Kim Na Ra POV
Sepulang sekolah aku langsung mandi dan ganti baju. Aku bersiap untuk kerja paruh waktu di sebuah coffeshop terkenal di daerah Namdaemun-ro, Myeong-dong. Untuk sampai ke sana, hanya perlu waktu sekita 15-20 menit saja mengingat lokasi runah atapku yang berada di Insadong.
Aku mengenakan seragam kerja dan memoles wajah dengan make up. Kucepol rambut panjangku dengan jepit hitam. Kuambil tas kecil dan berjalan menuju gang depan rumah atapku. Aku berjalan beberapa meter ke halte bus. Tak berapa lama bus tujuanku tiba dan aku langsung menaikinya.
Sesampainya di tempat kerja, aku langsung membereskan cangkir-cangkir kopi yang sudah tidak dipakai oleh pelanggan, mengambilkan pesanan, dan melayani tamu. Badanku terasa pegal. Jam di lenganku menunjukkan pukul sembilan malam. Aku beristirahat sejenak di tempat kasir menggantikan temanku yang ingin ke toilet.
Seorang pelanggan mengantre di depan meja kasir memesan tiga gelas sexagintuple vanilla bean mocha frappuccino. Daebak! Pelanggan di depanku ini pasti orang kaya. Jarang-jarang ada pelanggan yang memesan menu ini karena harganya yang super fantastis. Harga satu gelas kopi ini setara dengan seperenam gajiku dalam sebulan. Amazing-kan?
“Ada pesanan lainnya, Tuan?” tanyaku. Pelanggan itu menggeleng. “Saya ulang kembali pesanan Anda, tiga gelas large sexagintuple vanilla bean mocha frappuccino, satu rustica chiken cranberry sandwich, dan dua smoked chicken croissant sandwich. Total 1.710.139 won.”
“Saya bayar dengan kartu debit ya?” ucap pelanggan itu. Aku mengangguk.
“Silakan, Tuan,” ucapku. “Terima kasih, silakan duduk nanti saya antarkan pesanannya.”
Aku langsung meminta barista membuatkan pesanan yang diminta pelanggan tadi. Setelah pesanan selesai aku langsung berjalan ke arah pengunjung yang akan menerima makanan dan minuman ini. Entah aku yang kurang fokus atau memang laki-laki di depanku yang tidak hati-hati karena ia sukses menabrakku dan membuat minuman yang kubawa tumpah ruah di kemejanya.
“Maaf, Tuan saya tidak sengaja,” ucapku seraya berlari mengambil tissue di meja kasir. Aku langsung membersihkan baju pelanggan itu.
“Minggir! Pakaianku bisa kotor karenamu!” ucapnya. “Kau?” ucapnya penuh penekanan.
Aku yang awalnya tertunduk sontak menatap laki-laki di depanku. Oh God! Kalian tahu siapa laki-laki itu? Dia adalah si laki-laki aneh yang beberapa kali kutemui di sekolah.
“KAU?” Aku pun memelotot ke arah si cowok aneh. “Kenapa aku harus bertemu denganmu lagi? Bisa tidak sehari saja kau menghilang dari hadapanku?” bentakku.
“Ya~~! Kau yang bersalah, kau yang memarahiku? Ada yang salah dengan kinerja otakmu ya? Lihat seberapa salahnya kau padaku?” bentaknya sarkastik. Demi Tuhan laki-laki ini sangat menyebalkan! Kenapa dia harus menjadi pelangganku hari ini? Ergh!
“Baiklah Tuan, saya mohon maaf.” Kuhentakkan kaki pertanda emosi. Lalu pergi menghampiri meja pelanggan yang sudah menunggu pesanan yang tumpah ini.
Sial! Hari ini benar-benar hari tersial sepanjang hidupku. Kenapa di mana-mana pasti bertemu dengan iblis itu? Semenjak bertemu dengannya hidupku selalu sial! Hari ini dia membuat setengah gajiku hilang. Hilang hanya karena minuman sialan bernama sexagintuple vanilla bean mocha frappuccino! Hiks! bagaimana nasibku sebulan ke depan? Sewa rumah atap belum dibayar, biaya makan, biaya sekolah, Aargh sialan!
