Share

3. His Way Bullying Me

Author's POV

Haikal keinget terus sama kejadian kemarin malam, saat ia memblokirnya. Ia tahu ia cowok yang seharusnya tidak takut. Tapi ia juga malas saja kalau pagi-pagi sudah berkelahi atau cari masalah, atau semacam itu.

Maka ia tetap berjaga jarak. Ia memilih lewat jalan lain untuk mencapai kelasnya, daripada bertemu dengan Firdaus itu lagi.

Bruk! 

Kaki Haikal dijegal, ia terjatuh ke lantai lorong antar kelas dengan posisi yang sama pada waktu di lapangan basket. Dagunya pun sakit lagi.

Terlebih lagi ia belum sarapan, maka pandangannya sedikit berkunang-kunang. 

Padahal ia sudah lewat jalan lain, tapi kenapa Firdaus tetap mengetahuinya? Lebih tepatnya, kenapa tetap mencari masalah dengannya?

"Tumben lewat perpustakaan? Gak lewat Lab Bahasa kayak biasanya," Kata Firdaus yang melihat Haikal sedang berusaha untuk berdiri.

Haikal sudah berhasil berdiri lagi dengan bertumpu pada dinding, "Apa yang kakak mau da-"

"Mau kabur ya??" Belum selesai dengan perkataannya, Firdaus keburu memotongnya sambil menarik kerah baju Haikal dan mengangkatnya sedikit sambil mendorongnya menempel dinding.

Masih dengan pandangan sedikit berkunang Haikal melihat kedua gengnya yang lain berdiri tidak jauh, sedangkan anak-anak lain tidak banyak yang lewat sini.

Haikal heran lagi, padahal ia sudah berusaha berangkat lebih siang, tapi kenapa masih sepi saja?

"M-maaf... kak," Oh, Haikal merutuki diri sendiri yang malah minta maaf, dengan demikian ia membiarkan dirinya menjadi korban bully, lagi.

Firdaus menurunkannya, lalu menggandengnya paksa ke depan toilet laki-laki.

Sesampainya di sana, ia mengangguk pada Rexi dan Aldo.

"Ambil tas dan jaketnya," Dan dengan cepat Rexi dan Aldo pun melucuti tas dan jaket Haikal.

Haikal memekik, "Jangan kak!"

"Udah gakpapa, gak akan diapa-apain kok," Firdaus membuka pintu kamar mandi laki-laki dan menyeret Haikal masuk ke dalam salah satu bilik toilet.

Firdaus memojokkan Haikal di dinding.

"Kenapa lu blokir nomor gua?"

"..."

"Gak jawab ya? Kenapa lu blokir nomor gua?!"

"Eng... gapapa kak."

"Gapapa?? Kenapa bisa gapapa?"

"Emang apa mau kakak dariku??" Haikal memberanikan diri membalasnya dengan suara lantang. Jantungnya bergemuruh kencang, menebak-nebak apa yang terjadi selanjutnya dan mempersiapkan pembelaan diri jika Firdaus melayangkan tinjunya.

"Wah, keren... elu berani ya ternyata," Firdaus mendengus geli sambil bertepuk tangan pelan. "Tapi masih belum bisa disebut berani kalau belum nyebut nama gua."

Ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan mendongakkan kepalanya angkuh.

"Halo, aku Firdaus." Katanya dengan intonasi seperti anak TK yang memperkenalkan dirinya. "Mulai sekarang, jangan panggil kakak lagi ya, panggil aja Firdaus."

Dengan gerakan tiba-tiba ia menyambar tangan Haikal dan mengangkatnya ke dinding. Tubuhnya ia tekan dengan tubuhnya sendiri, dengan wajah yang sangat dekat hanya beberapa senti dari wajah Haikal.

"Firdaus, sayang," Katanya dengan nada berbisik namun sangat menekan, "Sebut nama itu mulai saat ini juga, oke?"

Setelah itu ia menekankan bibirnya ke bibir Haikal. Haikal membelalak.

