Home / Romansa / Fall For Her / Bab 9. Secarik Kertas

Share

Bab 9. Secarik Kertas

Author: Sastra Stone
last update Last Updated: 2022-03-04 20:51:14

Adam merasa cukup lelah hari itu sehingga dia membiarkan perempuan yang semula meracau dalam tidurnya itu untuk tak melepaskan genggaman pada pergelangan tangannya. Lalu kantuk mulai menyerang dan dia memejamkan mata di tepi ranjang sebelah sebuah tubuh yang terbaring.

Entah berapa lama Adam terlelap. Lehernya mulai terasa lelah dan lengan yang semula digunakan untuk bantal pun terasa kebas. Dia menegakkan duduknya dan sedikit menggeliat.

"Sudah bangun, Bos?" tanya seseorang.

Adam menoleh dan mendapati asistennya sudah berdiri mengamati dari tempat dia berdiri. Pria itu lalu mengalihkan arah mata ke pasien yang seharusnya terbaring di ranjang. Mata Adam membulat, tak ada siapa pun di sana. Dengan gagap dia menunjuk ke arah kasur beralas kain putih itu.

"D-dia? Dia ke mana?" tanya Adam.

"Siapa, Bos?" tanya Hassan seraya berjalan mendekat.

"Perempuan yang tidur di sini?"

Hassan terlihat kebingungan, "Tidak ada perempuan di ruangan ini, Bos. Sejak saya datang hanya Bos yang ada di sini. Tertidur dalam posisi duduk di bangku itu," terang Hassan.

Adam mengerjapkan mata dan sejenak tertegun memandang ranjang yang kosong. Tampak kesadarannya belum sepenuhnya kembali. Dia melihat ke arah kamar mandi. Pintunya terbuka dan tanpa nyala lampu. Berarti tak ada yang memakainya. 

Kemudian pria itu bangkit hendak meninggalkan ruangan itu. Saat akan melangkah, ekor matanya menangkap secarik kertas ditindih gelas kaca. Dia menyadari meja di samping ranjang itu seharusnya tak berisi apa pun semalam sehingga dia memutuskan untuk mengambil kertas itu. Benda tipis yang terlipat menjadi dua bagian itu dibuka dan memang ada sebuah pesan yang ditinggal di sana.

~Terima kasih atas bantuan Anda. Saya sudah melunasi tagihan rumah sakit. Maaf sudah merepotkan.

~Salam.

Adam menatap serius lalu membolak-balik kertas itu mencari nama yang mungkin ditinggalkan oleh penulisnya. Akan tetapi, tak satu huruf pun ditemukan lagi di sana.

Hassan hanya berdiri heran melihat tingkah laku atasannya. Kemudian sang bos berjalan ke arahnya.

"Ayo kita berangkat!" ajak Adam sekaligus menyerahkan kertas itu kepada Hassan tanpa menghentikan langkah tungkainya.

Sang asisten menerima dan membacanya sambil berjalan membuntuti Adam yang bergegas meninggalkan rumah sakit itu. Berdasarkan informasi singkat dari kertas itu, Hassan membuat beberapa asumsi dan untuk memastikannya, dia akan menanyakan langsung kepada pria yang kini berjalan di depannya pada saat yang tepat.

*****

Bianca Savitri, perempuan yang meninggalkan Adam seorang diri di ruang observasi rumah sakit beberapa saat yang lalu, kini telah duduk di bangku penumpang sebuah mobil putih. Dia tak sendiri. Dia duduk bersama seorang model yang tengah naik daun, Indira Putri Sanjaya, sahabat yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri.

"Oke, sekarang Kak Bi cerita. Ada serangan lagi?" tanya Indira menatap lekat wajah Bianca yang tampak lelah.

Perempuan yang menerima pertanyaan tersebut mengangguk. Bianca lalu menceritakan kejadian yang menimpa dirinya pasca berpisah dengan Indira di bioskop. Serangan yang Indira maksud adalah gangguan stres pascatrauma atau PTSD. Jika serangan ini muncul maka Bianca akan mengalami kesulitan bernapas secara tiba-tiba. 

"Padahal sudah lama nggak kambuh, lho, tapi akhir-akhir ini malah sering muncul," ujar Indira keheranan.

Bianca mengembuskan napas panjang, lalu menyandarkan kepalanya. 

"Kak Bi sepertinya memang tepat ambil cuti sekarang. Kakak itu sudah kepayahan. Hampir sebulan lembur. Terus seminggu terakhir jam tidur, jam makan amburadul."

"Exhausted," potong Bianca.

"Exactly," timpal Indira. Kemudian mereka terkekeh bersama. 

