Share

Chapter 8

Ramon dengan tergesa-gesa bangkit dari duduknya dan bergegas melangkah menuju ke kamar pelanggannya. Ibu pun mengikutinya dari belakang. Dengan penuh tanya, mereka berdua menemui Bambang.

          Melihat Bambang sedang duduk santai sembari menikmati teh hangatnya, Ramon kemudian ikut duduk di dekatnya. Begitu pula dengan Diah, istrinya.

          Bambang mengawali pembicaraannya dengan senyuman. Ramon dan Diah lantas membalas senyuman itu dan mulai penasaran dengan apa yang akan dibicarakan oleh lelaki yang kini sedang menatap wajahnya dengan begitu serius itu.

          Dengan pelan Bambang mulai menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke tempat itu dan alasannya mengumpulkan kedua orang tua Rachel. “Saya sebenarnya adalah utusan dari Pak Bastian, ceo dari perusahaan Ains-Soft.  Tanpa saya jelaskan secara terperinci pun mungkin kalian sudah tau siapa beliau. Adapun maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk meminang putri bapak.”

          “Sebelumnya saya mohon maaf karena mendadak seperti ini. Hanya saja keadaan yang sangat mendesak dan menurut Pak Bastian ini adalah saat yang tepat untuk menuntaskan perjanjian orang tuanya di masa lalu,” ucapnya lagi.

          “Perjanjian masa lalu?” tanya kedua orang tua Rachel dengan wajah yang masih sangat bingung dengan perkataan Bambang barusan.

          “Iya tepat sekali. Dahulu, Ayah dari Pak Ramon kebetulan adalah sahabat baik dari Ayah Pak Bastian pula. Mereka dulunya tinggal bersama. Orang tua bapak begitu banyak membantu Ayah Pak Bastian semasa hidupnya dalam hal membangun perusahaan hingga sebesar sekarang ini. Dan sebelum akhirnya keduanya meninggal Ayah dari pak Bastian menjanjikan untuk menikahkan anak mereka suatu hari nanti.”

          Bambang kembali meneguk teh yang masih tersisa. Suasana berubah hening setelah Bambang menyelesaikan ucapannya. Kini Ramon dan juga istrinya sedang dilanda kebingungan.

“Baru-baru ini Ibu Tari kembali membahas soal perjanjian itu. Dan kebetulan seorang mata-mata perusahaan tanpa sengaja menemukan Pak Ramon dan katanya bapak memiliki seorang putri yang kebetulan seumuran dengan tuan muda Angkasa. Makanya saya ke sini untuk niat menyampaikan baik Pak Bastian kepada keluarga bapak. Itu pun jika kalian mengizinkan.”

          Mendengar penjelasan singkat dari Bambang membuat Ramon dan juga istrinya mendadak kaget. Dan Ramon yang memiliki penyakit asma, tiba-tiba kambuh dan sesak napas. Dengan sigap Diah pun mengambil obat dan menenangkan suaminya itu.

          Setelah suasana menjadi tenang, Bambang kemudian mengeluarkan sebuah kotak perhiasan yang di simpan di kantong jasnya. Dengan hati-hati ia meletakkan kotak itu di atas meja dan membukanya secara perlahan.

          “Ini adalah simbol dari kalung perjanjian pernikahan yang diberikan oleh ceo perusahaan sebelumnya. Kalung ini adalah sebuah kalung pasangan yang mereka buat puluhan tahun silam. Dan saya rasa Ayah Pak Ramon juga pasti memilikinya. Apalagi benda ini adalah benda yang sangat berharga baginya.”

          Hal itu membuat Ramon yang tadinya bersandar di kursi mendadak terbangun dari duduknya, ia maju ke depan untuk melihat kalung yang terletak di atas meja.

“Kalung?” tanya Diah dan Ramon penasaran.

          “Iya. Meskipun saya tahu bahwa anda sungguh adalah keturunannya tapi Pak Bastian meminta saya untuk mengkonfirmasi kebenarannya lewat kalung ini,” sambil tersenyum ke arah kedua orang tua Rachel.

 “Tapi mungkin saja mantan asisten Aisn-Soft tidak memberikan kalungnya kepada anda karena anda telah melarikan diri dari rumah untuk waktu yang sangat lama,” ucapnya lagi.

Ayah Rachel lantas tersenyum kaku, sembari menunduk. Seolah menyadari kesalahannya di masa lalu. “Jangan bilang anda hendak mengatakan bahwa saya bukanlah anak yang baik. Anak yang benar-benar buruk. Tapi tidak masalah sih, saya tidak terlalu peduli juga perkataan orang lain.”

“Tapi kalung itu, aku kayaknya ingat sekali waktu itu Ayah memberikannya pada Rachel ketika dia baru lahir,” bisik Ramon kepada istrinya. “Tapi di mana yah kalung itu sekarang. Di mana kalung itu? ahhh aku benar-benar lupa.”

“Lupa apa? bukannya kau memberikannya padaku,” jawab Diah dengan tegas. “Aduh sayang. Barang langka seperti itu aku kan menyimpannya di bank agar aman,” lanjutnya lagi sambil memukul pelan lengan suaminya lalu mengedipkan mata seolah memberi kode.

