Lily bergeming. Ia tidak lagi berani membalas tatapan Baskara. Ia merasa seperti seorang pencuri yang tertangkap basah oleh pemilik rumah. Otaknya dipaksa berputar, mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Baskara yang dirasa menyudutkan dirinya. "Ak-Akuu... Aku hanya... Yaaah, hanya... Kebetulan...Ya, aku hanya kebetulan berada di sini..." Entah apa yang dipikirkan Lily. Jawabannya justru memicing pertanyaan lanjutan Baskara. "Kamu di sini sendiri?" Tanpa bisa dicegahnya, kepala Lily dengan pasrah mengangguk. "Sendiri? Lalu di mana Arka? Kamu meninggalkannya sendirian?" Suara Baskara tanpa sadar meninggi, membuat Lily sontak membulatkan matanya. "Suaramu!" seru Lily tertahan. Baskara segera menarik tangan Lily, membawa wanita muda itu keluar dari ruang serba putih itu. Lily meringis kesakitan. Baru kali ini, ia merasakan kemarahan Baskara. Apakah yang ia lakukan sangat salah? "Bas. Sssa-kiit," keluh Lily berusaha melepaskan cengkeraman Baskara di pergelangan tangann
Baskara tenggelam dalam tumpukan map-map yang nyaris menutupi dirinya. Ia tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan semua dokumen-dokumen itu. Tiga jam berlalu sejak kedatangannya ke ruangan Juna. Karena kondisi Juna, maka ia terpaksa mengambil alih semua pekerjaan sang kakak,untuk sementara waktu. Untung saja ia pernah memimpin anak cabang perusahaan itu, jadi ia tidak perlu belajar terlalu lama untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dikerjakan Juna sebelumnya. Ketukan yang sebenarnya tidak terlalu keras, membuyarkan konsentrasi Baskara. Ia nyaris terjungkal dari kursinya. Begitu wajah asisten Juna muncul dari balik pintu, Baskara sontak saja melayangkan satu pensil dan nyaris mengenai pelipis pria muda itu. "Aisssh, Kau ini! Tidak tahukah jika aku sedang sangat serius dengan pekerjaanku..." Tatapan kesal mengiringi langkah sang asisten. Ditutupnya dengan kasar, berkas yang berada di hadapannya "Maafkan saya, Pak. Tapi, ada telpon dari rumah sakit mengabarkan..." Belum juga kali
Tangan kiri Juna bergerak sebentar lalu kembali diam. Ia mendengar beberapa orang sedang berbicara di dekatnya tapi ia tidak bisa memahami apa yang mereka bicarakan. Pria itu sibuk mencari-cari sumber cahaya. Ia tidak bisa melihat apa pun di sekitarnya. Gerakan ini tanpa ia sadari, membuat kepalanya secara otomatis bergerak ke kanan dan ke kiri. Sayangnya, di ruangan itu sedang tidak ada seorang pun. Gelap. Juna tidak bisa melihat apa-apa. Ia mencoba mengangkat tangan kanannya, tapi mengapa terasa begitu berat. Digantinya dengan tangan kiri. Berhasil. Tangannya terangkat sempurna, tapi ia tidak bisa meraih apa pun. Dikerjapkannya berulang kali, namun kedua matanya tetap tidak bisa melihat apa pun. 'Apa yang terjadi?' batin Juna mulai panik. 'Buta. Apakah aku sekarang buta?' Kini, Juna menjadi benar-benar panik. Tiba-tiba perutnya terasa begitu lapar. Ia ingin memakan sesuatu. Apa saja yang bisa mengganjal perutnya sekarang ini. Bayangan semur daging melayang-layang di benakn
Juna bergeming, kembali menatap langit biru yang membentang bersih tanpa sedikit pun awan. Ia mengabaikan pertanyaan Baskara, yang menuntut penjelasan lebih atas pernyataan yang baru saja ia ucapkan. Bukan hal yang mudah bagi seorang Juna, untuk mengambil keputusan itu. Ia sudah menimbang jauh hari sebelumnya. Ya. Sebelum ia dan Lily, pada akhirnya menyepakati untuk melakukan gencatan senjata, membuat kesepakatan untuk menjalankan peran mereka masing-masing, sebagai pasangan suami-istri, selama satu tahun. Dan kini, sudah tiba waktunya untuk mereka berdua, duduk bersama kembali, membicarakan hubungan mereka untuk ke depan. Membayangkan perpisahannya dengan Lily, dan juga Arka, membuat Juna tersiksa. Tidak pernah ia merasakan kebimbangan yang sangat seperti sekarang ini. "Aku sudah berjanji, akan menceraikannya setelah satu tahun pernikahan kami." Sontak Baskara mengangkat kepalanya. Ia tidak mengira jika Juna masih mengingat hal itu. "Kak?" Juna menganggukkan kepalanya dengan t
