"DIMANA SANG DOKTER, HUH???!!!" lelaki itu menaikkan nada suaranya dan dia berteriak kepanikan. Natalie yang sudah terlanjur bangun pun keluar dan menghampiri sekelompok pria yang berdiri tepat di hadapan Sarni.
"Siapa kalian? Apa mau kalian kemari?" Natalie menutup pintu ruangan pribadinya, "Siapa dokternya?" pria yang berada di barisan depan pun spontan bertanya, "Saya dokter, kenapa masuk tanpa izin? Apa kalian tidak lihat tempat ini sudah tutup?" protes Natalie yang tidak menyukai jika ada yang memasuki tempatnya tanpa izin.
"Kamu harus mengobati dia sekarang!! Dr Natalie Sanford!!" bentak pria itu yang membuat Natalie sedikit terkejut karena pria itu semakin mendekat ke arah wajahnya. Nafasnya saja terasa hangat di hidung pria itu. Natalie sempat menatap pria itu, kosong. Namun, dia harus segera mengobati seseorang yang terluka dan dibawa oleh segerombol pria yang di pimpin si pria barisan depan.
Natalie segera menyuruh para pria itu untuk membawa yang terluka ke dalam ruang gawat darurat. Natalie melihat luka pria yang sedang dirawatnya, sepertinya habis ditikam. Kondisi pria itu juga sudah kehilangan banyak darah yang membuat sang ketua kelompok rela mendonorkan darahnya tanpa banyak darah karena di klinik Natalie memang tidak menyediakan banyak darah.
Dengan pelan Natalie menyuntik tangan pria itu untuk mengambil darahnya, "Siapa nama kamu? Kamu sudah menerobos masuk tanpa izin." ucap Natalie terdengar masih kesal. Pria itu menatapnya tajam, dia bahkan tidak suka ketika Natalie mengucapkan hal tersebut, "Aku tidak butuh izin untuk masuk kesini, apalagi ke dalam dirimu, dokter. Jangan banyak bertanya." Awalnya pria itu mengucapkan dengan tegas kemudian dia merintih seperti sedang kesakitan dan hal itu cukup membuat Natalie terkekeh geli.
"Hahaha, sakit ya? Kalau aku gak tau siapa nama kamu ya bagaimana aku bisa merawat kamu dengan baik?" Natalie menyeringai menatap pria yang masih terbaring memproses darahnya keluar, "Tidak perlu nama untuk merawat seseorang, dokter." jawab pria itu dengan santainya. "Tidak adil jika kamu tau namaku dan aku tidak tau namamu." ucap Natalie sembari melepaskan peralatan di tubuh sang pria.
"It's Mysterious. Panggil saja mistik." jawabnya dengan santai. Setelah transfusi darah, pria itu pun segera pergi tanpa meninggalkan jejak apapun. Setau yang Natalie ketahui dari percakapan para pria yang dibawa si Mistik ini bahwa orang yang sedang dia rawat saat ini adalah adik si Mistik.
Baru kali ini Natalie dibuat penasaran dengan nama seseorang yang sebenarnya. Dia selalu tau siapa pasiennya dan darimana mereka berasal. Meskipun itu bukan suatu hal yang wajib untuk dikatakan akan tetapi, mereka bisa saja masih punya hubungan kekeluargaan jauh atau tempat mereka yang berdekatan hanya untuk sekadar tau saja tidak lebih. Dia ingin membangun perkenalan dengan para pasiennya atau keluarga pasien akan tetapi, mistik masih ingin jadi misteri yang mungkin Natalie temukan jawabannya atau bahkan tidak sama sekali.
Namun, terlepas dari perkenalan yang membagongkan seumur-umur yang pernah dia alami. Dia tetap merawat adik si mistik dengan baik. Pria itu hampir saja kelihangan wajahnya karena wajahnya babak belur penuh darah, perut bagian kiri ditusuk dan Natalie telah menyimpan pisau yang tadi dia lepas dari perut adik mistik.
