“Hei, sampai kapan kau tidur.... Hoi, anjing!”
Teriak seseorang sambil menendang-nendang bahu seorang yang pingsan. Tetapi tidak ada respon sama sekali. Merasa diabaikan, salah satu orang yang menendangnya mendecak lidah
“Tch, sepertinya dia sudah terlalu sering mendapatkan siksaan hingga tidak merasakan apa-apa ketika kita beginikan. Bagaimana menurutmu, Les?”
“Masuk akal juga omonganmu, Galang. Bahkan pukulan keras dari Pak Senja sebelumnya hanya membuatnya sedikit mundur”
“Bagaimana jika kita gunakan itu untuk membangunkannya?”
“Oh? itu ide yang bagus”
Setelah sepakat menggunakan sesuatu yang disebut itu, mereka berdua mundur beberapa langkah lalu membuka kepalan tangannya. Sebuah partikel-partikel air berkumpul ke satu titik hingga membuat sebuah bola air sebesar bola basket. Dengan senyuman jahat, pria bernama Lesmana itu menjatuhkan bola air itu ke arah muka pria yang sedang tidak sadarkan diri tersebut.
Karena dinginnya guyuran air yang tiba-tiba, pemuda itu terbangun. Dengan masih kebingungan, pemuda itu melihat ke sekitar sambil menebak apa yang terjadi. Dia meraba kepala hingga baju olahraga yang telah basah kuyup akibat guyuran air tadi. Setelah mengusap sisa-sisa air yang ada di wajahnya, dia kembali mengamati keadaan sekitar. Ketika melihat langit yang masih sedikit gelap dengan sejuknya udara khas pagi hari, Matanya tertuju pada murid-murid lain yang masih tergeletak di tengah lapangan. Sedangkan yang lain…
Aku tidak percaya dengan mataku, sulit untuk mempercayainya karena seharusnya hal yang aku lihat saat ini tidaklah nyata. Sebuah kobaran api menyembur ke udara, sebuah gelembung-gelembung air beterbangan. Ketika sibuk mengamati keadaan sekitar, kakiku tiba-tiba terasa panas. Ketika aku melihat ke arah kakiku sebuah kobaran api sedang membakar celana olahraga yang sedang aku pakai, pada bagian ujung celana tersebut, yang tidak basah karena guyuran air itu.
Alhasil, karena panik aku mengayunkan kakiku ke sana kemari, berusaha untuk memadamkan api itu. karena tidak berhasil, aku melihat sebuah genangan air di dekatku, lalu membasahinya dengan itu. Ketika aku melakukan hal tersebut. Dua orang mendekatiku sambil tertawa terbahak-bahak
“Hwawahwhaha, itu akibatnya mengabaikan kami. Jangan sok pintar dengan mengamati keadaan di sekitar, Nossal” ucap Lesmana sambil berusaha menghentikan tawanya
“Kau mengganggu pemandangan. Wajahmu membuat kami tidak dapat berkonsentrasi ketika menggunakan sihir. Pergi sana!”
Sihir? Benar juga aku ingat, tadi malam ada orang yang dapat menggunakan sihir secara tidak sengaja. Tapi, yang lainnya juga dapat menggunakannya? Hanya dalam rentang waktu belum sampai 1 hari dan mereka sudah dapat menggunakannya?
Apakah benar semudah itu menggunakannya? Padahal seharusnya butuh waktu banyak untuk dapat menggunakannya. Atau mungkin itu hanya menurutku, karena aku juga hanya mengetahuinya dari cerita fiksi. Apapun itu, sulit untuk mempercayainya, dunia ini berubah seperti yang dikatakan diriku di ruang kosong sebelumnya. Ketika sedang berpikir, Galang tiba-tiba berteriak kepadaku
“Apa lagi yang kau pikirkan? hah! Cepat pergi! Atau aku jadikan kau anjing bakar? Akan kuhitung sampai 3 2…”
Mendengar Galang yang langsung memulai hitungannya membuatku kalang kabut.
Mendengar yang hitungan yang tiba-tiba dari Galang. Aku spontan langsung berdiri, Aku berdiri dengan luka bakar yang ternyata sudah sedikit membakar kulit di kakiku. Sambil menahan rasa perih nan panas. Aku berlari ke toilet. Tetapi ketika aku berlari.
