Share

Bab 5: Mungkinkah Ini Cinta?

"Siapa aku? Aku tak ingat sama sekali bahwa namaku Anna. Apakah benar aku memiliki pacar seorang dokter bedah saraf? Apakah ini mimpi? Apakah aku belum terbangun dari mimpiku?" Gumamku dalam hati. 

Perlahan aku menoleh ke sebelah kanan dan kiri walau agak kesulitan karena Cervical Collar (penopang leher dan kepala) masih terpasang di leherku. Juga kepalaku masih sakit dengan jahitan bekas operasi. Di samping kanan perawat laki-laki dan kiriku terlihat perawat perempuan yang mendorong ranjang Dekubitus (tempat tidur di rumah sakit yang bisa terhubung dengan colokan listrik untuk mengubah posisi tidur) yang ku tempati dari ruangan ICU menuju kamar Bougenville. Melewati koridor di depan beberapa ruangan di rumah sakit. Mataku silau akan cahaya yang menembus koridor rumah sakit. Tangan kananku yang masih terpasang selang berisi cairan infus mencoba menutupi mata dan wajahku karena terpaan cahaya matahari menembus koridor rumah sakit.

"Suster," aku memanggil perawat perempuan di samping kiriku dengan nada lemah tak berdaya. Kedua perawat ini reflek berhenti mendorong ranjang Dekubitus ku.

"Iya, apakah ada yang anda butuhkan?" Sahut perawat perempuan di sebelah kiriku sambil mencondongkan telinganya ke mulut dan wajahku.

"Katakan saja apa yang anda butuhkan? Apakah anda merasa pusing atau ada bagian tubuh yang merasa sakit?" Imbuh perawat laki-laki di sebelah kanan ku.

"Tolong cubit pipiku!" Pintaku.

"Apa?" Tanya perawat perempuan.

"Apakah saya salah dengar Nona Anna?" Timpal perawat laki-laki di samping kananku.

"Tidak!" aku menyanggah. 

"Tolong cubit pipiku dengan keras!" Pintaku kedua kali.

"Baiklah, tapi jangan salahkan saya jika cubitan saya membuat pipi Nona Anna sakit."

"Iya, cepat cubit pipi saya!" Perintahku.

Dengan cepat perawat perempuan di sebelah kiriku mencubit pipiku dengan tangan kanannya.

Aku Pun kaget dan berteriak,"aduh sakit!"

Perawat laki-laki di sebelah kananku segera menepis tangan perawat perempuan yang mencubit pipi ku,"eh, kamu itu kok mencubit pipi pasien! Apalagi pasien Anna baru saja keluar dari ruang ICU!"

"Kan yang minta dicubit adalah pasien sendiri! Ya bukan salahku dong kalau aku cubit sesuai permintaan!" Celetuk perawat perempuan itu.

"Sudah! Saya tidak apa-apa kok! Sudah tidak sakit! Saya mau memastikan kalau ini bukan mimpi dan saya sudah sadar sepenuhnya," aku segera klarifikasi supaya kedua perawat itu tidak cekcok. Aku Pegang pipiku yang memerah bekas cubitan dan ku elus sambil meringis menahan rasa sakit.

"Oh, begitu rupanya!" sahut kedua perawat sambil mendorong ranjang Dekubitus ku kembali melewati koridor mencari ruang Bougenville.

"Berarti ini bukan mimpi, aku sudah sadar sepenuhnya. Keren juga aku bisa dapat pacar seorang dokter bedah saraf," celotehku dalam hati sambil tersipu malu tapi mau.

"Kita sudah sampai di ruangan Bougenville kelas VVIP ya, pihak keluarga dari anak yang Nona Anna selamatkan dari kecelakaan. Mereka yang memilih kelas VVIP untuk perawatan Nona Anna," kata perawat perempuan membuyarkan lamunanku seraya membuka pintu dan memasuki kamar VVIP Bougenville.

"Aku menyelamatkan seorang anak? Benarkah?" Tanyaku.

"Benar," tambah perawat laki-laki.

"Ya itulah alasannya Nona terbaring dan dirawat di RS. Martadinata," imbuh perawat perempuan.

"Oh… begitu rupanya," kataku.

Perawat memposisikan ranjang Dekubitus ku di samping sebuah meja dan lengkap dengan tombol emergency (tombol untuk memanggil perawat ke ruangan jika membutuhkan bantuan). Mencolokkan colokan ranjang Dekubitus seraya mengatur posisi tidur ku dengan nyaman.

Perawat laki-laki memegang tombol emergency dan menunjukkannya kepada ku, "Tolong tekan tombol emergency ini jika cairan dalam botol infus akan habis atau membutuhkan bantuan dari perawat ya!"

"Iya… terimakasih," ucapku.

Kedua perawat pun meninggalkanku seorang diri di kamar Bougenville. Daripada mencoba mengingat kembali dan membuat hatiku kesal, aku memutuskan memejamkan mata. Kamar VVIP Bougenville memang nyaman dan ac pun sejuk.

