Share

Yin dan Yang

“Guru Ma,” Tuan Muda Feng menunjuk ke arah timur. “Lihat! Di sana ada sebuah dermaga kecil dan dua kapal.”

Guru Ma bersama Feng dan Huang berdiri di atas sebuah bukit pasir, di antara rumput dan ilalang yang tumbuh tidak begitu rapat.

“Ayo, Guru Ma,” Huang mempersilakan sang biksu senior untuk melangkah terlebih dahulu. “Silakan.”

“Shan cai, shan cai … Aku merasa senang ditemani oleh Nona Huang dan Tuan Muda Feng yang terkenal. Akan tetapi, aku takut merepotkan kalian berdua. Jadi, kurasa sebaiknya di dermaga itu nanti adalah perpisahan kita.”

Huang melirik sang kekasih, begitu juga sebaliknya.

“Guru Ma, Anda tidak perlu sungkan,” balas Feng dengan lembut. “Lagi pula, bukan satu kebetulan jika aku dan Nona Huang juga berada di kawasan Yangjiang ini.”

“Shan cai, shan cai …” Guru Ma mengangguk-angguk.

Pasangan muda dan menarik hati itu sudah membantu Guru Ma dalam mengkremasi jenazah dua biksu muda sebelumnya. Juga, dengan mayat-mayat penjahat yang terbunuh dalam pertarungan mereka dengan Nona Huang.

Tentu saja, terkait para mayat para penjahat, baik Huang maupun Feng melakukan itu hanya lantaran merasa segan terhadap Guru Ma saja, dia seorang Biksu Budha yang memandang setiap kehidupan sangatlah berharga.

Bila tidak, keduanya pasti akan membiarkan mayat-mayat penjahat itu membusuk di sana begitu saja. Terutama, Nona Huang yang begitu membenci sisa-sisa pemberontak Dinasti Sui.

Berbeda dengan Huang yang keras dan dingin, Feng justru terlihat lebih lemah lembut dan baik tutur bahasanya. Sebagian orang menilai bahwa mereka bukanlah pasangan yang cocok.

Akan tetapi, di mata seorang berilmu tinggi, termasuk Guru Ma sendiri, justru keberadaan Feng adalah pelengkap dari kekurangan di diri Huang. Begitu pun sebaliknya.

Kekerasan yang dilengkapi oleh kelembutan, dingin dilengkapi oleh panas. Keseimbangan. Yin dan Yang yang saling melengkapi.

“Mari, Guru Ma, hati-hati langkah Anda,” Feng bahkan tak segan membantu langkah Guru Ma. “Tidak perlu tergesa-gesa. Kurasa kapal-kapal itu belum akan berangkat.”

Sungai Moyang adalah sebuah sungai besar di daratan Tiongkok selatan. Bagian hilir Sungai Moyang menyatu dengan Sungai Nalong dan tersambung langsung dengan Laut China Selatan.

Dua sungai besar ini selalu menjadi jalan terbaik bagi orang-orang untuk bepergian dengan menggunakan perahu ataupun kapal-kapal besar semenjak beratus-ratus tahun sebelumnya.

“Guru Ma.”

“Nona Huang?”

“Apakah Guru tahu dengan seseorang bernama Hoaren?” Huang juga melirik pada pasangannya yang mendampingi Guru Ma di sisi berbeda.

Feng mengangguk pada kekasihnya itu. Setidaknya, emosi sang gadis sudah jauh mereda dibanding sebelumnya.

“Hoaren?” ulang Guru Ma.

“Benar.” Huang mengangguk.

“Shan cai, shan cai …” Guru Ma menghela napas dalam-dalam. “Apakah dia seorang pria yang masih berkerabat dengan salah seorang Kasim Utara?”

“Benar sekali, Guru Ma.”

“Dibilang sangat kenal, tentu tidak,” lanjut sang biksu senior. “Dibilang tidak, aku sedikit mengenal tentang pria itu. Lalu, apakah yang hendak engkau tanyakan, Nona Huang?”

