Eksoplanet, 1923.
"Ar-Arcana. Anakku, maafkan ibu yang tak bisa melindungimu. Ibumu ini terlalu lemah. Padahal aku juga ingin menjadi orang tua yang dapat menimang dan membesarkanmu. Seperti yang di lakukan seorang ibu dari ras manusia. Tapi sayang ibumu ini bukan manusia. Maafkan ibu Arcana, Aku bukan ibu yang baik untuk mu. Aku telah mengambil keputusan yang salah, tapi kau tahu ibu sangat menyayangimu...." Desis seorang ibu dengan suara yang terdengar lemah dan terbata-bata. Meskipun darah terus mengalir keluar dari mulutnya, ia masih berusaha mengucapkan sepatah kata,"Se-pertinya ibu terlalu banyak meminta maaf, mungkin karena ajaran si manusia bodoh itu. Hehehe ... Dia ayahmu, laki-laki bodoh yang sangat mirip denganmu, Arcana. Rambut putih mu itu membuatku sangat merindukan ayahmu. Ibu ingin hidup bersama kalian berdua, tapi ...."
Tangisan sesegukan terdengar menyayat di antara senyuman dan kasedihan dari seorang ibu. Penyesalan dan kerinduan memberontak, terasa menyiksa. Bersamaan dengan tubuh yang gemetar dan terhuyung. Sebab fisik yang melemah. Bersanding dengan luka perih yang terkena oleh embusan angin di padang rumput.
Pada suatu malam di Eksoplanet. Yakni salah satu planet yang di huni oleh ras manusia. Di bawah sinar bulan purnama, tepatnya, di padang rumput yang jauh dari pemukiman manusia. Dari keadaan sekitar yang hancur berantakan, bisa terlihat pertarungan dahsyat baru saja berakhir.
Dengan kekalahan wanita cantik nan manis sedang dalam keadaan kritis. Tubuh seksi yang memperlihatkan sebagian aurat itu membungkuk. Kedua tangan wanita itu, tak berhenti memegang gagang pedang. Menahan bilah tajam yang menusuk perut hingga menembus tulang punggung. Akibatnya, darah tak berhenti menyembur dari mulut mengalir sampai ke ujung kaki. Seiring dengan kedua sayapnya yang merapuh. Melebur menjadi debu. Pertanda maut akan segera menjemput."Elaine! Kau telah berbuat dosa. Beraninya, kau melakukan hubungan sexsual dengan ras manusia. Lihatlah Hasil dari perbuatan menyimpang mu ini! Anak terkutuk, dengan tubuh setengah manusia dan setengah peri. Anak mu ini adalah aib untuk dunia peri, Elaine!" sahut lelaki bersayap dengan sorot mata menyeramkan. Di iringi dengan sebuah senyuman yang haus akan darah.
Ya, namanya Elaine. Wanita berkulit gelap dan berambut abu-abu itu adalah peri yang memiliki anak dari ras manusia. Yakni bernama Arcana, bayi laki- laki yang memiliki postur tubuh manusia serta terdapat sayap di punggungnya. Dengan kata lain, Arcarna marupakan manusia setengah peri.
Karena kecintaannya dan keinginannya menjadi manusia menyebabkan Elaine melanggar perjanjian antara Tuhan dan ras peri. Bahwasanya, ras peri tak boleh jatuh cinta kepada ras manusia. Sebuah aturan yang wajib di taati. Jika nekat melakukannya, maka peri tersebut beserta klannya akan di lempar ke underdark. Yakni, sebuah kota di bawah permukaan tanah, yang di huni oleh ras iblis bersama pengikutnya.
Elaine terlihat sendu, menatap pasrah. Dirinya tak dapat melakukan apa-apa selain menangis. Tapi bukan karena sakit akibat luka yang di deritanya. Melainkan hatinya terasa hancur dan remuk. Menyaksikan buah hatinya di perlakukan secara sadis oleh peri yang ia kenal baik. Padahal sebelum mati, Elaine ingin melihat rupa anaknya. Naasnya, wajah Alcarna yang masih berwarna merah tertutupi oleh telapak tangan yang di selimuti aura sihir hitam.
Lelaki kejam itu mencengkram juga mengangkat kepala, hingga tubuh mungil Arcana mengambang di udara. Tak terlihat gerakan tubuh atau rengeken bayi baru lahir. Mungkin anak yang tak berdosa itu telah menjadi mayat. Entahlah. Namun, ada yang tidak beres pada kondisi tubuh bayi tersebut. Dari berbagai arah, aura hitam menerobos masuk keseluruh pori-pori kulitnya. Biasanya, ras peri menyebut aura hitam itu adalah energi kehidupan yang berasal dari berbagai macam tumbuhan yang berasal di Eksoplanet.