Sementara di rumah sakit yang sama, dari kejauhan terlihat Nyonya Neni.

"Tap,tap,tap!" Suara hentakan langkah kaki nyonya Neni dengan wajah sumringah mengayun cepat ke ruangan Bougenville.

Hembusan angin segar bertiup menerpa bagian wajah nyonya Neni. Senyum tipis tersirat di raut mukanya,"hidupku berubah, seperti tertimpa durian runtuh. Aku mendapatkan Anna yang jenius sebagai anakku dan menjadi ahli waris yang sah untuk mengelola Yayasan Panti Asuhan Cempaka Putih."  Dengan nada rendah dan senyuman hangat nyonya Neni berbicara sendiri saat melewati koridor rumah sakit. 

"Ih!orang ini senyum-senyum sendiri! Bisik salah satu perawat sambil mencondongkan mulut yang ditutup tangan ke telinga perawat lain saat melihat nyonya Neni di koridor.

"Waduh, wanita paruh baya ini berbicara sendiri! Pasti sudah gila! Bakal menambah pasien gangguan jiwa lagi nih!" Kata dalam hati dokter psikiater yang lewat, berpapasan dengan nyonya Neni dan memandang nyonya Neni dengan tatapan heran karena nyonya Neni berbicara lirih seorang diri.

Nyonya Neni segera bersikap normal setelah menyadari tatapan aneh dari beberapa perawat yang melihat dan beberapa dokter yang lewat berpapasan dengannya saat mendengar nyonya Neni berbicara lirih seorang diri. Nyonya Neni membalas tatapan heran para dokter dan perawat yang lewat di koridor RSK.Martadinata dengan sepintas senyuman dan anggukan ringan sambil bergumam di hati,"biar saja dianggap gila! Aku memang gila! Aku beruntung dapat anak yang sudah menginjak usia dewasa dan ahli waris Yayasan Panti Asuhan Cempaka Putih tanpa harus terikat pernikahan." Dengan cuek nyonya Neni melenggang menyusuri koridor dan mencari ruang Bougenville, tempat Anna mendapat perawatan. 

Seraya melirik dan membaca nama papan yang tertempel di ruangan perawatan,"Nah, itu dia ruangan Bougenville! Tempat Anna dirawat sekarang," seraya menunjuk ruangan dengan papan nama Bougenville.

Dengan penuh optimis Nyonya Neni melangkah masuk ruangan Bougenville, melewati pintu masuk dan terlihat Anna sedang terbaring sendiri di atas ranjang Dekubitus yang terhubung di colokan listrik. Terlihat Anna masih memejamkan.

Nyonya Neni melangkah dengan mengendap-endap supaya Anna tidak terganggu dan terbangun.

"Wah, mewah sekali kamar VVIP Bougenville ini!" Seraya mata berputar ke tiap sudut ruang VVIP Bougenville untuk meninjau apa yang ada di sekitarnya dan menjejakkan kaki di setiap sisi.

"Wih! Fasilitas mewah juga! Fasilitas di samping Anna, tepat ruang tunggu keluarga ada satu set sofa bed dengan tv yang terhubung program tv kabel, kitchen set lengkap dengan lemari es satu pintu dan microwave, meja dengan kursi makan, telepon, lemari pakaian. Mau mengintip kamar mandinya juga ah."

"Krek!" Suara pintu kamar mandi di buka oleh nyonya Neni.

"Sebenarnya ini hotel apa rumah sakit sih? Kamar mandi sudah ada kloset dan shower, wastafel,masih ada juga bathtub. Memang adakah pasien yang sempat mandi di bathtub?" Nyonya Neni bergeming dalam hati dan mencoba menyalakan keran di wastafel. "Airnya hangat juga sudah dilengkapi dengan water heater. Kelas VVIP kamar Bougenville ini terasa lebih lengkap daripada hotel. Pemborosan karena mana sempat pasien menikmatinya karena merasakan sakitnya. Keluarga yang menunggu pun mana bisa menikmati fasilitas kamar VVIP di rumah sakit karena tenaga dan pikiran terfokus untuk pasien yang dijaga. Ah… kenapa aku malah memikirkan hal yang tidak penting, harusnya lebih fokus menjaga Anna!" Gerutu Nyonya Neni dan melangkah pelan tanpa suara ke arah Anna.

Nyonya Neni melihat ke arah meja pasien yang sudah tersedia kit pasien lengkap dengan alat mandi, sandal & thermometer. Ada paket buah di sampingnya.

"Pelayanan standard sultan di rumah sakit ini, aku rasa Anna bisa nanti aku tinggal sambil mengurus Yayasan Panti Asuhan Cempaka Putih. Bisa ku titipkan ke perawat dan Dr. Victor agar sesekali menengok Anna di tengah kesibukan mereka."

Tangan nyonya Neni memegang dahi dan lengan Anna, memeriksa apakah Anna kondisi demam atau baik-baik saja," Nak,cepat sembuh ya!" Kata nyonya Neni memelas iba dan mengarahkan muka ke arah Anna.

