Share

1. Sebuah Awal

last update Last Updated: 2020-10-01 12:38:21

Sesampainya di Shanghai, China-Christop langsung menghubungi Abraham ia memberi tau jika sedang berada di China. 

"Topher!" teriakan itu membuat Christop menoleh. Hanya Abraham dan kedua orang tuanyalah yang memanggilnya dengan sebutan Topher.

Tersenyum hangat, senyum yang jarang ia perlihatkan ke semua orang. "Bagaimana kabarmu?" tanya Abraham membuka percakapan.

Keduanya berjalan beriringan menuju parkiran, lalu masuk ke dalam mobil melajukan mobilnya keluar dari bandara. "Baik. Kenapa bukan Jay yang menjemput? Apa kau tidak ada pekerjaan?"

Abraham menggeleng, "Tidak ada. Apa menjemput seorang kakak yang sudah lama tidak bertemu itu salah?"

"Tidak," jawab singkat Christop. "Bagaimana kabar perusahaan?"

"Baik, awal kau pergi memutuskan untuk mengalihkannya padaku semuanya sedikit kacau dan bermasalah. Tapi aku dengan segera bertindak tegas menanganinya." Jawab Abraham. "Dan sekarang setiap bulannya selalu mengalami kenaikan keuntungan yang sangat besar," lanjutnya.

Christop mengangguk paham, "Syukurlah. Berarti aku bisa mengandalkanmu."

"Tentu," jawab Abraham percaya diri.

Sesampainya di mansion yang luas dan besar, pagar berwarna putih tulang yang menjulang tinggi terbuka secara otomatis. Abraham melajukan mobilnya masuk melewati pekarangan mansion. Di sana terdapat air mancur, lalu sedikit bendungan kecil yang menyerupai sungai. 

Christop menatap mansion yang ditinggali kedua orang tuanya, dia dan Abraham dulu. Di sini, begitu banyak kenangan yang Christop sendiri tidak bisa melupakannya. "Apa kau rindu suasana dulu?" tanya Abraham begitu memasuki mansion.

Beberapa pelayan yang sedang berada di sana menatap terkejut, berharap mereka tidak salah melihat jika majikannya mengunjungi mansion. Karena sudah beberapa tahun terakhir semenjak kematian orang tuanya Christop jarang mengunjungi mansion ini. 

Christop menempatkan dirinya duduk bersandar di sofa bludru berwarna putih tulang, menghembuskan napasnya matanya menatap sekeliling. Menjelajahi isi yang ada di mansion ini, semuanya masih sama belum berubah. Christop mengangguk, "Tentu. Sudah lama aku tidak kemari."

Bahkan foto keluarga yang terpajang di dinding, lalu beberapa foto yang diletakkan di atas meja masih tertata rapi. "Semuanya masih sama," celetuk Christop.

Abraham yang duduk di sebelah Christop mengangguk, "Tentu. Karena aku tidak berani mengubah ini semua. Terlalu banyak kenangan di setiap letaknya."

Christop yang berada di mansion dan di Thailand akan berbeda. Jika di rumah ia akan menjadi orang yang hangat, hanya dengan Abraham. Tetapi jika di Thailand, Christop akan berubah menjadi monster. Menjadi pria yang kejam tanpa belas kasih. 

"Sampai kapan kau akan berada di sini?" tanya Abraham.

"Besok pagi aku akan kembali lagi ke Thailand," jawab Christop membuat Abraham membeo. "Secepat itukah, Kak?"

Christop mengangguk, "Aku akan ke kamar untuk membersihkan diri. Karena nanti malam aku harus bertemu Chen," ujarnya.

"Itu menyangkut pekerjaan?" tanya Abraham. "Tidak usah kujawab pasti kau sudah tau Ab," balas Christop.

Abraham mendengus, sampai kapan kakaknya akan selesai berurusan dengan mafia itu. Ia hanya tidak ingin kakaknya terkena masalah, karena hanya tinggal Christoplah keluarga yang dipunya.