“Permisi Tuan, Nyonya, mohon maaf saya tidak sengaja menumpahkan minumannya. Sebentar akan saya ganti. Sekali lagi mohon maaf,” ucapku pada pelanggan yang memesan minuman itu. Aku mendelik tajam ke arah laki-laki itu. Rasanya aku ingin menangis saja! Dasar iblis!
Aku segera masuk pantry dan menjelaskan semua kejadian pada manajerku. Dia sempat marah dan aku berjanji akan membayarnya dengan gajiku. Setelah perdebatan selama lima belas menit, aku kembali keluar dengan tiga minuman baru berlabel sama. Rasanya masih tidak rela harus mengganti minuman yang tumpah itu meskipun aku juga salah. Andai saja dia tidak muncul tiba-tiba seperti tadi pasti aku tidak akan kehilangan gajiku sekarang. Aku menghampiri meja pelanggan tadi dan ternyata laki-laki tadi duduk di sana. Apa mungkin ini pesanan dia?
“Ini pesanannya Tuan, Nyonya, mohon maaf telah menunggu lama,” ucapku berusaha ramah. Meski sebenarnya, aku ingin sekali memaki laki-laki itu. Dia sama sekali tidak memiliki rasa tanggungjawab! Semua ini juga salahnya!
“Terima kasih,” ucap pelanggan itu. Bisa kutebak sepertinya Tuan dan Nyonya ini adalah orang tua dari laki-laki berengsek ini.
“Kau tidak berniat untuk meminta maaf padaku?” tanya si laki-laki seraya menaikan satu alisnya.
“Untuk?”
“Kau sudah menumpahkan minuman itu di pakaianku. Untung saja aku selalu membawa pakaian cadangan di mobilku. Kalau tidak aku pasti sudah dikerubuti semut karena ulahmu!”
“Baiklah saya minta maaf Tuan, mohon maaf atas ketidaknyamanannya.” Demi Tuhan dia sangat-sangat menyebalkan! Dasar siluman! Andai saja tidak ada Ayah dan Ibunya sudah kucakar wajahnya yang arogan!
“Mike, kau tidak boleh bersikap seperti itu! Gadis ini tidak sengaja melakukannya padamu,” ucap Nyonya pelanggan pada laki-laki itu. Sekarang aku tahu namanya Mike.
“Tidak apa-apa Nyonya, saya yang salah. Permisi.”
…,
Jam di lenganku menunjukkan pukul sebelas malam. Aku segera membersihkan sisa make up di wajahku dan membuka cepolan rambutku. Kuganti pakaian kerjaku menjadi kaos, memakai celana jeans, dan menenteng tas slempang kecil. Kukenakan jaket hitamku dengan sepatu boots coklatku. Aku keluar dari Coffe Shop menuju jalan raya. Kusentuh layar ponselku dan menelpon Ji Hyun.
“Ji Hyun ah~~!” rengekku.
“Wae? Neon gwaenchanh-a[1]?” terdengar suara Ji Hyun di ponselku.
“Ji Hyun ah~~ aku benar-benar sangat kesal! Kenapa di tempat kerja aku harus bertemu dengan iblis itu lagi!” rengekku.
“Iblis? Siapa maksudmu? Apa iblis itu laki-laki yang kau anggap aneh?” tanya Ji Hyun.
“Iya! Karena dia aku jadi kehilangan setengah gajiku bulan ini.” Aku kembali merengek. Kali ini aku menangis. Aku tidak peduli jika orang-orang di sekitarku menganggap aku gila karena menangis sambil berjalan. Mereka pun akan seperti ini jika berada di posisiku saat ini. Aku benar-benar bingung membayangkan hidupku sebulan ke depan tanpa uang? Oh GOD! Please help me!
“Jinjja? Kenapa bisa begitu?” Terdengar nada khawatir dari ucapan Ji Hyun.
