Share

Teknologi

"Bagaimana cara menggerakkannya?" tanya Jansen dengan keingintahuan yang tinggi. 

"Teknologi." Shin berucap dengan suara tegas. Shin mengangkat lengannya, dengan telapak tangan yang terbuka.

"Dengan sayap ini, akan ku bersihkan darah yang menodai hamparan tanah di Eksoplanet." lanjut Shin mengepal tangan. Seolah dia sedang menggenggam dunia. Bayangan dunia sekarang ada dalam genggamannya. Keseriusan nampak dari wajahnya. Mulutnya mengatup hingga tercetak senyum percaya diri. Seiring dengan pandangannya yang penuh tekad masih memandang jauh nan lurus.

Kemudian tabung  yang ada di dalam ransel Shin bergerak naik turun. Layaknya, mesin pompa, yang menghasilkan daya dorong angin kearah bawah. Seiring dengan kedua sayap yang terus mengepak. 

Helen menggigit jari. Terlihat dia berfikir. Sebelum menjelaskan,

"Jadi begitu. Piston di manfaatkan untuk mengisap campuran udara ke dalam ruang bakar hingga terjadi pergerakan," 

Tak salah lagi wanita berwajah dingin itu, adalah salah satu ilmuwan paling jenius di Zealandia. Ia bisa menganalisa dengan singkat. Walau hanya dengan memperhatikan apa yang terjadi. 

"Ya, ya. Ia meniru cara kerja mesin pada kendaraan," tambah Jansen mengangguk mengerti. Namun, masih ada hal yang mengganjal di benak,  "Lalu kenapa kau masih diam di tempat Shin? Seharusnya, kau sudah terbang ketika sayap itu mengepak."

"Betul juga. Suatu hal dapat di katakan berhasil, jika tujuan diperoleh dengan sempurna. Aku tidak yakin tubuh kurus Shin mampu menggerakkan titanium seberat itu. Semoga eksperimen ini tidak akan berhasil." pikir Helen melamun.

Kemudian Helen berencana memprovokasi Shin dengan memandang rendah sayap tersebut. Tujuannya, agar ilmuwan sombong itu segera bereksperimen.

Helen tersenyum miring di bibir sensualnya. Selanjutnya, Ia berseru dengan nada mengejek,

"Apa gunanya sayap itu mengepak, tapi tak mampu menerbangkan tubuhmu!" Kepala Helen menggeleng, "Ataukah kau seperti seekor ayam yang bermimpi untuk terbang? Tapi sayang, sayap itu hanya bisa menjadi hiasan di punggungmu." 

Shin Berhasil terpancing.

Spontan ilmuwan bodoh itu langsung menjulurkan lidah. Di tambah dengan mengacungkan jari tengah kepada Helen. Selanjutnya Shin membalas, dengan berlagak angkuh.

"Lihatlah!"

Ya. Inilah dunia ilmuwan. Hasil ciptaan adalah kebanggaan yang patut di sombongkan. 

Kemudian salah satu  lempengan titanium lebar terbuka otomatis. Membentuk sebuah lingkaran kecil tapi terlihat sempurna. Muncul sepasang tabung yang tersembunyi pada masing-masing bagian sayap Shin.

"Me-mesin turbo jet?!" Jansen berseru dengan nada tak menyangka.

Shin tersenyum mengiyakan,

Proses pembakaran aliran udara di mulai.

"Zzztt" Suara bising yang di hasilkan mesin jet berdesis halus.

Turbin jet di ke dua sayap Shin mengeluarkan energi yang menyerupai api biru. Energi bersuhu tinggi dari hasil pembakaran udara dingin. Bukankah ini mirip dengan prinsip pada mesin yang menggerakkan pesawat terbang? Sangat sederhana, tapi hasilnya menakjubkan.

Perlahan-lahan tubuh Shin terangkat ke atas. Kedua temannya kembali tercengang. Saat melihat Shin melayang, bagaikan malaikat yang hendak naik ke surga.

Helen merasa ingin memuji kejeniusan Shin. Tapi ilmuwan bodoh itu begitu sombong. Helenpun memutuskan hanya ingin mendeskripsikan mekanisme sistem kerja sepasang sayap tersebut. Seperti biasa selagi Helen berfikir. Ia selalu menggigit jari,

"Begitu rupanya, ketika suatu benda memberikan gaya pada benda kedua, benda kedua tersebut memberikan gaya yang sama besar tetapi berlawanan arah pada benda pertama. Layaknya, dorongan kebelakang oleh ban yang menghasilkan reaksi maju untuk kendaraan." Penjelasan yang terperinci. Sesuai dengan gaya dorong mesin jet yang mengangkat tubuh Shin.

