Kirana
Embusan angin sejuk terasa menyapu di wajahku, aku merasakan tepukan-tepukan di bagian kedua pipiku. Aku bisa mendengar orang bebicara tentang aku, namun kedua mataku masih enggan untuk terbuka. “Kiran, Kirana?” panggil seorang wanita yang ku yakini itu suara Bude Diyah, sembari menggosokkan minyak kayu putih di telapak tangan dan kakiku sementara Anya menepuk-nepuk pipiku. Aku yakin karena suara cerocosannya sejak tadi aku dengar begitu nyaring di telingaku. “Bangun, Mbak. Jangan nyusahin terus deh!” ketus Anya. Pipiku terasa sedikit perih karena ulah adik tiriku. Bagaimana tidak, dia bahkan memukul pipiku dengan sangat kuat. Mungkin saja dia menaruh dendam kepadaku. Jadi dia memanfaatkan kesempatan ini untuk membalasku. “Kamu nggak boleh begitu, Anya. Dia kakakmu, jangan kasar!” Seru Bude Diyah. Dia seolah tak terima dengan yang dilakukan oleh Anya, bude Diyah adalah istri paman Sultan. Kakak kandung dari Ayahku. “Iya bude, maaf,” kata Anya yang memang selalu berkata sarkas kepadaku. Aku membuka mata perlahan. Aku baru sadar, ternyata aku sempat pingsan tadi. Aku kembali mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Hatiku kembali terasa nyeri dan perih. Aku menunduk dengan rasa kecewa yang kembali muncul. “Sudah jangan nangis lagi. Sebentar lagi pernikahan akan di lanjutkan. Kamu touch up lagi ya makeupnya,” kata bude, sepertinya dia menyadari jika aku akan menangis lagi. Da memng yang membantu hampir semua persiapan pernikahanku. Sementara ibu tiriku lebih memilih sibuk dengan urusannya sendiri dan hanya mau terima jadi. “Maksud bude gimana, bukankah pernikahanku sudah batal? Mas Fer. Tidak, pria itu bahkan nggak mau mendengar penjelasan dariku, bude. Aku nggak semurahan itu. Setelah mengatakan hal itu dia mau kembali lagi, aku juga masih punya harga diri,” kataku kesal. Aku bahkan enggan menyebut nama pria itu lagi karena kecewa. Napasku kembali berat ketika mengingat kejadian sebelumnya. Ayah pasti sangat malu mendengar tuduhan dan fitnah yang dilakukan oleh Ferdi kepadaku. “Bukan Ferdi kali, mbak. Lagian mana mungkin dia mau menikah dengan mbak yang jelas-jelas sudah nggak prewi lagi. Nggak tau tuh siapa yang mau sama mbak, mungkin dia buta,” sahut Anya dengan kata-kata yang membuat hatiku tercubit nyeri. Aku kesal namun kali ini tak bisa membalas ucapannya. Aku masih merasa lemas untuk sekadar berdebat dengan anak itu. “Astagfirullah Anya! Sebaiknya kamu keluar deh. Bikin bude tambah meriang saja dengerin kamu. Tadi ibumu sekarang kamu, kelian ini memang ya!” kata Bude Diyah mendorong Anya keluar menuju pintu dan segera menutup kembali pintu itu. Bude segera kembali berjaan ke arah di mana aku duduk. Hanya ada aku bude dan seorang MUA yang memang di sewa untuk meriasku di hari ini. “Mbak, saya rapikan makeup-nya ya, itu berantakan,” kata Mbak Dewi yang terlihat sedikit takut dan ragu. Jujur saja aku sebenarnya sudah enggan melanjutkan acara ini. Aku juga tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Aku bahkan belum bisa menjelaskan semua kejadian yang sebenarnya. Entah, apakah masih ada yang akan percaya dengan penjelasanku nanti. “Maaf ya, mbak. Malah jadi berntakan begini. Nanti aku kasih kompensasi deh karena acara jadi molor,” kataku yang merasa tak enak kepada mbak Dewi. Aku yakin jadwal mbak Dewi padat hari ini. Apalagi ini adalah