Suara itu begitu mengejutkan Juna dan Baskara. Mereka sama sekali tidak mengira sosok yang sedang mereka bicarakan, tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka. "Lily...!" seru kakak beradik itu bersamaan, menatap wanita muda yang menggendong seorang bayi mungil. "Kebetulan sekali kita bertemu di sini." Lily tersenyum sangat manis. Sangat bertolak belakang dengan apa yang ia rasakan saat ini. Juna terngaga. Apakah ini semua rencana Tuhan? Mendatangkan Lily ditengah-tengah mereka yang sedang bersiteru tentang dirinya? "Lily! Kamu mau kemana?" Baskara segera bangkit dari duduknya. Ia lantas menghampiri Lily. Rasa sayang terlihat jelas dari sikap dan tutur kata Baskara, memaksa Juna kembali merasa bersalah. "Tidak kemana-mana." Lily masih tersenyum. Namun, perubahan di kedua manik cokelatnya, segera diketahui Baskara. Mata yang mulai berair itu, membuat Baskara secara tidak sadar menarik Lily ke dalam dekapannya. Ia thu jika wanita itu sedang berpura-pura tegar. "Aku tidak apa-apa,
Prolog Lily seorang gadis lugu yang bekerja sebagai desainer pemula di sebuah butik terkenal di kota S, terpaksa menjalani pernikahan yang tidak sesuai dengan impiannya, membuatnya terjebak dalam cinta kakak-beradik, Juna dan Baskara. Ia sebenarnya anak angkat pasangan Ikhsan dan Melati, pasangan yang sudah menikah selama 15 tahun namun belum dikarunia keturunan, berprofesi sebagai saudagar kain di pasar besar di kota S. Ikhsan menemukan Lily diletakkan di depan pintu rumahnya setelah ia mendapat tiga kali ketukan di pintu rumahnya. Saat itu pukul 3 pagi, suara tangis bayi mungil yang kemudian mereka beri nama Lily, memecah kesunyian pagi yang dingin dan berkabut. Ikhsan dan Melati sepakat untuk merahasiakan asal usul Lily yang sebenarnya, merawat dan membesarkan layaknya putri kandung mereka sendiri Lily terpaksa menerima pernikahan dengan seseorang yang tidak ia kena
PenyesalanAcara pernikahan dadakan itu akhirnya selesai sudah. Lily melihat kedua orang tuanya masih berbincang dengan (mungkin) kedua orang tua pria yang duduk di sampingnya, yang sekarang sudah sah menjadi suaminya.Lily mengangkat tangan kanannya melambaikan ke kanan dan kiri, dengan maksud orangtuanya akan melihat ke arahnya. Namun sayang, nasib Lily benar-benar sedang tidak mujur. Mereka sama sekali tidak mengindahkan lambaian tangannya.Ia lalu berdiri dari duduknya hendak menghampiri kedua orangtuanya, tapi tangan kekar milik pria di sampingnya memegang pergelangan tangan kirinya."Mau kemana?" tanyanya dingin memandang wajah Lily dengan tatapan angkuh, lalu mengalihkan ke arah yang lain."Ke sana," jawab Lily sambil mengarahkan jari telunjuk ke tempat orang tuanya berada."Tidak usah. Masih banyak tamu yang ingin memberikan ucapan dan doa untuk kita," ujar pria itu dengan tanpa melihat ke arah
Flashback Juna teringat 2 minggu yang lalu. Hari Rabu tepatnya. Saat itu dirinya baru saja tiba dari kantor. Ketika ia berjalan memasuki rumah, terdengar suara kakek yang ia lihat sedang berteriak-teriak pada kedua orang tuanya yang duduk di seberang kursi tempat kakeknya duduk. Keduanya menunduk pasrah.Teriakan kakek berhenti ketika melihat Juna berjalan ke arahnya hendak memberi salam. Belum juga lama berhenti berteriak-teriak, pria tua itu kembali berbicara dengan nada keras dan kencang."Nih dia calonnya sudah datang satu. Yang satunya mana?" tanyanya sambil melihat ke segala arah, mencari satu lagi cucunya yang bernama Baskara. Namun yang dicari belum juga muncul batang hidungnya.Juna mendudukkan dirinya di kursi sebelah sang kakek. Sambil melonggarkan ikatan dasinya, Juna menanyakan sebab si kakek berteriak-teriak ala tarzan di hutan. Tidak memberi jawaban atas pertanyaan yang diajukan Juna, kakek tua itu justru balik bertanya."Kamu, umur berapa? Udah 40 kan?" tanya Kakek