Adam mengetuk-ngetukkan jarinya pada permukaan kursi yang keras. Dia berpikir bagaimana dia nanti harus mengisi formulir data pasien atas nama perempuan yang terjebak bersamanya di dalam lift tadi. 'Ah, sudahlah. Kalau dia tak juga pulang, mungkin nanti akan ada keluarganya yang menghubungi dia,' pikirnya.
Kemudian dia memasukkan lagi benda-benda yang telah dikeluarkan kembali ke dalam tas kecil itu. Setelah itu dia berjalan menuju tempat administrasi sebagaimana yang perawat tadi tunjukkan. Hanya ada seorang petugas di sana yang Adam temui.
"Permisi, Sus. Saya diminta untuk mengisi data pasien yang baru masuk," ucap Adam.
"Oh, mbak yang pingsan tadi, ya, Pak?" tanya orang itu menegaskan.
"Iya, betul." Segera petugas itu mengambil selembar kertas dan sebuah pena, lalu diserahkan kepada Adam untuk diisi. Setelah membaca sekilas data yang diminta, Adam memutuskan untuk tidak mengisinya karena tak mengetahui satu pun jawabannya. "Mm, Sus." Panggilan Adam membuat petugas itu mendongak ke arahnya.
"Iya? Ada yang tidak dipahami?" tanya petugas itu sopan.
"Oh, bukan. Apakah bisa data pasien diisi menyusul nanti? Setelah siuman misalnya? Soalnya saya nggak kenal pasien," jelas Adam kepada petugas itu.
"Eh, nggak kenal? Kirain suaminya," sahut petugas itu.
Adam langsung menggelengkan kepala menolak penilaian orang itu. "Bukan. Saya bukan suaminya. Kami sama-sama terjebak di lift tadi. Saya nggak kenal dia," timpal Adam.
"O, gitu," gumam petugas itu.
Saat itu datanglah seorang dokter laki-laki menghampiri mereka. "Mas-nya yang tadi datang dengan pasien yang kejebak di lift, kan?" tanyanya.
"Betul, Dok."
"Tadi apa yang dikeluhkan pasien saat bersama Anda di lift?"
"Seperti kehabisan udara. Tidak bisa bernapas," papar Adam dengan menggunakan gestur tubuh seperti yang perempuan tadi lakukan. Dokter itu juga meminta Adam menceritakan kronologi kejadian sebelum perempuan itu jatuh pingsan. Adam juga menginformasikan bahwa dirinya tak mengenal pasien dan tak ditemukan identitas apa pun dalam tas perempuan itu.
"Jadi kemungkinan besar pasien ini mengalami serangan gangguan pernapasan yang diakibatkan karena ketidakmampuan mengontrol emosi atau kepanikan mengingat situasi genting yang terjadi. Setelah mendapat pertolongan pertama kondisinya sekarang sudah lepas dari masa kritis. Masih lemah, tetapi kesadarannya belum pulih," jelas dokter itu kepada Adam.
Adam mengangguk sambil mengingat kembali kejadian yang mereka alami di dalam lift.
"Dan soal identitas pasien, kita bisa tunggu sampai ada keluarga yang menghubungi ponsel pasien. Mas bisa tolong tetap di sini sampai ada yang datang atau menghubungi?" pinta sang dokter.
Adam mengangguk mengiakan permintaan orang berpakaian jas putih itu. Tak lama setelah perbincangan itu, keluar keputusan untuk memindahkan perempuan tadi ke ruang observasi. Adam turut serta mengantar pasien itu ke sebuah kamar dengan dua ranjang kosong dan salah satunya akan diisi oleh perempuan itu.
"Pasien sudah sempat siuman tadi, tapi karena masih sangat lemah jadi dia kembali tertidur," terang perawat yang menemani kepindahan si sakit.
Itu adalah rumah sakit umum milik pemerintah daerah. Bilik yang tentu jauh dari kemewahan fasilitas yang mungkin Adam dapatkan sebagai orang kaya. Ada kipas angin yang terpasang di salah satu dinding bercat putih itu, sementara bagi penjaga pasien hanya disediakan sebuah bangku plastik tanpa sandaran. Keheningan kamar itu membuat Adam terpaku. Dia hanya berdiri di depan ranjang dengan seorang perempuan yang belum diketahui namanya.
