“Aku tidak punya tujuan hidup ataupun impian. Aku tidak dicintai orangtuaku hingga aku memutuskan untuk pindah ke Madrid. Aku menghabiskan hari-hariku dengan bersenang-senang di sana dan aku sungguh tidak mau memikirkan persoalan kedua orangtuaku. Hingga aku pulang dan bertemu denganmu, aku kembali merasa hidup dan memiliki rencana masa depan denganmu,” Luke menatap lekat kedua mata hazel Flowie yang sudah dibanjiri air mata.“Namun belakangan, aku memahami satu hal. Ibumu tidak bersalah. Bahkan dia dan papa adalah korban permainan kotor mama dan nenekku dan mengetahuinya membuatku sangat sakit. Aku adalah rencana kotor itu, Flow. Aku adalah rencana kotor mama untuk memisahkan papa dan ibumu saat itu,” Luke terisak berusaha menekan rasa sakit di dadanya.Flowie menutup mulutnya tidak percaya, air mata tidak henti keluar dari mata cantiknya.“Sebelum kecelakaan, aku baru mengetahui bahwa kau adalah anak dari Mrs. Annabelline, dan aku merasa sangat sesak, Flow. Aku sudah sangat jatuh ci
“Mama?” Flowie membuka sedikit pintu kamar Anna dan mendapati Anna yang sedang duduk termenung memegang rajutanAnna hanya menoleh sesaat lalu membuang muka dan melanjutkan rahutannya. Sedangkan Flowie melangkahkan kakinya masuk dan menutup pintu kamar dengan sempurna sebelum ia mengambil posisi duduk di sebelah Anna.“Aku kangen sekali dengan mama,” kata Flowie sambil memeluk Anna dari belakang dan menyenderkan kepalanya di bahu Anna.Anna hanya menghela napas dan kemudian melanjutkan aktivitasnya.“Apa yang sedang mama buat? Baju hangat? Apa ini untuk Hans, ma?” tanya Flowie berusaha memecah kecanggungan karena ia tahu Anna senang membuatkan Hans baju hangan sarung tangan bahkan topi dari wool.“Hm,” gumam Anna singkat.“Apakah mama marah karena aku sama Luke akan menikah?” tanya Flowie yang membuat Anna menghentikan rajutannya dan menoleh ke arah Flowie.“Apa kau benar-benar ingin menikah dengannya?” tanya Anna.“Hm. Aku mencintainya ma,” jawab Flowie apa adanya.Anna sekali lagi m
“Maaf, apakah ini apartemennya Alvian Sanchez?” tanya wanita tersebut dengan sedikit ragu-ragu.“Benar. Silakan masuk,” kata Flowie mempersilakan masuk.Wanita itu menatapnya bingung. Ia menyeret kopernya memasuki apartemen Alvian.“Maaf, tapi kau siapa?” tanya wanita itu saat Flowie sudah menutup pintunya.“A-aku. Aku teman Alvian,” jawab Flowie terbata.Tunggu dulu. Mengapa ia harus terbata dan mengapa ia yang harus ditanya?Wanita itu menatap Flowie penuh selidik. Ia menatap Flowie dari bawah hingga ke atas. Flowie hanya menggenakan dress berwarna dark green dan flat shoes saat ini. Uhm, sepertinya ia lupa menata rambutnya yang hanya dikucir ekor kuda saat ini.“Dimana Alvian?” tanya wanita itu sedikit kesal.“Dia sedang keluar. Mungkin sebentar lagi kembali,” jawab Flowie mengikuti jawaban bibi Gissel padanya tadi.“Kau tinggal di sini? Siapa kau sebenarnya? Teman one night stand nya?” tanya wanita itu lagi yang membuat Flowie membulatkan matanya terkejut.“Tidak. Aku tidak tingga
DEGAlvian mematung. Ia sungguh tidak percaya akan apa yang ia lihat. Wanita yang sudah memporak porandakan hatinya kini berdiri di hadapannya. Bukankah Alice meninggalkannya demi cita-citanya? Bukankah Alvian merasa begitu sakit? Namun mengapa ia masih merasakan getaran yang sama saat seperti pertama sekali ia bertemu wanita ini bertahun-tahun yang lalu? Getaran yang membuatnya ingin menarik gadis ini ke dalam pelukannya.“Alice,” gumam Alvian dengan suara yang tidak kalah serak. Sepertinya sesuatu sedang tersangkut pada tenggorokannya.Luke yang tersadar lebih dahulu, menarik tangan Flowie dengan lembut dan melangkah keluar, meninggalkan mereka tanpa kata-kata pamitan. Luke hanya tidak ingin mengganggu momen yang menurutnya sangat pas untuk saling menyerukan kerinduan mereka.“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Alvian memecah keheningan.“Aku merindukanmu. Apakah aku masih berhak berada di sisimu?” tanya Alice dengan mata berkaca-kaca.Alice menunggu dengan harapan Alvian m
