Share

Lidah Bercabang

Author: Minang KW
last update Last Updated: 2023-09-22 16:34:44

“Hei!” Seorang pemuda berdiri dan menatap pada semua orang, pun begitu sebaliknya. “Sepertinya aku mendengar tentang hal ini kemarin dari seorang yang datang dari Daratan Tengah.”

“Nah, itu dia!” Hoaren tersenyum lebar, umpannya telah dimakan oleh seseorang. Ini akan lebih mudah lagi, pikirnya.

Jika seseorang di antara mereka yang berbicara, maka besar kemungkinan orang-orang itu akan percaya. Hal inilah yang hendak dimanfaatkan oleh Hoaren.

“Lalu, apa hubungannya dengan kami?” tanya si pria dengan golok besar di bahunya, lagi. “Apa yang ingin kau sampaikan, hah?”

“Hadiah!” Hoaren berkata dengan sangat percaya diri.

“Hadiah?” Orang-orang kembali saling pandang.

“Ya, hadiah yang besar!” balas Hoaren. “Sangat besar!”

“Itu benar!” timpal si pemuda yang tadi. “Aku tidak tahu pastinya, tapi, menurut orang-orang Tengah itu, wang emas yang sangat banyak.”

Dan tampaknya hal ini telah mengusik pikiran semua orang. Terlebih lagi, rata-rata mereka adalah masyarakat menengah ke bawah. Tentu saja, semua orang akan melakukan apa pun demi mendapatkan uang yang banyak, apalagi, jika uang itu diberikan oleh sang kaisar sendiri.

“Kau tidak salah, kawan!” Hoaren semakin menanamkan hasrat ke dalam kepala setiap orang di sana lewat si pemuda. “Aku kehilangan selebaran itu dalam perjalanan ke sini. Sayang sekali, rusak terkena hujan. Akan tetapi, aku tahu pasti seperti apa rupa mereka, para buronan itu.”

Sang pemuda mengernyit. Masalahnya, dia mendengar buronan itu hanyalah satu orang sementara A Niu mengatakan tentang mereka, yang artinya lebih dari satu orang.

Akan tetapi, karena orang-orang di sana sudah mulai terlihat tertarik, maka sang pemuda lebih mempercayai ucapan A Niu. Lagi pula, hadiah uang emas yang banyak sepertinya membutakan mata setiap orang di sana.

“Sulit untuk mempercayai ucapanmu, Bung!” kata pria dengan golok lebarnya.

Hoaren tidak heran akan hal ini. Pria yang satu itu mungkin adalah seorang pendekar, pikirnya. Juga, dengan empat teman yang bersamanya.

“Katakan pada kami,” kata si perempuan tua itu, lagi. “Kenapa kami harus mempercayaimu? Astaga, namamu saja berarti sapi, dasar bodoh!”

Lagi, orang-orang tertawa atas ucapan si perempuan tua dan Hoaren sama sekali tidak tersinggung sebab inilah yang dia inginkan terhadap orang-orang di sekitarnya sekarang.

“Bagaimana bila kukatakan bahwa aku adalah kerabat dari Kasim Utara?” Hoaren tersenyum lebar dengan membuka tangan lebar-lebar, memandangi setiap wajah yang tertuju kepadanya. “Hmm?”

Semua orang terdiam dan mulai ragu-ragu atas pemikiran mereka terhadap Hoaren yang mengaku A Niu yang berdiri penuh percaya diri di hadapan mereka.

“Kau punya buktinya?” Seorang wanita muda, teman dari pria bergolok besar berdiri. “Kau tahu, setiap orang bisa saja mengaku kerabat ini dan itu!”

“Ya, itu benar!” seru beberapa orang.

“Hei, lihat aku,” seorang pria naik ke atas sebuah bangku di antara keramaian. “Aku adalah sepupu sang Kaisar!”

“Dasar konyol!” teriak lainnya.

Dan orang-orang kembali tertawa-tawa menanggapi sindiran yang dialamatkan kepada Hoaren.

Hoaren lantas mengeluarkan sebuah segel giok yang hanya dimiliki oleh orang-orang dari kalangan tertentu saja dari balik bajunya.