"Dan aku akan berhati-hati, kau tidak usah khawati," lanjut Christop menjawab pertanyaan dipikiran Abraham.

"Ku harap begitu," jawab Abraham.

Di depannya pintu berwarna putih tulang menyambut kedatangannya, masih sama ada sebua gantungan dengan nama Thoper di sana. Christop tersenyum, memasukkan kedua tangannya pada saku celana. Lalu tangan kanannya bergerak membuka pintu. 

Aroma pinus menyambut penciumannya, kamar yang sangat luas ini masih tertata rapi. Kamar dengan dominan warna hitam dan abu-abu ini memperlihatkan kesan maskulin. 

Bahkan beberapa lembar foto hasil bidikannya masih pada tempatnya. Dan kamar ini terlihat bersih, mungkin dibersihkan setiap harinya tanpa merubah tatanan di setiap sudutnya. 

°°°°°

"Apa kau sudah siap, sayang?" tanya Benjamin pada Cala.

Gadis itu mengangguk, "Sudah. Ah iya Pa, jalan-jalan selanjutnya aku ingin ke China!" 

Benjamin tersenyum hangat, "Apa pun untukmu sayang."

"Terima kasih, Papa," ujar Cala memeluk Benjamin yang dibalas pria itu. 

"Sebaiknya kita segera berangkat," ajak Benjamin. Cala mengangguk lalu keduanya berjalan beriringan menuju mobil yang sudah terparkir di halaman depan rumah.

Selama perjalanan menuju bandara, Cala tak henti-hentinya bercerita tentang pengalamannya selama ini ketika travelling. Pernah waktu itu, ketika Cala mendatangi Korea Selatan. Ia tak sengaja bertemu dengan para member Exo. Awalnya Cala tidak tau, tapi beberapa orang berbicara menggunakan bahasa inggris yang dimengerti, Cala jadi paham jika mereka adalah boyband terkenal asal Korea Selatan yang banyak digilai kaum hawa dari belahan penjuru dunia.

"Dan Papa tau? Mereka sangat tampan, aku jadi ingin menikahi salah satunya, Ah iya dengan Jongdae," gurau Cala berangan-angan.

Benjamin tergelak, "Berdoalah agar kau dijodohkan dengan salah satunya," jawabnya menanggapi.

"Ah, satu negara yang tak akan pernah aku lupakan," ujar Cala.

"Negara mana?" tanya Benjamin.

"Indonesia, ketika aku datang semua penduduknya ramah-ramah. Dan negaranya sangat unik, dan aku menyukainya. Mungkin Indonesia akan menjadi salah satu daftar negara untukku nanti ketika honeymoon," Cala terkekeh di akhir kalimat menyadari kekonyolannya. 

"Apa kau sudah memiliki calon?" 

Cala menggeleng, "Kekasih saja tidak punya," jawaban Cala membuat Benjamin tergelak kencang membuat Cala memajukan bibirnya kesal.

"Sudah sampai," ujar Benjamin memberhentikan mobilnya setelah terparkir. 

Keduanya turun dari mobil, Benjamin membantu Cala membawa koper gadis itu. Sedangkan Cala hanya membawa tas jinjing berwarna coklat susu senada dengan dress yang dipakainya. 

Lalu pemberitahuan jika penerbangan yang akan membawa ke Thailand akan segera berangkat. Cala segera mencium kedua pipi Benjamin, mengambil alih kopernya.

Benjamin mengusap kepala Cala, "Jaga diri dan jaga kesehatan. Jika sudah sampai hubungi papa." Cala tersenyum mengangguk. "Pasti!"

"Sampai ketemu minggu depan, Pa!" lanjut Cala.

"Hati-hati sayang," ujar Benjamin.

Selama perjalanan udara Cala hanya menghabiskan waktunya untuk tidur dan mengisi perutnya jika lapar. 