Mereka benar-benar misterius, tidak ada suara bahkan sebelum Natalie sempat keluar dari ruangan pasien. Dia takut jika terjadi sesuatu padanya terutama karena tidak ada siapa pun disini selain dirinya dan Sarni. Dia mencoba untuk tetap tenang dan keluar ruangan untuk menemui mistik, pria berbadan kekar, tinggi, berotot, memiliki mata coklat yang cukup mencolok dan brewok agak tipis. Natalie tidak bisa mengalihkan matanya ketika surga dunia saja ada dihapannya.
"Keadaannya sudah membaik, jika ingin pindah ke rumah sakit pribadi juga boleh. Saya harus pergi dulu." pamit Natalie karena dia tidak bisa berlama-lama di ruangan itu. Natalie yang sudah membalikkan badannya pun terkejut ketika Mistik meraih tangannya dan menahan pergelangan tangannya. Dia memalingkan mukanya sinis, "Apa lagi?" tanyanya. "Terima kasih kamu sudah membantu, cuma disini lah tempat yang tepat." pria itu tersenyum menyeringai.
"Tidak masalah," jawab Natalie ketus. "Darren, it's Darren." Natalie yang hendak memalingkan wajahnya pun kembali menatap Darren memberitau namanya yang sebenarnya. "Nah gitu dong, biar impas. Nice to meet you, semoga cepat sembuh. Siapa dia?" Natalie masih penasaran dengan latar belakang Darren. "Dia adikku, Elvin namanya. Kapan bisa selesaikan administrasinya?" Darren tentu harus membayar keributan tengah malam yang telah dia perbuat di klinik Natalie dan meminta maaf.
"Tunggu saja besok susternya datang. Nanti kamu akan membayar padanya. Aku harus pergi." ucap Natalie pamit akan tetapi, Darren seolah tak mau melepaskan pergelangan tangannya, "Sudah kamu pastikan dia baik-baik saja, kah?" Tatapannya benar-benar membuat Natalie mematung, bahkan Cavero tidak pernah menatapnya dengan tatapan tajam yang erotis seperti Darren. Hal itu cukup membuat Natalie merasa gugup, "I-ya iya tentu saja. Apa mau kamu lagi?" Tak ingin terus tertahan, Natalie pun sekalian bertanya agar nanti dia bisa pergi dengan tenang.
"Tidak ada." Darren menyeringai melepaskan pergelangan tangan Natalie. Jantungnya terus berdegup kencang seolah dia telah menemukan seseorang untuk jatuh cinta. Namun, Darren tidak yakin apabila dia bisa mendapatkan wanita itu.
"Apakah dia punya kekasih?" salah satu orang terdekat Darren bernama Dio menatap Darren dengan heran, "Tentu saja, boss. Apa boss tidak tau kekasih siapa dia?" Darren menatap Dio dengan kesal karena jawabannya yang bertele-tele, "Siapa, Dio?" Darren mengangkat alisnya penasaran, "Tadi ituloh, boss." tanpa menyebutkan nama, tanpa menyebutkan sebuah clue, Darren mengerti yang dimaksud oleh si Dio.
Keesokan harinya, Darren membayar kepada suster yang berjaga di bagian administrasi. Darren melihat Natalie yang terburu-buru keluar dari ruangannya dan keluar. Dia juga melihat ada pria tua lain yang keluar dari ruangan Natalie padahal semalam Darren tidak melihat pria itu masuk. Darren sebenarnya ingin menyapa Natalie apalagi setelah bantuannya semalam, akan tetapi, Natalie begitu buru-buru pergi.
Darren ingin memindahkan adiknya ke rumah sakit pribadi namun, betapa terkejutnya dia ketika melihat Elvin kembali memakai kaosnya dan terlihat seolah sedang baik-baik saja. Elvin sepertinya memaksa perawat untuk membantunya bersiap karena Darren melihat ada seorang perawat yang berdiri di samping Elvin dan terlihat lugu.