Melihat tas kecil milik pasien, Adam bergegas mengecek ponsel di dalamnya. Pria itu berharap sudah ada yang kehilangan perempuan itu dan berusaha mencarinya. Namun, ternyata tak ada pesan maupun panggilan yang masuk. Adam kembali meletakkan tas itu.
Dalam diam, pria itu mengamati wajah yang sedang lelap dalam tidurnya. Perempuan itu memiliki bentuk wajah hati dan kini rambut sebahunya tergerai sembarangan. Adam refleks mengulurkan tangan kanan berencana merapikannya, tetapi urung. 'Eh, apa yang aku pikirkan, sih? Dia siapa juga aku nggak tahu!' runtuknya dalam hati. Lalu mundur selangkah.
Kemudian teringat olehnya esok dirinya harus terbang ke Samarinda untuk meninjau lahan yang akan dijadikan pembangunan proyek hotel. Tanpa membuang masa, Adam segera ke tempat suster jaga dan berharap diizinkan untuk meminjam telepon.
[Halo, ini siapa?] tanya Hassan, asisten pribadi Adam.
"Hassan, ini Adam," jawab pria itu dengan suara rendah.
[Ya ampun, Bos. Jam berapa ini?] gerutu Hassan dengan suara malas karena dibangunkan paksa oleh telepon sang bos.
"Saya sekarang ada di rumah sakit," ujar Adam yang kontan membuat sang asisten membelalakkan matanya yang sedari tadi terpejam.
[Rumah Sakit? Siapa yang sakit, Bos?] tanya Hassan tak percaya dan hal itu mengundang sang istri–Trias Pritasari–sekaligus sekretaris Adam turut terbangun [Pak Adam kenapa, Yang?] Suara perempuan itu terdengar samar.
"Sudah, nanti saya ceritakan. Sekarang dengarkan saya!" perintah Adam.
[Siap!] sahut Hassan seraya menyalakan lampu di sisi ranjangnya kemudian mengaktifkan pengeras suara pada ponselnya agar Trias juga mendengar instruksi bos mereka itu. Wanita itu pun kini menjadi awas.
"Kamu segera ke RS Tanah Abang. Antar Trias ke apartemenku dan minta dia menyiapkan semua keperluan saya buat ke Samarinda besok. Saya berangkat dari sini. Kamu langsung ke sini setelah drop Trias, biar Trias bawa Aoi. Mengerti?" tanya Adam menegaskan.
[Siap, meluncur] balas Hassan disertai pandangan ke arah Trias. Wanita itu mengangguk memahami.
"O iya, satu lagi. Kamu ambil hape saya yang tertinggal di kantor. Sudah, saya tutup teleponnya," timpal Adam ingin menyudahi sambungan itu.
[Bos, Bos!] panggil Hassan sebelum sambungan itu benar-benar berakhir.
"Apa lagi?" tanya Adam.
[Posisi?] tanya pria beristri itu.
"Ruang observasi IGD," jawab Adam. Pria itu meletakkan gagang telepon ke tempat asalnya, lalu mengucapkan terima kasih kepada petugas yang berada di sana. Setelah itu dia kembali menuju kamar tempat wanita tak dikenalnya masih terbaring. Adam berpikir untuk mengistirahatkan badannya barang sejenak. Perjalanan esok hari tidak akan singkat sehingga dia harus memiliki kondisi yang baik.
Adam berjalan mendekati ranjang kosong. 'Apa aku tidur di sini saja?' pikirnya. Namun, tidak jadi dilakukan karena sedetik berikutnya dia mengambil bangku yang disediakan, meletakkannya di sisi ujung kaki ranjang kosong dan duduk menyamankan diri dengan kaki kanan menyilang di atas lutut kaki kirinya. Kedua tangannya dilipat di dada, sementara punggungnya bersandar pada besi pengaman tepian ranjang.
Mata hitam pria itu perlahan memejam. Baru Lima detik, kedua iris itu kembali terbuka. Dia sekadar memastikan wanita itu masih di sana dan tak membutuhkannya. Kemudian melihat ke arah pintu yang setengah terbuka, tak ada orang yang melintas. 'Akan butuh waktu sampai Hassan datang,' pikirnya.
Tak disangka serangan kantuk mulai datang. Adam menguap lalu menutup mulut dengan sebelah tangannya. Kali ini Adam benar-benar ingin tidur.