Indira jadi teringat dengan kejadian saat Bianca menulis sebuah pesan untuk seorang lelaki yang sedang tidur di ruang tempatnya dirawat. Dengan tatapan nakal, Indira memajukan wajah dan tersenyum manis ke arah Bianca lalu berkata, "Jadi kakakku sayang … siapa cowok itu?" tanya gadis yang rambutnya diikat ekor kuda.

Kedua iris hitam Bianca hanya menggelinding ke sudut kiri untuk melirik si penanya, "Dia …." Suara Bianca berhenti. Dia urung untuk menceritakan tentang lelaki itu. Lalu menggeleng dengan sengaja untuk menggoda Indira.

"Ya Tuhan, sejak kapan kamu main rahasia-rahasiaan sama aku?" Indira menarik badannya menjauh dan berubah merajuk dengan melipat kedua tangannya di dada, sementara bibirnya mengerucut.

"Dia hanya cameo. Tidak perlu diingat," jawab Bianca tanpa beban.

"Nggak mungkin!" bantah Indira.

Bianca tersenyum geli mendengar komentar Indira.

"Aku nggak percaya. Ayolah, Kak. Siapa dia?" desak Indira.

"Sejujurnya aku nggak tahu siapa dia, Ra," jawab Bianca seiring senyum di wajahnya memudar.

"Hah?" Sekali lagi Indira dibuat ternganga.

"Mukanya nggak kelihatan jelas tadi. Kalau diingat-ingat sih, dia kayaknya orang yang sama yang terjebak denganku di lift," kata Bianca tak yakin.

"Oo … apa dia juga menjalani perawatan sama seperti Kak Bi?" sambung Indira.

Bianca hanya menjawab dengan mengangkat kedua bahu yang menandakan bahwa dirinya pun tak tahu. Indira berhenti bertanya setelah mendapat jawaban enggan dari sang sahabat.

Wajah Bianca menoleh ke arah kaca mobil di sisi kirinya. Sebentar lagi masuk waktu subuh dan jalanan masih lengang. Dalam keheningan seolah-olah kesadaran Bianca ditarik ke beberapa jam sebelumnya, saat kejadian itu terjadi. Bagaimana dirinya masih bisa merasakan dengan jelas sulitnya menghirup udara karena merasa ketakutan dan tertekan di saat yang bersamaan.

Tanpa sadar tangan Bianca mengepal karena menahan desakan ingatan perih yang terkadang membayang. Gemeretak gerahamnya yang beradu tertangkap telinga oleh Indira. Gadis itu menoleh dan melihat Bianca yang sedikit gelisah. Segera diraihnya tangan yang mengepal tadi dan membelainya dengan lembut untuk menenangkan pemilik tangan itu.

"It's okay, Kak Bi. Kamu aman sekarang," tutur Indira.

Bianca menoleh ke arah Indira. Mata perempuan itu mulai berkaca-kaca. Lalu mereka berdua saling berpelukan, Bianca mulai terisak dalam tangisnya.

*****

Adam terbang sendiri ke Samarinda. Hassan dan Trias hanya mengantarnya ke bandara. Sementara asistennya yang lain, Lucky Hermansyah, telah berada di sana untuk memastikan tender kali ini berjalan lancar dan AS Corp mendapat vendor terbaik untuk melaksanakan proyek nasional yang berhasil mereka dapatkan dari pemerintah bulan lalu.

"Bos, kurang dari setengah jam lagi kita sudah bisa mulai tendernya. Saya akan turun dan berbicara atas nama Bos. Dan Pak Hendra dari MT grup mengundang untuk makan siang. Saya belum menjawab undangan itu. Jadi bagaimana?"

"MT grup kali ini ikut lelang?" tanya Adam.

"Mereka tidak bisa ikut, Bos. Karena mereka sudah handle proyek yang di Bali. Pesan tuan besar tidak boleh ada perangkapan proyek untuk Bali," terang Lucky.

"Ada motif?"

"Itu juga yang saya pikirkan, Bos."

"Ya sudah, stick to the plan," tukas Adam. "Makan siang di sini saja," imbuhnya.

Kemudian Lucky pergi untuk memimpin pelaksanaan tender. Sedangkan Adam tetap di kamarnya menonton perkembangan acara melalui monitor yang tersambung langsung dengan meeting room

Lebih dari tiga jam sudah berlalu. Acara tender telah sukses diselenggarakan. Lucky pun sudah kembali ke kamar menemui Adam dan melaporkan ulang hasil meeting hari itu. Lucky menyerahkan sebuah dokumen kontrak untuk segera Adam tanda tangani. "Saya sudah reservasi restoran hotel di lantai tiga. Sebentar lagi sudah masuk jam makan siang." 