“Oh iya sayang. Kau benar. Barangnya tersimpan aman di bank ternyata,” ucap Ayah Rachel sengaja membesarkan volume suaranya agar didengar oleh Bambang.

 “Iya,” ibu membenarkan.

“Kalau begitu kita harus segera mengatakan berita gembira ini kepada calon tunangannya tuan muda,” jawab Bambang sambil melihat Rachel yang sedang berdiri membersihkan kaca jendela di luar rumah.

Namun baru saja Bambang hendak berdiri, Ramon dan juga Diah segera menghentikannya. “Tunggu, tunggu sebentar pak. Silahkan duduk dulu,” ucap Ramon sambil menuntun Bambang untuk duduk kembali di kursi.

“Iya silahkan duduk dulu pak,” ucap Diah juga. “Saya rasa kita tidak bisa mengatakan padanya sekarang, karena jika kita mengatakan hal itu sekarang yah bisa jadi membuatnya sangat terkejut. Seperti terkejutnya Ayahnya dan aku saat ini.”

“Ya aku sangat terkejut. Tolong beri kami waktu beberapa hari untuk mengatakan padanya tentang hal ini.”

“Baiklah kalau begitu. Jadi 3 hari setelah hari ini, aku akan datang ke sini lagi untuk menemuinya lagi,” ucap Bambang sambil berdiri dari tempat duduknya. “Oh iya, jangan lupakan kalungnya yah.”

“Kalung? Oh iya iya akan kami siapkan kalungnya juga,” ucap Diah terbata-bata.

“Kau akan kembali lagi dalam 3 hari kedepan bukan? tidak masalah kok. Akan kami siapkan kalungnya.”

Bambang tersenyum ramah lalu meminta izin untuk pamit dari tempat itu. Dengan senang hati, kedua orang tua Rachel mengantarnya keluar. Ketika mobil yang di tumpangi Bambang tak terlihat lagi di jalan raya, barulah keduanya masuk kembali ke dalam rumahnya.

                                      ***

Oma dan Mama Angkasa tengah duduk santai di ruang tengah rumahnya. Mereka sedang menantikan kehadiran Bambang yang sedang berkunjung ke rumah calon tunangan Angkasa. Mereka di temani dengan seduhan teh hangat kesukaan Oma.

Selang beberapa menit orang yang sudah lama dinanti-nanti itu akhirnya datang juga. Bambang telah datang dengan tawa merekah di wajahnya. Terlihat jelas bahwa berita yang dibawanya kali ini adalah berita yang menggembirakan.

Dengan langkah yang sengaja dipercepat, ia kemudian langsung menghampiri Oma dan juga Mama yang sedang duduk santai menantikan kehadirannya itu. Baru saja ia akan mengucapkan kata-kata, namun Oma segera mendahuluinya.

“Bagaimana, kamu sudah menemuinya?”

“Iya nyonya,” sambil lanjut menceritakan tentang Angkasa yang juga datang menemui Rachel.

Oma yang mendengar hal itu akhirnya tertawa terbahak-bahak. “Sepertinya mereka adalah pasangan yang sangat cocok.”

“Oma!” ucap Mama khawatir.

“Tenanglah, lagi pula mereka akan segera menikah. Dia sepertinya sangat ingin tahu siapa yang akan menjadi pengantinnya.”

“Iya nyonya. Saya juga tidak menyangka akan melihat tuan muda di sana. Pantas saja ketika dalam perjalanan ke sana Ben menghubungi saya untuk menanyakan alamat Rachel. Ternyata tuan muda yang memintanya.”

“Lalu bagaimana dengan keluarganya?” tanya Mama penasaran.

“Tidak ada masalah juga dengan keluarganya nyonya. Mereka juga sangat baik dan sopan.”

“Sepertinya dia adalah gadis yang baik,” ucap Mama lega.

“Iya. Tunangan tuan adalah seorang gadis yang baik dan juga ceria.”

“Apakah kamu sudah mengatakannya kepada mereka?”

“Ya, nyonya. Saya sudah mengatakannya kepada kedua orang tuanya. Namun mereka menyuruh saya untuk datang ke sana lagi 3 hari kedepan karena mereka meminta waktu untuk memberi tahu Rachel soal pernikahan ini.”

“Baguslah jika seperti itu.”

                                                ***

          “Adesta.”

          “Ya Ibu, ada apa?”

          Perempuan itu berjalan menuju kursi tempat Adesta sedang duduk. Ia pun ikut duduk di sampingnya. “Sekarang adalah giliran kita sayang.”

          “Ada apa Ibu?”

          “Angkasa akan segera melangsungkan pernikahan.”

          “Loh kenapa sangat tiba-tiba seperti itu.”

          “Mereka tiba-tiba seperti ini tentu saja karena sedang ada masalah dalam perusahaan.” Ia tersenyum licik. “Kita harus sesegera mungkin kembali ke Indonesia sayang,” ucapnya lagi.

          Mendengar permintaan Ibunya barusan membuat Adesta menarik nafas panjang. Mengingat kembali kenangannya ketika berada di dalam rumah Angkasa dulu ketika ayahnya masih ada di sana. Ada rindu yang mendalam di tempat itu, sekaligus ada luka yang sulit untuk terlupakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status