Share

2. Why Does He

Haikal's POV

Firdaus... namanya Firdaus...

Apa ia pernah mengenalku sebelumnya?

Kenapa ia melakukan hal itu padaku?

Malamnya aku jadi tidak bisa tidur. Aku terus memikirkannya. Sesekali meraba daguku yang masih sakit karena menghantam tanah beton tadi sore.

Aku mencoba mengingatnya namun aku tak juga mendapat pencerahan siapa dia. 

Alhasil paginya aku masih mengantuk. sepanjang perjalanan ke sekolah aku sering menguap.

Dan... aku bertemu dengannya lagi.

"Woaduh... ada yang masih ngantuk nih..." Firdaus membercandai lagi, sambil bersandar pada balkon.

"....kenapa kak?" aku juga tidak tahu kenapa aku reflek menjawab perkatannya.

"Eh... aku gapapa kok! Makasih ya, perhatian banget sih kamu."

Setelah berkata begitu ia tertawa-tawa dengan geng-nya lagi.

Puk! sebuah tangan menepuk pundakku.

"Hei, Ril!" Sapaku riang. Pikiranku segera teralihkan, aku pun masuk ke kelas bersama Jibril. Entah kenapa Jibril seperti datang di saat yang tepat.

Dia merangkul pundakku, membuatku merasa nyaman. Aku balas merangkul pundaknya, dan dia menceritakan kejadian lucunya hari ini sebelum berangkat ke sekolah. Sikat giginya kecemplung toilet, lalu dia menukarnya dengan sikat gigi kakaknya. 

Aku terbahak-bahak mendengarnya.

Kemudian pelajaran pun dimulai. Aku lihat Jibril yang sedang sibuk mencatat tulisan, aku memanggilnya.

"Eh, Ril."

"Yo?"

"Makasih ya..."

"Buat?"

"Gapapa."

"Buat apa?"

"Gapapa kok."

"Buat apaa?" Jibril mendesak. Sebenarnya aku juga tidak tahu bagaimana mengatakannya. Jibril seperti menyelamatkanku. Tapi begaimana mengatakannya?

"Ehm... aku tuh sebenernya agak risih sama seseorang..."

"Siapa?"

"eng...itu, yang tadi pagi."

"Kakaknya itu? emang kenapa?"

"Dia tuh... gatau ya, kayak suka ngebully aku gitu..."

"Oh ya? Jangan terlalu suudzon dulu sih, tapi tetep ati-ati aja."

"Iya. Btw nanti istirahat beli makan bareng ya."

"Iyah."

"Aku bosen soto terus. Mau makan apa, Kal?"

"Hm... nasi goreng aja deh."

"Oke. BUUU NASI GORENG DUAAA!" 

Aku terkaget lagi. Jibril kalau teriak mantap bener.

"Kaget aku Ril." Kataku sambil meringis sambil mengusap telingaku, saat mencari tempat duduk di pojok menempel tembok.

"Hehe, maaf ya. Kebiasaan sih."

"Jangan gitulah."

Tiba-tiba Firdaus dan gengnya langsung duduk di sebelahku dan Jibril.

"Makan apa, Nih?"

Aku pura-pura cuek. Kalau dibalas malah bikin dia seneng.

"Denger gak sih!?"

Aku terus cuek sambil mainan hp.

Firdaus pun merebut HP-ku. Aku sontak terkejut.

Jibril juga terkejut. Ia ikut geram.

"Woy, kak! gausah ganggu napa!"

Firdaus mengangguk ke arah Rexi yang duduk di sebelah Jibril, lalu Rexi membekap mulut Jibril. Jibril meronta-ronta tetapi tenaganya tidak cukup kuat. BTW Jibril memiliki fisik yang kecil hampir sama denganku

Sebelum sempat aku menolongnya tanganku disambar oleh Firdaus dan ditempelkannya ke tembok di belakangku.

"Sekali lagi lu nyuekin gua, gua gak akan segan melakukan lebih dari ini..." Dia berkata dengan pelan namun nadanya sangat mengancam.

Jibril kembali meronta sekuat tenaga, kakinya menendang-nendang. Namun salah satu gengnya Firdaus lagi, yang kubaca nama di seragamnya adalah "Aldo", menahan kaki Jibril.

"Dan elu..." Firdaus berkata pada Jibril. "Kalau elu berani bela dia... elu juga akan kena akibatnya..."

Mereka pun melepaskan ku dan Jibril lalu meninggalkan kami.

Jibril mengejar mereka. Dia mau menghantam orang yang membekapnya tadi, namun orang itu segera menangkisnya dan memukul wajah Jibril sampai ia terjengkang ke lantai.

Aku segera menghampirinya.

"Sialan tuh orang... punya masalah apa sih mereka?"

"Udah Ril... udah diemin aja, ntar juga capek sendiri."