"Elvin, apa yang kamu lakukan??" Darren berteriak memarahi adiknya, "Tidak ada." Elvin menatap kakak kandungnya dengan tatapan yang ngeri, sedikit senyum dan sepertinya tak menyesal dengan apa yang sudah terjadi semalam.
***
"Selamat datang, sayang. Papa sama Mama sempat nunggu kamu semalam, kenapa kamu tidak bilang?" Natalie sama sekali tidak mengerti dengan ucapan ayahnya, dia tidak mengatakan tentang apa?
"Apa maksud, Papa?" Natalie lantas bertanya, "Kalau kamu akan menikah minggu depan?" Natalie melotot terkejut, dia tak habis pikir Cavero akan mempercepat pernikahannya, "Siapa yang bilang sama, Papa?" Natalie masuk dan duduk di sofa ruang tamu, "Cavero, dia sudah meminta izin Mama dan Papa. Pernikahan kalian akan diadakan di gedung Jeruk minggu depan. Dia akan menyiapkan segalanya mulai dari venue, WO, dress, make up dan lain-lain."
Natalie benar-benar terkejut. Bahkan semalam Cavero belum sempat membahas semua itu dengan dirinya. Bagaimana bisa ayahnya lebih dulu tau tentang hal ini???
To be continued...
"Lihatlah video ini!!" Natalie duduk di samping suaminya dan memperlihatkan video yang dikirim oleh Christoper melalui ponselnya. Darren juga sama terkejutnya melihat hal itu akan tetapi, dia tau beberapa alasan mengapa semua ini bisa terjadi dan dia tak yakin jika istrinya mau menerima fakta ini. "Aku tau, kamu pasti frustasi akan tetapi, dia tak memiliki hubungan dengan Arslan. Semua ini murni niatnya sendiri. Jika kamu terima fakta tersebut, aku tidak keberatan menceritakan semuanya dan aku mohon kamu lupakan saja. Demi aku, Nat?" Darren memegang kedua telapak tangan istrinya dan memelas. Namun, Natalie justru berkaca-kaca dan berat sepertinya mengabulkan keinginan istrinya. "Natalie, kalau kamu di posisiku. Apakah kamu mau jika orang yang kamu sayang terluka dan menderita? seperti aku yang tak ingin kamu untuk terluka. Tolonglah, kali ini saja." Darren terus memelas akan tetapi, Natalie justru tak bisa menahan tangis air matanya. Tangisnya pecah di hadapan suaminya.Dia bukan ha
"Natalie Carter. Senang sekali bisa melihatmu lagi." Natalie tak sadar ada yang datang dari belakangnya dan menaruh pisau di lehernya sebagai ancaman. Dia tidak bisa bergerak karena tangan sebelah pria itu menahan badannya sementara satu tangannya yang tadinya memegang ponsel mencoba untuk melawan akan tetapi, dia kalah cepat dengan pria yang memakai baju hitam dan bertopeng. Arslan datang dengan kejutan dari depan pintu. Dia tak menggunakan topeng, hanya saja menggunakan cincin yang memiliki mata biru beda dengan anggota yang lain yang memiliki mata hijau. Dia tersenyum lebar dan tatapannya benar-benar menakuti Natalie. Dia berteriak dan minta untuk dilepaskan serta bertanya apa mau Arslan dengan datang kemari. "Jika aku hancur, kalian juga akan hancur. Perdagangan senjata dan obat-obatan illegal yang dikirim Victor melalui kapal Carter. Semuanya akan terbongkar." ucap Arslan dengan memasang wajahnya yang menyeringai mendekat ke hadapan Natalie. "Kamu tentunya sudah tau siapa aku,