“Nih aku kasih bekal!”
Galang melemparkan sebuah bola api kepada Nossal. Itu terbang lalu mendarat tepat pada punggung Nossal. Di saat menikmati pemandangan itu, seorang pemuda lain berjalan mendekati mereka berdua, lalu bertanya,
“Apa yang sedang kalian lakukan?”
“Ah, boss ya. Ini si Galang membakar dia”
“Hahahaa, kerja bagus, terus perlakukan dia seperti itu. Itu bayaran atas dosanya di masa lalu. Sekarang, ayo lanjutkan latihan, masih banyak hal yang perlu kita cari tahu tentang dunia baru yang telah diubah dewa ini”
“Siap boss” seru mereka berdua
***
Sesampainya di toilet, aku langsung mengambil gayung, lalu mengguyur tubuhku yang air. Rasa dingin bercampur perih terasa pada luka di kakiku. Berkat bajuku yang basah, lemparan bola api pada punggungku tadi tidak menyebabkan api berkobar. Berbeda dengan luka bakar pada kakiku. Itu membuat celanaku sobek, dan terdapat luka bakar sedang di sana. Ketika aku mengguyur bagian luka itu dengan air. Rasa perih yang disertai panas terasa di sana.
Setelah selesai, aku segera keluar dari toilet. Dari balik tembok sekolah, terdengar suara geraman yang cukup keras. Aku yang dihantui rasa penasaran mencoba memanjat tembok dan mengintip apa yang ada di balik tembok ini.
Lagi-lagi aku kembali dikejutkan oleh fakta bahwa sekitar ratusan hingga ribuan serigala berkeliaran di sekitar tempat ini. Menyadari diriku yang mengintip mereka dari atas tembok. Salah satu serigala itu melompat dan mencoba menerkamku. Tapi entah bagaimana, sesaat sebelum serigala itu berhasil menerkamku, dia tampak seperti menabrak sesuatu.
Karena tiba-tiba hampir diterkam oleh serigala, aku terkejut hingga terjungkal ke belakang. Tanpa berlama-lama berbaring di lantai, aku segera pergi ke kelas. Rasanya sebisa mungkin aku harus menghindari Dicky dan teman-temannya, jadi aku menuju kelas
Saat perjalanan, aku melihat murid-murid lain memasang ekspresi berbeda-beda. Ada yang biasa saja, ada yang meringkuk ketakutan, ada juga yang duduk diam dengan wajah putus asa. Kurasa itu tidaklah aneh, Karena bagaimanapun kehidupan damai mereka berubah tanpa adanya peringatan. Yang aneh justru orang yang tidak ketakutan dalam keadaan seperti ini. Buruknya, aku merupakan salah satu orang yang aneh ini. Bukannya tidak takut, lebih ke arah tidak peduli. Di dunia sebelum maupun sesudah berubah kehidupanku masih tetap sama sebagai orang yang tertindas. Yang kutakutkan masihlah sama dengan sebelumnya, yaitu Dicky dan kelompoknya yang sering membullyku. Jadi aku tidak banyak berpikir tentang serigala yang memenuhi jalanan di luar sekolah ini.
Setelah berjalan cukup lama melewati ruangan di sekolah ini. Akhirnya aku sampai di kelas. Setelah memastikan keadaan kelas yang kosong. Aku masuk, lalu diam-diam ikut mencoba menggunakan sihir. Di pojok kelas aku duduk bersila.
“Baiklah, mari kita coba”
Untuk dapat menggunakan sihir yang sama seperti pada film fiksi rasanya membuatku sedikit berdebar-debar. Aku mengingat-ingat ucapan yang dikatakan perempuan kemarin “Kuncinya adalah membayangkannya” Mengikuti perkataannya sebagai petunjuk. Aku menutup mata, lalu membuka telapak tangan,
Pertama, aku membayangkan bagaimana awal terbentuknya api, serta rasa panas yang ditimbulkan
....
Aku membuka mataku. Tetapi tidak terjadi apa-apa
“Gagal... kah!?”
