Share

Manusia di Eksoplanet

Eksoplanet, 1943.

20 tahun kemudian ....

Zealandia, merupakan benua yang ada di Eksoplanet. Di huni oleh para ilmuwan pencipta teknologi canggih. Lantaran canggihnya, matahari buatan pun telah di ciptakan. Sehingga tak ada yang bisa membedakan siang ataupun malam di ibukota. Tapi para ilmuwan itu juga manusia biasa. Tak akan pernah merasa puas selama mereka belum mati. Eksperimen di luar nalar akan terus di lakukan. Tentu, hanya untuk membuktikan siapa yang terhebat.

Salah satu ilmuwan itu adalah Shin. Pemuda yang kurang tampan bersetelan jubah putih. Perkiraan tinggi sekitar 170 senti meter. Berkornea warna biru, dan berpupil warna hitam. Mata unik tersebut sangat di kenal di penjuru Eksoplanet sebagai ciri khas yang hanya di miliki punduduk Zealandia.

Shin bersama dua orang temannya berada di puncak gunung Rahtawu. Gunung tandus yang terbelah menjadi dua. Tempat yang sangat cocok untuk menguji alat teknologi bertenaga mesin.

Ketika terik mentari berpencar di kawasan gunung Rahtawu. Shin berdiri di tepi jurang. Tatapannya  mendarat ke dasar lembah. Terlihat ilang-ilang terhempas oleh embusan angin.

Benar. Lembah itu adalah tempat di mana Elaine di eksekusi oleh Azazel. Dari padang rumput, kini sudah berubah menjadi padang ilalang. Shin tak peduli akan hal itu. Menurutnya, kisah pembunuhan Elaine hanyalah rumor yang di ceritakan turun temurun oleh para orang tua. Gunanya untuk menakut-nakuti anak-anak agar tidak bermain di antara gunung yang terbelah dua tersebut.

Shin sudah tak sabar untuk melakukan Eksperimen. Sejuta khayalan kian mengunci di dalam pikiran. Tentang apa yang akan dia lakukan. Akan tetapi Shin menelan ludah. Melihat jurang yang curam terasa menakutkan di dalam batin. 

Shin mulai menyandangkan ransel di bahunya. Yakni ransel yang berbahan logam metalik. Pada sisi belakang ransel itu  tertera tulisan berwarna merah.

'F=-F' 

Shin mengencangkan sabuk yang mengikat ransel dan pinggangnya. Lalu ia menundukkan kepala. Melihat tiga tombol navigasi pada sabuk yang miliki fungsi berbeda-beda. Yakni berwarna merah, kuning, dan hijau.

Selang beberapa detik salah satu teman Shin mulai membuka pembicaraan. 

"Ku harap, kau tak membuang waktuku, untuk melihat kegagalan mu!" sindir gadis berponi warna ungu. Dengan gaya ikatan model kucir kuda. Cukup simple, untuk gadis berpenampilan tomboi.

Gadis itu berdiri di belakang Shin. Jarak antara keduanya, terpaut sekitar 10 meter. Di lihat dari kaos ungu berlapis jubah putih yang di kenakan. Bisa tertebak, gadis itu juga seorang ilmuwan. 

"Helen! Jika kau tak mau menerima kegagalan. Kau tidaklah pantas menyandang gelar ilmuwan," cibir Shin membalas.

"Cih ...." Helen meludah. Rasa kesal  menghiasi wajah cantik gadis itu. Kendati demikian, masih ada sedikit rasa penasaran di hatinya. Helen menggerutu, "kemarin kau menaruh baling-baling di kepalamu. Sekarang apa lagi yang akan kau perbuat?"

"Mungkin baling-baling itu di pindahkan kedalam ranselnya," sahut pemuda yang sedang bersedekap dada dan menyilangkan kedua kakinya di udara. 