Beberapa tahun yang lalu....flashback.Dia dilahirkan di sebuah rumah kecil di tengah hutan. Pakaiannya terbuat dari baju yang sudah tak terpakai dan banyak tambalan di bajunya yang terlihat lusuh. Dia bermain bersama teman sebayanya dan bahagia di saat itu. Namun, masalah uang selalu menjadi hal utama yang ingin diselesaikan. Ada banyak kebutuhan dalam hidup ini sehingga harus bijak dalam mengelola keuangan. Dia kehilangan kedua orangtuanya dan tinggal sendiri dalam panti asuhan. Dia memutuskan untuk keluar dari panti asuhan dan bekerja di kapal yang berlayar dari tempat ke tempat. Dia menemukan sebuah ide dan berbisnis dari temannya yang sempat meninggal dan dia iseng membelah dadanya, menyimpan organ itu rapi di dalam pendingin kemudian menjualnya. Penjualan itu tentu membuahkan hasil yang tak sedikit. Seiring berjalannya waktu, dia memiliki klinik sendiri setelah salah seorang pria kaya memesan organ jantung untuk anak-anak untuk menyelamatkan anak mereka. Saat itu, dia memiliki
Natalie terkejut ketika dia sudah sampai di bandara dan dia menerima telpon dari Nolan yang mengabarkan bahwa kondisi suaminya saat ini sedang kritis karena tertembak. Dia segera menuju ke rumah sakit dan menangis khawatir di sepanjang perjalanan. Dia tak tau harus mengatakan apa akan tetapi, dia hanya berharap kepada yang Maha Kuasa agar suaminya baik-baik saja dan dapat melewati masa-masa buruk ini. "Apa yang terjadi, Nolan?" Natalie berlari ke arah Nolan dan memegang erat kerah baju Nolan yang memerah karena ada noda darah. Dia berteriak khawatir dan Nolan hanya bisa menenangkan Natalie dalam pelukannya. "Darren akan baik-baik saja, percayalah. Dia hanya terkena 2 peluru." Natalie spontan melepaskan pelukan Nolan dan menatap mata Nolan dengan serius."Apa katamu, bagaimana bisa hal itu terjadi? bukankah dia mengatakan dia akan mundur dan berhenti saat itu. Apa akibatnya jika membunuh Ford. Mereka sama bahayanya dengan Liam." sekarang Nolan yang menatap Natalie serius sementara Nat
Natalie mencoba menelpon suaminya akan tetapi, tak ada jawaban lagi sementara mobilnya sudah terparkir di depan rumah seseorang. Rumah itu memiliki desain sederhana dan minimalis tak terletak di suatu komplek akan tetapi, berada di desa dan dekat dengan kearifan lokal dapat dibuktikkan dengan masyarakatnya yang masih berkeliling mengenakan baju adat untuk merayakan sesuatu. "Dok, kita sudah sampai di lokasi." ucap Shena sembari melihat ponsel yang menunjukkan petanya. "Kamu yakin dia mau bertemu disini?" tanya Natalie yang tak begitu yakin dengan tempatnya. "Ini sudah sesuai dengan mapnya. Kita masuk saja." Natalie masih ragu sehingga dia tak mau keluar dari mobil."Telpon dia terlebih dahulu, aku ingin tau apakah dia benar-benar disini atau tidak." perintah Natalie karena dia ingin memastikan bahwa tempat ini aman. Shena pun menelpon pria tersebut dan pria itu menegaskan dia sedang menunggu di dalam. Bahkan, dia melambaikan tangannya melalui jendela agar Natalie percaya bahwa tempat
Natalie tak tau siapa yang harus dipercaya saat ini apalagi ada kenjanggalan di rumah sakitnya sehingga, dia hanya berdiskusi dengan para teknisi mengenai pintu itu dan dia meminta kepada mereka untuk membuka pintu itu. Karena Natalie adalah petinggi rumah sakit sehingga mereka tak berani menolak permintaan Natalie."Salah satu dari kalian pasti tau kenapa ruangan itu di dirikan?" tanya Natalie menatap semua orang yang ada di ruang rapatnya dengan tatapan tajam. "Ini adalah file otopsi Bella Carter dan dia di otopsi oleh dokter Clinton lalu, mengapa file ini ada di klinik pribadi milik saya?" Natalie melemparkan dokumen itu tepat ke hadapan Clinton. Dia sedang emosi kali ini akan tetapi, dia sudah memeriksa siapa mereka sehingga dia tau tidak akan ada keterlibatan dari pelaku. "Kami diperintah, Dokter. Kami diperintah 20 tahun yang lalu untuk membangun tempat itu dengan cepat. Kami terima karena kami dibayar 2x lipat dari gaji kami biasanya. Mereka juga memberi kami bonus dan rumah b