Aku menceritakan kejadian tadi pada Ji Hyun. Ji Hyun justru menawarkan pinjaman untukku dan memintaku berhenti bekerja. Dia mengatakan lebih baik aku terima tawaran Ayah dan Ibunya untuk tinggal di rumahnya supaya aku tidak perlu bekerja lagi. Kutolak tawaran Ji Hyun, karena keluarga Ji Hyun sudah terlalu banyak menolongku sejak Eomma meninggal.
Rasanya aku tidak tahu diri kalau terus menerus berpangkutangan pada Ji Hyun dan keluarganya. Aku tidak mau terus menyusahkan Ji Hyun. Aku tahu kalian pasti berpikir aku bodoh dan tolol karena menolak pertolongan Ji Hyun yang mungkin adalah utusan Tuhan yang mendengar doaku tadi. Namun sayangnya, aku terlalu malu pada Ji Hyun.
Ji Hyun dan keluarganya terlalu baik, mulai dari membiayai rumah sakit Eomma, membiayai sekolahku ketika aku di junior high school, membayar uang sewa rumah atap. Ah, pokoknya mereka terlalu banyak menolongku. Sekarang aku tidak mau terus menerus menjadi benalu untuk Ji Hyun. Aku yakin aku mampu bertahan dengan caraku sendiri. Aku bertekad setelah lulus sekolah aku harus mendapatkan beasiswa kuliah dan setelah lulus aku tidak perlu lagi khawatir tentang masalah keuanganku. Bahkan mungkin aku bisa membantu Imo mengurus Halmeoni.
Ji Hyun adalah sahabat paling baik. Dia selalu ada untukku. Aku sangat bersyukur bisa mengenal Ji Hyun. Ji Hyun termasuk perempuan popular di sekolah dulu, mungkin juga sekarang. Aku tidak tahu karena kami tidak satu sekolah. Ji Hyun cantik. Wajahnya putih, tinggi, bermata sipit, hidung mancung, tubuhnya jenjang dan mulus, SEMPURNA! Itulah deskripsi yang tepat dalam menggambarkan fisik Ji Hyun.
Aku masih berjalan di sepanjang trotoar. Aku tersentak karena tiba-tiba ada seseorang yang memegang lenganku.
“K A U?”
Cha Jung Won POV “K A U?” Mata gadis itu terbelalak saat menatapku. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa gadis ini harus bekerja seperti ini? Apakah orangtuanya menelantarkannya? “Ikut aku!” Aku mencengkram lengannya dengan cukup kencang. “Ke mana? Ini sudah malam aku mau pulang! Kau jangan macam-macam padaku.” Ini pertama kalinya gadis itu berbicara dengan memakai kosakata banmal padaku. Namun, aku tidak peduli! Lagi pula aku juga sudah terbiasa memakai kosakata banmal padanya. “Ternyata kau orang yang terlalu percaya diri! Siapa juga yang mau berbuat macam-macam padamu? Aku hanya akan mengantarmu pulang.” Gadis ini sungguh terlalu percaya diri. Aku hanya kasihan padanya. Ini sudah malam, tak baik seorang gadis keluyuran malam-malam. “Mengantarku? Untuk apa kau repot-repot mengantarku? Kau dan aku tidak seakrab itu untuk saling mengantar.” Gadis ini benar-benar keras kepala. Padahal, aku hanya berniat baik, tetapi dia sama sekali tak melihat kebaikanku. “Sekarang sudah larut ma
Cha Jung Won POV “Saranghae[2]~~ Jung Won,” ucap Yoon Na. Perempuan ini benar-benar tidak mempunyai rasa malu. Berani sekali mengungkapkan perasaannya pada laki-laki. “Aku sudah tahu!” jawabku. “Lalu?” Kening Yoon Na berkerut. “Apa kau sudah selesai berbicara denganku? Sekarang aku sibuk. Aku mau latihan basket. Minggu depan ada lomba.” tukasku. “Jung Won ah~~ aku sudah mengungkapkan isi hatiku padamu dan kau seenaknya saja meninggalkanku?” Yoon Na memegang lenganku. Gadis ini selalu saja memegangku seenak jidatnya. Sudah jelas, aku paling tidak suka dipegang-pegang. “Lepas! Apa kau tidak malu mengejarku?” Kuhempaskan lengannya kasar. “Tidak. Sama sekali tidak. Aku tidak akan pernah menyerah sampai kau benar-benar membalas perasaanku.” Yoon Na sama sekali tak terintimidasi dengan sikap kasarku. Argh! Aku benar-benar tertekan dengan fandom seperti dia. “What ever! I don’t care anything about you! Bikyeo![3]” Aku pergi meninggalkan Yoon Na yang berdiri dipinggir lapangan basket.