Mendadak ....

Setelah lepas landas. Tidak seindah yang di bayangkan. Kedua sayap Shin tak bisa di kendalikan. Tubuhnya jungkir balik di udara. Berputar-putar tak tentu arah. Mengikuti kemana arah sayap itu mengepak. 

Shin menekan tombol hijau berkali-kali. Maksudnya untuk mematikan mesin jet. Naasnya, turbin jet tak bisa di nonaktifkan.

Shin menghadap langit luas. Tentu posisi terbalik ini akan membahayakan tubuhnya. Benar saja. Sekali sayap menyentak. Shin terhempas jatuh. Badannya Menghantam hamparan tanah. Hingga terlempar sekitar 50 meter dari tempat kedua temannya.

"Bruuuukkk." Terdengar suara sangat keras. Akibat dari benturan antara badan, titanium dan hamparan tanah yang padat. Menyebabkan keretakan pada permukaan tanah. Sehingga debu-debu bertebaran

"Arggghhhh!" teriak Shin memuntahkan darah. Seakan hantaman keras itu menumbus sampai ke organ bagian dalam tubuh. Beruntung Shin tak mengalami patah tulang. Hanya saja terasa ngilu dan nyeri. 

Jansen dan Helen saling berpandangan. Kemudian Jansen berteriak dengan nada khawatir,

"Kau tidak apa-apa Shin!"

Sedang seringai bengis di wajah Helen, terlihat puas. Wanita itu nampak senang menyaksikan kecelakaan tersebut.

"Aku sudah menduga akan terjadi seperti ini. Tolonglah dia Jans! Aku mau pulang." 

Tanpa menunggu lama. Jansen langsung  bergegas terbang ketempat Shin. Sesampainya, Jansen melihat kedua turbin jet. Energi api biru perlahan padam. Selanjutnya, sorot mata Jansen terfokus kepada Shin yang terkapar. Nafas Shin naik turun. Tak ada air mata ataupun rengekan. Namun, noda darah pada wajah putih Shin. Seketika membuat Jansen menjadi cemas. Lantas Jansen mengulurkan tangan. Shin mengerutkan dahinya, lalu menepis telapak tangan Jansen,

"Aku tidak apa-apa Jans. Luka sekecil ini bukanlah masalah."

"Shin, tidak usah memaksakan diri! Kau bisa mencobanya lagi besok,"

"Hahaha Besok? Hanya karena luka sekecil ini aku harus berhenti. Lalu bagaimana aku bisa menjadi ilmuwan nomor satu!"

"Ta-tapi Shin ...."

"Meskipun harus memaksakan diri, aku tidak akan pernah menyerah Jansen. Karena pertunjukan baru akan di mulai." potong Shin dengan cepat.

Melihat Shin yang keras kepala. Helen menjadi semakin emosional. Selanjutnya ia sesumbar dengan raut wajah kecut,

"Berdiri saja tidak mampu, tapi masih berlagak sok kuat. Dasar songong!"

Shin kembali menekan tombol merah. Satu persatu ujung sayap itu bergerak. Seolah menjadi tongkat yang membantu menyanggah tubuh. Sekuat tenaga, Shin berusaha bangkit dari pembaringan. Meskipun kakinya gemetar. Tekad pantang menyerah masih nampak di matanya, yang menatap sangat tajam. Kemudian Shin menyentakkan kaki kanannya. Berpadu dengan helaan nafas kasar. Selanjutnya, terdengar suara batuk berkali-kali. Shin berkata dengan suara gemetar, "Ba-bahkan anak burungpun harus mengalami nasib tragis saat belajar terbang. Aku harus bisa menjinakkan sayap liar ini."

Turbin jet menyala. Tubuh Shin kembali mengudara. Mirisnya, kegagalan kembali terjadi. Situasi kali ini berbeda, Shin menukik dengan cepat. Tubuhnya terseret oleh sayap yang terus mengepak. Spontan Shin menutup wajahnya dengan lengan. Sebab kulitnya  tergores di permukaan tanah yang kasar. Alhasi, jubah putih Shin robek di bagian lengan. Sesekali Shin meringis kesakitan. Merasakan kulitnya tersayat oleh tanah dan batu kerikil. Hingga meninggalkan luka lebam pada lengan dan lututnya.