"Oke, kita pergi sekarang. Balik ke Jakarta jam berapa?" tanya Adam seraya berjalan ke luar kamar.

"Sore ini, Bos. Jam tiga kita check out dari hotel."

"Oke."

Setelah keluar dari lift, ternyata restoran hotel bersebelahan dengan bioskop. Hal tersebut seketika membuat Adam teringat kejadian terjebak bersama perempuan yang tak dikenal. 

Banyak orang berkerumun di bioskop. Menangkap ekspresi heran pada wajah atasannya, Lucky lantas berujar, "Sedang ada premier film lokal, Bos. Ada acara meet and greet pemainnya." Penjelasan Lucky menghilangkan rasa penasaran Adam.

Ketika dua pria berpakaian resmi dengan setelan jas hitam itu berjalan beriringan menuju tempat janji bertemu dengan relasi untuk makan siang, para artis yang datang untuk acara di bioskop terlihat mulai berdatangan melalui eskalator. Beberapa penggemar yang sudah menunggu berhamburan menyambut dan berteriak mengelu-elukan idolanya.

Adam tiba-tiba berhenti. Matanya memicing seperti memerhatikan seseorang yang berada di kerumunan itu.

"Bos?" panggil Lucky. 

"Itu seperti perempuan kemarin," kata Adam dengan telunjuk mengarah ke tempat orang-orang itu bergerombol.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Fall For Her   Bab 31. Kunjungan

    Ponsel Lucky berdering. Setelah melihat nama sang bos terpampang di layar, segera diangkatnya sebelum nada dering pertama berakhir."Halo, Bos," sapa Lucky.[Bunga untuk Bianca besok biar saya sendiri yang ngasih!] Lalu sambungan itu diputus."Halo, Bos? Bos?" Lucky masih mencoba memanggil, tetapi sudah tidak ada jawaban dari penelepon. Asisten Adam tersebut menatap layar ponsel dan mencari daftar nama di kontak masuk. Dia ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah membaca nama penelepon. "Benar. Tadi memang bos yang telepon." Mata Lucky bergerak seperti sedang membantu kepalanya mengingat kembali perintah Adam.'Bunga untuk Bianca besok biar saya sendiri yang ngasih!' Kalimat pendek dan padat itu terngiang kembali di kepala Lucky. "Kenapa tiba-tiba begitu?" gumam Lucky yang bingung karena tidak ada penjelasan lebih lanjut.Lucky segera membuka ruang obrolan dengan empat rekan lainnya.Lucky: Bos barusan telpon. Ngasih perintah singkat padat dan jelas.Adi: Apaan, Mas?Hassan is typi

  • Fall For Her   Bab 30. Keputusan Tiba-Tiba

    Fahar menceritakan kehidupan pribadinya kepada Adam, seorang teman yang telah lama berpisah. Bagaimana dia kehilangan Diana, istrinya, dan meneruskan hidup bersama putra tunggalnya, Alex."Aku akui kamu memiliki segalanya, Bro. Wajah, otak, penampilan, gaya bicara, keramahan, tapi baru sekarang aku paham kenapa," tutur Fahar.Sedangkan Adam tersenyum mendengar pujian demi pujian yang kawan lamanya itu lontarkan. "Kenapa?" tanya Adam mengetes."Iya, kamu anak tunggal kerajaan bisnis AS Corp, Bro. Kalau aku jadi orang tuamu pasti juga nggak bisa biarin kamu main-main," terang Fahar.Adam bahagia karena sahabatnya itu paham tanpa harus dijelaskan."Kenapa senyum?" tanya Fahar penasaran."Iya, aku senang kamu bisa paham tanpa aku harus jelasin. Beberapa hubungan menuntut kejelasan. Bahkan kadang sudah dijelaskan, mereka tetap tidak menerima dan memilih pergi. Dan aku senang lu paham," tukas Adam dengan intonasi tenang.Pria di hadapan Adam menangkap maksud lainnya. Dia merasa ada hubungan