Kim Na Ra POV Han Na Seonsaeng-nim sedang sibuk menjelaskan materi Seni Rupa di layar proyektor. Kali ini aku benar-benar tak dapat berkonsentrasi dengan baik. Pikiranku melayang-layang tak karuan. Aku masih sibuk memikirkan si laki-laki aneh yang semalam sukses mengantarkanku pulang. Dia terheran-heran melihat aku yang hidup di rumah atap. Berulang kali dia bertanya ke mana orangtuaku, tetapi aku malas menjawabnya. Untuk apa? Itu urusan pribadiku. Lagi pula dia bukan siapa-siapa! Dia adalah laki-laki teraneh yang pernah aku temui. Tatapannya selalu aneh padaku. Seperti ada banyak pertanyaan yang muncul di otaknya tentangku. Padahal, kami sama sekali tidak pernah saling mengenal satu sama lain. Kenapa dia harus penasaran tentang hidupku? “Kim Na Ra!” Teriakan Han Na Seonsaeng-nim membuyarkan lamunanku. “Ye~~ Seosaeng-nim?” tanyaku gelagapan. “Kau sama sekali tidak memerhatikan pembelajaran! Saya sedang menjelaskan pelajaran! TOLONG PERHATIKAN!” Han Na Seonsaeng-nim memelototkan ma
Cha Jung Won POV Peluh menetes satu demi satu di keningku. Aku baru saja menyelesaikan pertandingan dengan hasil memuaskan. Tim basketku masuk final. Tim cheers bersorak riang, begitu pula dengan tim supporter dari sekolahku. “DAEBAK! Jung Won! Kau benar-benar luar biasa!” puji Joon Jae. Matanya berbinar-binar. Aku akui, hari ini aku sangat luar biasa karena berhasil membuat harum nama sekolah baruku. Padahal hal ini sudah sering terjadi ketika aku masih di London. “Jung Won chughahae![1] selangkah lagi kau bisa membuat sekolah kami menjadi juara,” puji Se Gyeong. Salah satu fans-ku selain Yoon Na. “Gomawo[2]!” jawabku. “Ini untukmu!” Se Gyeong menyodorkan sebotol minuman isotonic padaku. “Tidak perlu!” tolakku. Se Gyeong membawa kembali minumannya dan duduk kembali di kursi penonton. Kulihat raut wajahnya kecewa, biarlah daripada aku menerimanya lalu dia berharap lebih padaku, itu lebih kejam. “Terima saja minuman dari Se Gyeong! Apa susahnya? Kau terlalu jual mahal Jung Won!”
