan apa yang ia lihat. Wanita yang sudah memporak porandakan hatinya kini berdiri di hadapannya. Bukankah Alice meninggalkannya demi cita-citanya? Bukankah Alvian merasa begitu sakit? Namun mengapa ia masih merasakan getaran yang sama saat seperti pertama sekali ia bertemu wanita ini bertahun-tahun yang lalu? Getaran yang membuatnya ingin menarik gadis ini ke dalam pelukannya.“Alice,” gumam Alvian dengan suara yang tidak kalah serak. Sepertinya sesuatu sedang tersangkut pada tenggorokannya.Luke yang tersadar lebih dahulu, menarik tangan Flowie dengan lembut dan melangkah keluar, meninggalkan mereka tanpa kata-kata pamitan. Luke hanya tidak ingin mengganggu momen yang menurutnya sangat pas untuk saling menyerukan kerinduan mereka.“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Alvian memecah keheningan.“Aku merindukanmu. Apakah aku masih berhak berada di sisimu?” tanya Alice dengan mata berkaca-kaca.Alice menunggu dengan harapan Alvian m
PRANNNGGG!!!Terdengar suara kegaduhan dari kamar sebelah, lebih tepat seperti suara kaca yang pecah. dan suara itu cukup keras hingga membangunkan Luke dari tidurnya. Luke menatap kotak persegi di atas nakas sebelah tempat tidurnya -sudah jam 1 malam-, namun mengapa ada keributan di kamar orangtuanya? Keributan? Pertengkaran? Itu adalah hal biasa di dalam keluarga Luke. Ayah dan Ibunya selalu bertengkar, namun pertengkaran di tengah malam seperti ini, Luke merasa perlu memeriksanya. Ia keluar dari kamarnya dan berjalan perlahan menuju kamar sebelahnya. Pintu kamar itu sedikit terbuka dan terlihat Elya -ibunya- menangis terisak dengan bahu yang bergetar.“Aku tidak suka kau menemuinya! Wanita itu, mengapa kau begitu peduli padanya?” tanya Elya setengah berteriak.Pecahan vas bunga tampak berceceran di lantai. Tampaknya Elya telah mencampakannya ke lantai karena emosi.“Sudahlah El! Jangan berlebihan! Aku han
15 tahun kemudian“Hari ini pak Alvian Sanchez dan keluarganya akan makan malam disini. Dia juga akan melakukan inspeksi sekaliani, jadi tolong berikan pelayanan terbaik kalian. Ini pertama kalinya pak Alvian membawa keluarganya kemari. Jangan sampai kita mengecewakan beliau,” kata Bobby, saat briefing shift siang jam 3 sore dengan seluruh karyawan di Spanish Rosseta Restaurant.“Baik pak," sahut seluruh karyawan serentak.“Erica, di mana Flowie?” tanya Bobby yang menyadari bahwa Flowie, salah satu karyawan barunya tidak ada ditengah-tengah mereka.“Ah, itu- mungkin sedang dalam perjalanan pak," jawab Erica sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.“Anak itu baru 4 bulan kerja, tapi sudah tidak disiplin,” kata Bobby kesal sambil berkacak pinggang.Karyawan yang lain hanya menundukan kepala, enggan terlibat dalam kekesalan manager Rosetta ini yang memang ter
Alvian berjalan mengelilingi setiap sudut ruangan Rosseta yang memiliki 3 lantai itu. Spanish Rosseta Restaurant, sangat terkenal dengan kemegahannya. Bahkan tidak jarang acara pernikahan melakukan recepsionis di sini. Rosseta memiliki ballroom yang luas di lantai paling ata, dan juga memiliki beberapa ruangan VIP khusus di lantai 2. Ruangan ini khusus untuk mereka yang ingin makan terpisah dari orang lain dan di lantai dasar adalah ruangan restoran biasa yang dijajaki puluhan meja makan dan kursi. Dekorasi yang bernuansa Spanyol membawa siapa saja hanyut dalam keromantisan. Bahkan alunan-alunan musik Spanyol juga begitu indah terdengar di telinga.“Hei, kau belum cerita padaku yang tadi. Mengapa kau terlambat?” tanya Erica dari balik meja kasir pada Flowie yang mengantarkan daftar pesanan pelanggan untuk dikalkulasi oleh Erica.Flowie mendengus seb
