Share

Firdaus
Firdaus
Author: knautica

1. A Boy Named Firdaus

Hari ini adalah hari pertama setelah masa orientasi siswa berakhir. Haikal yang terbangun pagi itu langsung menatap kalender di kamarnya. Sebuah senyuman langsung menghiasi wajahnya.

Kini ia sudah duduk di bangku SMA.

Sepanjang perjalanannya ke sekolah ia habiskan dengan melamun, seperti apa kehidupan SMA-nya nantinya, dan seperti apa teman-teman yang menantinya untuk seru-seruan bersamanya...

"Mas, di sini ya?" Suara driver ojol mengagetkannya.

"Eh, oh iya pak! Terimakasih ya," Haikal terbuyarkan dari lamunannya, ia segera turun dan membayar driver ojol tersebut.

Lorong kelas X itu penuh sesak dengan anak-anak baru yang berhamburan mencari kelasnya masing-masing. Haikal yang tidak terlalu tinggi (dia mengakui itu sendiri) hanya sekitar 163cm mau tidak mau harus berjinjit untuk melihat kertas berisikan daftar siswa yang ditempelkan di jendela setiap kelas X. Ia mendongak setinggi-tingginya, menghindari kerumuman anak-anak lain yang mengerubungi setiap daftar siswa tersebut.

Ia menghembuskan nafas, lalu berjinjit-jinjit lagi.

X-D, di mana ya...

Sepertinya tidak ada di sini. Haikal mengecek kelas lain.

Nah ini dia. Haikal dengan senang berjalan menuju kelasnya.

Di tengah lorong sebelum kelasnya ia melewati beberapa anak yang bersenda gurau sampai agak menutupi jalan.

"Ehm, permisi kak..." Haikal meminta izin lewat.

"Oh iya, silakan...," salah satu dari mereka menjawab.

Haikal tersenyum sekadarnya, lalu lewat. Tapi kalau ia tidak salah kira, salah satu anak tadi terus menatapinya.

Ia pura-pura tidak tahu. Mungkin nanti kalau bertemu lagi, ia akan melanjutkan untuk berkenalan.

Tetapi tiba-tiba...

Salah satu anak tadi menghampirinya.

"Kelasmu di sini ya?"

"Eh, iya kak.... E-perkenalkan... sa-"

"Silakan masuk..." Omongan Haikal terputus karena anak laki-laki itu langsung membukakan pintu kelas untuknya. Ia menyengir lebar memamerkan giginya yang rapi.

"Terimakasih."

"Iya, sama-sama!" Aneh sekali, ia menjawabnya dengan suara yang sepertinya sengaja dikeraskan. Cengiran itu masih menghiasi wajahnya.

Haikal memasuki kelas dan mencari bangku yang nyaman. Ia memilih duduk di sebelah anak laki-laki yang sedang bermain gim di smartphone-nya.

Anak laki-laki itu mendongak dan senyum canggung, kemudian mempersilakan Haikal duduk. Ia langsung fokus memainkan gim-nya lagi karena permainan online tidak bisa di-pause

Untuk sejenak Haikal melamun lagi, sambil menunggu siswa-siswi lain datang memenuhi kelas.

Sedangkan anak yang membukakan pintu tadi berlalu bersama gengnya sambil tertawa-tawa geli. Salah satunya temannya sempat menoleh ke arahnya sekilah lalu kembali tertawa-tawa lagi. Haikal mengerutkan kening. Emangnya kakak itu kenapa?

"Ah, kalah! Sial." Anak di sebelahnya tiba-tiba berseru.

"Eh, hai. Aku Jibril." Cowok berkacamata tebal dan bermata kecil namun bulat itu menyingkap jaket atas meja yang menutupi lengannya, lalu mengulurkan tangan.

"Haikal." Ia membalas jabat tangannya.

"Rumahmu di mana?"

"Agak jauh sih, mengkin sekitar setengah jam dari sini. Di daerah D****."

"Wah jauh ya! kalau aku di gang situ," Jibril menunjuk ke luar jendela belakang sekolah, ke arah perkampungan di belakang sekolah.

"Haha, dekat sekali ya, enak."

"Iya, makanya aku daftar ke sini hehe... kalau kamu kenapa daftar ke sini?"

"Aku...."