Dia memperlihatkan segel itu pada semua orang. “Kalian bisa membaca aksara yang tertera di segel giok ini, bukan?”

Tentu saja, semua mata kini tertuju pada ukiran yang terpahat di permukaan giok di tangan Hoaren.

“Hei, dia benar!” ujar seseorang yang terdekat dengan Hoaren. “Aku pernah melihat segel yang sama. Itu adalah segel kasim tingkat tinggi!”

Suara-suara bergumam menandakan bahwa orang-orang di sana mulai mempercayai Hoaren. Dan Hoaren tersenyum puas karena itu.

“Katakan!” Pria dengan golok besar cukup tertarik untuk mendapatkan infromasi lebih. Tapi tentu saja, lebih kepada hadiah yang dibicarakan Hoaren tadi. “Berapa banyak uang yang diberikan oleh kaisar untuk setiap kepala buronan itu?”

Keraguan mulai terlihat dalam diri setiap orang di sana, antara hendak melanjutkan pelayaran mereka atau mendapatkan hadiah uang emas yang dijanjikan sang kaisar.

“Seribu tael emas untuk tiga kepala buronan itu!”

Orang-orang tertegun mendengar ucapan Hoaren. Tentu saja, pada masa itu, satu tael emas bernilai 20 tael perak, sedangkan satu tael perak bernilai seribu wen―koin tembaga berlubang.

“Itu jumlah uang yang sangat besar!” Wanita muda di dekat pria bergolok besar menyeringai. “Kau sedang tidak mengada-ada, bukan?”

“Apa kejahatan para buronan itu, hah?” tanya si pria dengan golok besar.

“Satu dosa yang sangat mengerikan,” balas Hoaren. “Mereka telah menyusup ke Istana Terlarang, menculik dan memperkosa putri seorang selir kesayangan Kaisar Taizong, lalu membunuhnya dengan sadis.”

Hoaren semakin senang sebab wajah-wajah yang tertuju kepadanya terlihat sangat menyukai cerita yang sepenuhnya adalah benar tersebut. Bedanya, Hoaren menimpakan kesalahan itu pada orang lain.

“Itu juga benar!” kata si pemuda yang tadi, lagi, dan semakin menambah keyakinan orang-orang di sana atas informasi menyimpang yang disampaikan A Niu alias Hoaren sebelumnya. “Seribu tael emas, itu yang dikatakan orang-orang Tengah itu kemarin padaku!”

“Lalu, di mana mereka?”

Hoaren tersenyum lebar menanggapi si pria bergolok lebar. Di antara semua orang di sana, kelompok yang satu itu saja sepertinya yang akan dapat memberikan kesulitan bagi Feng dan Huang, pikirnya.

“Aku tidak tahu apakah ini satu kebetulan, atau sesungguhnya,” Hoaren menyeringai kecil, “langit sedang berpihak pada kalian.”

“Kalian?” si wanita muda di samping pria bergolok besar mengernyit. “Jadi, kau tidak tertarik pada hadiah uang emas itu?”

Hoaren terkekeh. “Aku bukanlah seorang pendekar,” ujarnya dengan sengaja menyembunyikan kemampuannya di hadapan semua orang. “Lagi pula, aku sedang dalam perjalanan penting ke Hengmei atas perintah Kasim Utara.”

“Katakan saja!” Pria bergolok lebar sepertinya sudah tidak sabaran lagi. “Di mana mereka? Dan seperti apa wajah serta ciri-ciri mereka?”

“Ya, itu benar!” teriak beberapa orang.

“Katakan pada kami, di mana para buronan itu?”

“Hei, persiapkan senjata kalian!”

“Kita harus membagi adil hadiah itu nantinya!”

Dan atas ucapan-ucapan yang mengumandang itu, Hoaren semakin tertawa senang di dalam hatinya.

Oh, ini akan sangat menyenangkan! Pikirnya.

“Di mana mereka?” Lagi, pria bergolok lebar dan empat rekannya memperlihatkan ketidaksabaran yang besar. “Beri tahu kami, sekarang!”