Satu demi satu, aku mencoba semua elemen, karena seperti yang dikatakan Dicky “Jika tidak cocok dengan suatu elemen. Mungkin kita cocok dengan elemen lain” karena itu aku tetap optimis dan mencobanya satu per satu
....
Setelah berusaha cukup lama. Hasilnya nihil, tidak ada satu pun elemen yang dapat kugunakan
“Apa aku yang salah ya. Membayangkannya… Sepertinya aku tidak dapat menguasainya. Yah, mau bagaimana lagi jika memang tidak bisa”
…
…
“Mana bisa seperti ini! Jadi, walaupun dunia ini telah berubah. Nasibku masih tetap sebagai yang lemah dan tertindas begitu? Aku tidak terima seperti ini!”
Mengungkapkan rasa kesal dan kecewaku yang tidak dapat menggunakan sihir. Aku membaringkan badan lalu memunculkan layar status. Dengan teliti, aku mengamati apa saja yang ada disana, tetapi tidak ada yang berubah sejak terakhir kali aku melihatnya. Tunggu dulu. EXP ku bertambah! Apa ini? Kukira sama seperti di dalam game, diperlukan membunuh monster untuk mendapatkan point EXP. Apa aku salah?
Terakhir kali aku melihat statusku, Tepat sebelum membuka surat kemarin, seingatku saat itu masih berada di angka 0. Jadi pertanyaannya adalah, dari mana aku mendapatkan EXP Ini?
Semakin lama kupikirkan, aku tetap tidak mendapatkan jawabannya. Jadi aku memutuskan untuk tidak memikirkannya terlebih dahulu. Aku melihat ke arah jam yang ada ditembok, di belakang meja guru. Tidak terasa sudah sekitar 2 jam aku disini.
Karena merasa terlalu sepi, aku memutuskan untuk keluar dari kelas. Tetapi baru saja melangkahkan kaki keluar dari kelas, sebuah botol minuman melayang ke arahku. Tanpa dapat menghindarinya, benda itu mengenai kepalaku
“Disini kau rupanya!”
Seperti biasa, aku bertemu kembali dengan anak buah Dicky yang sudah pasti akan melakukan hal buruk kepadaku
“Kau dicari oleh Boss kau tahu gak, hah!”
Apapun keadaanku, entah kenapa ketika aku bertemu dengan Dicky maupun anak buahnya, tubuhku gemetar ketakutan, Membuatku tidak dapat melawan ataupun menolak apa yang mereka katakan. Bahkan menjawab saja sudah terbata-bata.
“Cepat” Bentak Galang sambil memegang kerah bajuku lalu menyeretku menjauhi kelas
Mungkinkah ini karena mereka yang selalu membullyku, membuatku sifatku seperti ini. Aku ingin berubah, setidaknya menjadi sedikit lebih berani, Tetapi aku tidak dapat melakukannya. Aku memang pengecut.
***
“Boss aku membawanya” sambil melemparkanku ke depan
Disana, beberapa orang berkumpul, jumlahnya kurang lebih 15 orang, Rokka juga ada di sini. Melihat mereka berkumpul membuat perasaanku menjadi tidak enak
“Yo, Nossal. Boleh minta bantuan?”
Dicky mengawali pembicaraan. Meski ketakutan, aku mencoba memberanikan diri untuk menatap wajah Dicky. Perlahan tapi pasti, hingga aku dapat menatap wajahnya
“Apa yang kau inginkan?” tanyaku
“Hoo... sepertinya kau sudah mulai berani, ya?”
Tanpa aku sadari nada bicaraku terdengar seperti orang yang angkuh, karena itu, aku kembali menundukkan kepala. Tetapi tampaknya itu sudah terlambat.
“Lancang sekali, cecunguk sepertimu, bicara sombong di depan boss!”
Galang yang tadi menyeretku kemari, kembali menarik kerahku, mengangkatku, dan mendekatkan wajahku ke arah wajahnya. Karena hal itu tidak sengaja kedua mata kami bertemu, belum sampai beberapa detik mata kami bertemu, dia langsung memukul perutku.
