LOGINKirana
Aku berdiri tepat di hadapan pria yang kini telah sah menjadi suamiku, beberapa waktu yang lalu . Aku menunduk tak berani menatap pria itu. Debaran di jantungku semakin terpacu bahkan sialnya kedua telapak tanganku terasa berair karena aku merasa gugub. Aku hanya berani memandangi kancing kemeja hitam miliknya, aku lihat dia hanya mengenakan kemeja batik hitam dengan corak yang lumayan unik. Sesekali ku remas pinggiran kain jarik yang membalut bagian bawah tubuhku. Untuk menghalau rasa gugubku sendiri. “Jangan malu-malu gitu dong, kalian sudah sah menjadi suami istri. Ayo di salim suaminya,” kata penghulu yang masih duduk di meja akad, dengan nada bercanda khas bapak-bapak. Memberikan instruksi kepadaku. “Iya, bukan anak kecil yang lagi main nikah-nikahan lho kalian ini,” sahut pria yang menjadi saksi. Deg. Ucapan pria itu seolah terasa seperti dejavu bagiku. Aakhirnya aku memberikan diri mengangkat wajahku menghadap ke arah pria yang ku yakini adalah Dirga. Dirga tetangga di rumah lamaku dulu. Dialah musuh bebuyutan di jaman aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Yang sering main nikah-nilahan di kebun mangga milik pak Mamat. Benarkah dia? Aku menatap ke arah pria itu. Benar saja, tak salah lagi. Dia adalah Dirga. Aku tak salah lagi. Namanya yang tidak asing di telinga, ternyata memang benar itu dia. Dia menatapku tanpa senyum, sejujurnya aku tak tau apa yang dia pikir saat ini. Ekspresi wajahnya selalu sama dan terlihat begitu datar. Lantas untuk apa dia menikahiku? Dia mengulurkan tangannya dan segera kusambut dan ku cium pungung tangannya. Kali ini tak ada yang special, di hari yang membuatku begitu excited sebelumnya. Aku merasa kosong dan hampa bahkan mati rasa. Namun aku tak boleh egois. Aku harus tetap tersenyum bahagia sekarang. Menutupi kesedihan yang sebenarnya begitu dalam. “Maharnya kecil ya, dengar-dengar pengantinnya kabur juga,” bisik seseorang yang berada tepat di belakangku. Aku menahan emosi yang sejujurnya sudah hampir pecah sejak tadi. Banyak macam omongan yang aku dengar sedari tadi membuat telingaku terasa begitu gatal dan panas ingin menimpali mereka semua. “Iya, kok dia mau sih. Dinikahi sama lelaki miskin. Mahar segitu mending nggak usah nikah kalo aku. Nggak ada harga diri dong ya.” “Mungkin si laki juga terpaksa. Lihat saja wajahnya. Nggak ada tuh bahagia-bahagianya sama sekali,” sahut yang lain menimpali. Kulihat Dirga menoleh ke arah ibu-ibu yang tengah asik menggosipi kami dan melihat dengan tatapan gelangnya, akupun secara reflek ikut menoleh ke arah mereka. Seketika para ibu-ibu penggosip itu langsung bungkam tak berani mengucapkan apapun lagi. Acara demi acara pernikahan berjalan seperti seharusnya. Namun tak ada seserahan dan mahar yang besar seperti yang di janjikan oleh Ferdi sebelumnya. Aku melihat raut wajah Ayah tak seperti sebelumnya. Dia tampak sedikit lebih tenang sekarang. Sebenarnya aku tak ingin menikah dengan pesta yang mewah dan meriah. Akan tetapi permintaan dari ibu tiriku kepada Ferdi, saat melamar membuatnya menyanggupi apa yang dia kehendaki. Untungnya hari ini hanya acara akad yang memang akan dilangsungkan. Namun pada acara ini saja ibu Sukma meminta agar mengundang ratusan tamu. Aku berencana membatalkan acara pesta meriah selanjutnya yang akan diadakan sebulan yang akan