"Maafkan aku, Elaine. Anak ini harus di lenyapkan. Dia terlalu berbahaya untuk ras peri. Lihatlah! Tubuhnya, terus menyerap energi sihir dari alam semesta. Jika di biarkan hidup, anak ini akan menghancurkan dunia yang kita lindungi selama ini."
Wanita yang berkornea mata merah juga tahu akan hal itu. Tapi hati nuraninya sebagai seorang ibu, Elaine tak tega membiarkan Arcana di bunuh dengan cara sadis. Menurut Elain, dosa yang ia perbuat adalah urusannya dengan Tuhan. Lelaki itu tak punya hak untuk turut ikut campur.
"Ba-bahkan Tuhan masih memberikan kesempatan untuk malaikat yang memberontak di surga. Dari wujud malaikat, kita di ubah menjadi peri sebagai tanda belas kasih Tuhan. Tapi kenapa kau bertindak layaknya malaikat pencabut nyawa Azazel! Kau bahkan lebih hina dari ku. Kau tidak punya perasaan, kau sangat kejam! Kau bukan lagi peri penjaga hutan. Kau sudah menjadi iblis, Azazel!"
Benar. Lelaki yang keji itu bernama Azazel. Atau lebih di kenal sebagai pemimpin peri dari klan Shadow Elves.
Mendengar segala cacian yang di lontarkan Elanine. Sontak membuat Azazel samakin murka. Amarah berkecamuk. Aura sihir menyelubungi. Cengkraman di kepala bayi itu menguat. Seiring dengan gemeretak tulang tengkorak yang terdengar remuk. Azazel melenyapkan bayi tersebut tanpa menyisahkan seonggok daging sedikitpun. Hanya darah suci kental yang memercik di kulit wajah dan rambut Azazel yang cenderung berwarna pucat. Peri jahat itu sangat menikmatinya. Tanpa merasakan rasa bersalah.
Spontan Elaine berseru pelan dengan kesedihan mendalam. Walaupun Dirinya tahu Arcana telah lenyap. Elaine tetap menjulurkan tangan, ingin menyentuh anaknya,
"Arcanaa ... Anakku ...."
Azazel menanggapi dengan wajah tak berdosa. Menyambut dengan membalas uluran tangan Elaine. Mengajak peri yang terpuruk itu kembali ke hutan Kaliandra,
"Elaine, ayo kita pulang!"
Elaine melangkahkan kaki. Mendekati Azazel, yang terpaut 3 meter. Selanjutnya, ia berteriak dengan emosi yang meluap-luap,
"Beraninya, kau membunuh anakku Azazel! Akan ku bunuh kau!" Mirisnya, baru dua langkah. Nafas Elaine sudah sampai ke tenggorokan. Tubuhnya terbanting di permukaan tanah. Sebab tak kuat menahan luka, yang tak bisa di bilang ringan. Penglihatan peri cantik itu mulai memudar. Kesadarannya menghilang. Elaine tak punya lagi harapan hidup.
Di akhir hayatnya, Elaine masih sempat melontarkan kata-kata yang mengancam kelanjutan hidup seluruh ras peri. " Ingat, Azazel! Ini bukan ucapan dari peri yang mencintai seorang manusia. Ini adalah bentuk kemarahan seorang ibu! Dengan mempertaruhkan pahalaku sebagai ratu seluruh klan peri di hutan Kaliandra. Aku, Elaine dari klan Dark Elves mengutukmu, Azazel! Jika sekali lagi, kau berani membunuh umat manusia. Maka Arcana, putraku akan bangkit kembali. Dengan menggunakan Fairy Sword yang menancap di perutku, Arcana akan menjadikan Kaliandra sebagai kuburan seluruh ras peri termasuk kau, Azazel!"Raut wajah bengis Azazel berubah seketika. Menjadi bergidik ngeri. Tubuhnya terguncang hingga gemetar hebat serta jatuh terduduk lemas. Merasakan ketakutan setengah mati. Seiring dengan bulan purnama yang berlumuran warna merah darah. Atau yang lebih di kenal dengan nama Blood Moon. Seakan alam semesta mengabulkan kutukan peri yang mencintai umat manusia tersebut.
"Elaine, kenapa! Kenapa kau tega mempertaruhkan segalanya demi manusia. Bahkan kau tidak peduli lagi dengan tanah kelahiranmu. Apakah kau tak sadar, jika sifat manusia itu lebih buruk dari pada aku?"
"Kau akan mengerti jika kau dekat dengan manausia, Azazel."
