Suara ketukan terdengar, disusul dengan pintu yang terbuka perlahan. Sontak wajah Lily memerah. Ia langsung berdiri dari pangkuan Juna dan menjauhi Juna yang justru tersenyum lebar. "Kau membuatku malu," omel Lily, berjalan mendekati jendela besar di belakang Juna. "Apakah semua sudah siap?" Juna menerima sebuah amplop dari asistennya. "Sudah. Semua sudah siap semua, Pak." Dibukanya amplop putih itu, melihat isinya. Ia kembali meletakkan amplop itu di meja, kemudian melirik jam tangannya. Masih ada waktu dua jam sebelum mereka berangkat ke bandara. "Lily..."panggil Juna dengan suara begitu lembut, seakan takut akan membuat kaget wanitanya itu. Dipanggil sedemikian lembut oleh Juna, membuat Lily tetap saja terkejut. Ia belum pernah dipanggil selembut itu, kecuali oleh Baskara. Ditatapnya Juna yang saat ini sedang menatap lembut dirinya. 'Tsk. Aku benci kalau ditatap seperti ini. Mengapa dirinya bisa tahu jika aku tidak sanggup menerima tatapan seperti itu? Tatapan yang membuatku
Lily menarik koper kecilnya yang berwarna merah marun dengan tangan kanannya. Pikirannya masih dipenuhi dengan peristiwa yang baru saja terjadi dalam mimpinya. Ia menerka-nerka arti mimpi itu sendiri. Perasaannya menjadi tidak tenang. Apakah akan terjadi sesuatu pada seseorang yang hadir dalam mimpinya barusan? Asisten Juna mendadak berdiri di depan Lily. "Maaf, Bu. Biar saya saja yang membawa kopernya." "Tidak perlu. Aku masih kuat untuk menariknya sendiri," sahut Lily dingin. Entah mengapa dirinya justru merasa galau. Mimpi itu terus membuat dirinya berpikir keras, akankah sesuatu terjadi pada salah satu dari mereka? Juna menyusul Lily dari belakang, memberi kode kepada asistennya untuk berjalan di belakang mereka. "Lily..." Panggil Juna dengan suara yang tidak biasa. "Ada apa?" Lily sibuk membetulkan tas selempang mungilnya, tanpa menatap ke arah Juna. "Ehmmm, Maaf. Andaikata rencana kita untuk berbulan madu diundur minggu depan, apakah kau akan keberatan?" Juna tidak berani
"Ada... Siapa?" Lily bergeming di tempatnya berdiri. Perasaannya mulai berkecamuk. Akhirnya, ia bisa bertemu dengan Juna, suaminya. Akhirnya ia bisa melihat suaminya setelah hampir enam jam ia tidak bertemu pria itu sejak mereka berpisah di bandara. Apa yang sedang mereka lakukan? Makan malam berdua? Hanya Juna dan wanita itu? Hati Lily menciut. Pikirnya sudah tidak lagi mampu membayangkan hal yang tidak-tidak. Gumpalan air mata mulai terbentuk di kedua sudut matanya. "Ada Pak Juna di restoran ini." Iwan merasakan perubahan yang terjadi atas istri atasannya itu. Ia merasa bersalah. Seharusnya ia tidak mengatakan kebenaran yang ia lihat barusan. Melihat wanita di depannya terdiam, Iwan langsung berinisiatif untuk mencari restoran lain. 'Lebih baik kita mencari restoran lain , ya Bu"? "Tidak perlu. Kita makan di sini saja. Lily berusaha meredam gejolak dalam hatinya. Lebih baik begini. Mungkin ia akan mendapat jawaban dari keraguan sesaatnya. Lily melangkah masuk ke restoran diikut
Juna melangkah begitu cepat, tanpa diikuti Iwan di belakangnya. Sekretarisnya itu duduk menunggu di lobi hotel. Persoalan yang dihadapi atasannya sekarang bukan termasuk pekerjaannya. Ia mencari tempat aman agar tidak terkena dampak dari keributan mereka. Keributan? Akankah Juna akan ribut dengan Lily? Ponselnya tidak beralih dari telinganya. Juna terus saja menghubungi Lily, meski panggilan yang ia buat diabaikan oleh wanita itu. Langkah yang dibuat Juna lebih lebar dari sebelumnya. Ia seperti berpacu dengan waktu, seakan sebuah bom akan segera meledak di kamar yang ditempati Lily. Tangan kanannya mengeluarkan kartu akses cadangan yang ia dapat dari petugas hotel. Jika Lily tidak juga mengangkat telpon darinya, maka ia akan memaksa masuk ke kamar itu dengan kartu akses cadangan itu. Enam kali adalah batas maksimal dirinya mencoba menghubungi Lily. Juna memasukkan kartu akses cadangan yang diberikan petugas hotel padanya. Ia berusaha sepelan mungkin membuka pintu kamar, seperti seor
Baskara mengetuk pintu besar berwarna hitam di depannya. Ia sudah membereskan semua barangnya dari kamar itu. Sudah saatnya ia pergi dari sini. Tidak ada lagi yang bisa menahannya untuk tetap tinggal di sini. Wanita yang menjadi pengharapan terakhirnya pun kini sudah meninggalkannya. Sekuat apa pun dirinya berusaha, nyatanya dirinya tetap tidak bisa melawan takdir. Pintu di depannya bergeming. Sepuluh menit menunggu, akhirnya Baskara memutar badannya, melangkah menjauh dari kamar yang masih tertutup pintunya meski ia sudah mengetuk berulang kali. Perasaannya sudah mati. Ia tidak lagi mempunyai niatan untuk kembali ke rumah ini lagi. Jika dulu ia kembali kemari karena masih berharap ada setitik harapan untuknya kembali menjalin hubungan dengan Lily, tapi sekarang, semua sudah sirna. Sirna tanpa bekas. Mulai sekarang dirinya harus mulai belajar menerima semua kenyataan ini. Cinta tidak harus memiliki. Sekuat apa pun berusaha, jika memang tidak berjodoh, maka semua itu akan sia-sia.