Di tengah kegelapan, tampak seorang pria berdiri di balkon apartemennya. Pria yang tingginya sekitar 185 cm itu menyandarkan badannya di dinding, melipat kedua tangannya di dada dan melempar pandangannya ke hempasan lautan luas di hadapannya. Dia membiarkan angin laut menyapu pelan rambutnya. Suasana malam di tepi pantai tampak begitu indah dengan lampu kelap-kelipnya. Seketika dia menghela nafas panjang dan memejamkan matanya, merasakan hembusan angin menjelajah seluruh tubuhnya.Tidak lama dia mengeluarkan ponsel pintar dari dalam sakunya dan jemari-jemarinya tampak sedang mengetik sebuah rangkaian kalimat. Setelah itu, dia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Ah. Wajah tampannya kini terlihat jelas di bawah lampu kamarnya. Pria ini, berambut cokelat, bermata cokelat, dan sedikit berewokan. Dia tampak menatap kopernya yang masih terbuka dengan baju-baju yang sudah tersusun di dalamnya. Tidak lama setelah itu, dia menutup kopernya, menurunkannya ke lantai, meraih tas selempang
“Kalian bekerja sangat baik hari ini. Omset kita naik hingga 40% dari biasanya. Kalian boleh pulang dan beristirahat," kata Bobby mengakhiri briefing malam itu.Jam menunujukan pukul 11.30 malam. Flowie dan karyawan lain tampak kelelahan. Bagaimana tidak, di akhir pekan seperti ini, jumlah konsumen meningkat dan seperti yang sudah dijelaskan tadi, Rosetta adalah restoran yang diminati. Ya. Rosetta, satu-satunya Restoran ala Spanyol yang ada di kota ini.“Apa kau besok jadi off Flow?” tanya Erica saat mereka mengambil tas dan barang-barang lainnya di loker.“Ya. Aku akan pergi dengan Tyo," jawab Flowie dengan senyuman sumringahnya.“Enak sekali kau dapat jatah off saat gajian,” lanjut Erica sambil memanyunkan bibirnya yang membuat Flowie tert
SRUTTTTT!!Tyo menyedot habis minuman dingin di gelasnya. Kini yang tersisah hanya beberapa es batu dalam gelasnya. Flowie hanya menatapnya sambil melipat kedua tangannya di dada, dan menyandarkan badannya di kursi. Sebenarnya Flowie sudah makan. Tapi dia tahu kalau Tyo pasti sangat lapar.“Dari mana saja kau selama 2 hari ini? Mengapa HP-mu tidak pernah aktif?” tanya Flowie sedikit marah yang membuat Tyo berhenti menyerumput minumannya dan mengalihkan pandangan ke arahnya.“A-aku menginap di apartemen Edward. HP-ku-” jawab Tyo tidak menuntaskan perkataannya Dia bahkan belum menyiapkan jawaban yang pas mengapa ponselnyanya tidak aktif, karena sudah pasti memang sengaja dinonaktifkan olehnya.Flowie yang sepertinya tau apa yang dipikirkan adiknya hanya berdecak sebal. Dia melemparkan pandangan ke arah lain.“Maaf kak. Aku hanya tidak ingin di rumah,” kata Tyo dengan liri
Setelah melakukan perjalanan yang ditempuh 10 menit, Flowie dan Tyo tiba di mal terdekat. Tyo melepas kemeja sekolahnya, kini dia hanya menggenakan baju dalamnya yang berwarna hitam. Baju hitam ketat yang membentuk otot-ototnya tubuhnya membuatnya terlihat keren. Tentu saja Tyo keren. Dia memiliki mata yang sama dengan Flowie, hanya rambutnya saja yang cokelat tua kehitam-hitaman, seperti Anna, ibu mereka. Kulitnya yang putih dan tinggi badannya yang 180 melengkapi ketampananya. Flowie yang tingginya hanya 160 tampak hanya sebahunya. “Kau mau beli sepatu apa?” tanya Flowie kepada Tyo sambil melangkah menuju mal di hadapan mereka. “Sepatu basket kak, Tapi kenapa kita tidak beli di Sport Corner tempat kau bekerja saja kak?” tanya Tyo kepada Flowie sambil melihat kanan kiri untuk melihat mobil yang lalu lalang saat mereka hendak menyeberang. “Apa kau ingin memerasku? Barang-barang di Sport Corner itu mahal semua. Harga sepasang sepatunya saja sama dengan 1 bulan gajiku,” kata Flowie m