Beberapa tahun kemudian, cinta terlarang antara Elaine bersama manusia menjadi kisah yang terkenal di dunia manusia. Lantaran terkenalnya, sampai banyak di tulis di buku dan tayang di televisi dengan akhir tragis juga mengerikan. Kendati demikian, kisah tersebut di anggap manusia sebagai kisah mitologi horor yang tidak pernah terjadi.
Eksoplanet, 1943. 20 tahun kemudian .... Zealandia, merupakan benua yang ada di Eksoplanet. Di huni oleh para ilmuwan pencipta teknologi canggih. Lantaran canggihnya, matahari buatan pun telah di ciptakan. Sehingga tak ada yang bisa membedakan siang ataupun malam di ibukota. Tapi para ilmuwan itu juga manusia biasa. Tak akan pernah merasa puas selama mereka belum mati. Eksperimen di luar nalar akan terus di lakukan. Tentu, hanya untuk membuktikan siapa yang terhebat. Salah satu ilmuwan itu adalah Shin. Pemuda yang kurang tampan bersetelan jubah putih. Perkiraan tinggi sekitar 170 senti meter. Berkornea warna biru, dan berpupil warna hitam. Mata unik tersebut sangat di kenal di penjuru Eksoplanet sebagai ciri khas yang hanya di miliki punduduk Zealandia. Shin bersama dua orang temannya berada di puncak gunung Rahtawu. Gunung tandus yang terbelah menjadi dua. Tempat yang sangat cocok untuk menguji alat tekno
"Bagaimana cara menggerakkannya?" tanya Jansen dengan keingintahuan yang tinggi. "Teknologi." Shin berucap dengan suara tegas. Shin mengangkat lengannya, dengan telapak tangan yang terbuka. "Dengan sayap ini, akan ku bersihkan darah yang menodai hamparan tanah di Eksoplanet." lanjut Shin mengepal tangan. Seolah dia sedang menggenggam dunia. Bayangan dunia sekarang ada dalam genggamannya. Keseriusan nampak dari wajahnya. Mulutnya mengatup hingga tercetak senyum percaya diri. Seiring dengan pandangannya yang penuh tekad masih memandang jauh nan lurus. Kemudian tabung yang ada di dalam ransel Shin bergerak naik turun. Layaknya, mesin pompa, yang menghasilkan daya dorong angin kearah bawah. Seiring dengan kedua sayap yang terus mengepak. Helen menggigit jari. Terlihat dia berfikir. Sebelum menjelaskan, "Jadi begitu. Piston di manfaatkan untuk mengisap campuran udara ke dalam ruang bakar hingga terjadi pergerakan," T
"Hallo! Aku manusia." Shin menyapa makhluk yang pertama kali dia temui. Sangat ramah. Nampak dari senyum yang mengembang. Seperti seorang yang baru mendapatkan kenalan baru. Burung-burung bangau itu berhamburan. Mungkin terkejut melihat manusia memiliki sayap. Shin berniat menangkap dengan kedua tangannya. Ironisnya, salah satu burung bangau tersebut melompat, dan mencakar wajah Shin. Mengibaskan sayapnya secara kasar lalu burung bangau itu kabur. Wajah Shin seperti tertampar. Shin meringis. Merasakan perihnya luka cakaran yang terkena embusan angin.Bodoh!Dengan ekspresi muram dan lesu. Shin meneruskan perjalanan. Hingga menabrak sekumpulan kabut yang banyak mengandung embun air. Tubuh Shin gemetar. Shin menyentuh dan merasakan kelembutan gumpalan putih bagai salju di telapak tangannya."Jadi ini awan. Begitu dingin dan sejuk."Shin bermain-main seperti anak kecil. Meniup-niup dan mendekap. Awan meleleh membasahi sekujur tubuh. Hal s
Helen dan Jansen bekerja sama. Keduanya, berpencar mencari Shin. Helen masih berada di puncak gunung Rahtawu. Berjalan mondar mandir. Mengamati daerah sekitar. "Sialan! Arrrghhhh ...." teriak Helen kesal. Telapak kakinya menghantam permukaan tanah. Jari-jemarinya saling bertautan dengan telapak tangan dan di tekan bersama. Seolah Helen mengkhawatirkan saingannya itu. Tidak mungkin! "Kemana si bodoh itu pergi? Merepotkan sekali. Bagaimana jika ketahuan oleh para God Father? Pasti aku juga akan terbawa dalam masalah." Lanjut Helen menggerutu sebal. Di sisi lain Jansen melayang ke dasar lembah seluas 2 hektar. Menulusuri ilalang setinggi 2 meter. Jansen mendarat di bawah pohon Akasia. Tepatnya di tengah-tengah padang ilalang yang tumbuh subur. Kedua telapak tangan Jansen berdiri tegak di tepi bibir. Memanggil nama temannya. Suaranya melengking terbawa angin. "Shiiinnnn!" teriak Lelaki berkostum aneh berwarna hitam. Menutupi ujung kaki