Ciuman yang awalnya hanya menempel itu semakin lama semakin menuntut. Firdaus menjilat bibir Haikal agar membuka, dan karena Haikal masih shock, mulutnya pun membuka dengan sendirinya.

Lidah Firdaus melesak masuk. Menjelajahi setiap inchi dari deretan gigi Haikal.

Tanpa disadari Haikal pula, kedua tangannya sudah dituntun Firdaus untuk memeluk bahunya.

Sedangkan tangan Firdaus, yang satu menjelajahi rambut Haikal sambil meremasnya pelan, sedangkan yang satu lagi membuka satu per satu kancing baju Haikal, lalu meraba-raba punggungnya.

Kepala Firdaus miring ke kanan dan kiri secara bergantian, untuk menikmati isi mulut Haikal seluruhnya.

"Nnnhh..." Firdaus tersenyum di sela ciumannya begitu mendengar lenguhan Haikal.

Haikal memejamkan mata kuat-kuat dan memukul punggung Firdaus saat oksigen untuk bernafas semakin habis.

Firdaus melepasnya, ikut tersengal.

Sambil mengusap bibirnya, ia tak bisa melepaskan pandangannya pada pemandangan di depannya ini. Wajah sayu kemerahan dengan bibir basah mengambil nafas sebanyak-banyaknya, ditambah lagi rambut acak-acakan dan baju seragam yang membuka, menampilkan dada mulus yang naik turun menampung oksigen.

Firdaus menyeringai lagi, lalu memojokkan Haikal kembali.

Kali ini ia melahap perpotongan leher Haikal. Haikal yang belum sarapan hanya bisa lemas menerima semua perlakuan Firdaus, sambil lagi-lagi merutuki diri sendiri seharusnya ia membiasakan diri makan yang banyak di pagi hari.

"Nngh... ahhh...." Lenguh Haikal yang tak cukup tenaga untuk mendorong dada Firdaus. Parfum beraroma lembut yang dikenakan Firdaus ikut membantu membuatnya mabuk sampai tak sadar kepalanya ia dongakkan, yang malah membuat Firdaus lebih leluasa mencumbui lehernya.

"Firdaus, sayang," perintah Firdaus untuk mendesahkan namanya.

"Aaahhh, Fir... Fir-daus..." 

Yang didesahkan sukses jadi lebih agresif, ia tak tahan untuk membuat kissmark di bawah telinga Haikal.

"Nhh... ahhh, jangan... Fir... jangan mem...bekaas... nnnnh..ah, hiks, hiks," Haikal berusaha meronta sampai hampir menangis.

Kasihan, Firdaus pun melepasnya lagi.

Haikal terhuyung, ia ambruk ke dekapan Firdaus. Firdaus dengan sigap menangkapnya, lalu mendudukkannya di toilet.

Ia mengancingkan lagi kancing baju Haikal dan merapikan rambutnya. Kemudian ia keluar bilik untuk mengambil tissue, dan mengelap bibir serta leher Haikal. Kemudian mata haikal yang hampir mengeluarkan air mata.

"Apa mau gua dari elu?" Firdaus mengulang pertanyaan Haikal. "Cuma elu, gak kurang, gak lebih," ujarnya sambil memapah Haikal untuk berdiri.

"Mulai sekarang, lu milik gua. Lu gak akan bisa kabur dari gua. Paham? Tapi tenang, gua gak akan ngajak lu baku hantam kok. See ya, mine," Firdaus berbisik sangat perlahan dengan napas yang sengaja ia hembuskan kuat-kuat ke telinga Haikal, memastikan agar setiap kata-katanya berkubang di otak Haikal, mengusap kepala haikal yang terasa panas, lalu mencium pelipisnya sekilas.

Setelah itu ia pun membantu menggandeng Haikal yang sudah sanggup berdiri sendiri, untuk keluar toilet.

"Pakein lagi tas sama jaketnya," Perintah Firdaus pada Rexi dan Aldo, lalu berlalu. Tetap dengan gaya cool-nya memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.

Mereka segera menuruti perintah Firdaus dan menyusulnya meninggalkan Haikal.