Sesaat kemudian. Hal yang Jansen takutkan terjadi. Shin melesat terjun kedalam jurang. 

Helen berlari ke tepi. Ia melihat jauh ke lembah padang ilalang. Terlihat Shin terjun bebas menatap langit. Dengan ekspresi pasrah penuh kedamaian. Shin sudah siap untuk mati. Namun demikan, Shin mencoba mengulurkan lengan kanannya yang bersimbah darah. Tanpa ada kata untuk meminta pertolongan. Helen membalas dengan tersenyum sinis. Helen membalikan tubuh pada Jansen.  Seterusnya ia  berseru, sembari melambaikan tangan. 

"Jans dia sudah mati. Aku mau pulang!" 

Raut wajah Jansen semakin khawatir. Dengan cepat ia terbang menyusul Shin. Kaki Helen mulai berjalan, hendak meninggalkan gunung Rahtawu.

Tapi ....

Tak sampai lima langkah, Helen berhenti. Saat mendengar suara tawa yang menggelegar dan teriakan menggema dari dalam jurang.

"Hahahaha."

Helen menoleh. Seketika dia menjadi kaget. Tak percaya.

Terpampang di udara. Seorang ilmuwan berpenampilan seperti gembel yang memiliki sayap. Jubah putihnya compang camping dan kusam menguning. Disebakan oleh tanah serta darah yang menempel menjadi noda.

Melihat temannya selamat. Jansen merasa lega. Ia melayang di samping Helen.

Shin bermanuver di antara gunung yang terbelah menjadi dua. Naik dan turun berkali-kali. Melintasi pinggir tebing bebatuan. Senyum yang sangat lebar menyeringai bahagia. Sebab Shin dapat mengendalikan sayapnya dengan mudah. Seolah sayap itu sudah menjadi bagian tubuhnya yang lain.

Kemudian ilmuwan itu berputar-putar mengelilingi kedua temannya. Sampai akhirnya ia terbang menghampiri Helen. Shin menekan tombol kuning. Maksudnya, untuk mengurangi kecepatan hentakan pada sayapnya. Dengan begitu ia dapat mengatur tekanan dan suhu udara. Sebab semakin cepat  sayapnya mengepak, semakin tinggi juga kecepatan jetnya. Shin melayang di tempat. Posisinya berada pada jarak enam atau tujuh meter dari permukaan tanah.

"Helen ...! Helen ...! Kau pasti terpesona dengan sayapku ini, kan? Kalau begitu, pujilah aku. Hahahha." 

Helen nampak geram melihat raut wajah bodoh Shin yang sedang tertawa.

"Pantas saja, kau di sebut sebagai ilmuwan terbodoh. Dasar tolol!" ketus Helen mencela.

"Tolol? Hahaha. Lihatlah sayapku ini? Di buat olehku, Shin. Ilmuwan paling jenius di Zealandia." balas Shin membela. Sekaligus memuji dirinya sendiri.

"Kalau kau memang jenius coba jelaskan tulisan yang ada pada ranselmu itu?" tanya Helen menujuk wajah Shin. Helen ingin menguji kemampuan otak ilmuwan yang mengaku jenius itu.

Shin menghentikan tawanya. Seterusnya kepalanya menoleh kebelakang,

"Yang mana?"

Meskipun Shin tak mampu melihat. Ia masih saja berusaha mencari tulisan itu. Ilmuwan itu benar-benar bodoh. Mungkin sebelumnya, Shin tak memperhatikan tulisan itu. Sebab ia terlalu bersemangat untuk bereksperimen. Entahlah.

"Mungkin Gery, yang menulisnya?" tebak Shin berfikir. Pupil matanya memutar ke atas.

Jansen lalu menyambungnya. Maksudnya untuk  membantu menjelaskan.

"Hukum gerak newton tiga. Setiap aksi akan menimbulkan reaksi." 

Shin menggaruk kepala. Ia belum juga mengerti.

"Hey, bodoh! Apakah sayap itu, kau yang membuatnya? Ataukah ciptaan paman?" seru Helen ragu, sembari mengangkat alis kirinya.

Shin terdiam. Dirinya menengadah. Seolah melihat cita-cita yang telah lama ia idamkan. Tergambar nyata di bongkahan awan. Binar mata terpancar. Terdengar helaan nafas berat, sebelum ia menjawab.

