Share

Chapter 14

                Tidak ada lagi harta paling berharga  yang dimiliki oleh Ramon selain keluarga yang utuh dan bahagia. Bahkan dengan harta yang berlimpah sekalipun takkan ada yang bisa menandingi kebahagiaannya ketika melihat keluarga kecilnya tersenyum bahagia. Keluarga memiliki daya tarik tersendiri dalam mengembalikan mood dan juga kecemasan akan hari esok yang buruk.

          Suasana selalu riuh jika anggota keluarga Ramon lengkap. Apalagi kedua anaknya yang amat berisik serta cenderung berkelahi, mampu membuat Ramon dan juga istrinya menjadi geleng-geleng kepala karenanya. Namun meskipun rusuh, hal-hal kecil yang seperti itu justru membuat keluarga mereka menjadi lebih bahagia. Tawa terpancar ketika mereka bersama.

          Setelah insiden buruk tadi pagi, Diah menjadi lebih kalem malam ini. Menjadi sangat lembut dan tidak banyak ngomel serta mengeluh padanya. Mencoba bersikap baik dengan Ramon karena melihat kondisinya yang kurang sehat dari biasanya. Wajah Ramon masih lebam dan di ujung bibirnya pun masih tampak memerah, bekas pukulan dari Bondan.

          Dengan telaten Diah menyiapkan hidangan makan malamnya di meja makan. Hari ini, menu makan malamnya lumayan banyak jika dibandingkan dari malam sebelumnya. Ia sengaja memasak lebih banyak untuk menyenangkan hati suaminya. Berharap makanan yang enak bisa sedikit menghilangkan rasa sakit yang dirasakannya pasca dipukuli pagi tadi.

          Rachel yang menyaksikan ibunya tengah sibuk, malah hanya melihat ibunya dan tidak ikut membantu. Dengan malasnya Rachel langsung duduk di kursi dan mengamati satu demi satu makanan yang tersedia di atas meja.

          Ketika ibunya muncul dari dapur dengan membawa nasi , Rachel lantas memandangnya dengan bingung. Seolah bertanya-tanya tentang apa gerangan yang terjadi sehingga makanan begitu banyak tersedia di atas meja makan.

          “Ibu mau pesta yah, makanannya kok banyak sekali?”

          Diah tidak langsung menjawab. Hanya dengan seutas senyum lalu berlalu lagi menuju dapur untuk mengambil sambel yang tersisa di sana.

          “Ibu masak banyak biar ayahmu itu senang. Kasian kan dia, dari tadi siang Ibu lihat meringis kesakitan terus. Siapa tahu saja jika sudah makan yang enak-enak begini rasa sakitnya bisa sedikit hilang. Paling tidak perutnya bisa senang. Biar makin rajin lagi cari uangnya buat bayar hutang-hutang kita yang sudah menumpuk itu.”

          Ramon tersenyum lebar mendengar celotehan istrinya yang nyaris membuatnya serasa ingin terbang saking bahagianya. Ramon benar-benar bersyukur memiliki istri yang seperti Diah. Diah benar-benar bisa mengerti kapan harus berlaku lembut dan kapan harus berlaku tegas. Meskipun tetap saja Diah hampir setiap saat memarahi dirinya, namun  ia pun sadar jika hal itu real karena Diah sangat amat sayang kepadanya.

          “Rangga!” teriak Diah, memanggil Rangga yang masih ada di dalam kamarnya.

          Mendengar namanya disebut, Rangga segera meninggalkan game yang sedang ia mainkan di komputernya. Dengan setengah berlari Rangga menuju arah suara yang memanggilnya. 

“Iya bu, ada apa manggil-manggil Rangga.” Dengan wajah kusut  Rangga berjalan menuju kursi meja makan. Memperbaiki celananya yang kedodoran, menggeser kursi keluar dari posisinya yang semula lalu beranjak duduk.

          “Tumben bu masak banyak gini. Ada angin apa?”

          “Biasa, gerakan sayang suami Ga,” jawab Rachel.

          “Bukannya dimakan aja malah banyak tanya. Syukur-syukur udah dimasakin banyak begini, enak-enak lagi,” sahut Diah, mengambil nasi lalu menyendokkan ke piring suaminya.

          “Udah kalian makan aja dulu. Nggak baik ribut-ribut di tempat makan,” pinta Ramon kepada anaknya.

          Suasana menjadi hening. hanya ada gesekan sendok dan piring yang berbunyi. Ramon, Diah, Rangga serta Rachel benar-benar menikmati makanannya sekarang. Makan malam bersama adalah makan malam paling mahal menurut versi Ramon. Sebab bersama adalah kebahagiaan buatnya.