Juna melangkah masuk ke dalam kamarnya. Dilihatnya Lily sudah berbaring dengan posisi memunggungi dirinya. Ditatapnya sebentar punggung itu sebelum akhirnya berjalan mendekati Lily. "Mengapa kamu tiba-tiba marah begini?" Juna mengambil posisi di ujung ranjang. Ia angkat kedua kaki Lily lalu meletakkannya di atas kedua pahanya. Tangannya tidak tinggal diam. Tidak ingin pertengkaran tanpa sebab ini berlanjut, Juna mencoba merayu Lily. Ia memijit kedua kaki istrinya itu. "Katakan jika aku sudah melakukan kesalahan. Katakan jika aku sudah melakukan hal yang sudah melukai hatimu. Jangan tiba-tiba marah seperti ini." Lily diam. Ia sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan Juna. Ingin rasanya ia bangun dari tidurnya dan langsung meninju lengan pria yang kini sedang memijat-mijat kakinya. "Tidak baik jika terus begini. Ingat, di perutmu sudah ada calon penerus perusahaanku. Jangan sampai terjadi sesuatu padanya." Mendengar ucapan Juna, Lily bangun dari tidurnya. "Sekarang kau sudah
Tubuh Baskara terhuyung ke belakang. Matanya mendadak berkabut. Ia berusaha menjaga kesadarannya, namun himpitan di dadanya membuatnya merasa sesak. Qonita panik. "Maaaas!" Sesosok pria tinggi besar masuk ke kamar itu, dan langsung menangkap tubuh Baskara yang limbung dan nyaris menyentuh lantai. "Letakkan di sana saja, Mas." Wajah Qonita menjadi pucat. Meski dirinya sudah memprediksi hal ini, tetap saja ketika hal itu terjadi ia menjadi panik dan gugup. Untung ia mengajak suaminya. Jika tidak, apa jadinya Baskara sekarang ini. "Dia punya asma?" Bayu melirik Qonita. Wanita itu menggeleng. "Setahuku tidak." "Jantung?" "Tidak juga. Mungkin dia syok dengan berita yang ia baca di surat itu." "Mungkin juga." Bayu mulai membantu meregangkan pakaian yang melekat di tubuh Baskara, lalu mengoleskan minyak kayu putih yang diberikan Qonita. "Pelan-pelan saja menyampaikan semua pesan itu. Jika semuanya kamu katakan sekarang, aku tidak yakin dia bisa menanggung rasa bersalahnya." Qonita
Juna menatap layar ponselnya yang baru saka ia nyalakan. Betapa terkejutnya Juna begitu mengetahui Lily sudah berulang kali menghubunginya. Ia baru saja kembali ke kamarnya setelah bertemu dengan calon kliennya yang bernama Elizabeth Wu. Setelah perundingan yang cukup alot, akhirnya tercapai kesepakatan di antara mereka. Juna menekan nama Lily. Berulang kali ia menghubungi Lily, tapi panggilannya selalu gagal, membuat Juna merasa sangat khawatir. Terlebih lagi usia kandungan Lily sudah mendekati usia 9 bulan. Ia takut jika bayi yang sedang dikandung Lily akan lahir prematur. Juna langsung meminta asistennya untuk segera membelikan tiket pulang ke Jakarta. Penandatanganan kesepakatan ia tunda beberapa hari ke depan dan akan dilakukan di Jakarta. Pikirannya kini penuh dengan Lily. Dua jam berikutnya, Juna duduk manis menunggu di ruang tunggu terminal keberangkatan yang akan membawa dirinya kembali ke Jakarta. Perasaannya masih tidak tenang. Ada apa dengan Lily? Mengapa dirinya meng