“Tuan Muda,” sapa seorang anak buah kapal pada Hoaren.Zhou Hoaren sedang berdiri di dekat haluan kapal, seolah menikmati pemandangan matahari tenggelam di sisi kanannya.“Ini arak yang Anda minta,” sang ABK menyodorkan satu kendi kecil pada Hoaren.“Ah, ini yang sangat aku butuhkan sekarang,” Hoaren menerima kendi itu dan langsung mereguk isinya. “Sempurna!” ujarnya. “Angin senja kali ini terasa lebih sejuk, kurasa udara malam akan lebih dingin lagi.”“Sekarang memang di ujung musim penghujan,” kata si ABK. “Hmm, Tuan Muda?”“Ya?” Hoaren melirik pada awak kapal yang telah dia suap tersebut. “Apa lagi yang kau inginkan?”“Tidak,” sang ABK tersenyum. “Saya hanya ingin memastikan, hmm, apakah Tuan Muda merasa jenuh?”Hoaren terkekeh dan kembali mereguk arak di dalam kendi hingga wajahnya sedikit memerah.“Itu tidak perlu lagi dipertanyakan,” balasnya. “Beberapa hari di atas kapal, membuat tubuhku terasa pegal-pegal. Terlebih lagi, di kapal ini kalian tidak menyediakan perempuan. Apa yan
“Kakak,” ujar Huang, “Kau dengar itu?”Feng mengangguk. “Guru Ma!”Keduanya bergegas bangkit dan keluar dari kamar dengan membawa pedang masing-masing. Meski kapal terombang-ambing oleh gelombang laut yang besar, namun keduanya masih dapat mengimbangi langkah mereka.“Guru Ma! Guru Ma!” Feng mengetuk-ngetuk pintu kamar sang Biksu Besar. “Guru Ma, ini saya, Feng!”Pintu terbuka dan wajah Daiyun menyapa keduanya.“Tuan Muda Feng,” ucap sang biksu muda. “Nona Huang, masuklah!”Feng dan Huang menemukan bahwa Guru Ma duduk di atas dipannya sembari bersemadi, dia jauh kelihatan lebih tenang dibanding mereka bertiga.Muda-mudi saling pandang. Sepertinya tidak banyak yang harus mereka khawatirkan terhadap Guru Ma.“Daiyun,” ucap Feng kemudian. “Tetaplah berjaga-jaga di sisi Guru Ma, aku dan Adik Huang hendak melihat ke atas!”Daiyun mengangguk. “Shan cai, shan cai … Berhati-hatilah, Tuan Muda, Nona Huang, bajak laut biasanya tidak kenal belas kasih.”“Jangan khawatir,” Huang tersenyum. “Kami
Sang perompak tewas dengan lidah terjulur dalam cengkeraman mematikan Hoaren.Hoaren menyeringai dan menjatuhkan si perompak begitu saja. “Hmm, apakah aku harus menyamar menjadi bagian dari begundal-begundal ini?”Untuk sesaat, dia menjadi ragu akan rencananya semula. Bagaimanapun, Hoaren adalah tipikal manusia yang tidak mau terlihat kotor dalam berpakaian. Pakaian para bajak laut itu pastinya tidak sebersih yang dia kenakan, konon pula mewah.“Apa aku punya pilihan?” gumamnya seraya menatap mayat si perompak, lalu menyeringai tipis.Dan kemudian, dia menyeret mayat itu ke dalam sebuah kamar.Sementara itu, di tengah gelombang yang menggila akibat badai yang belum reda sama sekali, kapal dagang kedua dan ketiga juga telah hancur sebagian akibat serangan empat kapal bajak laut.Jerit tangis dan raung kematian tumpang-tindih di tengah deru angin yang setajam pedang. Kilat menyambar di sana-sini seakan membutakan mata, menutup jalan kebebasan. Dan petir yang sahut menyahut, tak berhenti
Zhou Hoaren bisa saja menghabisi semua bajak laut yang ada di satu kapal tersebut, dengan satu dan lain cara. Akan tetapi, jika dia melakukan hal itu, maka sudah dapat dipastikan dia akan tersesat di tengah lautan sebab dia yang tidak memahami navigasi laut.Jadi, dengan menyamar di antara para perompak, itu adalah lebih baik baginya. Meskipun dia tidak tahu sama sekali, ke mana para perompak itu berlayar.Enam kapal bajak laut akhirnya menghilang di tengah badai, meninggalkan puing-puing berserakan di permukaan laut, dan empat kapal dagang yang perlahan-lahan karam. Juga, dengan mayat-mayat yang terombang-ambing gelombang.Di atas kapal bajak laut itu, Hoaren selalu menghindar dari para bajak laut yang bergembira atas barang-barang jarahan yang mereka peroleh. Dia lebih banyak bertingkah seolah seorang perompak kelas rendahan yang hanya bertugas membersihkan kapal.Tentu saja, ini semua dia lakukan demi penyamarannya.Di satu titik di tengah-tengah laut yang masih berangin cukup kenc