Haikal masih mengatur pandangannya. Sebelah tangannya bertumpu pada dinding dan sebelahnya lagi memijat keningnya. Dan saat itu pulalah, ia melihat Afifah, si cantik berhijab, melewatinya.

Ternyata Afifah juga melanjutkan sekolah di sini.

Sambil berjalan menuju kelas, ia membiarkan kenangannya bersama Afifah mengalir di otaknya.

Flashback...

Mereka berdua yang berseragam putih biru dongker sedang duduk-duduk di halte. Hari itu sekolah mereka memulangkan murid-muridnya lebih awal dari biasanya, jadi mereka berencana berkencan ke perpustakaan daerah dan mengunjungi pusat perbelanjaan.

Sambil menunggu Bus Trans, mereka bermain permainan yang sedang booming saat itu di layar smartphone, Afifah sesekali memukuli Haikal karena tidak serius bermain dan sengaja dikalah-kalahin. Tapi kemudian tertawa-tawa lagi ketika mereka memenangkannya.

Kebahagiaan yang sederhana. Haikal sangat menyayangi Afifah di dalam rangkulannya ini.

Tanpa mereka sadari orang asing di ujung bangku mencuri-curi pandang ke arah mereka sedari tadi.

Haikal yang menyadarinya, berusaha mengalihkan perhatian Afifah dari orang mencurigakan tersebut. Penampilannya seperti preman pasar lengkap dengan jenggot lusuh dan cincin batu akik di jari-jari tangannya.

Namun lama kelamaan orang itu semakin menggeser duduknya ke dekat Afifah. Tangannya memainkan sebatang rokok, sambil mendongakkan kepalanya untuk membuang asapnya. Haikal cowok, tapi dia tidak tahan asap rokok.

Setelah beberapa saat ternyata pria asing itu sudah sangat dekat dengan posisi mereka sekarang. Tangan kirinya yang ia sandarkan di sandaran bangku hampir saja menyentuh bahu Afifah, untungnya Afifah menghadap ke arahnya sedari tadi.

Haikal berdiri dan menggandeng Afifah.

"Bis nya sudah datang?" Tanya Afifah.

"Belum," Jawab Haikal sambil mengambil ponsel di tangan Afifah lalu mengetik sesuatu.

Afifah hendak bertanya lagi, tapi ponsel sudah diberikan lagi padanya dan diisyaratkan Haikal untuk membaca tulisan yang tadi ia ketik.

Kamu di sebelah kiriku aja.

Ada bapak2 mencurigakan.

Segera Afifah pun pindah ke sisi kiri Haikal. Lalu mereka melanjutkan memainkan permainan di ponsel mereka, kali ini sambil berdiri di depan pemberhentian bus.

Pria asing itu ikut berdiri di sebelah mereka.

Entah apa yang terjadi hingga akhirnya Afifah menariknya ke belakang gadis itu, sehingga dirinyalah yang hampir terkena jangkauan tangan si orang asing. Untungnya Afifah segera menangkis dan menjauh.

Namun saat mereka mundur, punggung mereka menabrak seseorang yang berpenampilan sejenis dengan orang pertama tadi.

"Maaf pak, ini ada yang gang..." Sesuatu menyadarkan Afifah kalau pria kedua ini pun juga bukan orang baik.

"...gu."

"Mana yang ganggu? Masa sih?" Goda orang itu sambil menunduk dengan tangan bertumpu pada lututnya.

"Maaf, permisi," Afifah menarik Haikal keluar dari halte Bus Trans.

"Sini dulu dong, main kabur aja," Si pria pertama menarik tas Haikal dengan kuat. Membuat Haikal terjengkang ke belakang, menimpa tubuh Afifah.

"Aah!!" Seru mereka bersamaan.

Afifah mendorong punggung Haikal yang tak kunjung bangkit. "Cepet bangun Kal! Ayo pergi aja!"

Haikal terlalu was-was untuk bangkit karena si pria kedua semakin mendekat ke arahnya. Kalau dia bangun orang itu akan menangkapnya dengan mudah. Sedangkan si pria pertama... ia berada di samping kanan, menutupi titik pemberhentian bus. Mereka pun terjebak di antara dinding dan dua pria berpenampilan preman.