"Hem," kataku sambil menggeliatkan tubuhku. Aku mendengar suara dan merasakan tangan hangat yang memegang lengan juga dahiku. Karena penasaran aku membuka mata. Ada sosok wanita paruh baya yang duduk di sebelah ranjangku.

"Maaf, siapa anda?" Aku ingin tahu.

"Nak, aku Mama Kamu," ungkap nyonya Neni dengan dusta.

"Mamaku? Apakah benar? Kenapa aku tidak mengingatnya?" Tanyaku tak percaya.

"Iya anakku...Anna. Aku Mama kamu Nak, perlahan kamu akan ingat." Tangan Nyonya Neni menggenggam tangan Anna.

Di tempat lain, salah satu rumah mewah kelas Sultan milik orang tua yang anak perempuan Anna selamatkan. Ada pasangan suami-istri pemilik rumah tersebut yakni nyonya Sandi dan tuan Mark dan anak sulung mereka, lelaki bernama Alex juga anak bungsu perempuan yang Anna selamatkan yakni Lusi.

Saat masih pagi nyonya Sandi berkata pada tuan Mark seraya memasangkan jas juga dasi yang dikenakan tuan Mark yang hendak ke kantor. 

"Pah, aku dapat telepon dari RSK.Martadinata jika Anna yang menyelamatkan Lusi sudah sadar dari koma. Perawat hendak memindahkan Anna dari ruang ICU ke ruang perawatan kelas biasa tapi aku larang Pah. Aku meminta untuk memindahkan Anna ke ruang perawatan kelas VVIP Bougenville di RSK. Martadinata. Bagaimana menurut Papa?" Nyonya Sandi meminta pendapat suaminya.

"Ya, bagus dong Mah! Papah setuju kok! Hitung-hitung itu rasa terimakasih kita karena sudah menyelamatkan Lusi. Bayangkan saja jika Anna tidak gesit menyelamatkan Lusi, pasti Lusi yang terbaring di sana!" Tuan Mark memberikan pengertian kepada nyonya Sandi, istrinya.

"Betul Pah, uang yang kita korbankan untuk merawat Anna tidak sebanding dengan apa yang Anna berikan. Anna telah menukar nyawanya untuk menyelamatkan anak kita."

"Lagian Mah, bilang kepada Lusi berulang kali Papah ingatkan jangan jalan kaki jika kemanapun pergi lebih aman di antar supir dengan naik mobil dan jangan pakai earphone melulu yang di sumpal ke telinga, bikin gak nyaut jika dipanggil! Sampai mau ditabrak mobil pun dia tidak dengar teriakan orang sekitar gara-gara earphone. Bikin Papa jengkel! Nyawa Anna yang jadi taruhan gara-gara earphone."

"Iya Pah, sudah sering kok Mama ingatkan." Kata nyonya Sandi pasrah kepada suaminya.

"Beritahu Alex juga kemanapun itu naik mobil dan di antar supir! Jangan sepedaan melulu! Punya mobil dan supir kok dianggurin!"

"Pah, sebenarnya anak-anak malu jika mereka ketahuan sebagai anak dari orang yang berpunya. Mereka lebih memilih kelihatan hidup sederhana."

"Ah, Mama ini sama saja! Selalu belain anak-anak! Papa kerja keras buat kalian juga supaya hidup enak! Diajak hidup enak tapi memilih hidup susah!"

"Iya Pah iya, terima kasih kerja kerasnya!"

"Yaudah Mah, Papah ada meeting dan janji ketemu klien. Papah minta izin jika nanti pulang terlambat dan keburu berangkat kerja," jawab tuan Mark seraya mengambil tas laptopnya.

"Tunggu Pah!" Nyonya Sandi menarik lengan tuan Mark, suaminya.

"Ada apa lagi Mah? Papa harus segera ke kantor nih! Staf Papah sudah menunggu untuk meeting," Sembur tuan Mark dengan kesal sambil menunjuk jam di arloji branded yang dia kenakan.

"Papah tidak sarapan dulu, mama sudah membuat makanan kesukaan Papah?"

"Tidak sempat Mah! Lepasin Mah, Papah sudah di tunggu di kantor!" Seraya melepaskan tangan nyonya Sandi di lengan tuan Mark dan melangkah ke depan membuka pintu."

"Tunggu dulu Pah! Ada hal penting yang mau mama bicarakan!"

Sambil menghela nafas tuan Mark berbalik dan tidak jadi membuka pintu," huh… ada apa lagi Mah?" Tanya tuan Mark kesal dengan istrinya.

"Begini Pah, kapan rencana menjenguk Anna? Ini Anna posisi sudah sadar."

"Aduh Mah, Papa itu mau jenguk tapi jadwal Papah padat banget! Mama atur sajalah bagaimana baiknya!"

"Tapi Mamah juga sibuk kerja di kantor."

"Nitip uang aja ke anak-anak supaya mereka jenguk Anna saja Mah!" Tuan Mark membuka pintu dan meninggalkan nyonya Sandi untuk berangkat kerja.