          Rachel bergegas untuk membereskan meja makan setelah selesai menyantap semua makanan yang telah dimasak oleh ibunya. Dengan rajin Rachel mengangkutnya ke dapur lalu lanjut untuk mencuci piring. Dari arah ruang makan Ibu dan ayahnya terlihat masih asyik duduk di sana. Dan juga di temani Rangga yang sedang membuka jeruk untuk dimakannya.

          Tidak lama setelahnya, Rachel muncul dan kembali untuk ikut bergabung bersama keluarganya di ruang makan. Melihat Rangga yang sedang membuka sebuah jeruk membuat jiwa kejailannya mendadak muncul. Dengan  mengendap-endap Rachel berjalan menuju kursi tempat duduk Rangga. Berdiri tepat dibelakangnya. Dan sudah bersiap-siap mengambil posisi untuk merebut jeruk milik Rangga.

          Hanya perlu satu tangan Rachel berhasil merebut jeruk milik Rangga. Dengan cepat-cepat Rachel mengambil satu irisan dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Membuat Rangga emosi dibuatnya.

          Tidak mau kalah dengan Rachel, Rangga akhirnya berdiri dari tempat duduknya dan merebut jeruk yang dipegang Rachel. Menariknya secara paksa, sehingga membuat Rachel berteriak. Keduanya saling tarik menarik satu sama lain. Mencoba memperebutkan jeruk yang telah dikupas itu. Tidak ada yang mau mengalah diantara mereka. Ayah dan Ibunya hanya bisa melongo melihat tingkah kedua anaknya yang masih saja kekanak-kanakan di usianya yang sudah terbilang remaja.

          “Apa kalian mendengarnya.” tanya Ramon berusaha menghentikan keributan yang di sebabkan oleh kedua anaknya.”

          “Tidak,” jawab Rachel.

          “Sepertinya ada orang di luar.”

          “Kau  yang pergi, aku tidak mau pergi melihatnya,” Rangga mendorong Rachel agar melihat ke depan.

          “Bagaimana kau bisa melakukan ini,” balasnya sambil mendorong kembali. “Harusnya kau yang pergi. Kaukan laki-laki.”

          “Pergii..”

          Bambang muncul di depan mereka, membuat Rangga tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Ramon yang melihat kehadiran Bambang yang secara tiba-tiba itu sontak membuat jeruk yang sedang dimakannya tanpa sengaja dimuntahkan keluar dari mulutnya lagi. Dengan cepat Ramon dan Diah berdiri dari duduknya.

          “Eh pak asisten, ada apa pak? bagaimana bisa malam-malam begini datang kemari?” tanya Ramon penasaran.

          “Tadi aku telah lama berteriak di depan namun tidak ada jawaban, tetapi aku mendengar suara ribut di luar jadi aku langsung masuk ke sini untuk memastikan apakah tidak terjadi hal buruk pada kalian. Oh iya maafkan aku yang datang tanpa minta ijin terlebih dahulu kepada kalian. Jadi aku rasa ini akan sama seperti saat terakhir kali aku datang ke sini. Ketika anda sedang diserang oleh orang bertato. Makanya saya buru-buru masuk saja tanpa ijin.”

          “Apa yang bapak akan lakukan di sini?” tanya Rachel dengan sopan. “Ohhh aku tahu. Angkasa pasti ingin membatalkan pernikahannya denganku kan,” ucapnya semangat.

          “Ohohoh justru tidak sama sekali. Tuan muda Angkasa tidak pernah mengatakan bahwa dia tidak ingin menikah denganmu. Tapi sebenarnya aku datang kemari untuk pijat.”

          “Ha, pijat?”

          “Iya.”

          “Tidak masalah Pak Bambang. Aku akan segera menyiapkan peralatannya,” jelas Ramon sambil tersenyum paksa. “Tapi lain kali kalau bisa jika ingin ke sini untuk urusan pijat datanglah ketika kami sedang buka,” bisiknya lagi sambil berjalan maju menuju ruang kerjanya.

          “Eits, tunggu sebentar. Aku juga ingin memberitahumu bahwa Mama dari Angkasa ingin bertemu dengan tunangan dari anaknya. Dia ingin bertemu dengan Rachel. Besok bisakah kamu datang ke rumah mereka bersama dengan Angkasa?”

          Rachel balas memandang Bambang, mencoba mencerna ucapannya barusan. “Apa, besok?”

          “Iya.”

          Dengan sangat kebingungan, Rachel mencoba menatap wajah Bambang. Setengah memelas. Mencoba memberi kode kepada lelaki itu agar membatalkan permintaannya tadi. Rachel benar-benar tidak sanggup untuk menghadapi pernikahan yang harus ia lakukan dengan Angkasa. Apalagi Rachel sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa dengan Angkasa. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status