bulan musim pengantin. Mungkin saja ada beberapa client yang menunggunya di hari ini juga untuk menggunakan jasanya. “Nggak usah, dek. Yang penting acara lancar. Mbak tau perasaanmu saat ini. Kamu yang kuat ya, mbak yakin jika ini semua hanya fitnah,” kata Mbak Dewi mencoba menguatkanku. Dia bahkan mengenggam kedua tanganku. Tangisku semakin pecah saat ini. Mbak Dewi memelukku dengan erat. Aku memang sudah mengenal wanita yang berumur 10 tahun di atasku sejak aku kecil. Aku sengaja memakai jasa riasnya, selain kenal juga karena memng hasil makeupnya yang bagus dan mangklingi kata orang tua. Bude Diyah tersenyum berjalan ke arahku. Aku segera mengurai pelukan mbak Dewi dan segera mengambil beberapa lembar tisu yang ada di meja rias untuk mengelap air mataku yang sudah membasahi pipi. Sebelum mbak Dewi merapikan makeupku. Aku menarik napas dalam mencoba menenangkan hatiku, kucoba segala cobaan di hari ini dengan iklas. Walaupun itu sangat sulit tentunya. “Kamu ikuti saja apa kata Ayahmu ya, nduk! Ini demi kebaikanmu,” katanya. Aku bahkan tak tau apa maksud dari semua ini. Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan dari bude Diyah. Tapi sejujurnya aku sama sekali sudah tak memiliki minat mendengarkan apapun itu. Aku mendengar suara penghulu dari balik kamar, ternyata acara ini benar di lanjutkan. Ya Tuhan scenario apa yang Engkau gariskan untukku. Kenapa setiap hari terasa begitu berat bagiku. “Saya nikahan engkau Dirgantara Davindra bin Andra Derriawan dengan putri saya sendiri Kirana Vinaya binti Gandi dengan maskawin uang tunai 77.000 rupiah dibayar tunai!" Kupejamkan mataku ketika namaku di sebut oleh seorang pria yang tengah mengucap janji di depan penghulu, Ayah dan juga Allah. Karena setelah ini aku tak bisa kembali ke masa sebelumnya. Aku iklhas ya Allah, jika ini jalan terbaikmu. “Saya terima nikah dan kawinnya Kirana Vinaya binti Gandi dengan maskawain tersebut dibayar tunai!” “Bagaimana para saksi?” “Sah!” “Alhamdulilah ....” Suara semua orang terdengar serempak mengucap syukur telah terlaksananya akad dengan khidmad. Mbak Dewi sudah selesai merias wajahku. “Selamat ya, Kiran. Semoga pernikahanku langgeng sampai maut memisahkan. Mbak yakin dia pria baik yang dikirim Tuhan untuk kamu. Kamu iklas saja menerima jalan ini,” kata Mbak Dewi dengan tulus. Aku yakin dia mencoba menghiburku. “Aamiin.” Wanita mana yang mau di hari bahagianya menjadi seharusnya menjadi hari paling membahagiakan menjadi momen paling menggores luka dan trauma. Tentu aku tak mau itu terjadi. Aku mengira dia pria yang mencintaiku, namun ternyata akupun salah. Aku iklas jika dia bukan jodohku, aku terima garis takdirku. Sekarang aku telah menjadi istri orang. Aku juga tak tau siapa pria malang yang mau menutup aib keluargaku itu. Dirgantara Daviandra, nama itu seperti tidak asing di telingaku. “Ayo kita keluar, nduk. Suamimu sudah menunggu di depan. Senyum ya bude selalu di sampingmu,” kata Bude Diyah sembari mengapit lenganku. Aku hanya mengangguk. Jujur saja, aku merasa deg-degan saat ini. Kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan siapakah sosok pria yang menjadi suamiku saat ini. Kami melangkah perlahan dan sedikit hati-hati. Balutan kain batik dengan kebaya berwarna putih khas adat sunda membuatku tak leluasa berjalan dengan langkah panjang. Kami tiba di depan