Untuk sesaat Haikal terdiam. Lalu menjawab, "ada kakak kelas yang di sini juga..."

Flashback....

"Mas, nanti SMA nya mana?" tanya Haikal pada Sulaiman.

"Nih," Sulaiman menunjukkan sebuah brosur kepada Haikal.

Jauh sekali... pikir Haikal. Tapi entah bagaimana caranya Haikal harus tetap bersekolah di sekolah yang sama dengan Sulaiman.

"Mau di situ juga?"

"Kalau Mas Iman di sini ya aku mau di sini juga Mas."

Sulaiman tersenyum lalu mengacak-acak rambut Haikal. "Iya nanti kubantu."

Haikal ikut tersenyum, namun berubah jadi meringis kesakitan akibat memar di bibirnya yang baru saja ia dapat.

Mereka sedang berada di kantin. Haikal baru saja keluar dari UKS melewati jam pelajaran pertama akibat aksi bullying yang ia dapat saat sebelum bel masuk. Ia mendapat pukulan di area bibirnya.

Untungnya Sulaiman datang dan menyelamatkannya.

Setelah itu ia melewati pelajaran pertama dengan berbaring di UKS, dan baru keluar pas jam istirahat.

"Masih sakit ya?"

"Sedikit, mas."

"Makannya pelan-pelan." Kata Sulaiman sambil membenarkan balutan gips di sudut bibir Haikal, lalu menyuap sesendok soto ke mulut Haikal.

Flashback off.

Jam pertama pelajaran diisi dengan perkenalan masing-masing anak di kelas dan juga guru yang mengisi kelas tersebut.

"Oke, sudah semua ya. Giliran saya yang memperkenalkan diri, nama saya Imam Santoso, guru Bahasa Indonesia..."

Sosoknya sangat teduh dan berwibawa. Rautnya sudah tidak muda lagi, namun tetap terlihat tegap dan berkharisma. Namun sayangnya Pak Imam berkata bahwa tak lama lagi ia akan pensiun, karena ia sudah mengajar di sekolah tersebut selama lebih dari 30 tahun.

Jam istirahat pun juga lagi-lagi dipenuhi oleh anak-anak baru. Haikal yang berada di kerumunan jadi bingung mau makan apa. Kemudian ia melihat Jibril. Ia pun mendekat.

"Mau makan apa, Ril?"

"Mie rebus aja."

"Yaudah aku juga deh."

"Oke. BUUUUU MIE SOTO NYA DUA YAAAA!"

Sontak Jibril pun mendadak jadi pusat perhatian karena suaranya yang mengagetkan. Haikal pun juga kaget.

"Iya, mas. Bentar ya...."

Setelah makan, Haikal menuju toilet. Tetapi tiba-tiba seseorang menghalanginya.

Dia adalah anak yang sama waktu di lorong sebelum bel masuk tadi. Masih dengan cengiran lebarnya.

Haikal bergeser ke kiri. Orang itu juga.

"Ehm... mau lewat kak."

"Oh iyah, silakan." Tetapi tetap saja anak itu juga ikut bergeser saat Haikal bergeser.

"Ada apa ya kak?"

"Wkwkw... gapapa. Uangmu jatuh tuh." jawabnya sambil menunjuk lantai.

Haikal melihat lantai. Tidak ada apa-apa di sana.

Tawa orang itu meledak. 

"Jangan lupa cebok ya!" Serunya lalu berlalu bersama gengnya yang ternyata sedang menunggu di belakang.

Meraka tertawa-tawa di sepanjang lorong dan kalau Haikal tidak salah dengar, salah seseorangnya berkata 'ikut ngeliatin njirrr dia.'

Ia merasa dijahili oleh anak-anak itu. Ia pun jadi risih. Kenapa dengan anak itu?

Selama jam istirahat tadi Haikal tidak berhasil menemukan kelas Sulaiman, maka jam pulang ini ia memcoba mencarinya kembali.

Ini dia! Kelas XII IPA 2. Namun sosok yang dicarinya tetap tidak ketemu. Hanya ada beberapa anak perempuan yang sedang bergosip di meja pojok dekat jendela.

"Cari siapa, dek?"

"Mas Sulaiman, mbak."

"Ohh... di ruang band dek. Tau gak tempatnya?"