Tendang perutnya lalu bangkit? Coba saja...

Maka Haikal pun menendang perut si pria kedua. Itu membuatnya mundur bebrapa langkah namun tak ada ekspresi kesakitan apa-apa. Hanya ekspresi marah setelahnya, lalu mengepalkan tinjunya. 

Haikal dan Afifah berteriak lagi, sebelum Haikal hendak melayangkan tendangannya lagi, pria kedua itu dengan sigap menangkap kakinya dan meninju wajah Haikal.

Afifah yang semakin panik berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari timpaan tubuh Haikal ke arah samping.

"Minggir Kalll!! Kamu berat!"

Sayangnya si pria pertama sudah menghadang jalan keluar Afifah.

Untungnya pria pertama itu hanya memakai sandal butut, maka Afifah menghantam jari kakinya dengan siku lengan kanannya dan menekannya sekuat mungkin.

Saat pria itu berteriak kesakitan sambil mengangkat kakinya yang dihantam Afifah, si gadis dengan sigap menjegal kaki yang satunya lagi.

Pria itu pun tumbang jatuh ke aspal di bawah halte bus trans.

Dan Afifah berhasil berguling ke samping. Lalu ia mengambil botol minum logam dari tas Haikal dan segera berdiri.

"Cantik juga kau." goda si pria kedua sambil merogoh sesuatu dari belakang celana jeans-nya.

"Makasih." ujar Afifah ketus lalu mengayunkan botol logam tersebut ke arah kepala si pria kedua.

Tentu saja si pria dengan sigap mengangkat tangannya, karena ayunan tersebut juga hanya pengecoh, agar tangan si pria terangkat. Setelah itu Afifah menghantam bagian kemaluan si preman sekuat tenaga.

BUGH!

Preman itu jatuh berlutut.

Segera Afifah menghantamkan botol logam itu lagi ke tengkuknya.

Akhirnya pria itu tak sadarkan diri.

"Ayo dong Haikal! Harusnya kamu langsung kabur, jangan nungguin aku! Malah gak bangun-bangun, gimana sih?!" Omel Afifah sambil menyeret Haikal meninggalkan halte.

Haikal masih merasa pandangannya berkunang-kunang setelah ditinju tadi, ia berusaha mengikuti langkah lari Afifah dengan terhuyung.

Mereka berpindah ke halte selanjutnya yang terletak beberapa ratus meter dari halte tadi. Untungnya bus segera datang, mereka pun berhambur masuk.

"Yang tanggap dong! Kenapa sih tadi kamu gak bangun-bangun?"

"Maaf, Fif..." Gumam Haikal lemah, matanya mengerjap-ngerjap pelan. Dan saat ia menyandarkan kepalanya, sebulir darah mengalir dari lubang hidungnya.

"Eh, kamu mimisan!" Afifah panik lagi.

"Eh?" Haikal mengusap hidungnya.

"Dahlah gausah jalan-jalan. Kita ke puskesmas aja," perintah si gadis mencari-cari tissue di tasnya, atau sesuatu yang bisa menampung darah dari hidung Haikal.

Tidak ketemu, Afifah pun meminta pada petugas tiket. Untungnya si petugas dengan sigap mengambil dari dasbor di samping sopir, selain itu beberapa penumpang lain juga menawarkan tissue mereka. Afifah tak henti-hentinya bilang terima kasih.

"Darahnya jangan ditelan! Nunduk aja."

Haikal pun menunduk.

Afifah menyeka darah yang keluar, lalu menekan di antara hidung dan mulut Haikal.

"Aduh!" Seru Haikal kesakitan yang memarnya ditekan tissue.

"Eh, maaf!"

Flashback off.

Jibril terkejut melihat kondisi Haikal saat menuju mejanya.

"Kal, kamu kenapa?" Tanyanya sambil menempelkan tangan ke dahi Haikal.