Sesampainya di Bangkok, Thailand. Cala langsung menuju mobil yang akan membawanya menuju penginapannya. Kemarin, Benjamin sudah menyiapkan seseorang untuk mengantarkannya berkeliling selama di Thailand. Dan tentu saja akan mempermudah Cala.

Cala turun dari mobil, lalu langsung memasuki salah satu penginapan terkenal di Thailand yang sudah di siapkan Benjamin. Cala merasa senang, akhirnya papanya itu memperhatikannya. Dan melupakan pekerjaannya sejenak demi dirinya.  

Merebahkan dirinya di atas kasur, Cala menatap langit-langit kamar. Koper yang dibawanya masih ia letakkan di depan lemari, mungkin nanti setelah mandi ia akan membereskannya. 

°°°°°

"Kau ingin aku membantumu apa?'' tanya Christop pada pria bermata sipit yang duduk di depannya. 

Dia Chen, "Aku ingin kau membunuh Frans. Aku akan membayarmu."

Christop mendengus, "Tapi aku bukan pembunuh bayaran."

"Aku hanya membunuh orang-orang yang menghalangi jalanku dan mengganggu milikku.''

"Tapi aku sangat membutuhkan bantuanmu," balas Chen.

"Kau seorang mafia, kenapa bukan kau sendiri saja yang turun tangan?" tanya Christop.

Sekarang mereka sedang berada di salah satu Kasino terkenal di kota Shanghai. Banyak orang berjudi, tentu dengan jumlah nominal uang yang sangat besar namun Christop tidak tertarik. Tadi Chen sudah mengajaknya tapi Christop menolak. "Kau tau sendiri Frans itu siapa," jawab Chen.

"Lebih baik kau akhiri saja hubunganmu dengan Yura."

Chen melototkan matanya, "Tapi aku masih mencintainya.''

"Kau mafia yang payah," ejek Christop membuat Chen mendengus tak suka, "Haruskan aku merengek padamu?" tanya Chen malas.

"Ku pastikan nanti malam semuanya sudah beres, dan besok aku akan kembali ke Thailand.''

"Secepat itukah?" tanya Chen.

Christop mengangguk, "Ada urusan yang harus cepat ku selesaikan."

"Aku pergi," ujar Christop beranjak dari duduknya.

"Kau tidak ingin sedikit bermain?" tanya Chen menawarkan.

Christop menggeleng, "Kau saja. Aku tidak berselera."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Fall in Love With The Devil   35. Season II - Makan Malam

    Christop sudah rapi dengan tuxedo yang melekat dengan pas di tubuhnya. Malam ini, seperti yang Lauren katakan beberapa tempo lalu, dirinya diundang untuk acara makan malam dengan keluarga sang kekasih.“Chris, kau sudah siap?” Lauren, wanita itu memutuskan untuk datang bersama Christop malam ini. Padahal seharusnya, wanita itu tidak perlu repot-repot untuk kemari dan langsung saja ke mansion orang tua miliknya.Christop mengangguk singkat. “Kita berangkat?” tanyanya.“Oke,” balas Lauren.Jarak dari mansion Christop ke tempat orang tua Lauren memakan waktu sekitar satu jam. Selama perjalanan, hanya ada keheningan. Baik Christop maupun Lauren tidak ada yang membuka suara. Keduanya sama-sama fokus dengan urusan masing-masing.Sesampainya di halaman mansion, Christop memakirkan mobilnya. Mereka berjalan beriringan, ternyata beberapa pel

  • Fall in Love With The Devil   34. Season II - Sirkus

    "Hei keponakan uncle. Setahun tidak melihatmu, ternyata kau tumbuh dengan baik." Abraham menggendong Noah, mengajak balita itu bergurau. "Kau tampan, dan benar, semakin hari kau semakin mirip dengan Daddymu," lanjut Abraham, berbincang dengan balita itu. Cala yang melihat interaksi saudaranya dengan putranya hanya tersenyum simpul. "Ah iya, apa kau ingin berjalan-jalan? Mumpung aku ada di sini, kita bisa menghabiskan waktu bertiga," tanya Abraham mengusulkan. Cala mengangguk, bersemangat. "Boleh, ke mana?" "Bagaimana dengan sirkus? Ku dengar ada sirkus