rumah yang menjadi tempat di langsungkannya acara akadku. Aku melihat begitu banyak tamu undangan yang berbisik membicarakan. “Cantik ya, si Kirana.” “Iya, cantik. Tapi kok pengantin lakiknya beda sama yang di poto ya, lebih ganteng, tapi sayang pake kacamata,” sahut salah seorang dari tamu undangan itu. “Iya ya, aku baru nyadar deh,” timpal yan lain. Aku bahkan masih bisa mendengar bisikan-bisikan yang lainnya. Namun aku mencoba mengabaikan semua itu. Aku semakin berjalan ke arah di mana pria itu berdiri. Pria yang sudah sah menjadi suamiku beberapa waktu lalu. Pria itu tersenyum ke arahku. “Dirga!” gumamku. Setelah menyadari siapa pria itu.“Gimana Ga? Ketemu?” tanya Mayang berlari menghampiri putranya yang terlihat berjalan dengan gontai memasuki rumah. “Kalo ketemu nggak mungkin Kirana nggak di sini, ma," jawab Dirga dengan nada malas. Dia sudah sangat lelah sepanjang hari berkeliling tanpa arah dan tujuan. Tak ada tempat bertanya, tak ada tempat yang di tuju. Dia menghela napas lalu berlalu begitu saja melewati sang mama.Dia berjalan menuju kamar dengan perasaan tak karuan, rasanya dunia runtuh, ketika sehari dirinya tak melihat wanita yang dia cintai. ‘Kamu ke mana sih, sayang. Kenapa kamu setega ini ninggalin aku tanpa berpamitan. Kesalahan apa sebenarnya yang aku perbuat?' Dirga menutup pintu kamar dan mengambil laptop miliknya. Setelah menemukan yang dia cari, dia segera mengemasi barang dan kembali keluar.Mayang yang sejak tadi merasa pusing, kini dikagetkan melihat Dirga yang sudah membawajaket ransel hitam dan mengenakan tebal. “Ga, ini bukan waktunya muncak, istri kamu ilang lho. Bisa-bisanya kamu mau mu
Kirana menunduk menahan senyum, bahkan dia juga merasa tak enak dengan sepupunya. Entah kebetulan atau bagaimana, ternyata pria yang dia sangka seorang psikopat tadi adalah sepupunya. Dia ternyata Kaivan, anak yang beberapa tahun lalu masih duduk di bangku SMP dan tak setinggi sekarang ini, siapa sangka sekarang sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa tampan dan rapi. Ingat ya, tampan dan rapi. Kirana memang belum pernah bertemu lagi semenjak pertemuannya terakhir kali beberapa tahun silam. Bahkan di hari pernikahannya dia tak sempat datang karena mempersiapkan untuk masuk perguruan tinggi. Kaivan yang dulu terlihat sangat culun dengan kacamata tebal dan rambut klimis berbau minyak rambut pria. “Sakit tau mbak,” keluh pria itu sembari menggosokkan telur bulat pada keningnya yang benjal karena tampolan reflek dari Kirana sebelumnya. Kejadian begitu cepat, jika teringat kembali Kirana merasa kesal dan tak enak telah memukul kepala Kaivan. Semua dia lakukan dalam upaya melindungi diri. “S
Matahari sudah di atas kepala cuaca terasa begitu terik, hati Dirga ikut memanas karena kejadian di hari ini. Pria itu tampak mengusap wajahnya gusar, sudah beberapa tempat dia datangi, namun tetap tak membuahkan hasil juga. Dia bahkan sudah meminta bantuan Nanda untuk melacak keberadaan sang istri, namun hasilnya tetap nihil. Dia menarik napas berat, tangannya meremas kaleng minuman lalu melemparnya ke segala arah. “Aduh, catit!” teriak seorang anak kecil sembari memegangi kepalanya. Mendengar suara itu, Dirga sontak menoleh. “Astaga, maaf-maaf, kamu baik-baik saja?” tanya Dirga terlihat panik. Dia segera berlari menghampiri seorang anak lelaki berusia tiga tahunan itu. ”Hiih syebel. Om lepal kaleng cembalangan, itu pencemalan lingkungan!” teriak anak kecil itu berlari mendekati Dirga sembari memberikan kaleng yang sempat dilempar olehnya tadi. Dirga tampak termenung menatap wajah gembul menggemaskan, yang terlihat kesal itu. Dia bahkan tak tau harus bereaksi seperti apa s