Tanpa kusadari daritadi aku dan jibril menjadi pusat perhatian seisi kantin. Anak-anak lain menonton dengan ngeri, dan tidak ada yang berani dekat-dekat. Sayup-sayup aku mendengar suara anak-anak yang menyebut seperti 'bully' tapi aku tak terlalu jelas mendengarnya

Aku mengajak Jibril mampir ke UKS sebelum bel masuk, memberi balutan pada lebam Jibril dan lukaku sendiri walaupun tidak seberapa dan meminta vitamin.

"Maaf ya Ril kalau kamu ngerasa jadi terlibat."

"Ah, gapapa. Kan cuma refleks ngebela temen. Eh, kamu kenal sama orang itu?" Tanya Jibril saat pelajaran dimulai kembali.

"Enggak pernah kenal aku... gatau dia siapa."

"Kok tahu-tahu seenaknya gitu ya? Mau jadi pembully ya mereka?"

"Entah. Tapi kemarin aku sampe jatuh. Daguku sakit." Ceritaku sambil meraba daguku

"Walah, baru pertama sekolah udah ada yang bikin luka. Aku sih sebenarnya tidak terlalu sakit, aku hanya kaget saat kakak kelas itu benar-benar memukulku jadi aku oleng."

"Oke. Eh iya Ril, nanti pulang sekolah aku mau mampir ke kakak kelasku dulu. Mau ikut gak?"

"Hm.. yang kamu ceritain kemarin itu ya? Boleh deh, tapi aku gakbisa lama-lama ya."

"Kenapa? rumahmu kan dekat?"

"Ibuku lagi sakit... makanya aku gakbisa lama-lama."

"Oh, okedeh. Cepet sembuh ya buat ibu kamu."

"Trims."

Aku dan Jibril sedang mengantri untuk wudhu sebelum Sholat Jumat saat seseorang mengagetkanku dari belakang.

"Dor!"

"Astaghfirullahaladzim!"

Orang itu langsung menyerobot antrian di depanku dan Jibril.

"Thanks ya!" Kata Firdaus sambil mencubit daguku, tepat di tempatku jatuh waktu itu. Aku meringis dan menepis tangannya. "Sakit kak!"

"Oh maaf, mananya yang cakit? uluh uluh..." goda Firdaus.

Jibril menggandeng tanganku. "Pindah aja."

Namun tangan Firdaus menahannya.

"Elu tetep di sini." Perintahnya sambil melepaskan gandengan tangan Jibril dariku.

"Elu terserah mau ke mana," Firdaus menunjuk Jibril. "Tapi lu tetep di sini. Awas kalo lu pindah, kita lihat pas pulang sekolah nanti." Katanya padaku.

Pergelangan tanganku digenggamnya kuat. Sakit.

"Kakak kenapa sih?" Tanya Jibril. Firdaus cuma menoleh sekilas.

Aku melihat ke arah Jibril. Jibril jadi tidak tega meninggalkanku. Apalagi begitu kusadari di belakang Jibril ada Rexi dan Aldo.

Aku sangat gembira begitu mendengar bel pulang. aku segera membereskan buku-bukuku dan bersiap berdoa bersama. 

Setelah ketua kelas menyelesaikan doanya aku segera menuju ke ruang band, menemui Mas Iman.

"Woy, jangan cepet-cepet dong." Jibril mengejarku.

Eh iya aku lupa kalau mengajak Jibril juga.

"Hehe iya."

"Kangen banget, ya? Ciee..."

Aku cuma ketawa-ketawa.

Sesampainya di ruang band, Mas Iman menyuruhku masuk dan aku kembali menyimak permainan band-nya, kali ini bersama Jibril.

"Eh, cantik ya ternyata kakak kelasmu, suaranya bagus lagi..." Jibril berbisik di sebelahku dengan suara biasa karena band ini sedang memainkan musik yang cukup keras menggunakan sound system sehingga suara biasa tak akan terdengar oleh mereka

"Lah?"

"Siapa namanya? Boleh dong aku juga dikenalin..."

"Hmm... kakak kelasku yang main keyboard Ril, bukan si mbaknya,"

"Lah wkwkwkw, salah aku ternyata."

Permainan band pun berakhir. Aku dan Jibril tepuk tangan.

"Kritik sarannya, Kal?"

"Gaada Mas. Perfect lah pokoknya," aku mengangkat kedua jempolku.

Kemudian teman-temannya pun pulang dan Mas Iman memulai solo piano-nya.

"Wuih keren gila..." Jibril ikut terpesona melihat permainannya.

"Ajarin dong mas!" Jibril berseru ketika Mas Iman telah selesai bermain.

"Iya, gabung ekskul band dong makanya," Mas Iman terkekeh.

"Siap dah! Pengen bisa keren kayak Mas Iman!" Jibril mengangkat jempolnya.

"Emang kapan mas demo-nya?" tanyaku.

"Besok senin habis upacara. Nih, mau coba?" Tanya Mas Iman padaku dan Jibril.

"Enggak deh Mas. Bisa mainin ini gak, hehe" Aku mempertontonkan video lagu piano solo kesukaanku di layar hp.