"Buka! Buka! Buka!"
Samar-samar Adam mendengar suara gumaman. Pria itu sontak membuka mata dan mengumpulkan kesadarannya. Dia melihat wanita itu mengatupkan erat matanya dengan tangan mengepal, sedangkan tubuhnya terbaring gelisah. Dilihatnya bibir wanita itu mendesiskan kata yang sama berulang kali. Seketika Adam mendekat dan meraih tangan itu, lalu mengelus lembut dengan maksud menenangkan.
Namun, wanita itu justru menggenggam pergelangan tangan Adam dengan kuat. Adam sekilas meringis kesakitan yang diterima secara tak terduga. "Mbak ... Mbak!" panggil Adam. Sempat terpikir oleh Adam untuk memanggil perawat untuk memeriksa kondisi wanita itu. Akan tetapi, lambat laun racauannya mulai berkurang. Jadi Adam memilih untuk membiarkan tangannya berada dalam kendali wanita itu.
Tungkai Adam yang cukup panjang dijulurkan untuk mengait bangku agar bisa diduduki. Genggaman tangan wanita itu masih cukup kuat sehingga pria itu memutuskan untuk duduk di samping sisi ranjang.
'Apa sebenarnya yang dialami perempuan ini?' pikir Adam. 'Dia meracau sesuatu yang sepertinya menakutkan,' batinnya lagi.
Ponsel Lucky berdering. Setelah melihat nama sang bos terpampang di layar, segera diangkatnya sebelum nada dering pertama berakhir."Halo, Bos," sapa Lucky.[Bunga untuk Bianca besok biar saya sendiri yang ngasih!] Lalu sambungan itu diputus."Halo, Bos? Bos?" Lucky masih mencoba memanggil, tetapi sudah tidak ada jawaban dari penelepon. Asisten Adam tersebut menatap layar ponsel dan mencari daftar nama di kontak masuk. Dia ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah membaca nama penelepon. "Benar. Tadi memang bos yang telepon." Mata Lucky bergerak seperti sedang membantu kepalanya mengingat kembali perintah Adam.'Bunga untuk Bianca besok biar saya sendiri yang ngasih!' Kalimat pendek dan padat itu terngiang kembali di kepala Lucky. "Kenapa tiba-tiba begitu?" gumam Lucky yang bingung karena tidak ada penjelasan lebih lanjut.Lucky segera membuka ruang obrolan dengan empat rekan lainnya.Lucky: Bos barusan telpon. Ngasih perintah singkat padat dan jelas.Adi: Apaan, Mas?Hassan is typi
Fahar menceritakan kehidupan pribadinya kepada Adam, seorang teman yang telah lama berpisah. Bagaimana dia kehilangan Diana, istrinya, dan meneruskan hidup bersama putra tunggalnya, Alex."Aku akui kamu memiliki segalanya, Bro. Wajah, otak, penampilan, gaya bicara, keramahan, tapi baru sekarang aku paham kenapa," tutur Fahar.Sedangkan Adam tersenyum mendengar pujian demi pujian yang kawan lamanya itu lontarkan. "Kenapa?" tanya Adam mengetes."Iya, kamu anak tunggal kerajaan bisnis AS Corp, Bro. Kalau aku jadi orang tuamu pasti juga nggak bisa biarin kamu main-main," terang Fahar.Adam bahagia karena sahabatnya itu paham tanpa harus dijelaskan."Kenapa senyum?" tanya Fahar penasaran."Iya, aku senang kamu bisa paham tanpa aku harus jelasin. Beberapa hubungan menuntut kejelasan. Bahkan kadang sudah dijelaskan, mereka tetap tidak menerima dan memilih pergi. Dan aku senang lu paham," tukas Adam dengan intonasi tenang.Pria di hadapan Adam menangkap maksud lainnya. Dia merasa ada hubungan