"Boleh juga ide jenius papa Mark, kenapa tidak terpikirkan sebelumnya ya?" Gumam mama Sandi.

Saat sarapan mama Sandi, Alex dan Lusi sedang asyik mengobrol sambil mengoles roti dengan selai kacang kesukaan mereka. Mereka menyempatkan waktu sebelum berangkat sekolah dan Mama Sandi bekerja.

"Alex dan Lusi, Mamah dan Papah akhir-akhir ini sibuk dan tidak ada waktu. Bagaimana jika Alex dan Lusi akan Mamah berikan tambahan uang saku buat membeli kebutuhan Anna sambil menjenguk Anna? Apakah kalian mau?"

"Mau Mah!" ucap Lusi penuh semangat.

"Gak mau aku Mah!" Ucap Alex sebaliknya sambil makan roti.

"Please! Tolong gantikan Mamah dan Papah ya! Wakili kami buat sesering mungkin menjenguk Anna! Mau di taruh di mana muka Papah dan Mamah jika hanya Lusi saja yang jenguk. Ayolah wakili kami!" Bujuk mama Sandi kepada Alex.

"Iya deh, dengan terpaksa demi Mamah dan Papah, padahal Alex kan juga sibuk sekolah mau ujian kenaikan kelas di SMK. Itu juga salah Lusi yang sudah sering diingatkan papah agar tidak memakai earphone saat di jalan tapi bandel dan Lusi di selamatkan Anna karena hampir tertabrak." Alex mengeluh sambil memberikan penjelasan kepada Mamah Sandi.

"Iya… Mamah mengerti, sebagai gantinya nanti Mamah nambah uang jajan kalian ya."

"Setuju, Mah!" Serempak Alex dan Lusi menjawab dengan kompak.

"Setelah Alex pulang sekolah dengan Lusi akan menjenguk Anna dan membawakan sesuatu sesuai pesan Mamah."

Sambil mengelus kedua kepala Alex dan Lusi, mamah Sandi berkata,"memang kalian anak yang baik."

"Oke...kami berangkat ke sekolah dulu," pamit Lusi kepada mamah Sandi seraya berjabat tangan.

Seusai pulang sekolah Alex membonceng adiknya, Lusi berangkat ke RSK.Martadinata.

"Ngomong-ngomong, Anna dirawat di ruangan mana Lus?" Tanya Alex sambil ngos-ngosan mengayuh sepeda.

"Tadi Mamah telepon, katanya dirawat di ruangan VVIP Bougenville Kak. Jangan lupa beli kue dulu sebelum menjenguk kak Anna! Malu jika jenguk bawa orang saja!"

"Iya, aku paham kok. Jangan kawatir! Itu Toko kuenya! Yuk berhenti dulu!"

"Kakak Alex di luar saja dulu, aku mau beli Rainbow cake dan Brownies buat kak Anna!"

"Sip!"

Lusi memasuki toko kue dan memilih Rainbow Cake juga Brownies beserta kartu ucapan terimakasih dan Lekas sembuh. Setelah terbungkus rapi segera membayar dan keluar menuju Alex seraya melanjutkan perjalanan ke arah rumah sakit.

Setelah sampai di rumah sakit, mereka segera memarkir sepedanya dan menuju kamar VVIP Bougenville.

"Tok, tok, tok! Permisi!"Alex mengetuk pintu kamar Anna.

"Iya silahkan masuk!" Kata nyonya Neni serasa berdiri dari kursi.

Aku merasa asing dengan mereka. Seperti bukan sebaya dengan ku, mereka lebih muda.

Mereka masuk dan memperkenalkan diri sebagai Alex dan Lusi yang mewakili orang tua mereka untuk menjenguk ku. Mereka memberiku Rainbow cake dan Brownies yang kebetulan aku suka rasanya. Ternyata Lusi adalah anak perempuan yang aku selamatkan. 

Berbeda dengan dr.Victor, aku melihat Alex dengan kagum. Entah apa yang membuatku jatuh hati pada pandangan pertama pada Alex.

"Anna," panggil mamah Neni membuatku kaget dan membuyarkan lamunanku tentang Alex. 

"Iya Mah," sahutku.

"Sayang, Mamah Neni pergi dulu ada urusan pekerjaan yang Mamah harus selesaikan. Nanti Mamah Neni kembali lagi ya." Mama Neni mencium keningku dengan lembut.

"Baik Mah… hati-hati di jalan ya!" ucapku melepas kepergian mamah Neni.

Kini tinggal kami bertiga di ruangan.

"Kakak Anna, saya Lusi. Kami datang mewakili papah dan mamah mengucapkan terimakasih karena sudah menyelamatkan nyawa saya."

"Tidak lupa, mamah menitipkan Rainbow Cake dan Brownies untukmu," kata Alex dengan agak canggung dan memberikan kue nya untuk ditaruh di atas meja sebelah ranjangku.