datang. Aku rasa sudah cukup acara hari ini, yang begitu menyita pikiran, hati, dan tenaga kami semua. Acara telah selesai, semua tamu undangan juga telah pulang ke rumah masing-masing. Hanya tersisa beberapa kerabat dekat yang memang tinggal di daerah lain. Mereka masih menginap dan akan kembali pulang besok. Aku berada di kamarku, sejak acara selesai aku tak melihat Dirga lagi. “Apa jangan-jangan dia kabur ya?” gumamku penasaran. Pasalnya aku memang sengaja menghindari Dirga, dengan izin pergi meninggalkan dia ke kamar mandi, itulah alasanku tadi. Aku berjalan menuju arah jendela, sembari melihat jam di dinding kamarku yang berdominan warna putih dengan hiasan berdominan warna peach. Karena aku suka warna itu. Ternyata sudah pukul 3 sore, aku penasaran di mana Dirga sekarang. Ku amati orang yang berlalu lalang di depan rumah membereskan kursi bekas tamu undagan. Tapi aku tak melihat Dirga di sana. Kabur? Benarkah dia kabur? Tapi, jika kabur aku juga akan dengan mudah menemukannya. Klek! Suara pintu kamar terbuka membuatku terjengit kaget. Aku sontak menoleh ke belakang melihat siapa yang berani membuka kamar tanpa mengetuknya. Aku menembuskan napas lega karena itu bukanlah Dirga. “Bude, bikin kaget saja,” ucapku sambil memegangi dadaku yang sudah berdegub kencang. Bude Diyah tersenyum melihatku kelabakan. Aku kaget ketika ada orang tiba-tiba membuka pintu kamarku. “Kirana, itu suami kamu dari tadi di depan. Kenapa nggak di ajakin masuk. Kasian,” kata Bude Diyah yang sedikit mengintip dari celah pintu sedikit terbuka itu. “Ah ... Iya ... Itu anu ... bude, anu em ... Sebentar, saya masih.” Tanpa mendengar jawaban dariku, bude Diyah langsung menerobos masuk. Dia seperti mengerti apa yang sedang ada di dalam pikiranku saat ini. Dia segera menarikku agar duduk di tepi ranjang. Bude Diyah menatapku lekat, memegang tangan kananku sembari mengusapnya dengan lembut. “Nduk ... Kirana, anakku. Kamu jangan khawatir, dia pria baik. Bude dan Ayahmu juga tidak begitusaja percaya dengan tuduhan dari Ferdi. Bude akan menyelidiki kenapa dia setega itu membatalkan dan dengan keji memfitnah kamu.” Aku menunduk, menangis sudah bukan hal yang bisa aku lakulan lagi. Aku juga enggan terus menerus memikirkan hal yang di tuduhkan oleh Ferdi kepadaku. Bude benar, lebih baik aku mencari tahu untuk apa Ferdi menuduhku seperti itu. “Bude benar, tidak mungkin ada asap jika tidak ada sumber api yang muncul. Jika ada api pasti ada pemantiknya juga,” kataku melanjutkan. Entah apa yang di pikir oleh Ferdi, tapi menurutku itu keterlaluan. “Nah, sekarang kamu temui suamimu di depan, kasihan dia. Pasti dia juga lelah. Kamu terima dan jalani dengan ikhlas ya, Nduk. Ini mungkin adalah jalan terbaik yang di pilih oleh Allah untuk kamu. Kamu juga tidak perlu mendengarkan omongan orang yang nggak seharusnya kamu dengar. Ingat, sekarang kamu adalah istri orang. Kamu harus berbakti kepadanya, dia mau menikahimu berarti dia juga sudah berpikir untuk bertanggung jawab atas dirimu. Kemanapun langkah kakinya kamu wajib berbakti dan mengikuti apa katanya selagi itu masih dalam hal baik dan benar untuk dirimu,” kata Bude menasehatiku. Aku langsung memeluk wanita yang selalu mendukungku dan menyemangati di setiap langkahku. Meskipun ayahku menikah lagi. Tapi aku sama sekali tak dekat dengan wanita itu. Dia