“Di sini cukup indah dan sangat tenang,” Feng tersenyum pada Huang.Lagi pula, wajah sang kekasih yang ditimpa cahaya mentari pagi itu memang terlihat sangat cantik mempesona.Huang menatap wajah pemuda di sampingnya dan mendesah panjang. “Kakak Feng,” ujarnya, “kita tidak sedang berpelesir. Janganlah terlalu santai.”Sang pemuda menghela napas dalam-dalam. Dia hanya bermaksud untuk menghibur sang kekasih yang ia tahu suasana hatinya sedang tak keruan sebab mereka yang terdampar di pulau asing ini, sementara mereka tidak tahu di mana kini Hoaren berada.Dua anak buah He Hwan melangkah di depan mereka, terpaut kira-kira tujuh langkah.Mereka sudah menemukan dua rumah penduduk yang terbuat dari anyaman bambu dan berbentuk panggung sebelumnya. Sayangnya, mereka tidak bertemu dengan siapa pun di kedua rumah sederhana tersebut.“Hei, lihat!” ABK yang di kanan menunjuk pada seorang nelayan yang sedang menarik sampannya ke pantai.ABK yang di kiri mengangguk. Dan keduanya bergegas menghampir
“Kau tidak akan bisa kemana-mana kalau hanya dari sini, Anak Muda,” ucap seorang pemilik kapal kecil yang memiliki satu layar.Di mata Hoaren, kapal itu terlihat seperti sebuah sampan panjang dengan sayap atau cadik di kiri dan kanannya.Hanya ada dua titik pemukiman yang ditemui Hoaren di pulau yang satu ini. Pertama di sebelah timur, dan sekarang yang di sini, sebelah selatan. Dan kedua-duanya bukanlah sebuah pemukiman yang besar. Masing-masing hanya ada sepuluh sampai lima belas rumah saja.“Kau lihat pulau yang di sebelah selatan itu?”Hoaren mengikuti arah pandang pria paruh baya. Yah, dia bisa melihat pulau yang dimaksud, meski terlihat sedikit membayang sebab ada pulau lainnya di sebelah tenggara.“Anambas,” kata si pria paruh baya, lagi. “Pulau paling besar di gugusan kepulauan ini. Di sana, kau akan bisa mencari tahu banyak hal sebab lebih ramai.”Pria yang cukup asing di negeri itu menghela napas lebih dalam dengan tangan berada di pinggang.“Bagaimana dengan kau sendiri, Pa
Sang mentari telah mencapai titik sepertiga awalnya di ufuk timur ketika He Hwan yang sedamg berada di anjungan kemudi kapalnya melihat bayangan daratan luas yang memanjang dari utara ke selatan.Dia tersenyum dan memanggil seorang awaknya.“Hei, kau jaga kemudi,” ujarnya, “aku akan menemui orang-orang itu!”“Baik, Kapten!” sahut sang ABK seraya mengambi alih kemudi.He Hwan turun ke geladak di mana pada saat itu, Guru Ma dan Daiyun sedang bercakap-cakap dengan Feng dan Huang di dekat tiang layar kedua.Beberapa kapal berbagai ukuran juga sudah terlihat di sana-sini, termasuk kapal dan sampan para nelayan.“Tuan He,” sapa Feng. “Ada apa?”“Lihatlah di ujung sana, Tuan Muda Feng,” sahut He Hwan, dan memandang pada yang lainnya. “Di sanalah nanti dermaga terakhir kapal ini.”“Jadi?”Sang pemilik kapal tersenyum dan mengangguk. “Bandar Penawar, kita sudah tiba di Semenanjung Malaya.”“Amitabha,” Guru Ma merasa senang, perjalanannya bisa dikatakan akan segera terpenuhi.Feng dan Huang sal
Zhou Hoaren menaiki sebuah kapal kecil bersayap dengan satu layar. Setidaknya, ada lima penumpang lainnya di kapal kecil tersebut. Dia duduk paling depan, di haluan sebab tidak ingin mendengar apa pun yang akan dikatakan oleh orang-orang terhadap dirinya.Duduk lama seperti itu dan terus menerus terkena terpaan angin bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi Hoaren, akan tetapi, dia tidak punya pilihan.Meskipun dia belum tahu apa yang akan dia kejar dan temui, tapi keinginannya sudah cukup kuat untuk segera tiba di daratan besar.Dan tujuan kapal kecil yang membawanya dari Pulau Tioman itu adalah Bandar Penawar seperti yang pernah dikatakan oleh Hasan padanya.Sebelum sang mentari tenggelam di ufuk barat, kapal kecil itu akhirnya berlabuh di salah satu dermaga yang ada di Bandar Penawar.Hoaren menyeringai pada si pemilik kapal yang melambaikan tangan padanya, lalu melanjutkan langkahnya di antara keramaian di pelabuhan itu sendiri.Pada saat yang sama, Feng, Huang, Guru Ma, dan Daiyun