Dengan kata lain, mereka juga sekaligus memperlihatkan isyarat terhadap Hoaren. Jika informasi yang diberikan adalah palsu, mereka pasti akan menghabisi keponakan Kasim Utara tersebut tanpa ragu.

“Di sana!”

Semua kepala bergerak ke arah timur, semua pandangan tertuju pada sosok tiga orang di arah kejauhan.

“Itu hanya sepasang muda-mudi dan seorang pendeta!” balas si wanita muda kemudian.

“Sepertinya kau mengada-ada, A Niu!” Seorang pria dengan rantai panjang melilit bahu dan badannya berdiri, di samping si wanita muda bersenjatakan trisula kembar.

“Coba kalian pikir sendiri,” kata Hoaren dengan kepercayaan diri yang tak terbantahkan. “Apakah kalian memerhatikan pakaian mereka? Muda-mudi itu?”

Semua orang di dermaga kecil kembali memerhatikan tiga sosok di kejauhan sana.

“Apakah kalian pikir itu adalah pakaian murahan?” lanjut Hoaren menghasut hati dan pikiran puluhan orang di hadapannya. “Pakaian yang biasa digunakan oleh orang-orang di kawasan Yangjiang ini?”

“Hei, sepertinya dia benar?” ujar seseorang.

Pria bergolok lebar saling pandang dengan keempat rekannya.

“Lihat pakaianku!”

Orang-orang beralih memandangi Hoaren.

“Pakaianku ini bahkan kalah mewah dengan pakaian mereka. Itu artinya, mereka adalah orang-orang dari Kota Kekaisaran. Dan untuk apa mereka berada di kawasan yang terpencil ini?”

“Mungkin saja mereka pejabat pemerintah yang hendak menyampaikan berita tentang sesuatu, kan?”

Hoaren tersenyum lebar menanggapi ucapan si perempuan tua yang sama. Dia mulai merasa jengkel pada nenek tersebut, namun masih menyembunyikan kejengkelannya itu.

“Apakah kalian pernah mendengar atau melihat,” kata Hoaren dengan kembali melebarkan tangannya, “seorang pejabat penyampai berita tidak ditemani oleh prajurit? Pernah?”

Dan ucapan Hoaren itu semakin memperkuat kabar menyesatkan yang dia sampaikan sebelumnya. Sebab, masyarakat selalu menyaksikan jika seorang pejabat rendah sekalipun akan selalu ditemani oleh dua atau lebih prajurit bila sedang turun ke tengah-tengah masyarakat.

“Dia benar!” Lagi, seseorang menanggapi ucapan Hoaren. “Seseorang tidak mungkin bisa keluar-masuk Istana Terlarang bila bukan seseorang yang penting di sana.”

“Kau benar!” sahut yang lain pula. “Orang miskin dan orang biasa seperti kita tidak akan mungkin bisa memasuki Istana Terlarang!”

“Jawabannya hanya satu,” lanjut Hoaren. “Mereka bukanlah pejabat melainkan sedang mencoba untuk lari dari kejaran Prajurit Kekaisaran!”

“Yaah, itu terdengar cukup masuk akal!” bisik si wanita dengan trisula kembarnya pada keempat rekannya. “Kecuali mereka punya tugas tertentu seperti si A Niu itu.”

“Dan memiliki segel khusus!” ujar wanita kedua dalam kelompok mereka.

“Segel khusus!” Pria bergolok lebar menyeringai. “Ini sasaran yang mudah!”

“Jangan gegabah!” Satu-satunya pria yang kurus di kelompok itu berdiri. “Mereka bisa menghindari mata Prajurit Kekaisaran, itu artinya mereka cukup pintar, bukan?”

“Kau benar!” sahut pria dengan rantai melilit tubuhnya.

“Hei, A Niu!” ucap perempuan tua yang tadi. “Bagaimana dengan pendeta yang di tengah? Kurasa orang semacam itu tidak akan terlibat hal keduniawian.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Kondisi yang Berbeda

    “Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Bukan Sebuah Perlombaan

    “Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Di Bukit Tiga Puluh

    “Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tapak Suci Bodhisatva

    Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tidak Pandang Bulu

    “Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tekad Hoaren

    Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status