Lagi, sang gadis jelita melirik pada kekasihnya. Seolah-olah, sang gadis meminta bantuan dalam bertanya pada si Guru besar pada tunangannya tersebut.

“Guru Ma,” Feng cukup memahami gestur kekasihnya. “Maaf, apakah Anda pernah berjumpa dengan Hoaren saat akan menuju ke sini?”

“Budha Maha Tahu,” Guru Ma sedikit membungkuk. “Tidak, aku sama sekali tidak bertemu dengan Hoaren semenjak meninggalkan Istana Terlarang.”

Tuan Muda Feng mengangguk kepada Nona Huang. Menekankan bahwa seorang seperti Guru Ma tidak mungkin berdusta.

Sang gadis mendesah panjang.

“Shan cai, shan cai,” Guru Ma menyadari bahwa ada hal yang sangat penting di antara Huang dengan pria bernama Hoaren itu.

Dan sepertinya, bukanlah satu hal yang baik, pikirnya.

Akan tetapi, dia tidak ingin lancang mencampuri urusan orang lain. Lagi pula, Guru Ma selalu menghindari masalah keduniawian.

“Guru Ma, maaf,” kata Nona Huang kemudian. “Jika Anda bertemu dengan Hoaren di kemudian hari―”

 “Erm, sebaiknya menghindar saja,” ujar Feng memotong ucapan sang kekasih pada Guru Ma. “Adik,” lanjutnya pada sang kekasih. “Guru Ma bukanlah seorang yang suka dengan hal-hal keduniawian.”

“Aku tahu itu,” Huang menjadi sedikit cemberut. “Aku hanya takut bila satu saat bajingan itu bertemu dengan Guru Ma. Itu saja!”

“Shan cai, shan cai,” Guru Ma sedikit membungkuk. “Pertemuan juga adalah sebuah takdir, Nona Huang. Apa pun kesalahan yang mungkin sudah dia lakukan, mungkin kebenaran masih tersisa di dalam hatinya."

“Guru Ma―”

“Adik Huang!” Feng sedikit merentangkan tangannya, menggelengkan kepalanya ketika dia menyadari perubahan intonasi dalam suara sang kekasih. “Tidak perlu. Aku yakin, Guru Ma lebih menyadari hal ini daripada kita.”

“Terserah!” Huang membuang pandangan ke arah lain.

“Guru Ma,” Feng mengangguk pada sang Biksu Budha dengan satu tangan terjulu ke depan. “Silakan.”

“Shan cai, shan cai …” Guru Ma tersenyum tipis.

***

Hoaren, pria tampan, tinggi dan dengan postur gagah namun memiliki sorot mata sinis dan dipenuhi kelicikan itu sedang bersembunyi di antara puluhan orang yang ada di dermaga yang akan dituju oleh Guru Ma, Tuan Muda Feng, dan Nona Huang.

Dermaga itu sendiri hanyalah berupa sebuah bangunan panjang dari papan beratapkan jerami, berlantaikan tanah, tanpa dinding-dinding penyekat, dan hanya ada bangku-bangku panjang tanpa sandaran yang tersusun acak.

Dua kapal sedang bersandar di dermaga kayu di sisi sungai, satu berukuran cukup besar, lainnya sedikit lebih kecil.

Meskipun hanya sebuah dermaga kecil, namun suasana di sana cukup terlihat sibuk. Terutama, oleh awak-awak kapal yang bolak-balik menaikkan barang-barang ke atas kapal.

Hoaren mungkin punya kelainan kejiwaan sebab pandangannya selalu tertuju pada wanita, terutama yang masih muda. Setiap kali tatapannya menemukan sasarannya, maka dia menyeringai dengan sehelai rumput terselip di sudut bibirnya yang basah.

“Berengsek!” Hoaren mendengus seraya meregangkan tangan dengan berpegangan pada kasau bambu di atas kepalanya. “Jika bukan lantaran pasangan berengsek itu menggangguku, aku pasti sudah bersenang-senang dengan para gadis di rumah bordir!”