hanya cinta Dua pada Ayahku dan juga tak terlalu suka kepadaku. Apalagi jika Ayahku tak ada di dekatku. “Makasih, Bude selalu ada buat Kirana, semenjak Bunda pergi untuk selamanya,” kataku yang tak mampu menahan tangisku lagi. Bude Diyah mengusap punggungku dengan lembut. Kulihat dia juga menangis ketika pelukan kami sudah terlepas. “Kami jangan sedih, bude selalu ada kapanpun dan di manapun selama bude masih hidup. Kamu yang semangat ya, Nduk!” Bude Diyah mengusap air mata yang jatuh membasahi pipiku, aku mencoba tersenyum dengan hati yang terasa sesak. “Sudah, sana temui suamimu!” kata Bude Diyah yang langsung aku angguki dengan perlahan.Mobil yang dikendarai Dirga melaju pelan di jalan memuju pulang, tak ada banyak percakapan di sana. Pria itu kini fokus menyetir mobil, hanya terdengar deru napas sesekali dan suara radio lembut menemani perjalanan mereka. Kirana menatap ke arah jendela, tangannya sesekali menempel di perutnya dan mengusapnya lembut. Liburan di pantai tadi terasa hangat, dan damai. Tapi hatinya tiba-tiba terasa berat, tanpa alasan jelas. Begitu sampai rumah, teleponnya berbunyi. Dirga mengambilnya, tapi setelah beberapa detik, ekspresinya tampak bingung menatap nomor asing dari ponselnya. Dirga menerima panggilan itu ragu. Kirana hanya menatap ke arahnya seakan meminta sebuah penjelasan dari suaminya. Setelah menjawab beberapa percakapan dari balik telepon, Dirga menatap ragu kearah sang istri. Entah apa yang dikatakan oleh orang dari seberang sana. Tapi jelas membuat ekspresi wajah Dirga berubah. Dia menatap Kirana dengan mata terbelalak, setelah mengakhiri panggilannya. “Mereka bilang ada kabar
Tak lama kemudian, pintu ruang Rumah Sakit terbuka, dan seorang wanita paruh baya dengan wajah cemas memasuki ruang rawat Kirana. Mayang, mama Dirga, dengan wajah sedikit cemas tapi tampak hangat melangkah tanpa ragu masuk.“Dirga … Kirana … kalian baik-baik aja?” Suaranya lembut, tapi penuh perhatian. Ada sedikit keraguan tapi rasa cemas lebih mendominasi.Dirga segera berdiri dan memeluk ibunya, sedikit canggung. “Iya, Ma. Semua aman.” Beberapa waktu belakangan ini Dirga benar-benar membiarkan sang mama salah paham terhadap mereka. Dia sengaja pergi untuk memperbaiki diri masing-masing.Dia sengaja menghubungi sang mama, rasanya dia benar-benar masih membutuhkan wanita yang ada di dalam pelukan itu.Kirana hendak ikut bangkit, tapi Mayang memberi instruksi agar Kirana tetap pada posisinya. Ada kehangatan aneh yang terasa, sedikit ragu tapi juga lega. “Maafin Kirana ya, ma,” ucap Kirana ragu. Rasanya begitu canggung ketika tiba-tiba mertuanya datang tanpa memberi kabar. Apalagi sete
Dirga berlari keluar kamar dengan langkah terburu-buru, tubuh Kirana di dalam gendongannya terasa begitu ringan padahal berat wanita itu sudah tidak seperti dulu lagi. Tubuhnya sudah jauh lebih berisi, efek panik membuat tenaga Dirga seakan menjadi penuh tenang. Hujan di luar belum berhenti, udara dingin terasa menusuk kulit, tapi keringat dingin sudah mengalir di pelipis Kirana.“Bertahan ya, sayang ... tolong jangan pingsan dulu,” bisiknya panik.Kirana menahan rasa sakit di dada dan perutnya, napasnya tersengal. Melihat sang istri, Dirga malah semakin panik.“Mas ... pelan ... aku bisa jalan sendiri!” protes Kirana dalam gendongan Dirga, dia takut jika nanti mereka malah berakhir di rumah sakit berdua karena kecerobohan Dirga.“Enggak, diem aja ya. Pokoknya percaya deh sama, mas! Kita ke rumah sakit sekarang!” kali ini suara Dirga terdengar tegas dan penuh keyakinan.Mobil melaju menembus jalanan yang basah. Pandangan Dirga kabur oleh air mata yang menggenang di pelupuk matanya sej