"Sejak kecil aku ingin terbang bebas di angkasa. Berbagai macam eksperimen telah di kembangkan. Namun selalu gagal, kemudian aku tak sengaja menonton film animasi tentang peri. Akupun berfikir, 'Apakah peri itu memiliki sayap?' Dari pertanyaan itu, aku mendapatkan inspirasi untuk membuat sayap di punggungku,  tanpa di duga, sifat tak mudah menyerahlah yang menentukan hasil. Inilah ciptaan ku," 

Keberhasilan seakan memberi Shin kekuatan, untuk mengatakan nama alat canggih buatannya. Hanya senyum lebar yang terlihat. Selanjutnya adalah suara teriakan yang begitu lantang,

"Fairy Wings."

"Hahahaha." Jansen terbahak. Menurutnya, jawaban itu terlalu kekanak-kanakan, "sejak dulu, kau memang seperti itu. Selalu mengabaikan hukum fisika. Anehnya, pasti berhasil. Mungkin aku harus banyak belajar dari kamu." 

Sedang Helen mengibaskan poninya ke belakang. Dia juga merasa aneh dengan jalan pikiran Shin.

"Terbanglah! Jika terus mendengarkan mu, aku akan jadi bodoh sepertimu."

Shin tersenyum lebar. Sebagai tanda ia telah bersiap. Shin menekan tombol merah. Perlahan-lahan api biru di sayapnya semakin membara. Seiring dengan tubuhnya yang semakin terangkat ke atas.  

"Fly to the moon." Shin berteriak. Tangannya menunjuk ke langit luas. Lalu iapun meluncur ke udara. Senyum bahagia, tak pernah lepas sampai ia terbang menjauh dari kedua temannya. 

"Dasar! Selalu saja menciptakan alat yang di luar nalar," sindir Jansen tersenyum. Rasa bangga terbias. Pemuda itu turut bahagia. Karena kali ini percobaan Shin telah sukses. 

Jansen melirik ke arah Helen. Namun, ekspresi wajah gadis itu tampak kusut. Dengan nada bercanda, Jansen mencoba menggoda, "Helen, kenapa kau cemberut? Apakah kau takut, dia melampauimu?" 

"Berisikkkk!" ketus Helen mendengus sebal.

Helen terus memikirkan Shin yang sudah terbang jauh di atasnya. Rasa iri tidak bisa di sembunyikan. Bagaimana tidak sayap yang di idamkan para pujangga cinta. Kini telah di ciptakan oleh ilmuwan yang di anggap paling bodoh. Helen yakin, sayap itu akan menjadi kebanggan benua Zealandia. Apalagi di tambah dengan tawa Jansen yang terbahak-bahak. Hati Helen semakin memanas. Dia merasa Jansen bukan hanya mengejek tapi juga menghinanya. 

Sesampainya di langit. Shin merasa berada di puncak dunia, dengan tubuh dan jiwanya.  Shin mengudara dengan semangat membara. Melayang kemanapun yang ia suka. Tanpa ada sedikit rasa takut akan ketinggian. Dalam 5 menit ia sudah mencapai ketinggian 1472 meter Dengan suhu udara 15 derajat. 

Begitu banyak hal yang Shin kagumi.  Panorama gedung-gedung tinggi, Hutan hijau yang terbentang di pinggir kota, dan Samudra biru. Pemandangan benua Zealandia terlihat indah bagai lukisan Tuhan. Shin merentangkan tangannya, sembari menghirup desiran angin segar.  Rasa lega, puas dan senang atas kerja kerasnya bercampur jadi satu. Pemuda itu berteriak, sangat keras. Seolah sedang mengabarkan pada dunia.

"Aku berhasill! Aku berhasil ...! Yeah." mata Shin berbinar. "Ayah, aku berhasil! Aku telah menjadi ilmuwan seperti yang ayah inginkan. Namaku akan tercantum dalam buku sejarah sebagai ilmuwan penemu sayap."

"Shin Aikins." Ilmuwan itu berteriak, dengan menyebut nama panjangnya. 

Kini Shin merasa orang paling bebas di Eksoplanet. Shin melupakan dari mana tempat ia berasal. Bahwasanya, manusia itu berjalan di atas permukaan tanah, bukan terbang di atas langit. Meskipun di langit hanya ada awan. Tapi memiliki rintangan yang jauh lebih berbahaya.

Bayangkan saja jika seseorang terjatuh dari ketinggian 1000 meter. 

Akankah Ia selamat dengan badan yang terluka dan tulang yang patah? 

Atau mati terbakar dengan tubuh gosong karena terkena sambaran petir?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status