"Terimakasih, kenapa kalian repot bawa kue segala sih?" Tanyaku.

Lusi menyahut," kue yang kami bawa tidak sebanding dengan pengorbanan kakak Anna untukku."

"Betul, katakan saja jika butuh bantuan. Selama kami bisa, kami akan membantumu Anna!" Imbuh Alex.

"Sudah, kalian jangan membuatku canggung! Merupakan suatu hal yang umum sebagai sesama makhluk sosial untuk saling menyelamatkan dan membantu."

"Kak Anna saja belum mengenalku tetapi secara heroik sudah menyelamatkan ku. Itu semua karena aku ceroboh, tidak berhati-hati dalam menyebrang jalan raya sambil memakai earphone dengerin musik."

"Sudah, itu semua sudah berlalu. Kalau diungkit pun aku tidak akan ingat apa-apa karena aku amnesia. Bisa dibilang aku kehilangan ingatanku," kataku sambil tersenyum.

"Anna kamu kuat ya! Sudah cedera, masih memakai Cervical Collar, gips di kaki , kateter dan infus tapi masih bisa tertawa menahan sakit. Semoga kamu lekas pulih ya!" Alex bersimpati dan menyemangatiku.

"Jantungku berdetak kencang sekali saat menatap Alex dan berbicara dengannya. Apakah Alex merasakan hal yang sama? Tapi aku sudah memiliki dokter Victor." Hatiku berbisik mengenai getaran cinta pada Alex di saat raga ini dimiliki dokter Victor.

"Kak Anna."

Buyar semua imajinasiku tentang Alex dengan suara Lusi yang memanggil namaku," iya Lusi, ada apa?"

"Kak Anna ingin kue yang mana? Kue Rainbow cake atau Brownies?" Tanya Lusi seraya membuka bungkusan kue yang tadi dia bawa.

"Kue yang warna-warni kayak pelangi aku suka liatnya supaya hidupku lebih berwarna," sahutku.

"Kak Anna bisa ngelawak juga," Lusi sambil memotong kue Rainbow cake.

"Bip, bip, bip!"

"Hp-ku bunyi, sebentar ya kak Anna," Lusi cepat-cepat mengambil Hp dari ransel sekolahnya.

"Gapapa kok, angkat telepon aja dulu! Barangkali ada hal penting," kataku pada Lusi.

"Halo Nadia. Ada apa menelponku Nad? Aku lagi dirumah sakit," jawab Lusi pada panggilan telepon.

"Kamu bagaimana sih Lusi? Kita kan sudah janji kerjakan tugas kelompok dan dikumpulkan besok! Sekarang kamu di RSK. mana supaya sopirku menjemputmu?" Suara dari telepon dan itu suara Nadia teman sekelas Lusi.

"Oke, jemput aku di RSK. Martadinata! Aku menunggu sopirmu Nadia, di depan RSK. Martadinata."

"Iya, makasih Lusi," ucap Nadia dan mengakhiri panggilan telepon.

"Aduh maaf Kak Anna dan Kak Alex! Lusi harus pergi karena ada tugas kelompok bersama Nadia. Lusi pamit dulu ya dan cepat sembuh Kak Anna," Lusi sambil mengambil ransel sekolah.

"Iya jangan malam-malam pulangnya Lusi, ketemu di rumah saja," celetuk Alex pada Lusi.

"Tapi…," belum selesai bicara, Lusi sudah pergi.

"Aduh! Bagaimana ini?" Canggung sekali jika berduaan bersama Alex.

"Kenapa Anna? Adakah yang kamu butuhkan dan bisa aku bantu?" Tanya Alex kepadaku seraya menatapku dalam.

"Nggak ada kok, makasih," jawabku.

"O...iya, kamu tadi kan mau makan Rainbow cake biar hidupmu berwarna bersamaku kayak warna pelangi," rayuan maut menggoda dari Alex.

Mendengar nya aku tersipu malu dan pipiku merah merona,"bisa saja kamu Alex."

"Aku serius kok! Aku sudah lama suka sama kamu. Kamunya saja yang tidak peka. Aku atur ranjang Dekubitus mu ya supaya posisi enak saat aku suapin Rainbow cake," ungkapan hati Alex.

"Aku baru ketemu kamu Alex, kok kamu sudah genit sih!" Protesku kepada Alex.

"Iya, kamu sekarang hilang ingatan tapi aku adik kelasmu di SMK yang sama. SMK Bina Nusantara dan kamu ambil jurusan broadcasting. Kamu dulu jadi kakak pembimbingku waktu MOS sekolah. Kamu mengagumkan Anna, tapi kamu tidak pernah menyadari kehadiran Ku. Nama Anna itu banyak, aku tidak tahu jika kamu yang kebetulan menyelamatkan Lusi--adik aku."

"Ya ampun, apakah ini kebetulan?" tanyaku pada Alex.

"Entahlah? Aku suapin kamu ya, sudah enak posisi mu di Dekubitus Anna?" Tanya Alex.

"Sudah enakan kok,posisi berbaring setengah duduk begini lumayan nyaman,"kataku pada Alex.