Kim Na Ra POV “Seonbae, kau tidak perlu berharap lagi padaku. Aku secara resmi akan memperkenalkan pacarku padamu, Kim Na Ra.” WHAT? Apa katanya? PACARKU? Sejak kapan aku menjadi pacarnya? Mataku membulat mendengar pernyataan Mike barusan. Iblis! Laki-laki ini benar-benar iblis! Kulihat perempuan di sebelahnya terkejut dan terperangah tak percaya. “DIA? Perempuan biasa ini? Pacarmu?” Perempuan itu tertawa sinis merendahkanku. Suaranya melengking menusuk telinga! Apalagi dia berbicara setengah berteriak, membuat semua mata tertuju padaku. Apa lagi kata-katanya sangat tajam. Sepertinya perempuan ini perlu disumpal mulutnya supaya tidak asal bicara! “Iya. Dia pacarku, jadi kau tidak perlu mengejar-ngejarku lagi.” Kulihat beberapa perempuan di kursi penonton terbelalak tak percaya. Mereka seolah menahan napas kecewa. “Tunggu! Ini hanya kesalahpahaman. Aku bukan pacarnya.” Aku buru-buru menolak pengakuan Mike tadi. Mike GILA! “Jagiya! Kenapa kau tidak mau mengakuiku? Kau tidak perlu m
Kim Na Ra POV “Deal?” tanya Mike seraya menyodorkan tangan kanannya padaku. “Deal!” sahutku. Setelah kejadian kemarin, sepulang sekolah Mike tiba-tiba datang ke kompleks rumah atapku. Lelaki ini memang benar-benar menyebalkan! Sikapnya benar-benar di luar ekspektasi. Tanpa basa-basi dia memintaku menjadi kekasihnya. Awalnya jelas kutolak, tetapi setelah diskusi yang sangat panjang termasuk pasal-pasal larangan yang boleh dan tidak boleh dilakukan akhirnya aku pun setuju dengan kontrak berpacaran selama enam bulan. “Mengenai ucapanmu kemarin, apakah itu benar?” tanyaku. “Mueo?[2]” Dia malah balik bertanya. Kedua alis tebalnya bertaut. “Ucapanmu tentang aku yang selalu hadir dalam mimpimu.” “Maj-a![3] Kau memang selalu muncul dalam mimpiku. Mungkin itu cara Tuhan menunjukkan bahwa kau tercipta untuk menjadi modelku.” Lelaki itu menyilangkan kakinya dengan santai di atas sofa rumah atapku. “Ergh! Aku tidak menyukai foto!” timpalku cemberut. “Tapi mulai hari ini kau harus menyukai
Cha Jung Won POV "Jung Won! Kau sudah membaca papan pengumuman di lantai bawah?" tanya Joon Jae seraya menepuk pundakku. Aku yang sedang sibuk memainkan kameraku sambil sesekali memotret ke arah luar jendela langsung menoleh ke sumber suara. "Belum, kenapa?" sahutku seraya menggedikkan bahu. Kusimpan kameraku di atas meja lalu duduk berhadapan dengan Joon Jae. "Ada pengumuman lomba fotografi. Bukankah kau sangat menyukai fotografi?" timpal Joon Jae antusias. Tanpa memedulikan Joon Jae, aku langsung keluar dari kelas menuju lokasi papan pengumuman di lantai 1. Aku berjalan setengah berlari melewati koridor kelas XI dan menuruni empat buah anak tangga yang dibuat melingkar. Ada beberapa siswi perempuan yang histeris saat melihatku lewat. Ada juga yang diam-diam mengambil gambar wajahku di ponselnya. Ah, aku tidak peduli dengan penggemar-penggemarku yang semakin bertambah semenjak aksi basketku mencuat. Hal terpenting saat ini adalah aku harus segera sampai di lantai 1 untuk melihat p
Kim Na Ra POV Nada dering telepon membuatku terbangun dari tidur nyenyak ini. Huh! Siapa yang berani menganggu waktu istirahatku? Ini masih sangat pagi! Ya Tuhan! Dengan setengah terpaksa kubuka mata dan meraih ponselku. “Yeobseyo! Nugusijiyo[1]?” tanyaku dengan mata masih terpejam. “Keluarlah! Aku menunggu di bawah,” ucap seorang laki-laki di seberang telepon. Kulihat layar ponselku. MIKE? Aku segera keluar dari rumah mengintip di balik anak tangga di rumah atapku. Kulihat Mike bertengger manis di depan mobil merahnya. Untuk apa lagi dia datang ke mari? Bukankah perjanjian kami dua hari lalu sudah selesai? Anak gadis Ahjumma pemilik minimarket di bawah rumah atapku sibuk mencari perhatian Mike. Akan tetapi, laki-laki itu sama sekali tidak memedulikannya. Ia pergi dan menaiki anak tangga menuju rumah atapku. Ah, eotta[2]? Aku sama sekali belum membersihkan diri! Mike, kenapa kau harus datang sepagi ini? Kudengar beberapa kali dia mengetuk pintu. Kucepol rambutku sembarangan. Aku