“Hentikan! Galang. Lepaskan dia”
Seorang perempuan berteriak pada Galang untuk menghentikan apa yang dia lakukan. Ketika aku mengintip wajah yang berteriak padaku dari samping kepala Galang. Wajahnya tidak asing. Dia adalah perempuan yang mengeluarkan api kemarin. Kalau tidak salah namanya Fitri. Tak kusangka dia masuk gerombolan Dicky
“Galang, Fitri benar. Ayolah, santai saja, Lagipula kita yang ingin minta tolong kepadanya”
“Baiklah jika boss sendiri yang bilang begitu”
Setelah menyetujui apa yang Dicky katakan. Galang langsung melepaskan genggamannya, membuatku jatuh ke atas tanah. Sambil menahan rasa sakit dari pukulan Galang. Aku mendengar apa yang dicky katakan
“Jadi gini Sal. Kami butuh bantuan nih?”
Saat Dicky bilang begitu, Semua orang yang ada disini terlihat seperti sedang menahan tawa. Itu membuatku semakin merinding menebak apa yang akan dia katakan.
“Kau tahu, kami akan mulai menaikan level kami dengan membunuh para serigala di luar. Bisakah kau jadi umpan untuk menarik serigala itu.
“Umpan?”
“Hahahahaa”
Mereka yang mendengar ucapan Dicky semakin sulit untuk menahan tawa, karena mereka tidak dapat menahannya lagi. Mereka tertawa. Menertawakanku
Dengan senyum licik nan jahatnya. Dicky melanjutkan ucapannya,
“Sebenarnya, aku ingin kau menjadi pembawa barang, tapi mempertimbangan sikap sombongmu tadi mau bagaimana lagi”
Suara tertawa mereka semakin menjadi-jadi, dan tidak ada tanda-tanda akan berhenti
“Umpan. Jadi aku harus menarik perhatian para serigala itu? Kurasa itu bukanlah hal yang sulit” ucapku dalam hati tanpa tahu bahaya yang akan menunggu
“Galang, Lesmana. Cepat seret dia”
Mendengar perkataan bossnya tersebut, Mereka berdua langsung menyeretku lalu pergi menuju gerbang sekolah. Saat aku dibawa pergi aku sempat melihat Rokka mencoba berbicara dengan Dicky.
Sepertinya dia mencoba membelaku, Memang tidak terdengar suaranya, tetapi dia terlihat protes sambil menunjuk ke arahku. Hingga akhirnya kami berbelok dan sudah tidak dapat melihat mereka lagi.
“Dia adalah Nossal… Nossal Kalamithi.”“Nossal? Hmm… Maksudmu dia? Mengapa kamu berpikir demikian?”“Dia—”Sebelum Luna lanjut bercerita mengenai Nossal, Venda menghentikannya. “Luna, sebaiknya kamu jangan menceritakan hal tersebut kepadaku. Nossal berusaha menyembunyikan masa lalunya dan tidak ingin diketahui oleh siapa pun. Seandainya aku mengetahui masa lalunya, aku harap dia sendiri yang menceritakannya.Mendengar nasihat temannya, Luna tidak jadi menceritakan masa lalu Nossal. Tetapi tampaknya Venda tidak menyangkal bahwa masa lalu Nossal lebih buruk dari apa yang ia alami.“Mari kita kembali; anak laki-laki pasti sudah bosan menunggu.”“Kamu benar; sebaiknya kita bergegas.”Mereka berdua segera beranjak dari tempat itu dan kembali. Venda, yang berjalan di belakang Luna, menatap bagian belakang Luna.“Padahal kamu selalu menyuruhku
Di malam hari yang gelap, hanya ada cahaya bulan redup yang menyinari jalan setapak, sementara suara angin yang lembut menyelusup reruntuhan kota menciptakan suasana yang tenang dan damai. Venda, Ryan, dan Rudy menunggu Nossal yang berjuang untuk meyakinkan Luna untuk kembali.“Kira-kira Nossal berhasil tidak ya membawa Luna kembali?”“Aku percaya padanya”“Sepertinya kamu benar. Kita harus percaya padanya, bukankah begitu, Ven?”Menggosok matanya yang masih terlihat lembap, Venda setuju dengan kedua temannya.“Ya, mereka pasti kembali. Di sinilah kita, menunggu dan akan menyambut mereka.”Tidak berselang lama, dari kejauhan tampak sosok Nossal dan Luna yang berjalan pelan mendekati mereka bertiga. Mereka berdua berjalan seolah mereka sedang dalam perjalanan sepulang sekolah. Melihat Nossal berhasil membawa kembali Luna bersamanya, Ryan melompat dan mengayunkan tangannya ke atas, kemudian berse