Meskipun berbadan gemuk. Pemuda itu mampu melayang seperti balon. Aneh, kan? Dirinya terbahak di samping Helen. Membayangkan saat Shin terbang menggunakan baling-baling. Dengan bantuan Helm, baling-baling itu berputar di kepala Shin. Menurutnya, tingkah Shin sungguh konyol dan lucu kala itu.

"Jansen! Ciptaan ku kali ini sangat berbeda.  Dengan alat ini, akan ku buat anak kecil berhamburan di udara. Senyum kebebasan malaikat-malaikat kecil itu akan membuat orang dewasa terpana," jelas Shin membela diri. Selanjutnya, Volume suaranya merendah, "Dengan begitu, tak akan ada lagi peperangan."

Seketika suasana menjadi hening. Lantas Shin menutup mata. Ia ingin menangis. Tapi Shin malu pada temannya. Jansen pun termangu, seolah  memahami kesedihan, ketidakberdayaan, dan keputusasaan Shin. Mungkin Keduanya pernah merasakan sakit akibat dari pertumpahan darah di karenakan perselisihan antara manusia. Entahlah. Kemudian Shin memperjelas keinginannya, dengan tegas.

"Jeritan ketakutan, kematian tragis, dunia penuh ancaman dari penjajah. Semuanya akan ku akhiri dengan alat canggih yang ada di dalam ranselku ini!"

"Bodoh! Sejak kemarin kau terus mengatakan hal yang sama. Kau pikir dunia ini adalah surga? Di mana hanya ada kebahagiaan dan kedamaian," sahut Helen mencibir. Wanita itu tertawa, sebelum meneruskan kata-katanya. Seakan  menganggap Shin sedang mengada-ngada, "peperangan tidak akan pernah berakhir selama kesombongan dan keserakahan masih ada di hati manusia. Ketahuilah Shin! Ciptaan mu itu hanya akan menambah rasa iri hati ke tujuh benua di Eksoplanet. Mereka pasti akan bersatu untuk mengalahkan benua Zealandia."

Pemuda yang memakai setelan warna hitam nampak kesal. Mendengar perdebatan kedua temannya yang melebar kemana-mana. Meskipun begitu Jansen tak menunjukan ekspresi marah. Dirinya bersikap lebih dewasa dibanding Shin dan Helen. Dengan suara lembut, Jansen memberi peringatan,

"Kalian ini sedang membahas apa! Aku kesini bukan untuk mendengar perseteruan kalian. Lagi pula masalah politik kekuasaan, tidaklah pantas untuk di perdebatkan di tempat ini."

Karena merasa suasana menjadi tegang. Helen memalingkan wajah. Dirinya merasa nggak enak. Tak berani membalas sepatah kata apapun.

Berbeda dengan Shin yang terlihat begitu santai. Dirinya masih sempat melontarkan sindiran. Tanpa mempedulikan perasaan Helen.

"Tenanglah Jans. Dia memang seperti itu, selalu merasa yang paling hebat padahal masih ada Altern yang jauh di atasnya. Kelak mereka berdua akan ku kalahkan dengan hasil ciptaan ku ini." 

"Apa yang kau katakan Shin!" bentak Helen geram. Kedua tangannya mengepal. Ia meradang, tak terima. Melihat reaksi Shin yang seakan menantangnya, "jangan pernah membanding-bandingkan aku dengan Altern! Apalagi kau berfikiran untuk melampaui ku."

Shin mengabaikan kekesalan gadis itu. Matanya menatap ke belahan gunung yang  berada di sebrang. Lumayan jauh, sekitar 100 meter. Shin memperhitungkan hal yang mungkin akan terjadi. Rencana yang matang sudah tergambar lengkap di otaknya, 

"Aku akan menukik ke sana!" batin Shin yang sudah membulatkan tekad, "Setelah aku dari atas,"  lanjut Shin membatin. Shin mendongak. Menatap langit cerah.

Jansen menghela nafas. Dirinya berusaha melapangkan dada. Pemuda itu mencoba menenangkan hati salah satu dari temannya. Pikirnya, suasana tegang akan segera mencair.