"A... tolong buka mulutmu Anna! Rainbow cake mu mau meluncur nih!" Perintah Alex pada ku sambil memegang sesendok Rainbow cake di tangan kirinya.

"What? Tangan kamu kidal ya?" Tanyaku keheranan.

"Benar… kenapa?"

"Itu keren karena kamu fasih menggunakan tangan kiri daripada kebanyakan orang yang fasih gunakan tangan kanan." Aku menghibur nya supaya Alex tidak berkecil hati.

"A… donk Anna! Tanganku keburu pegal nih!" Seru Alex.

"Oke, aem… hm enak Rainbow cake, lapisan krim dengan gula manis membuat rasanya manis dan lumer di mulut. Seperti pelangi, Rainbow Cake punya 7 warna berbeda yang menarik dipandang mata dan enak untuk dimakan." Kataku terhipnotis dengan suapan pertama Rainbow cake dari Alex.

"Kalau kamu suka tiap jenguk aku bawakan ya Anna ?"

"Aku mengangguk pelan." Aku mengiyakan pertanyaan Alex.

"Bagaimana sekolahmu Anna?" Tanya Alex.

"Aku tidak tahu. Aku masih belum sehat dan tidak ada satu hal pun yang bisa aku ingat termasuk sekolah," jawabku kepada Alex.

"Aku kan adik kelasmu Anna, bagaimana kalau sekolahmu di adakan lewat video call dan aku dengar KKM dan IQ kamu terbilang jenius. Aku akan usulkan kelas Akselerasi online untuk supaya cepat lulus,"Alex menjelaskan maksudnya sehubungan dengan sekolahku. (Kelas akselerasi adalah kelas yang diadakan khusus untuk anak-anak berbakat dan berprestasi. Dalam hal waktu juga kurikulum maka kegiatan belajarnya dipercepat. Sehingga lebih cepat untuk lulus dari pada sekolah reguler pada umumnya).

"Kalau memang bisa, ya tidak ada salahnya aku coba,"tandasku kepada Alex.

"Setiap hari aku akan menjenguk kamu dan membawakan tugas dari guru untukmu. Aku akan membantumu Anna semampuku asal kamu bisa mengikuti pelajaran dan lebih cepat lulus. Sekarang kan kamu kelas 2 Smk dan habis praktek kerja dan aku masih kelas satu." Terang Alex.

"Oke, atur saja yang terbaik," tuturku.

"Ehem, ehem, ehem!" dokter Victor berdehem dari dekat pintu sambil melototin aku dan Alex. Aku dan Alex tersentak kaget dan menjaga jarak. Alex menaruh suapannya Rainbow cake kembali ke meja.

"Jam besuk pasien sudah habis, pasien butuh istirahat! Ini juga waktu pasien di kontrol oleh dokter!" Sindir dokter Victor pada Alex.

Alex langsung paham maksud dan bahasa mata dokter Victor,"oke Anna, sekian pertemuan hari ini, semoga lekas sehat ya, besok aku jenguk kamu lagi sekalian membawakan hal yang aku katakan dan janjikan tadi dan aku pamit dulu ya. Jangan abaikan istirahat dan makan teratur!" Goda Alex saat berbicara padaku sambil menatap tajam dokter Victor.

"Iya Alex, terimakasih atas kunjunganmu," lanjutku dan berjabat tangan dengan Alex.

Alex pun meninggalkan ruangan dan g

Yang tersisa hanya aku berdua saja dengan dokter Victor.

"Siapa laki-laki yang kamu panggil Alex itu Anna?"

"Dia adalah Alex."

"Iya, aku tahu namanya Alex, maksudku ada hubungannya apa antara kamu dan Alex?"

"Kami berhubungan baik kok," jawabku ketus kepada dokter Victor yang kepo.

"Maksudnya?"

"Iya kami berhubungan baik sebatas Alex satu sekolahan denganku dan adik kelasku."

"Terus, apalagi Anna?"

Aku sangat ilfil melihat dokter Victor yang jealous dan over protective. "Alex mau kesini setiap hari untuk memberikan titipan tugas dari guru dan membantu program belajar akselerasi sekolah supaya aku cepat lulus sambil di rawat di RSK. Martadinata. Selain itu Alex juga kakak dari Lusi--anak perempuan yang telah aku selamatkan." Dengan kesal aku menjawab dari A sampai Z kepada dokter Victor.

"Kenapa kamu tampak kesal kepadaku Anna?" Pertanyaan yang diberondong Dokter Victor.

"Bagaimana aku tidak kesal, nampak sekali dokter jealous kepada Alex dan over protective kepadaku. Padahal aku dan Alex hanya sebatas teman."

"Benarkah?"

"Iya, itu terlihat jelas di muka dokter Victor kalau dokter Victor jealous dan over protective," Aku menjawab dengan bersungut-sungut.

Dokter Victor mendekatiku, duduk di sebelah kananku dan memegang lembut pipi dan jemariku. " Maafkan aku sayang ya!" Goda dokter Victor dengan lembut kepadaku.