Di dalam Akademi Tunas Harapan, di area tempat penahanan anak kelas 6 SD Tunas Harapan.Di antara anak-anak kecil yang sedang meringkuk dalam ketakutan dan rasa lapar, seorang perempuan mencoba keluar dari jendela ruangan yang mengurungnya. Melihat dari balik jendela, anak itu memastikan keadaan di luar. Setelah memastikan kalau keadaannya telah aman, dia melompat keluar lewat jendela.“Seperti biasa, tidak ada seorang pun penjaga yang mengawasi setelah matahari tenggelam,” pikirnya. Akan sangat gawat jika dia sampai ketahuan anggota patroli.Dengan hati-hati, dia berjalan perlahan ke bangunan di sampingnya.“Seharusnya dia sudah kembali ke ruangannya.”Tangisan lirih terdengar dari balik pintu ruangan yang dituju perempuan itu. Perempuan itu mengintip dari luar jendela, memastikan tidak ada orang di dalam, kemudian berusaha membuka pintu ruangan tersebut tanpa menimbulkan suara. Namun ketika hendak masuk ke dalam, seseorang
Nossal yang masih sedikit terhuyung-huyung akibat diapit dua dinding yang dibuat Luna, berlutut di hadapan Luna.“Apa-apaan itu. Kau ingin aku membantu? Sepertinya kau sendiri paham jika sebenarnya tindakan yang kau lakukan ini berbahaya,” Ejek Nossal.Luna sedikit menundukkan kepalanya. Mata mereka berdua bertemu, akan tetapi tatapan matanya berubah. Tekad yang kuat masih terasa dari sorot matanya yang tajam. Dia menutup matanya sejenak, kemudian menjawab,“Itu benar. Aku masih memiliki keraguan dalam menggunakan kekuatan ini. Dalam pikiranku, aku merasa kalau kekuatan ini tidak layak aku terima.”Membuka mata, Luna kembali melanjutkan perkataannya,“Dengan adanya kekuatan, harus disertai tanggung jawab yang besar. Semakin besar kekuatan itu, semakin besar pula tanggung jawab yang harus dipikul, dan aku baru saja menyadarinya.”“Ya. Aku juga sering mendengar perkataan seperti itu. Memangnya kenapa? Pada akhirnya, keputusan untuk memenuhi tanggung jawab itu kembali pada diri sendiri.”
Berdiri di depan jalan masuk ke dalam gedung, aku hampir tidak dapat melihat apa pun. Berjalan masuk perlahan sambil meraba-raba sekitar membuatku sedikit demi sedikit mulai paham bagian dalam mall ini. Pada lantai 1 bagian lobby, berbagai jenis pakaian dipajang pada beberapa rak pakaian, meskipun semua telah hancur dan berserakan dimana-mana. Dengan jumlah yang tidak terlalu banyak dan telah rusak, pakaian-pakaian itu telah berserakan di lantai yang kotor dan lembap dikarenakan kebocoran di beberapa sisi bangunan. Selain itu, lantai 1 juga terdapat supermarket dan beberapa konter reparasi handphone dan jam. Setelah menyusuri area lantai 1, aku berdiri di tengah bangunan, di depan tangga yang menghubungkan lantai 1 dan 2. Sebenarnya dari tengah bangunan mall ini aku sudah dapat melihat area lantai 3 yang sepertinya merupakan area food court.Aku beberapa kali menoleh ke pintu masuk dan area sekitar untuk memastikan apakah ada monster di dalam ataupun di luar bangunan, tidak l