Beberapa menit sebelumnya, Shin sedang asik menghayati siluiet yang hadir karena cahaya. Terekam dalam bentuk jasmani. Namun, tidak padat atau tidak cair. Makin lama di amati bayangan itu memunculkan sesosok yang menyerupai manusia dengan bentuk perawakan berbeda. Ternyata itu bukanlah pantulan tubuh Shin. Melainkan sesosok wanita bersayap. Bersetelan serba putih minimalis. Yakni, sehelai kain penutup pusar menjadi penghubung antara kemban dan bawahan yang terurai menjadi beberapa bagian. Penampilan simple tapi oversexed damagenya. Gadis itu mampu menyihir Shin dengan paras natural bak hawa yang di buang dari surga. Shin diam tertakluk untuk beberapa detik. Seumur hidup Shin belum pernah rasanya, bertemu dengan seorang yang nyaris sempurna seperti itu. Bahkan pesona gadis itu mampu mengalahkan kecantikan wajah dingin Helen. Makhluk apa itu? Shin mengernyit heran. Membatinkan tanya dalam nurani. Keraguan bergelayut. Berbagai spekulasi makin lama semakin
"Mi-minggir Jansen!" bentak Helen murka. Semula Helen menganggap Shin sebagai rivalnya. Gadis tersebut tak pernah peduli akan nasib buruk yang menimpa Shin.Tapi kali ini ada yang berbeda dan terasa aneh. Helen seketika menjadi panik sekaligus khwatir. Hatinya melunak. Egonya yang tinggi dilenyapkan. Rasa iri sudah tak di rasakan lagi. Wajar saja Helen merasakan hal seperti itu. Sebab sebagai seorang wanita tentu dia mempunyai hati yang lembut. Apalagi jika dinilai dari sudut pandang manusia, Helen tak mungkin tertawa, di atas penderitaan orang lain. Dimana kecelakaan maut akan segera menjemput. Lagi pula Shin adalah sahabatnya. Kendati demikian Jansen tak mengerti akan hal itu. Bukannya menanyakan apa yang terjadi. Jansen malah mengucapkan kata-kata kasar bernada tinggi, "Jangan hanya karena tindakanmu yang seenak jidat, sehingga menimbulkan banyak korban. Kenapa kau jadi bodoh Helen?" ucap Jansen memperingati, "Apa kau lupa mata itu akan merus
Di puncak sebuah gedung tinggi. Berdidingkan kaca. Terlihat seseorang laki-laki berkaca mata. Berumur kisaran 40 tahun. Memakai setelan jas rapi berwarna hitam. Dirinya berdiri sembari menatap keluar jendela. Dengan kedua telapak tangan, masuk di saku celana. "Bagaimana? Para Eagle sudah menemukan hacker itu?" tanya lelaki tersebut kepada Hologram 3D yang menyerupai dirinya. Yakni visual 3 Dimensi berwarna biru hasil dari teknologi rekayasa optik. "Sudah tuan," jawab Hologram 3D yang berdiri di depan meja kerja lelaki tersebut. "Ada berapa?" "3 orang." "Lalu kenapa belum di tangkap?" lanjut lelaki itu mendengus dingin. Selanjutnya, ia memutar tubuh. Mendelik tajam pada Hologram 3D. Terlihat visual 3D membalas dengan ekspresi datar, tanpa berkedip. Seketika mimik wajah lelaki itu berubah menjadi sinis. Rasanya Hologram 3D tak pernah puas, jika sehari saja tak membuat tuannya marah. "Posisi mereka t
"Selama ini aku terlalu sombong. Aku mengira otakku terlalu jenius. Aku mengira teknologi dapat melawan kejamnya dunia. Namun, pada akhirnya, aku akan mati oleh alat buatanku sendiri," Shin pingsan di emperan langit sayup sunyi. Netra biru terpejam. Kepalanya merunduk sekarat. Sedang otaknya masih berfikir. Seiring dengan embusan angin yang menghempas-hempaskan jubah putihnya. "Kenapa aku malah memikirkan ini? Tidak mau! Tidak mau!" gumam Shin menolak kematian. Dirinya takut hingga gemetaran di cekam sensara. Salju mulai turun. Udara makin dingin. Suhunya mencapai -15 derajat Celcius. Uap air mulai tidak ada. Tubuh Shin membeku. Sebab jubah putihnya terlalu tipis. Hidung Shin mengeluarkan darah, sebagai tanda oksigen di otak berkurang. Mendadak .... Shin berhalusinasi. Shin mendengar suara yang memanggil namanya. Shin tampak mengenal suara itu. Dirinya ingin menjawab, namun bibirnya terasa kaku untu