  • Fall in Love With The Devil   33. Season II - Berbincang

    Christop menatap pria paruh baya yang terbatuk-batuk karena Christop baru saja menendang dadanya. Christop berjongkok, sekali lagi ia menyulutkan rokok yang menyala pada wajah pria paruh baya itu. Joseph Franklyn Smith. “Berhenti, tolong ampuni aku,” katanya meringis kesakitan. Christop tersenyum miring, merasa senang melihat lawannya yang memohon dan kesakitan. Baginya, melihat lawan yang terkulai tidak berdaya adalah kepuasan tersendiri di dalam dirinya. Christop tertawa, tawa yang terdengar menyeramkan dengan wajahnya yang datar. “Kenapa kau mencari perkara padaku jika akhirnya memohon ampun? Di mana keangkuhanmu,” gumamnya tersenyum miring. Joseph terlihat takut pada Christop. Di mata Joseph, pria di depannya itu terlihat seperti iblis yang sangat menyeramkan. Berbeda dengan Christop, saat pria itu menjadi pemimpin perusahaan. Terlihat rapi,

  • Fall in Love With The Devil   32. Season II - Noah Diwei Alexander

    “Ku dengar, kau tidak mengijinkan Cala pergi bersama Izzy.” Bibi Key mulai membuka percakapan.Sore ini, Cala, Papanya, beserta Paman Klaus dan Bibi Key sedang bersantai di halaman belakang. Begitu pun dengan Noah yang ikut bergabung, balita lucu itu berada di gendongan Cala saat ini. Menyandarkan kepalanya di dada Cala dengan manja dan nyaman.“Ya, karena aku masih santat khawatir dia pergi jauh,” kata Giovanno jujur.“Ijin, kan saja, ini tidak akan terulang kembali. Lagipula, apa kau akan melarang hobinya hanya karena kejadian dua tahun lalu,” kata Key masih kekeuh.

  • Fall in Love With The Devil   31. Season II - Baby And Bad Dream

    “Kau sudah melakukannya?” tanya Christop.“.....”“Ok, cukup awasi dia saja dari jauh.” Setelah mengatakan itu, Christop menutup sambungan teleponnya.“Aku heran, kenapa wanita suka sekali lari dan bersembunyi. Alih-alih menyelesaikan masalahnya, mereka lebih suka menghindar dan menghilang.” Christop menoleh––mengangguk, menyetujui kalimat Jack.“Aku setuju, kadang menggelikan ketika kita jatuh cinta pada mereka,” kata Christop terkekeh menanggapi.“Tapi untung saja Jessica sudah ditemukan. Lalu bagaimana denganmu, Chris?”“Aku? Aku baik-baik saja.”“Ck, kau tau apa yang ku maksud,&

  • Fall in Love With The Devil   30. Season II - Perihal Rasa

    Setelah berita yang menggemparkan tersiar, di mana salah satu mansion mewah milik Joseph Quinn yang hancur dan tidak ada satu pun bangunan yang tersisa, membuat Cristop tersenyum senang. Apalagi saat wajah Joseph yang tersorot kameramen, pria itu terlihat menahan marah. “Ck,” decaknya dengan nada muak.“Woah, haruskah kita berpesta sekarang?” Suara Abraham terdengar, adiknya itu masuk begitu saja membuat Christop terkejut.“Biasakan untuk mengetuk pintu,” kata Christop datar.Abraham berdecak, lalu ikut bergabung duduk di samping sang kakak, Christop. “Memangnya Joseph ada masalah apa denganmu? Sampai-sampai kau harus mengebom mansionnya?”“Kau tau Frans?”“Musuh Chen yang merebut Yura dari si mafia i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status