Entah kenapa malam itu dada Kirana terasa berat. Pelukan Dirga terasa hangat, tapi ada sesuatu yang dingin di antara mereka. Seolah ada jarak tipis, tak kasatmata, yang makin lama makin terasa begitu nyata.Dirga masih diam, wajahnya bersembunyi di bahu Kirana. Deru napasnya terdengar teratur.“Kamu capek, ya mas?” bisik Kirana pelan dengan sedikit mendongak ke arah sang suami. Dirga tersenyum menggeleng pelan, dia menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan.“Enggak, sayang,” jawabnya singkat. “Cuma pengen kayak gini sebentar.” Jawaban Dirga kali ini terdengar jujur. Kirana menghela napas pelan, bahkan helaan berat itu tak terdengar oleh Dirga, seakan dia terbiasa memendam segalanya sendirian.Sunyi. Hanya suara denting jam dinding yang terdengar samar. Tak ada lagi percakapan antara dua insan itu. Kirana menggenggam tangan Dirga, menatap ke jendela. Hujan baru saja berhenti, dan aroma tanah basah mengisi ruangan. Degub jantung wanita itu bahkan semakin terasa cepat, dia bisa
Denting porselen yang retak memecah ruangan. Hening seketika, lalu suara napas Kirana yang tercekat.Di dalam ruangan, Dirga berhenti bicara. Suaranya yang semula lantang menghilang, diganti dengung telepon yang masih ada di telinganya. Dia menatap ke arah vas yang berserakan, mata langsung ke arah pintu yang pintunya setengah terbuka, di sana Kirana berdiri, wajahnya pucat, tangan masih memegang handuk.Dirga cepat mematikan panggilannya. Jantungnya berdetak kencang, tapi ekspresinya langsung berubah menjadi waspada dan lembut. Sebuah jurus insting yang selalu dia simpan untuk Kirana.Kirana mundur cepat dari ambang pintu, napasnya pendek. Suara pecahan vas masih nyangkut di telinganya. Langkahnya terburu, tapi goyah, seperti ingin kabur dari ruangan itu, dari semua yang baru saja dia denger.“Sayang!” suara Dirga menyusul dari belakang. Nada paniknya bukan karena marah, tapi takut kehilangan kendali atas sesuatu yang sangat rapuh, perasaan istrinya yang selalu mampu mengacak-acak ha
Suara mesin pesawat mulai meninggi, bergemuruh lembut di telinga. Lampu kabin meredup, udara terasa dingin menusuk kulit. Giselle duduk di dekat jendela, tangannya masih gemetar, matanya sembab, sisa tangis yang belum sempat kering.Kursi di sebelahnya kini kosong. Kursi itu seharusnya milik Ferdi. Pria yang seharusnya menemaninya.Dia menatapnya lama, berharap tiba-tiba Ferdi muncul dan bilang semuanya cuma salah paham, lalu duduk sambil nyengir seperti biasanya. Tapi kini nggak ada siapa-siapa. Yang tersisa hanya sabuk pengaman yang terlipat rapi, dan bayangan tubuh pria itu terlintas di jendela pesawat. Giselle menarik napas berat. Pikirannya tertarik ke belakang, membawanya pada adegan terakhir di bandara. Ferdi sempat berhenti sebelum langkahnya menjauh. Tangannya sempat menggenggam wajah Giselle, dan dalam ruang yang penuh ketegangan itu, Ferdi sempat menciumnya singkat, dan hangat.Ciuman yang terasa seperti ucapan selamat tinggal yang tak diucapkan. Mengingatnya membuat hati