  • Fall For Her   Bab 29. Bernostalgia

    Sekembali Adam dari Bandung, dia langsung menuju gedung pusat AS Corp. Dia beristirahat sejenak di ruang pribadinya sebelum kembali memulai hari dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan.Hassan melihat jam hampir menunjukkan pukul sembilan. Sesuai instruksi yang Adam berikan, dia ingin Hassan membangunkannya sebelum tepat jam sembilan. Sang asisten segera menuju ruang kerja Adam. Di sana ada pintu lain yang tersembunyi di balik rak buku. Setelah menekan tombol di balik sebuah buku tebal bersampul cokelat, rak buku itu menimbulkan sebuah bunyi yang halus lalu bergerak bergeser secara perlahan. Semua asisten Adam sudah mengetahuinya, sedangkan Vina yang baru saja dipromosikan sebagai pengganti Trias belum mengetahuinya.Saat masuk ke ruangan itu, Hassan sudah bisa melihat Adam yg duduk termenung di tepi ranjang. Pria itu terkesan aneh melihat sang bos yang berlaku di luar kebiasaan. "Sudah bangun, Bos?" tegurnya.Adam menoleh lalu mengangguk. Hassan berjalan mendekat, "Ada yang Bos pik

  • Fall For Her   Bab 28. Tertarik?

    "Selamat siang. Ada yang bisa dibantu?" tanya petugas di pintu masuk pada seorang kurir."Saya mengantarkan kiriman bunga untuk Ibu Bianca," jawabnya.Saat percakapan itu terjadi, Fahar baru saja tiba di kantor dan mendengarnya. "Langsung masuk saja, sampaikan ke meja resepsionis," instruksi si petugas.Kurir itu masuk membawa sebuah buket Krisan kuning dan melangkah menuju dua orang wanita yang sedang duduk tak jauh dari pintu utama.Fahar yang telah menerima salam dari si petugas keamanan berjalan menuju ke dalam gedung Advance Advertising. Namun, pria itu tidak langsung menuju lift untuk mengantarkan ke lantai tempatnya bekerja dan justru menyempatkan diri mendekat ke meja resepsionis. Dia penasaran dengan bunga yang dikirim untuk Bianca. Sejauh yang pria itu ingat, beberapa hari terakhir ini dia melihat Bianca selalu membawa bunga. Pertama bunga anggrek, lalu bunga matahari, dan pagi itu bunga Krisan. 'Apakah ada seseorang yang sengaja mengirimkannya kepada Bianca?' batinnya bert

  • Fall For Her   Bab 27. Tidak Terlalu Buruk

    Ibu Sun melihat Adam berdiri mematung, kemudian segera pergi menghampiri sang tamu. "Ada apa, Nak Adam?" tanyanya. "Bunganya cantik, Bu," sahut Adam saat menunjuk anggrek bulan ungu yang tersimpan di rak kayu di bawah pohon mangga. Bersisian dengan pot bunga lainnya. "Oh, bunga ini. Iya, saya juga suka lihatnya. Warnanya kalem sekaligus berani.""Ibu Sun sepertinya terampil merawat bunga, ya," puji Adam."Saya memang suka berkebun sejak muda. Tapi pengalaman merawat anggrek? Ini pertama kali. Semoga saja si cantik ini berumur panjang dengan saya," tutur wanita itu dengan menyentuh ujung kelopak bunga ungu itu.Entah mengapa tiba-tiba Adam merasa ada keterkaitan antara Ibu Sun dengan Bianca. Seingat Adam, ibu Bianca bekerja di panti asuhan, tetapi dia lupa nama lengkap panti maupun nama ibu Bianca. Namun, adanya bunga anggrek ungu itu membuatnya berpikir untuk menanyakan sesuatu yang lebih spesifik."Ini beli di mana? Saya jadi ingin punya juga.""Aduh, saya kurang tahu. Soalnya saya

  • Fall For Her   Bab 26. Kebon Tinggi

    Diawali dengan bunga anggrek, hari berikutnya mawar, kemudian bunga matahari. Semua makhluk cantik itu membuat Bianca tak henti-hentinya berpikir apa keinginan si pengirim. Sambil menatap kertas kecil yang berisi pesan singkat dan tentu saja dari seseorang yang berinisial A.~Jadi, kita sudah berteman. Teman?~AMawar kuning di meja kerjanya belum juga layu, dan kini tiga tangkai bunga matahari sudah datang. Dengan malas, Bianca melepas ikatan pita hijau pada bunga berkelopak kuning itu. Kemudian satu per satu tangkainya diselipkan di tengah kuntum mawar.Beberapa orang sudah berdatangan dan mereka mempersiapkan diri sebelum jam kantor benar-benar dimulai. Tak terkecuali Bianca, meskipun dirinya sedang diliputi rasa penasaran, tetapi pekerjaan lebih utama baginya. Terlebih lagi, kejadian pagi itu tentang dirinya yang terkurung di dalam toilet membuat energi paginya sudah cukup terkuras.'Terserah apa maumu," batin Bianca saat melihat sekali lagi isi kertas dan melemparnya asal.Amelia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status