"Hmm... kayaknya pernah dengar, coba ya," Mas Iman mempersiapkan sepuluh jarinya, melihat sekilas ke layar hp ku lagi, lalu mulai memainkan lagu Butterfly Waltz.

Sesekali ia menoleh ke arahku sambil tersenyum. Aku merasakan sensasi aneh di sekitar perutku saat ia menatapku seperti itu, aku juga tidak tahu mengapa. Yang jelas aku malah menatap ke arah lain saat ia melakukannya.

Di tengah lagu, ia berhenti. "Eh, gimana tadi?"

Aku kembali menunjukkan video di layar HP-ku. 

"Oh, oke." Ia pun bermain lagi.

Kembali ia mencuri-curi pandang padaku, sambil mendengus geli. Entah kenapa sensasi aneh itu kembali menggelitik perutku.

Aku sudah kenal Mas Iman sejak aku SD, kami teman sepermainan saat di kampung dulu. Waktu kecil aku sering diejek karena tidak bisa bermain sepak bola dan ditinggal oleh teman-teman sepermainanku yang lain, dan Mas Iman ini selalu datang untuk menghiburku dan mengajakku bermain. Ia penyelamatku.

Aku sudah sering bersama dengannya sejak kecil, dan sering pula tertawa bersama dengannya. Tapi kenapa sekarang rasanya beda?

Mas Iman sekarang begitu dewasa, aku yang hampir seumurannya saja tidak kunjung tinggi besar seperti dia. huh.

"Ehm... maaf Kal, aku duluan ya. Mau beli obat buat ibu." Jibril tiba-tiba berdiri, menyalami tanganku dan tangan Mas Iman, lalu pergi, sebelum aku sempat membalas pamitannya.

"Jam berapa sekarang?"

Aku mengecek Hp-ku. Jam 4 sore.

"Mas Iman mau main lagi?" Tanyaku.

"Tanggung sih, aku ada yang kurang lancar di pertengahan lagu yang nanti aku bawakan."

"Yaudah gapapa. Yang penting pulangnya bareng."

"Hahaha... pengen banget ya? kamu naik apa?" Mas Iman mencubit hidungku. Aku langsung menepisnya.

"Ojek." kataku sambil mengusap hidungku yang sakit.

"Oalah... pantesan, ternyata pengen nebeng gratis ya." goda Mas Iman lagi.

"Apaan sih, udah sana cepet lanjutin."

"Siap, komandan."

Dentingan keyboard terdengar lagi. Aku jadi mengantuk dibuatnya. Aku menyenderkan kepalaku di tembok.

Entah seperti mimpi atau bukan, aku merasakan wajah Mas Iman semakin mendekat ke wajahku.

Melawan rasa kantukku, aku menegakkan dudukku lagi.

Mas Iman masih asyik bermain.

"Jadi ngantuk ya, hahaha. Yaudah yok pulang." ajaknya akhirnya.

Saat melewati lapangan basket, Mas Iman tiba-tiba berbalik.

"Duh lupa, HP-ku ketinggalan di ruang band. Tunggu ya!"

Aku menatap ke lapangan basket, duh aku lupa juga kalau Firdaus latihan basket, mungkin untuk demo ekskul juga. 

Seandainya tidak lewat sini...

Aku melihat sekeliling, masuk ke area lobi aja deh.

Namun sebelum aku beranjak, sebuah bola mendarat di kakiku.

"Hei, beb! lempar dong!" Yup, lagi-lagi si Firdaus.

Aku mengambilnya. Sebelum aku sempat melemparkannya, Firdaus entah kenapa sudah sampai tempatku dan bukannya mengambil bolanya, ia malah mengangkatku ke udara dan membawanya ke depan ring.

Aku terkaget.

"Ayo lempar! Awas ya kalo gak masuk ring," katanya tersengal menahan berat karena mengangkatku.

Aku berharap Mas Iman segera datang. Namun aku berpikir lagi, apakah aku akan selalu berlindung di balik Mas Iman?. Lebih tepatnya, sampai kapan aku akan terus berlindung pada Mas Iman?

Toh sepertinya jika Mas Iman menemukanku tengah digendong seperti ini ia cuma akan ketawa-ketawa saja.

Maka aku pun melemparkannya ke ring. Gak peduli masuk atau enggak.

Berharapnya sih masuk. Enggak juga gapapa sih. Mau gelud, gelud sekalian sini.

Dan akhirnya... melenceng.

"Ahahaha... sampai nanti ya sayang," Firdaus pun menurunkanku.

Mas Iman muncul tepat setelah aku keluar dari area lapangan basket.

Malam itu seseorang misscall hp-ku saat aku hampir saja memejamkan mata. 

Kemudian sebuah pesan masuk ke aplikasi chat.

save ya.

Aku membalasnya.

siapa?

Langsung di-read olehnya dan langsung dibalasnya.

firdaus yg paling ganteng unyu2 sedunia uwu :*

Dan saat nomor itu menelfon lagi, aku memblokirnya. Lalu tidur. Bodo amat dah, mau gelud, gelud sekalian.

Tahu dari mana sih nomorku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status