PRANNNGGG!!!Terdengar suara kegaduhan dari kamar sebelah, lebih tepat seperti suara kaca yang pecah. dan suara itu cukup keras hingga membangunkan Luke dari tidurnya. Luke menatap kotak persegi di atas nakas sebelah tempat tidurnya -sudah jam 1 malam-, namun mengapa ada keributan di kamar orangtuanya? Keributan? Pertengkaran? Itu adalah hal biasa di dalam keluarga Luke. Ayah dan Ibunya selalu bertengkar, namun pertengkaran di tengah malam seperti ini, Luke merasa perlu memeriksanya. Ia keluar dari kamarnya dan berjalan perlahan menuju kamar sebelahnya. Pintu kamar itu sedikit terbuka dan terlihat Elya -ibunya- menangis terisak dengan bahu yang bergetar.“Aku tidak suka kau menemuinya! Wanita itu, mengapa kau begitu peduli padanya?” tanya Elya setengah berteriak.Pecahan vas bunga tampak berceceran di lantai. Tampaknya Elya telah mencampakannya ke lantai karena emosi.“Sudahlah El! Jangan berlebihan! Aku han
15 tahun kemudian“Hari ini pak Alvian Sanchez dan keluarganya akan makan malam disini. Dia juga akan melakukan inspeksi sekaliani, jadi tolong berikan pelayanan terbaik kalian. Ini pertama kalinya pak Alvian membawa keluarganya kemari. Jangan sampai kita mengecewakan beliau,” kata Bobby, saat briefing shift siang jam 3 sore dengan seluruh karyawan di Spanish Rosseta Restaurant.“Baik pak," sahut seluruh karyawan serentak.“Erica, di mana Flowie?” tanya Bobby yang menyadari bahwa Flowie, salah satu karyawan barunya tidak ada ditengah-tengah mereka.“Ah, itu- mungkin sedang dalam perjalanan pak," jawab Erica sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.“Anak itu baru 4 bulan kerja, tapi sudah tidak disiplin,” kata Bobby kesal sambil berkacak pinggang.Karyawan yang lain hanya menundukan kepala, enggan terlibat dalam kekesalan manager Rosetta ini yang memang ter
Alvian berjalan mengelilingi setiap sudut ruangan Rosseta yang memiliki 3 lantai itu. Spanish Rosseta Restaurant, sangat terkenal dengan kemegahannya. Bahkan tidak jarang acara pernikahan melakukan recepsionis di sini. Rosseta memiliki ballroom yang luas di lantai paling ata, dan juga memiliki beberapa ruangan VIP khusus di lantai 2. Ruangan ini khusus untuk mereka yang ingin makan terpisah dari orang lain dan di lantai dasar adalah ruangan restoran biasa yang dijajaki puluhan meja makan dan kursi. Dekorasi yang bernuansa Spanyol membawa siapa saja hanyut dalam keromantisan. Bahkan alunan-alunan musik Spanyol juga begitu indah terdengar di telinga.“Hei, kau belum cerita padaku yang tadi. Mengapa kau terlambat?” tanya Erica dari balik meja kasir pada Flowie yang mengantarkan daftar pesanan pelanggan untuk dikalkulasi oleh Erica.Flowie mendengus seb
Di tengah kegelapan, tampak seorang pria berdiri di balkon apartemennya. Pria yang tingginya sekitar 185 cm itu menyandarkan badannya di dinding, melipat kedua tangannya di dada dan melempar pandangannya ke hempasan lautan luas di hadapannya. Dia membiarkan angin laut menyapu pelan rambutnya. Suasana malam di tepi pantai tampak begitu indah dengan lampu kelap-kelipnya. Seketika dia menghela nafas panjang dan memejamkan matanya, merasakan hembusan angin menjelajah seluruh tubuhnya.Tidak lama dia mengeluarkan ponsel pintar dari dalam sakunya dan jemari-jemarinya tampak sedang mengetik sebuah rangkaian kalimat. Setelah itu, dia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Ah. Wajah tampannya kini terlihat jelas di bawah lampu kamarnya. Pria ini, berambut cokelat, bermata cokelat, dan sedikit berewokan. Dia tampak menatap kopernya yang masih terbuka dengan baju-baju yang sudah tersusun di dalamnya. Tidak lama setelah itu, dia menutup kopernya, menurunkannya ke lantai, meraih tas selempang