"Iya,tidak apa-apa!" Jawabku dengan ketus.

"Sekarang waktunya kamu aku periksa!" Dokter Victor memakai stetoskop ke telinganya dan mengarahkan ujung stetoskop ke arah dada dan perutku.

Sementara di jalan arah pulang, Alex mengayuh sepedanya dengan perasaan kesal kepada Dokter Victor.

"Menyebalkan sekali dokter Victor yang sok itu! Iya dia yang menyelamatkan Anna tapi bukan berarti dia belagu ingin memiliki Anna seutuhnya! Kemana kode etik sebagai seorang dokter? Gumam Alex dan mengayuh sepeda dengan kesal.

Hujan mengguyur tubuh Alex yang atletis karena sering lomba balap sepeda, selain kidal, Alex sangat suka bepergian dengan sepeda. Pada akhirnya Alex sampai di rumah sultannya yang mewah dan begitu megah.

Pintu gerbang pun secara otomatis terbuka. "Tuan muda kehujanan?" Tanya salah satu pembantu.

"Iya nih Bibi," jawab Alex.

"Kenapa tidak menelepon sopir saja untuk menjemput Tuan Muda?" 

"Sudahlah, ini hal biasa kan cuma hujan air dan bukan hujan batu!" Sanggah Alex kepada pembantunya.

"Tapi bagaimana jika Tuan sakit? Pasti Bibi dan sopir kena sembur tuan Mark dan nyonya Sandi." Protes bibi pembantu Alex.

"Nggak akan bi, kalau bibi tanya terus, Alex keburu kedinginan dan masuk angin."

"Iya tuan muda Alex."

"Semua sudah pada pulang Bi?"

"Sudah Tuan, semua menunggu tuan muda Alex untuk makan malam."

"Tolong beri tahu papah, mamah dan Lusi kalau aku mandi dan ganti baju dulu."

"Baik tuan muda Alex."

Sementara di meja makan Lusi protes," lama benar kak Alex mandinya! Aku keburu lapar Mah, bujuk Lusi."

Tuan Mark menceletuk," kakakmu itu kayak kamu, biar cowok tapi mandinya suka lama."

"Kalau Lusi sudah lapar, makan dulu saja tidak apa!" Bujuk mamah.

"Waduh, semua pada ngobrolin tentang aku di belakangku ya?" Sergah Alex dari belakang yang membuat semua kaget. Sambil memundurkan kursi makan dan Alex duduk dan berkumpul di ruang makan. Sambil makan mereka membicarakan Anna.

"Alex bagaimana kondisi Anna?" Tanya tuan Mark sambil memotong steak sapi yang terhidang di meja.

Merebut topik pembicaraan,Lusi menjawab, "sudah baikan Pah tetapi masih memakai Cervical Collar, infus, kateter dan kaki masih di gips."

"Jangan memotong percakapan ya anakku, Lusi," sanggah Nyonya Sandi.

"Anna nampak baikan kok Pah tapi mungkin perlu beberapa bulan di rumah sakit untuk memulihkan kakinya yang patah dan trauma kepalanya. Sayangnya Anna kehilangan ingatan dan ternyata Anna satu sekolahan denganku tapi dia kakak kelas ku," jawab Alex.

"Hah, serius? Tanya nyonya Sandi dan tuan Mark secara bersamaan.

"Iya Pah dan Mah… serius Kak Anna kehilangan ingatannya," sanggah Lusi.

"Papah, Mamah dan Lusi jangan khawatir kan Anna. Papah dan Mamah bisa fokus bekerja dan Lusi fokus saja ke tugas sekolah. Biar Anna aku yang urus, aku sudah janji setiap hari kesana membantu tugas sekolah Anna dan ikut program Akselerasi sekolah supaya Anna cepat lulus."

"Tumben kakak Alex baik banget," timpal Lusi.

"Pasti ada maunya! Mau menambah uang saku ya?" Tuduh nyonya Sandi sambil menyipitkan mata ke arah Alex.

"Salah," Alex menjawab sambil menggelengkan kepalanya dan makan dengan santai.

"Pasti Alex suka sama Anna Mah! Iya kan Alex?" Tebak tuan Mark melihat tingkah Alex.

Mendengar itu Alex langsung tersedak, "uhuk… uhuk… uhuk."

"Pelan kak makannya!" Kata Lusi menepuk punggung Alex dan memberikan segelas air putih. "Minum dulu Kak Alex!"

"Bener kan Mah, Alex ada rasa sama Anna?"

"Iya Pah, tetapi Mamah tidak setuju karena Anna satu tahun lebih tua dari Alex. Alex masih kelas 1 Smk sedangkan Anna kelas 2 SMK. Kan jomplang Pah jika tua pihak perempuan."

"Cinta itu tidak memandang status dan umur Mah," goda Papah.

Dengan muka merah karena malu, Alex tersenyum sendiri,"kalian ini apa-apaan sih? Bikin malu saja! Sudahlah aku mau masuk kamar dulu!"