"Diamlah Helen. Shin, tidak akan pernah berhenti memprovokasimu, jika kau terus berbicara," 

Percuma saja . Shin dan Helen serupa kucing dan tikus. Mereka berdua akan terus bertengkar. Dimanapun, kapanpun, dan dalam situasi apapun. Perseteruan tak akan pernah berakhir. Walau ada yang mengaku kalah. Kalau bukan Shin yang memulai menyulut api emosi. Pasti sebaliknya.

"Hey, Helen!" seru Shin tersenyum sinis. Sebelah matanya nampak melirik, dengan menjulurkan ibu jari mengarah kebawah. Kemudian Shin berteriak, "akan ku perlihatkan, hasil ciptaan dari Ilmuwan paling hebat di Zaelandia." 

"Cepatlah!" tekan Jansen dengan tegas. Hatinya menggebu. Tak sabar ingin melihat hasil penemuan temannya.

Berbeda dengan Helen. Kakinya melangkah mendekati Shin. Amarah gadis itu sudah tak terkendali. Kali ini Helen benar-benar ingin menghajar ilmuwan angkuh itu. Bahkan dirinya tak peduli lagi dengan peringatan Jansen.

Shin menyadari niat Helen. Dengan tergesa-gesa bercampur rasa panik, jari telunjuknya segera menekan salah satu tombol navigasi yang berwarna merah.

"Kau benar-benar menyebalkan Shin! Apa kau ingin menanta--" Ucapan dan langkah kaki  Helen terhenti. Saat mendengar bunyi halus mesin. Helen tertegun.

Seketika keluar sepasang lempengan titanium pada kedua sisi samping ransel Shin. Terbentuk dan juga terasah halus. Logam batangan berwarna putih metalik perlahan memanjang. Membentuk kerangka yang simetris serupa busur panah.

"Zzzt ...."

"Apa itu?" tanya Jansen tersentak kaget. 

Kemudian di tepi potongan logam tersebut keluar titanium lebar, yang menyerupai pedang. 

"Zzzt ... klik." 

Bunyi gemerincing potongan logam yang saling bergesekan. Satu persatu keluar mengarah ke bawah. Teratur rapi menjadi dua susun, dengan panjang yang berbeda. 

Sempurna.

Penampilan Shin tampak seperti malaikat. Sungguh luar biasa. Penemuan alat canggih yang terstruktur. Sesuai konsep yang di rencanakan. Tak ada yang menyangka jika Ilmuwan bodoh itulah membuat teknologi tersebut.

"Sa-sayap!" ucap Jansen dan Helen kompak. Pupil mata mereka melebar dengan warna biru yang terlihat sempurna.

Bahkan amarah Helen berangsur reda. Sebab terkejut dan terkagum melihat sayap yang membentang pada tubuh bagian belakang Shin. 

Begitupun juga dengan Jansen. Tanpa sadar tubuhnya yang melayang, tiba-tiba turun. Berpijak ke permukaan tanah. 

"Bagaimana? Haaaa ...?!" tanya Shin tersenyum. Ia menunggu pendapat dari kedua temannya.

"Bodoh!" Helen menepuk jidat. Keraguan meliputinya. Dia merasa menggerakkan titanium seberat itu adalah hal yang mustahil bagi manusia, "bagaimana kamu bisa mengepakkan titanium seberat itu?"

Tanpa menjelaskan, sayap Shin segera mengepak ke arah Helen. Akibatnya, angin berhembus mengenai seluruh tubuh wanita itu, hingga menyingkap jubah putihnya.

Lantas tangan Helen menutup matanya, untuk menghalau terpaan arus udara.

Apa yang terjadi? 

Bagaimana cara Shin mengibaskan kedua sayapnya?

Apakah mungkin tulang manusia dapat mengangkat beban seberat logam titanium?  

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fenty
Lanjutkan Kaka Author... cerita peri yang sangat berkesan Next Next NeXt
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status