"Di mana mbak?"

"Lantai satu, dek. Kamu lurus aja sampe parkiran sepeda, trus belok kiri."

"Makasih mbak."

Dengan semangat ia melangkahkan kakinya menuju ruang band. Sayup-sayup terdengar alunan piano yang merdu seiring dengan langkahnya ke sana.

Haikal mengintip dari sudut pintunya yang berbahan kaca.

Sulaiman di sana. Sedang memainkan keyboard dengan sangat pandai. Sepuluh jarinya bergerak dengan lembut dan lihai, membuat siapa saja yang melihatnya akan terkesima.

Di sebelahnya, seorang siswi sedang bernyanyi dengan membawa kertas dan microphone di tangannya. Diiringi juga oleh drummer dan gitaris di sudut belakang.

Sulaiman melihat ke arahnya. Haikal pun terkesiap. Ia langsung bersembunyi di balik tembok.

"Ya, siapa?"

Haikal jadi deg-degan. Sudah beberapa tahun ia tidak bertemu dengannya, dan ini akan jadi pertama kalinya...

Kabur tidak, ya?

Lah, kok malah jadi pengen kabur sih?

Belum selesai Haikal berkutat dengan pikirannya, pintu sudah terbuka.

"Eh, Haikal. Halo, apa kabar?" Sulaiman tersenyum dan mengulurkan tangan.

Haikal senyum canggung. "Iya Mas, baik."

"Lama gak ketemu ya? Sini masuk."

Haikal pun duduk di kursi yang disediakan Sulaiman. Tepat di depan posisi keyboard-nya.

"Mau pulang bareng? Bentar ya, aku mau latihan buat demo ekskul dulu."

"Iya mas, santai aja."

Band pun mulai memainkan lagunya lagi. Haikal menonton dengan takjub.

Setelah memainkan beberapa lagu, temannya bersiap-siap untuk pulang. Tetapi Sulaiman masih di tempatnya. 

"Gak pulang, mas?"

"Aku belum selesai."

"Dia juga mau solo piano katanya," kata si siswi yang tadi bernyanyi. "Duluan ya, Man."

"Yo, hati-hati."

Dan setelah itu Sulaiman memainkan keyboard lagi. Alunannya sangat merdu, bikin baper siapa saja yang mendengarnya. Wajah seriusnya yang tampan, dengan tinggi hampir 180cm membuatnya terlihat sangat memesona.

Haikal terus mendengarkan tanpa bosan sehingga tidak sadar kalau sudah sore.

"Udah sore nih, kamu gak pulang?"

"Kan mau bareng sama Mas Iman."

"Hm tapi aku masih agak lama nih. Kamu duluan deh."

"Yahh... udah besok aja latihannya. Pulang yuk."

"Nanggung Kal. Kangen banget ya? Besok kan masih ketemu." Sulaiman tertawa begitu melihat rona di pipi Haikal.

"Yaudah deh."

Haikal merogoh koceknya, masih cukup beberapa ribu untuk pulang ke rumah naik ojol. Namun seseorang dengan cepat merebut uang tersebut.

Lagi-lagi anak yang tadi. Ada masalah apa sih dengan orang ini?

"Aku haus nih. Pinjem ya buat beli minum."

Haikal sontak langsung berusaha mengambil uang itu lagi. "Kak, itu buat pulang kak."

Tapi Haikal kalah fisik. Anak itu bertubuh tinggi, sekitar 174cm.

Kaus basket yang dipakainya basah karena keringat, membuat Haikal merasa sedikit jijik jika dengan merebut uang itu kembali ia harus jadi dekat-dekat dengannya.

"Ini uangmu kan? ayo ambil." Anak itu menggodanya lagi.

Haikal geram. Ia melompat lagi untuk meraih uang itu, tapi ia kesandung lalu jatuh ke tanah. Dagunya menghantam tanah lapangan.

"Firdaus! Ayo main lagi!" Seru seseorang di kejauhan.

"Oke." jawabnya. Ia lalu menjatuhkan uang itu di dekat Haikal, lalu pergi.

Sambil meringis Haikal mencoba bangun. Ia merasa sangat dipermainkan pada awal masa SMA-nya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kira_Khasunny
Embus atau hembus?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status