Sekembali Adam dari Bandung, dia langsung menuju gedung pusat AS Corp. Dia beristirahat sejenak di ruang pribadinya sebelum kembali memulai hari dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan.Hassan melihat jam hampir menunjukkan pukul sembilan. Sesuai instruksi yang Adam berikan, dia ingin Hassan membangunkannya sebelum tepat jam sembilan. Sang asisten segera menuju ruang kerja Adam. Di sana ada pintu lain yang tersembunyi di balik rak buku. Setelah menekan tombol di balik sebuah buku tebal bersampul cokelat, rak buku itu menimbulkan sebuah bunyi yang halus lalu bergerak bergeser secara perlahan. Semua asisten Adam sudah mengetahuinya, sedangkan Vina yang baru saja dipromosikan sebagai pengganti Trias belum mengetahuinya.Saat masuk ke ruangan itu, Hassan sudah bisa melihat Adam yg duduk termenung di tepi ranjang. Pria itu terkesan aneh melihat sang bos yang berlaku di luar kebiasaan. "Sudah bangun, Bos?" tegurnya.Adam menoleh lalu mengangguk. Hassan berjalan mendekat, "Ada yang Bos pik
"Selamat siang. Ada yang bisa dibantu?" tanya petugas di pintu masuk pada seorang kurir."Saya mengantarkan kiriman bunga untuk Ibu Bianca," jawabnya.Saat percakapan itu terjadi, Fahar baru saja tiba di kantor dan mendengarnya. "Langsung masuk saja, sampaikan ke meja resepsionis," instruksi si petugas.Kurir itu masuk membawa sebuah buket Krisan kuning dan melangkah menuju dua orang wanita yang sedang duduk tak jauh dari pintu utama.Fahar yang telah menerima salam dari si petugas keamanan berjalan menuju ke dalam gedung Advance Advertising. Namun, pria itu tidak langsung menuju lift untuk mengantarkan ke lantai tempatnya bekerja dan justru menyempatkan diri mendekat ke meja resepsionis. Dia penasaran dengan bunga yang dikirim untuk Bianca. Sejauh yang pria itu ingat, beberapa hari terakhir ini dia melihat Bianca selalu membawa bunga. Pertama bunga anggrek, lalu bunga matahari, dan pagi itu bunga Krisan. 'Apakah ada seseorang yang sengaja mengirimkannya kepada Bianca?' batinnya bert
Ibu Sun melihat Adam berdiri mematung, kemudian segera pergi menghampiri sang tamu. "Ada apa, Nak Adam?" tanyanya. "Bunganya cantik, Bu," sahut Adam saat menunjuk anggrek bulan ungu yang tersimpan di rak kayu di bawah pohon mangga. Bersisian dengan pot bunga lainnya. "Oh, bunga ini. Iya, saya juga suka lihatnya. Warnanya kalem sekaligus berani.""Ibu Sun sepertinya terampil merawat bunga, ya," puji Adam."Saya memang suka berkebun sejak muda. Tapi pengalaman merawat anggrek? Ini pertama kali. Semoga saja si cantik ini berumur panjang dengan saya," tutur wanita itu dengan menyentuh ujung kelopak bunga ungu itu.Entah mengapa tiba-tiba Adam merasa ada keterkaitan antara Ibu Sun dengan Bianca. Seingat Adam, ibu Bianca bekerja di panti asuhan, tetapi dia lupa nama lengkap panti maupun nama ibu Bianca. Namun, adanya bunga anggrek ungu itu membuatnya berpikir untuk menanyakan sesuatu yang lebih spesifik."Ini beli di mana? Saya jadi ingin punya juga.""Aduh, saya kurang tahu. Soalnya saya
Diawali dengan bunga anggrek, hari berikutnya mawar, kemudian bunga matahari. Semua makhluk cantik itu membuat Bianca tak henti-hentinya berpikir apa keinginan si pengirim. Sambil menatap kertas kecil yang berisi pesan singkat dan tentu saja dari seseorang yang berinisial A.~Jadi, kita sudah berteman. Teman?~AMawar kuning di meja kerjanya belum juga layu, dan kini tiga tangkai bunga matahari sudah datang. Dengan malas, Bianca melepas ikatan pita hijau pada bunga berkelopak kuning itu. Kemudian satu per satu tangkainya diselipkan di tengah kuntum mawar.Beberapa orang sudah berdatangan dan mereka mempersiapkan diri sebelum jam kantor benar-benar dimulai. Tak terkecuali Bianca, meskipun dirinya sedang diliputi rasa penasaran, tetapi pekerjaan lebih utama baginya. Terlebih lagi, kejadian pagi itu tentang dirinya yang terkurung di dalam toilet membuat energi paginya sudah cukup terkuras.'Terserah apa maumu," batin Bianca saat melihat sekali lagi isi kertas dan melemparnya asal.Amelia