“Itu Luna.” Ujar Venda menghela nafas lega. Dia yang tidak mendengar percakapan dari awal membuatnya tidak tahu lokasi Luna. Meski dia penasaran, Venda segera memberikan beberapa karak dan air putih gelasan pada masing-masing orang. Tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya, Venda bertanya, “Di mana Luna berada?”Menerima makanan dari Venda, perempuan yang sedari tadi berbisik, memberanikan diri untuk berbicara dengan ragu-ragu,“A-aku melihatnya di gedung yang ada di sana. Di lantai 3 di sana, kalian dapat melihat orang sedang berdiri sambil menatap tempat kita berada.”Mengalihkan pandangan setelah mendengar jawaban perempuan itu, Adit bertanya kepada laki-laki yang ada di depannya,“Apakah itu kekuatannya? Melihat jarak jauh? Tapi dalam kondisi gelap gulita seperti ini memangnya kelihatan?” tanyanya penasaranLaki-laki itu menggigit karak yang dibagikan Venda. Hanya dalam 3 kali gigitan, karak itu lenyap, masuk ke dalam mulutnya. Setelah meminum air, dia menjawab,“Kalau tidak s
“Dengan ini selesai...” “Terima kasih,” ucap laki-laki itu. Perawat itu menjawabnya dengan tersenyum lalu menyimpan kembali alat-alat dan obat merah yang telah digunakan ke dalam tas kecil di pinggangnya. “Linda! Apa kamu masih punya sisa perban? Milikku sudah habis ini.” “Ada. Tapi punyaku juga tinggal sedikit. Nih, kamu pake saja.” Perawat bernama Linda itu melemparkan gulungan perban yang sudah terlihat tipis pada rekannya. Menangkapnya, perawat itu mengerutkan alisnya. “Tinggal ini?” “Iya, tinggal segitu doang.” “Yah... Segini mah kurang,” ucapnya sambil menatap gulungan perban yang barusan dia terima. Serbuan kera biru sebelumnya menyebabkan Nossal, Ryan, dan orang-orang yang mereka coba selamatkan mendapatkan luka yang cukup serius. Selain cairan anti septic untuk membersihkan luka, perban yang telah sediakan dengan cepat habis. “Simpan saja sisa perban itu untuk yang lain. Aku tidak memerlukannya.”
Selepas kami kembali, semua masalah tampaknya telah selesai. Wajah Tia masih terlihat marah, alisnya menjadi tegang dan sedikit menurun, nada bicaranya ketika berkoordinasi dengan anggota kelompoknya yang lain juga terdengar meninggi. Di sisi lain, si anak pembuat onar dari kelas 7 hanya berdiri dengan beberapa teman laki-laki kelas 7-nya. Karena suasana tegang akibat kejadian sebelumnya, hal itu membuat semua orang tidak banyak bicara. Mereka hanya fokus dengan masing-masing anggota kelompoknya saja. Dalam kelompok kami, aku menyerahkan urusan koordinasi pada Ryan. lagipula, sepertinya aku jadi dibenci oleh semua anggota kelompokku. Tatapan mereka terasa seperti terpaan angin dingin di musim panas. Terlebih lagi di antara mereka, si pembuat onar yang menerima pukulanku tadi melirikku seolah menyiratkan niat jahat yang tak terungkapkan. Bagaimanapun, aku tidak berniat untuk menanggapinya. *** Kembali, Nossal dan yang lainnya melanjutkan perjalanan dengan formasi yang sama seperti s
Clara meninggalkan Nossal. Dia berlari sesenggukan kembali ke tempat teman-teman yang lain berkumpul. Setiap tetesan air mata yang mengalir dari matanya dia seka dengan punggung tangannya. Berlari, pikirannya tidak dapat melupakan yang barusan Nossal ucapkan. Dadanya sesak setiap kali dia mengingatnya, membuat air mata tidak dapat berhenti menetes. Tanpa Clara sadari, seekor monster mengintainya dari balik bayangan. Seekor kalong yang sedang bergelantungan di bawah atap sebuah bangunan yang tidak jauh darinya. Hendak menjadikannya santapan malam, Kalong itu terbang dengan cepat sambil mengarahkan cakarnya pada Clara yang sedang lengah. Mata Clara terbuka lebar melihat sosok monster itu terbang mendekatinya. Perasaan takut yang luar biasa seperti mencekik dirinya. “Aku harus segera menyingkir” ucapnya dalam hati. Dia mencoba menggerakkan kakinya untuk pergi dari tempat itu tetapi tidak bisa. Rasanya seperti kedua kakinya terpaku di atas tempatnya berpijak. Tidak kuat lagi menahan beba