Share

Bab 9. Secarik Kertas

Adam merasa cukup lelah hari itu sehingga dia membiarkan perempuan yang semula meracau dalam tidurnya itu untuk tak melepaskan genggaman pada pergelangan tangannya. Lalu kantuk mulai menyerang dan dia memejamkan mata di tepi ranjang sebelah sebuah tubuh yang terbaring.

Entah berapa lama Adam terlelap. Lehernya mulai terasa lelah dan lengan yang semula digunakan untuk bantal pun terasa kebas. Dia menegakkan duduknya dan sedikit menggeliat.

"Sudah bangun, Bos?" tanya seseorang.

Adam menoleh dan mendapati asistennya sudah berdiri mengamati dari tempat dia berdiri. Pria itu lalu mengalihkan arah mata ke pasien yang seharusnya terbaring di ranjang. Mata Adam membulat, tak ada siapa pun di sana. Dengan gagap dia menunjuk ke arah kasur beralas kain putih itu.

"D-dia? Dia ke mana?" tanya Adam.

"Siapa, Bos?" tanya Hassan seraya berjalan mendekat.

"Perempuan yang tidur di sini?"

Hassan terlihat kebingungan, "Tidak ada perempuan di ruangan ini, Bos. Sejak saya datang hanya Bos yang ada di sini. Tertidur dalam posisi duduk di bangku itu," terang Hassan.

Adam mengerjapkan mata dan sejenak tertegun memandang ranjang yang kosong. Tampak kesadarannya belum sepenuhnya kembali. Dia melihat ke arah kamar mandi. Pintunya terbuka dan tanpa nyala lampu. Berarti tak ada yang memakainya. 

Kemudian pria itu bangkit hendak meninggalkan ruangan itu. Saat akan melangkah, ekor matanya menangkap secarik kertas ditindih gelas kaca. Dia menyadari meja di samping ranjang itu seharusnya tak berisi apa pun semalam sehingga dia memutuskan untuk mengambil kertas itu. Benda tipis yang terlipat menjadi dua bagian itu dibuka dan memang ada sebuah pesan yang ditinggal di sana.

~Terima kasih atas bantuan Anda. Saya sudah melunasi tagihan rumah sakit. Maaf sudah merepotkan.

~Salam.

Adam menatap serius lalu membolak-balik kertas itu mencari nama yang mungkin ditinggalkan oleh penulisnya. Akan tetapi, tak satu huruf pun ditemukan lagi di sana.

Hassan hanya berdiri heran melihat tingkah laku atasannya. Kemudian sang bos berjalan ke arahnya.

"Ayo kita berangkat!" ajak Adam sekaligus menyerahkan kertas itu kepada Hassan tanpa menghentikan langkah tungkainya.

Sang asisten menerima dan membacanya sambil berjalan membuntuti Adam yang bergegas meninggalkan rumah sakit itu. Berdasarkan informasi singkat dari kertas itu, Hassan membuat beberapa asumsi dan untuk memastikannya, dia akan menanyakan langsung kepada pria yang kini berjalan di depannya pada saat yang tepat.

*****

Bianca Savitri, perempuan yang meninggalkan Adam seorang diri di ruang observasi rumah sakit beberapa saat yang lalu, kini telah duduk di bangku penumpang sebuah mobil putih. Dia tak sendiri. Dia duduk bersama seorang model yang tengah naik daun, Indira Putri Sanjaya, sahabat yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri.

"Oke, sekarang Kak Bi cerita. Ada serangan lagi?" tanya Indira menatap lekat wajah Bianca yang tampak lelah.

Perempuan yang menerima pertanyaan tersebut mengangguk. Bianca lalu menceritakan kejadian yang menimpa dirinya pasca berpisah dengan Indira di bioskop. Serangan yang Indira maksud adalah gangguan stres pascatrauma atau PTSD. Jika serangan ini muncul maka Bianca akan mengalami kesulitan bernapas secara tiba-tiba. 

"Padahal sudah lama nggak kambuh, lho, tapi akhir-akhir ini malah sering muncul," ujar Indira keheranan.

Bianca mengembuskan napas panjang, lalu menyandarkan kepalanya. 

"Kak Bi sepertinya memang tepat ambil cuti sekarang. Kakak itu sudah kepayahan. Hampir sebulan lembur. Terus seminggu terakhir jam tidur, jam makan amburadul."

"Exhausted," potong Bianca.

"Exactly," timpal Indira. Kemudian mereka terkekeh bersama. 

Indira jadi teringat dengan kejadian saat Bianca menulis sebuah pesan untuk seorang lelaki yang sedang tidur di ruang tempatnya dirawat. Dengan tatapan nakal, Indira memajukan wajah dan tersenyum manis ke arah Bianca lalu berkata, "Jadi kakakku sayang … siapa cowok itu?" tanya gadis yang rambutnya diikat ekor kuda.

Kedua iris hitam Bianca hanya menggelinding ke sudut kiri untuk melirik si penanya, "Dia …." Suara Bianca berhenti. Dia urung untuk menceritakan tentang lelaki itu. Lalu menggeleng dengan sengaja untuk menggoda Indira.

"Ya Tuhan, sejak kapan kamu main rahasia-rahasiaan sama aku?" Indira menarik badannya menjauh dan berubah merajuk dengan melipat kedua tangannya di dada, sementara bibirnya mengerucut.

