âDi sini cukup indah dan sangat tenang,â Feng tersenyum pada Huang.Lagi pula, wajah sang kekasih yang ditimpa cahaya mentari pagi itu memang terlihat sangat cantik mempesona.Huang menatap wajah pemuda di sampingnya dan mendesah panjang. âKakak Feng,â ujarnya, âkita tidak sedang berpelesir. Janganlah terlalu santai.âSang pemuda menghela napas dalam-dalam. Dia hanya bermaksud untuk menghibur sang kekasih yang ia tahu suasana hatinya sedang tak keruan sebab mereka yang terdampar di pulau asing ini, sementara mereka tidak tahu di mana kini Hoaren berada.Dua anak buah He Hwan melangkah di depan mereka, terpaut kira-kira tujuh langkah.Mereka sudah menemukan dua rumah penduduk yang terbuat dari anyaman bambu dan berbentuk panggung sebelumnya. Sayangnya, mereka tidak bertemu dengan siapa pun di kedua rumah sederhana tersebut.âHei, lihat!â ABK yang di kanan menunjuk pada seorang nelayan yang sedang menarik sampannya ke pantai.ABK yang di kiri mengangguk. Dan keduanya bergegas menghampir
âKau tidak akan bisa kemana-mana kalau hanya dari sini, Anak Muda,â ucap seorang pemilik kapal kecil yang memiliki satu layar.Di mata Hoaren, kapal itu terlihat seperti sebuah sampan panjang dengan sayap atau cadik di kiri dan kanannya.Hanya ada dua titik pemukiman yang ditemui Hoaren di pulau yang satu ini. Pertama di sebelah timur, dan sekarang yang di sini, sebelah selatan. Dan kedua-duanya bukanlah sebuah pemukiman yang besar. Masing-masing hanya ada sepuluh sampai lima belas rumah saja.âKau lihat pulau yang di sebelah selatan itu?âHoaren mengikuti arah pandang pria paruh baya. Yah, dia bisa melihat pulau yang dimaksud, meski terlihat sedikit membayang sebab ada pulau lainnya di sebelah tenggara.âAnambas,â kata si pria paruh baya, lagi. âPulau paling besar di gugusan kepulauan ini. Di sana, kau akan bisa mencari tahu banyak hal sebab lebih ramai.âPria yang cukup asing di negeri itu menghela napas lebih dalam dengan tangan berada di pinggang.âBagaimana dengan kau sendiri, Pa
Sang mentari telah mencapai titik sepertiga awalnya di ufuk timur ketika He Hwan yang sedamg berada di anjungan kemudi kapalnya melihat bayangan daratan luas yang memanjang dari utara ke selatan.Dia tersenyum dan memanggil seorang awaknya.âHei, kau jaga kemudi,â ujarnya, âaku akan menemui orang-orang itu!ââBaik, Kapten!â sahut sang ABK seraya mengambi alih kemudi.He Hwan turun ke geladak di mana pada saat itu, Guru Ma dan Daiyun sedang bercakap-cakap dengan Feng dan Huang di dekat tiang layar kedua.Beberapa kapal berbagai ukuran juga sudah terlihat di sana-sini, termasuk kapal dan sampan para nelayan.âTuan He,â sapa Feng. âAda apa?ââLihatlah di ujung sana, Tuan Muda Feng,â sahut He Hwan, dan memandang pada yang lainnya. âDi sanalah nanti dermaga terakhir kapal ini.ââJadi?âSang pemilik kapal tersenyum dan mengangguk. âBandar Penawar, kita sudah tiba di Semenanjung Malaya.ââAmitabha,â Guru Ma merasa senang, perjalanannya bisa dikatakan akan segera terpenuhi.Feng dan Huang sal
Zhou Hoaren menaiki sebuah kapal kecil bersayap dengan satu layar. Setidaknya, ada lima penumpang lainnya di kapal kecil tersebut. Dia duduk paling depan, di haluan sebab tidak ingin mendengar apa pun yang akan dikatakan oleh orang-orang terhadap dirinya.Duduk lama seperti itu dan terus menerus terkena terpaan angin bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi Hoaren, akan tetapi, dia tidak punya pilihan.Meskipun dia belum tahu apa yang akan dia kejar dan temui, tapi keinginannya sudah cukup kuat untuk segera tiba di daratan besar.Dan tujuan kapal kecil yang membawanya dari Pulau Tioman itu adalah Bandar Penawar seperti yang pernah dikatakan oleh Hasan padanya.Sebelum sang mentari tenggelam di ufuk barat, kapal kecil itu akhirnya berlabuh di salah satu dermaga yang ada di Bandar Penawar.Hoaren menyeringai pada si pemilik kapal yang melambaikan tangan padanya, lalu melanjutkan langkahnya di antara keramaian di pelabuhan itu sendiri.Pada saat yang sama, Feng, Huang, Guru Ma, dan Daiyun