Seorang wanita muda yang baru turun dari perahu melintas di depan Hoaren. Pakaiannya yang sedikit basah itu membuat sang pria menjilati bibirnya sendiri.

“Hei, Nona,” serunya dengan setengah berbisik. “Psst! Berapa harga untuk pantatmu?”

Wanita muda menatap garang pada Hoaren. “Kau sudah gila, ya? Hari masih siang dan kau sudah mabuk, dasar sinting!”

Hoaren hanya terkekeh menanggapi makian sang wanita. Sedangkan tatapannya justru tertuju pada bokong si wanita muda yang berlalu dari hadapannya.

Saat tatapannya tertuju ke arah timur, Hoaren menggeram, menyipitkan pandangannya untuk bisa melihat lebih jelas ke arah kejauhan.

“Oh, celakalah kalian!” gumamnya seraya membanting sehelai rumput yang tadi dia gigit-gigit ke tanah. “Apa saja yang dilakukan cecunguk-cecunguk itu tadi?”

Di ujung pandangannya, Hoaren melihat tiga sosok yang sedang menuruni bukit pasir, dan dia mengenal ketiga orang tersebut. Guru Ma, Tuan Muda Feng, dan Nona Huang.

Tidak bisa tidak, pikirnya. Orang-orang itu pasti sedang mencari dirinya sebab kini dia berstatus buronan kekaisaran. Terutama, Feng dan Huang yang pernah dia kalahkan beberapa hari yang lalu di satu kuil terbengkalai.

Hanya orang-orang di dermaga kecil itu saja yang tidak menyadari bahwa Hoaren adalah seorang penjahat besar.

Tapi itu bisa dimaklumi sebab mereka tinggal sangat jauh dari Kota Kekaisaran di Tiongkok Tengah. Jadi, mungkin saja informasi tentang Hoaren yang adalah seorang buronan belum sampai ke kawasan tersebut.

“Siapa yang sudi mati ditangan para algojo itu?” Hoaren menyeringai.

Otaknya bekerja dengan cepat, memerhatikan puluhan orang di sekitarnya, lalu kembali pada tiga sosok di kejauhan sana.

“Kalian akan mati sebelum dapat menyentuhku!”

Hoaren tersenyum sangat manis dan lantas menghadap pada orang-orang di sana.

“Hei, kalian semua, dengarkan aku!”

Suara bercakap-cakap di dermaga kecil tiba-tiba terhenti, semua tatapan kini tertuju pada Hoaren.

Dengan cukup ringan, Hoaren melompat dan berdiri di atas sebuah bangku, menatap pada orang-orang yang mencoba memberikan perhatian mereka kepadanya.

“Apakah kalian sudah mendengar berita dari Istana Terlarang baru-baru ini?”

Orang-orang saling pandang terhadap satu sama lain.

“Kau siapa?” Seorang pria berdiri, menyandang golok besar di bahunya.

Hoaren terkekeh. “Aku, A Niu. Aku baru saja kembali dari Kota Kekaisaran dan sekarang hendak menuju ke Hengmei di Pulau Hailing.”

“Apa yang kau bicarakan?” ujar seorang perempuan tua. “Dasar bodoh! Belum tengah hari kau sudah mabuk. Mana mungkin orang sepertimu bisa masuk ke Kota Kekaisaran. Jangan kebanyakan minum arak, Anak Muda!”

Orang-orang tersenyum dan ada yang tertawa mendengar seruan si perempuan tua tersebut kepada Hoaren yang mengaku bernama A Niu.

Tapi Hoaren justru ikut tertawa. “Dengar,” lanjutnya. “Aku tidak heran terhadap pandangan kalian padaku. Akan tetapi, aku yakin ada satu dua orang di antara kalian di sini yang sudah mendengar tentang kabar yang kumaksud.”

“Kabar apa?” tanya yang lainnya pula.

“Tentang buronan yang sangat dicari oleh Kaisar Taizong,” seru Hoaren. “Baru-baru ini, ada penjahat yang membuat keributan di lingkungan Istana Terlarang!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status