Keesokan harinya saat di sekolah, Alex segera mencari wali kelas Anna. Alex pun mengutarakan maksud tujuanNya supaya Anna dapat mengikuti akselerasi online supaya cepat lulus dan wali kelas pun setuju.

Sepulang sekolah pun Alex mengayuh sepeda sambil membawa titipan PR dari guru untuk Anna. Tak lupa Alex ke toko kue membeli Rainbow cake kesukaan Anna.

Alex segera melesat mengayuh sepeda tak sabar menuntaskan rindu pada Anna.

Setelah sampai di kamar vvip Bougenville, Alex mendapati Anna masih beristirahat seorang diri. Alex melangkah mengendap-endap duduk di sisi kanan Anna seraya menaruh Rainbow cake dan tugas PR milik Anna di meja. Alex mengamati tubuh Anna dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dengan tangan kirinya Alex membelai lembut dahi Anna. Menyibak rambut Anna pelan yang menutupi dahi.

"Siapa ini yang dengan lembut membelai dahiku?" Batinku. Pelan-pelan kubuka mataku, terlihat Alex dengan tangan kirinya membelaiku lembut. Tatapanku membuatnya kaget dan menarik tangannya dari dahiku.

"Alex, Kamu sudah datang?" Tanyaku.

"Baru saja, ku lihat Kamu tertidur lelap, aku takut membangunkanmu Anna."

"Sudah dari tadi aku tertidur, aku memang sedang menunggu kedatanganmu karena aku bosan."

"Anna bosan di ruangan ini?"

"Iya, Alex."

"Kalau begitu aku akan membawamu keluar menghirup udara segar."

"Boleh juga idemu."

Alex pun keluar ruangan untuk mencari kursi roda dan membawanya pada Anna.

"Ini ada satu kursi roda untuk membantu kamu supaya tidak merasa bosan dan terpenjara."

Dengan kedua tangan Alex membopong tubuhku yang berat ke kursi roda dan mengajak aku ke taman RSK. Martadinata.

"Terimakasih ya Alex."

"Iya, dan sesuai janjiku aku bawakan PR untukmu juga Rainbow cake kesukaan kamu Anna."

Kami berdua menikmati udara segar di taman RSK. Martadinata. Angin semilir menerpa tubuh kami dan cahaya redup menjelang senja membuat kami menikmati keindahannya. Di bawah pohon ceri yang rindang kami berteduh dan buah ceri memerah di sana dan sini. Tak jarang Alex meraih buah ceri merah dan memberikannya untukku makan. Aku duduk di kursi roda karena kakiku masih memakai gips dan leherku memakai Cervical Collar. Botol dan selang infus ku di sangkutkan Alex ke salah satu cabang buah ceri. Alex duduk bersandar di kursi kayu bercat putih motif shabby chic. 

"A…a… a… Anna buka mulutmu! Buah ceri ini manis dan enak, Ayo makanlah!" Alex membujukku untuk membuka mulut dan menyuapiku seraya aku mengerjakan tugas sekolah.

"A… a…," aku pun membuka mulut untuk menerima suapan buah ceri dari tangan Alex.

"Apa kamu tidak jijik kan Anna jika tanganku  kidal?"

"Tidak! Lagian kamu kan sudah cuci tangan dan buah ceri juga langsung kamu cuci pakai botol air minum sebelum terjun bebas ke mulutku. Kamu hebat Alex, melakukan segala sesuatu dengan fasih dengan tangan kiri."

"Ada cerita buatmu Anna saat aku masih kelas satu sekolah dasar, Aku sering memanjat dan mencari buah ceri di halaman rumahku dan memakan buah ceri saat aku berada di dahannya. Seru kan! Bagaimana kisah masa kecil kamu Anna?" Tanya Alex padaku.

"Aku mencoba mengingatnya tapi tak dapat, aku tak ingat apapun Alex."

"Maaf Anna, aku lupa jika kamu hilang ingatan."

Tiba-tiba semua terasa berputar bahkan aku tak mampu mampu melihat Alex. Buku tugas dari guruku yang ku kerjakan di pangkuanku pun berceceran di bawah, tepat di atas rerumputan.

Aku memegang kepalaku yang sakit sekali dan terasa bumi berputar. Aku hampir terjungkal ke depan namun Alex dengan sigap membopongku dan mengambil infus yang tergantung. Membiarkan kursi roda dan buku berceceran di taman.

Aku mendengar orang-orang panik sambil berkata,"ada apa itu? Cepat panggil perawat dan dokter! Cepat gendong ke kamar pasien!"

Perawat dan muncullah dokter Victor yang melihat kejadian ini dan mengejar Alex yang membopongku kembali ke kamar VVIP Bougenville. Sambil panik, terengah-engah, Alex sangat berhati-hati dalam membopongku.

Alex dan dokter Victor tampak panik. Akupun tak sanggup mempertahankan kesadaranku. Entah apa yang terjadi selanjutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status