Fajar baru saja menyingsing ketika enam kapal yang berukuran hampir sama dengan masing-masing memilii satu layar bergerak mendekati sebuah dermaga di tepi pantai, yang berada di wilayah Lagoi.Satu per satu kapal-kapal itu merapat ke dermaga, di antara kapal-kapal nelayan lainnya. Lalu semua penumpang pun turun.Zhou Hoaren sudah melihat rombongan Guru Ma, namun dia tetap menjaga jarak agar tidak diketahui oleh mereka yang ia kuntit.âOh, jadi Guru hendak menuju ke Swarnadwipa,â ujar seorang wanita pada Guru Ma.âAmitabha,â Guru Ma mengangguk.âMaaf, Bibi,â ujar Feng. âApakah Swarnadwipa masih jauh dari sini?âSang wanita tersenyum. âTidak,â jawabnya. âJika dari sini, pulau besar itu memang tidak terlihat sebab begitu banyaknya pulau-pulau kecil yang menghalangi. Akan tetapi, dengan sekali pelayaran saja, kalian sudah bisa sampai di sana.âHuang mengedarkan pandangannya ke sana kemari, lalu berkata pada sang wanita. âApakah di sini memang sepi?ââBegitulah, Nona manis,â jawab sang wan
Di luar dugaan, Hoaren cukup terkejut mendapati bahwa ternyata, Daiyun mampu menahan kekuatan serangannya.Daiyun mengernyit. âCakar Naga Sholin? KauââDesg!Hoaren melancarkan satu serangan berupa tendangan cepat hingga mengenai dada Daiyun. Sementara Daiyun bergeser pijakannya ke belakang, Hoaren pula memanfaatkan daya pantul serangannya dengan berjumpalitan dua kali di udara ke arah belakangnya.Teph!Guru Ma menggunakan satu tangan menahan punggung Daiyun atau si Biksu Muda itu akan terjengkang menubruknya.Dentuman akibat beradunya tenaga dalam Hoaren dan Daiyun dalam jurus yang sama telah menarik perhatian banyak orang di sekitar. Termasuk, Kasim, si pemilik kapal yang sedianya akan ditumpangi oleh Feng, Huang, Guru Ma, dan Daiyun untuk meneruskan perjalanan mereka ke Swarnadwipa alias Andalas.âApa yang terjadi di sana?â ucap Kasim pada seorang awaknya.âEntahlah, Pakcik,â jawab sang pemuda. âSepertinya seorang itu hendak merampas barang bawaan Guru Besar.ââKau bodoh!â balas K
âBerengsek!â Zhou Hoaren mempercepat larinya sehingga dia terlihat tidak lagi mencecah tanah melainkan berlari di atas rumpun belukar. âSiapa bisa menduga, hah? Biksu sialan itu ternyata punya tenaga dalam yang dahsyat!âDia terus melesat ke arah selatan, sesekali, dia memanfaatkan batang pohon di hutan untuk melontarkan tubuhnya lebih jauh lagi ke depan.Lalu dia berjumpalitan beberapa kali hingga sepasang kakinya mendarat ringan di atas sebuah bukit batu rendah.Dia menyeringai menatap ke arah utara. âApakah mereka masih mengejarku?âSwiing!Sosok bayangan merah diiringi suara berdesing menerabas semak belukar dengan sangat cepat.âHoaren!â teriaknya dengan pengerahan tenaga dalam. âJangan lari kau, keparat!âBurung-burung liar yang bertengger di beberapa pohon berterbangan ke udara sebab terkejut mendengar suara yang cukup lantang dan bergema di dalam hutan.âCih!â Hoaren meludah. âKau keras kepala, Nona Huang,â gumamnya. âKejar saja aku, jika kau mampu!âHoaren tidak berpikir bahw
Feng Da Jian tersenyum memandang Huang Fang Yin. Kekasihnya itu duduk dengan wajah yang datar dan dijejali oleh rasa kesal yang besar, di atas sebuah patahan batang pohon, di depan sebuah api unggun, di tengah belantara.Tapi setidaknya, Feng berpikir bahwa mereka tidak akan kelaparan malam ini sebab dia datang dengan membawa seekor anak menjangan di bahunya.Anak menjangan itu sendiri sudah ia potong-potong dan dibersihkan di sumber air yang dia temukan di hutan itu sebelumnya.Sekejap saja, potongan-potongan daging dengan tusukan ranting telah ditancapkan di sekeliling api unggun. Dia juga menaruh dua kantong kulit yang tampak menggelembung karena telah penuh terisi dengan air minum.Dia melirik sang gadis dan tersenyum lagi sebab masih mendapati wajah indah itu sedikit terlihat buram dengan kekesalan di dirinya.âSudahlah, Adik,â ujarnya seraya mengawasi tusukan-tusukan daging yang dipanggang. âJangan terlalu engkau pikirkan. Itu tidak baik.ââAku hanya kesal, Kakak,â jawab Huang,
âYah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,â ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.âLihat!â dia menunjuk ke arah tenggara. âUjung perbukitan ini sepertinya melandai.âPuti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.âBaiklah,â Kirawah mengangguk. âSaya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.ââMungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,â sambung Kanteh pula. âSetidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.âDangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.âAku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,â sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. âSa-Saya juga tidak,â balasnya. âTa-Tapi âĶ mungkin disebabkan