"Dia hanya cameo. Tidak perlu diingat," jawab Bianca tanpa beban.

"Nggak mungkin!" bantah Indira.

Bianca tersenyum geli mendengar komentar Indira.

"Aku nggak percaya. Ayolah, Kak. Siapa dia?" desak Indira.

"Sejujurnya aku nggak tahu siapa dia, Ra," jawab Bianca seiring senyum di wajahnya memudar.

"Hah?" Sekali lagi Indira dibuat ternganga.

"Mukanya nggak kelihatan jelas tadi. Kalau diingat-ingat sih, dia kayaknya orang yang sama yang terjebak denganku di lift," kata Bianca tak yakin.

"Oo … apa dia juga menjalani perawatan sama seperti Kak Bi?" sambung Indira.

Bianca hanya menjawab dengan mengangkat kedua bahu yang menandakan bahwa dirinya pun tak tahu. Indira berhenti bertanya setelah mendapat jawaban enggan dari sang sahabat.

Wajah Bianca menoleh ke arah kaca mobil di sisi kirinya. Sebentar lagi masuk waktu subuh dan jalanan masih lengang. Dalam keheningan seolah-olah kesadaran Bianca ditarik ke beberapa jam sebelumnya, saat kejadian itu terjadi. Bagaimana dirinya masih bisa merasakan dengan jelas sulitnya menghirup udara karena merasa ketakutan dan tertekan di saat yang bersamaan.

Tanpa sadar tangan Bianca mengepal karena menahan desakan ingatan perih yang terkadang membayang. Gemeretak gerahamnya yang beradu tertangkap telinga oleh Indira. Gadis itu menoleh dan melihat Bianca yang sedikit gelisah. Segera diraihnya tangan yang mengepal tadi dan membelainya dengan lembut untuk menenangkan pemilik tangan itu.

"It's okay, Kak Bi. Kamu aman sekarang," tutur Indira.

Bianca menoleh ke arah Indira. Mata perempuan itu mulai berkaca-kaca. Lalu mereka berdua saling berpelukan, Bianca mulai terisak dalam tangisnya.

*****

Adam terbang sendiri ke Samarinda. Hassan dan Trias hanya mengantarnya ke bandara. Sementara asistennya yang lain, Lucky Hermansyah, telah berada di sana untuk memastikan tender kali ini berjalan lancar dan AS Corp mendapat vendor terbaik untuk melaksanakan proyek nasional yang berhasil mereka dapatkan dari pemerintah bulan lalu.

"Bos, kurang dari setengah jam lagi kita sudah bisa mulai tendernya. Saya akan turun dan berbicara atas nama Bos. Dan Pak Hendra dari MT grup mengundang untuk makan siang. Saya belum menjawab undangan itu. Jadi bagaimana?"

"MT grup kali ini ikut lelang?" tanya Adam.

"Mereka tidak bisa ikut, Bos. Karena mereka sudah handle proyek yang di Bali. Pesan tuan besar tidak boleh ada perangkapan proyek untuk Bali," terang Lucky.

"Ada motif?"

"Itu juga yang saya pikirkan, Bos."

"Ya sudah, stick to the plan," tukas Adam. "Makan siang di sini saja," imbuhnya.

Kemudian Lucky pergi untuk memimpin pelaksanaan tender. Sedangkan Adam tetap di kamarnya menonton perkembangan acara melalui monitor yang tersambung langsung dengan meeting room

Lebih dari tiga jam sudah berlalu. Acara tender telah sukses diselenggarakan. Lucky pun sudah kembali ke kamar menemui Adam dan melaporkan ulang hasil meeting hari itu. Lucky menyerahkan sebuah dokumen kontrak untuk segera Adam tanda tangani. "Saya sudah reservasi restoran hotel di lantai tiga. Sebentar lagi sudah masuk jam makan siang." 

"Oke, kita pergi sekarang. Balik ke Jakarta jam berapa?" tanya Adam seraya berjalan ke luar kamar.

"Sore ini, Bos. Jam tiga kita check out dari hotel."

"Oke."

Setelah keluar dari lift, ternyata restoran hotel bersebelahan dengan bioskop. Hal tersebut seketika membuat Adam teringat kejadian terjebak bersama perempuan yang tak dikenal. 

Banyak orang berkerumun di bioskop. Menangkap ekspresi heran pada wajah atasannya, Lucky lantas berujar, "Sedang ada premier film lokal, Bos. Ada acara meet and greet pemainnya." Penjelasan Lucky menghilangkan rasa penasaran Adam.

Ketika dua pria berpakaian resmi dengan setelan jas hitam itu berjalan beriringan menuju tempat janji bertemu dengan relasi untuk makan siang, para artis yang datang untuk acara di bioskop terlihat mulai berdatangan melalui eskalator. Beberapa penggemar yang sudah menunggu berhamburan menyambut dan berteriak mengelu-elukan idolanya.

Adam tiba-tiba berhenti. Matanya memicing seperti memerhatikan seseorang yang berada di kerumunan itu.

"Bos?" panggil Lucky. 

"Itu seperti perempuan kemarin," kata Adam dengan telunjuk mengarah ke tempat orang-orang itu bergerombol.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status