Darren berangkat dengan jet pribadi bersama dengan Nolan. Dia sudah merencanakan semuanya bersama Nolan. Mereka diundang Lincoln untuk makan malam di kastil Lincoln karena dia ingin mengumumkan hal penting. Tentu saja, hal tersebut bukanlah sebuah kebetulan. Louis telah menghubungi ayahnya dan pembunuhan itu tentu saja bukan rencana Louis melainkan rencana Lincoln yang sudah lelah dengan kehadiran polisi yang ingin menggeledah rumahnya. Darren termenung memikirkan istrinya yang sudah pasti khawatir tentang dirinya. Namun, hidup istri dan anaknya jauh lebih penting ketimbang hidupnya. Dia menatap ke arah jendela dan melupakan satu hal bahwa dia adalah puitis yang hebat. Setiap kata di setiap sajaknya begitu bermakna khususnya untuk istrinya yang sangat menyukai sajaknya. "Ada yang mengatakan lebih baik menjadi pujangga daripada sakit hati karena jatuh cinta." ucap Nolan menghampiri Darren yang sedang menikmati kesendiriannya. "Jatuh cinta dan sakit hati itu adalah hal biasa. Namun,
"Kamu mengatakan aku menikah untuk alasan lain. Alasan apa selain menyelamatkan reputasi orangtuaku dan aku?" Karena suaminya sempat terdiam beberapa saat. Dia tak punya pilihan lain selain mengulangi apa yang sempat Darren ucapkan ketika mereka berada di mobil."Karena aku mencintaimu, Natalie. Sejak malam itu sehingga takdir mempertemukan kita dalam pelaminan itu. Bukankah kamu percaya bahwa keajaiban takdir itu ada?" Darren tersenyum manis karena otaknya bekerja di tengah malam."Tentu saja, aku percaya. Takdir tidak pernah salah dan aku beruntung menikah dengan pria yang tulus mencintai aku." Natalie mengelus telapak tangan suaminya seperti biasa. Dia juga menggandeng suaminya untuk pergi ke ranjang dan istirahat karena mereka akan kembali bekerja besok."Aku tidak tau jika selama ini keluarga kita adalah penipu. Aku sangat kecewa sebetulnya mendengar semua itu. Aku merasa mereka tidak menganggap aku ada sehingga mereka harus menyembunyikan semuanya dariku." Gumam Natalie sembari
Natalie mengenakan dress warna hitam yang elegan dan suaminya juga serba hitam kecuali baju hemnya yang berwarna putih. Mereka menghadiri acara makan malam yang diadakan oleh Louis dan Stacy. Meskipun Natalie masih kesal dia tak sengaja bertemu dengan kerabat Doni yang kini menjabat sebagai manajer di butik yang sempat dia dan suaminya kunjungi sebelum pulang ke rumah Darren. Natalie kini menerima permintaan suaminya untuk kembali tinggal bersamanya."Kenapa kebetulan sekali kamu memiliki bukti transfer itu?" tanya Natalie di sepanjang perjalanan menuju ke ruang makan. "Jika kamu berpikir itu sebuah kebetulan, tentu saja itu bukan sebuah kebetulan, Natalie." Natalie mengernyitkan dahinya mendengar jawaban suaminya.Lantas dia bertanya lagi karena penasaran, "Jadi, kamu sudah merencanakan semua ini dan kamu yang membunuh mereka, begitu." Darren berhenti mendengar tuduhan istrinya. "Karena aku tau ini akan terjadi. Siapapun yang ikut campur dalam urusan mereka pasti akan terbunuh." jela