"Wah, panas Kal! Mukamu juga merah gitu." Jibril mengguncangkan bahu Haikal yang duduk di sebelahnya. "Kalau gak kuat ke UKS aja. Emang kenapa kamu bisa sampai begini? Udah sarapan?" Cecar Jibril.

Sarapan sama ciuman sesama jenis... batin Haikal.

Kenapa tiba-tiba otaknya mikir begitu? Haikal menggeleng-geleng lemah, menjawab Jibril sekaligus mengenyahkan pikiran absurd itu. Ia melepaskan jaketnya.

"Salahku, enggak makan pagi Ril..."

"Iya dah gakpapa, ke UKS aja, panas lho ini," Jibril memeriksa dahi Haikal lagi.

Haikal menggeleng lagi.

Alhasil ia mengikuti pelajaran pertama dengan pandangan kosong ke buku tulisnya yang belum tercoret satu kata pun. Tangannya meremas-remas pelan pulpennya, tak menyimak guru di depan yang sedang mendikte teori untuk dicatat murid-muridnya.

Mungkin Afifah benar, sebagai cowok ia tidak tanggap dan tidak peka dengan keadaan sekitar.

Eh, tapi itu kan ciuman, bukan pukulan atau kekerasan fisik...

Bagaimana cara melawannya? Apakah sama seperti kekerasan biasanya, mendorong lalu memukulnya?

Ah, sudahlah. Haikal tak ingin menyesali yang sudah berlalu. Ia gagal lagi dalam melindungi dirinya sendiri. Dan kini ia merasa tak enak badan karena itu.

"Haikal?" Tanpa disadari pula Bu Farida sudah berdiri di samping mejanya. Tatapan mata teman sekelas mengikutinya.

"Kamu tidak mencatat yang saya dikte?"

"Oh, engg... maaf, bu," Haikal menunduk.

"Kenapa, kamu sakit? Mukamu merah ini," Bu Farida menempelkan tangan ke dahi Haikal, "Nah iya, panas juga. Silakan ke UKS kalau sakit, jangan dipaksakan menyimak pelajaran."

"Engg.. iya terimakasih bu," Haikal pun berdiri, menyalami Bu Farida lalu berlalu meninggalkan kelas.

"Ini teh hangatnya ya, vitaminnya juga." Kata Siswi anggota PMR sambil meletakkan teh dan vitamin di meja samping ranjang UKS tempat Haikal duduk.

Kemudian ia duduk di kursi menghadap Haikal.

"Yang dirasain apa selain lemas? Kamu ada maag?"

Haikal menggeleng.

"Cuma lupa makan aja sih mbak, tapi gaada maag."

"Oke. Kamu bawa makan?"

Haikal mengangguk.

"Dimakan sekarang ya. Mana kelasmu?"

"X-D mbak."

"Oke. Tunggu ya."

Beberapa saat kemudian siswi itu datang kembali membawa kotak makan dan botol minum Haikal.

"Aku tinggal ya. Ini minyak kayu putih juga buat kamu," pamitnya.

"Iya, terimakasih mbak."

Lagi-lagi Haikal hanya menatap kosong ke bekal di tangannya ini. Cuma nasi dan telur ceplok yang ia masak sendiri. Perutnya memang terasa kosong, namun ia sedang tidak mood untuk mengunyah. Pikirannya masih terbayang oleh kejadian di toilet itu. Kecelakaan. Yah, Haikal akan menyebutnya kecelakaan saja.

Eh tapi... ITU CIUMAN PERTAMANYA!

Ciuman pertama yang diambil oleh sesama jenisnya, sama-sama cowok!

Afifah saja belum pernah ia cium, walaupun cuma di pipi!

Haikal merasa mukanya panas lagi, maka ia segera mengambil selimut yang terlipat rapi di bawah kepalanya, lalu menutupi wajahnya.

Tapi menutupinya malah membuat ia semakin mengingat kejadian itu, lengkap sampe ke rasa bibirnya.

Ehhhh, tuh kan malah dipikirin terus! Haikal mengetok-ngetok kepalanya sendiri.

Ia benci sama orang itu! Benci, pokoknya benci!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status