âMe-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.ââAah!â sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.âKau keberatan?â Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. âNona Champo?ââDasar manja!â kikik sang gadis. âKemana-mana harus dikawal.ââAyolah, Nona,â balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. âBeri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.âPuti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.âPaduko,â ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. âLain kali, jangan pergi begitu saja.ââYa!â Kanteh mengangguk-angguk. âSetidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.âDangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, âKau dengar itu?ââHe-emm, terserah!â jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.âHei, hei!â Dangmudo Basa langsung menyusul. âJ
âTidak ada lagi yang tersisa di sini!â Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. âKita turun sekarang!âSalah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan
Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.âApa yang harus aku lakukan, Guru?ââAmitabha,â sahut Guru Ma. âOrang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.âSang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.âKau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!âWuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.âKauââTeph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.âSudah kuduga!ââKau berlebihan, Tuan Muda Zhou,â ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. âSangat berlebihan, shan cai, shan cai.âSwoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke
âSaya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,â ujar Galang. âAkan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.âFeng dan Huang saling pandang.âTidak mungkin tidak,â Huang terlihat begitu geram. âKak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!âSang suami menghela napas dalam-dalam.âAku juga berpikiran yang sama,â tanggapnya. âKomandan Galang âĶ tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.ââZhou Hoaren itu orang yang sangat licik,â sambung Huang pula pada sang komandan. âDia sangat berbahaya!âGalang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan
Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, âMaaf, Datu, saya tidak bermaksudâââKalaupun benar,â sahut sang datu, âdi mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.âSang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.âYang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,â lanjut sang datu, âpada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.ââMungkinkah Dangmudo Basa?â tebak Galang. âPutra Mahkota Minanga?âSang datu mendesah halus. âSulit untuk dipastikan,â ujarnya. âLagi pula,
âTidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.âDaiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.âGuru Ma?â Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.âAmitabha âĶâ ujar Guru Ma. âJika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.âFeng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.âAdik,â ujar Feng pada Huang, âkurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.ââAku tahu,â Huang mengangguk. âLagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.ââShan cai, shan cai âĶâ seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe
Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.âTunggu saja hari kalian!âHanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.âMaafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.âPerhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.âTapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!âSang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.âAdik!â Feng lekas merangkul bahu sang istri.âKami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,â lanjut Huang dengan mata memerah. âTanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!âGalang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.âAdik tenanglah!â pinta Feng dengan lembut.
âJika Yang Mulia mengizinkan,â kata Datu Arrumanda, âmaka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.âDapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.âYang Mulia?âSementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n