Embusan angin segar membelai kulit Kirana. Tatapannya lurus ke arah laut lepas. Pikirannya terasa lebih tenang, beberapa kali dia menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan. Deburan ombak putih bergulung seakan berlomba-lomba menghampirinya. Sesekali kakinya terasa basah karena belaian air laut yang menyapa. Sudut bibirnya terangkat, dia baru menyadari jika selama ini pikirannya selalu terasa penuh dengan permasalahan hidup. Orang-orang toxic yang datang dan pergi silih berganti. Memikirkan hal itu tiba-tiba dadanya terasa sesak kembali. Buru-buru dia menghalau pikiran menyiksanya. Mengalihkan dengan pemandangan indah di hadapannya. “Maafin mama ya sayang, kamu jadi merasa semua yang mama rasakan. Mama janji, kita akan selalu bahagia kedepannya. Makasih sudah hadir dan selalu temani mama di saat mama terpuruk. Kehadiranmu saat ini membuat mama sangat bersyukur dan bahagia,” gumam Kirana sembari membelai perutnya. Embusan angin semakin terasa kuat, kali ini dia kembali ber
Dirga tak mendapatkan jawaban dari perjalanannya, hanya rasa kesal yang memenuhi kepalanya. Entah apa yang membuat istrinya sampai pergi secara tiba-tiba. Emosinya mulai memuncak, kepalanya bak mendidih memikirkan rentetan kejadian yang serba tiba-tiba. Jika ditarik, semua ini tidaklah seperti kebetulan semata.“Shit, arrrgh ... Sialan!” teriak Dirga di tengah jalan. Helm full face yang dia kenakan bahkan tak bisa meredam triakannya. Beberapa pasang mata tampak menoleh ke arahnya, di tengan kerumunan orang yang sedang menunggu lampu merah menjadi hijau. Dirga seolah tak acuh dengan kondisinya saat ini. Mengabaikan tatapan orang yang melihatnya dengan tatapan aneh. Setelah lampu berubah menjadi hijau, pria itu segera melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi dan memutar arah kembali ke rumanya.“Sialan kau Giselle, arrghh ...!” dia langsung menyadari jika wanita iru adalah sumber utama kekacauan yang sedang terjadi saat ini. Tak lama dia sampai di halaman depan, berharap jika sa
Di kamar temaram terlihat dua insan tak mengenakan apapun Yang hanya ditutupi selimut tampak kelelahan setelah menghabiskan siang panas hingga menjelang sore.Dirga menutupi tubuh putih Kirana menggunakan selimut tebal, lalu mencium kening istrinya yang tertidur pulas setelah digempur habis-habisan olehnya. Dirga tersenyum tipis menatap istrinya dengan rasa sakit dan rasa bersalah. “Maafin mas ya, mas akan berusaha bahagiakan kamu kedepannya. Jangan pernah pergi dari mas ya,” bisik Dirga lalu mengenakan celana boxer hitam dan segera mengambil laptop silver dari meja di samping tempat tidurnya. Lalu ikut duduk di samping sang istri menemani wanita yang terlelap damai. Dia segera meminta Nanda untuk mencarikan tenpat tinggal yang cocok untuknya dan Kirana.Tak butuh waktu lama, Nanda mengirim beberapa gambar beserta harga untuk Dirga. Pria itu melihat seksama menimbang di mana dirinya akan membawa sang istri mencari kenyamanan. Pada akhirnya dia menemukan sebuah apartemen yang cukup lu